sri Rama dan surya bercengkerama

Dirgantara putra 18.55 |

NADA DAN NYANYIAN 
 
Deretan nada telah terbang bersama angin
Membelai lembut bagai tangan tak bertulang
Menjemput ia yang tengah lelap di bawah langit malam
Lelah akan peperangan yang tak pernah usai
Sebuah nyanyian telah usai ia mainkan
Tertunduk ia sejenak tercengang akan sebuah mimpi
terlalu sukar untuk diterima dan diterjemahkan
Deretan nada dan nyanyian tentang keabadian 
 
 
Read More

Surya Berbicara

Dirgantara putra 18.52 |

 SERULING DAN PADANG RUMPUT
 
 
Di bawah naungan langit biru
Terhampar luas tak terbatas
sejuk aroma embun pagi
tersenyum dan bercanda
bersama lembut belaian angin
kulihat seorang tampan dan gagah
menatap tajam ke arah matahari
Dari matanya terpancar makna
dari wajahnya terpancar cahaya
Ia melantunkan sebuah syair
diiringi merdu suara seruling
Memecah belenggu fatamorgana
Aku seperti hanyut terbawa
lebur bersama aliran darahku
Dia menggandeng tanganku
Mengajakku menyusuri aliran sungai
Kemudian duduk di tepian
Menunggu terbitnya sang surya
akan aku tunggu dan selalu kutunggu
Read More

All of You

Dirgantara putra 18.43 |

MENCINTAIMU CUKUP BAGIKU
oleh M.Andrean Ramadanish

Biarkan aku menatap lirih
Setiap keping kenanganku yang telah retak
Biarkan aku tetap mendengar
Bisu kata dari semua yang pernah terucap
Izinkan aku kembali melangkah
Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan
Walau nyata, tak dapat ku genggam angin
Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah

“Gabriel.. ayo!!.”

Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.

Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.

Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi – yang tak lain adalah ibuku- ia mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.

“iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mm.. bukan kami, dia tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku tetap saja berlebihan.

“jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian yel!. Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.

“ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.

Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang cowok berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.

Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali cowok apel itu.

“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun. Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi meninggalkan kota ini. Negara ini dan cowok apel itu. cowok yang bukan boyfriendku. Ya aku berbeda dengan teman sebayaku yang bisa mencintai gadis gadis sexy . aku mencintai cowok (GAY) . hatiku tlah diambil dan dicuri cowok rasa apel itu.

Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.

“gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.

Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.

Okkey,, aku pergi. Selamat bu, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu.

Aku melangkahkan kaki menuju dimana ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda itu tak kasat mata.

Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.

Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul, rasanya ingin sekali aku berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di pert dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi. Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah aku sudah tak tahu lagi.

“Gabriel.” Teriak seorang lelaki , cukup samar. Tapi aku tahu itu suara milik siapa.

siapa yang menyusul atau aku hanya berhalusinasi. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku masih berjalan aku harus tetap jalan , tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau bahkan memanggilku dengan sengaja.

“Gabriel.”

Lagi. Suara itu?

Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.tubuh mungil ini . bau apel ini ?

Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.

Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.

Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!

Ia membenamkan wajahnya didadaku dan aku membenamkan wajahku dilehernya. Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku sangat nyaman.

Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu. Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan saja, cowok rasa apel  ini tetap memelukku seperti ini.

pernah aku berfikir untuk sembunyi
menghindari gejolak di dalam hati
namun semakin aku berlari
ia pun terus mengikuti
bayangannya semakin menjeratku
menawarkan segala pujian
menawarkan segala kemunafikan
Tuhan bimbinglah hati ini
dan jagalah jiwa ini
***
^^cerita flashback^^

“Raf, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.

“iya..” jawabnya.

Rafa masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.

Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Rafa berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun. Kecuali tembok tentunya.

“ayook!!.” Aku menggamit lengannya.

Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih menggandeng Rafa, Cwok mungil ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.

“aduh iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh Rafa. Ia tertinggal satu langkah dariku.

“kalo ga gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia bisnya.” Ucapku.


Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak akan segera berangkat lagi. Sialnya kami belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.


“ ayo Rafa!.” Ajakku.

Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan Rafa, ia semakin berlari ketika menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.


“tunggu paakk!!.” Teriakku keras.

Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau beberapa penumpanglah minimal.

“pak stop pak.” Teriak Rafa kali ini.kami masih berlari mengejar bis itu yang mulai berjalan lagi. Rafa dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu sudah berjalan ketika kami sampai di halte.

Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng Rafa. cowok mungil itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya mulai kehilangan keseimbangan.

Buuggg..

Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku menoleh, Rafa sudah tersungkur dijalan aspal.

“Rafa..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.

Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.

“aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan. Lututnya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana dibalik celana abu abunya yang terkoyak. Mataku membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.

“sakit yel.” Lanjutnya

Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku didalamnya.

“pake ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.

Rafa mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.

“hey.. jadi naek nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh kaget.

Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang berhenti. Seorang pria berseragam sekolah berjalan menghampiri.

“jadi pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.

“iel?.” Ucapnya.

“Alvin?.” Ucapku.

“kalian gak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang terduduk dijalanan aspal.

“ayok, keburu bisnya gak mau nunggu.” Ucapnya lagi.

Aku menoleh pada Rafa, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain disini sekarang.

“masih bisa kan Raf?.” Tanya ku

Rafa mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang menunggu kami tak sabar.

Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap Rafa prihatin, peluh keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega melihatnya begini?

Tiba-tiba alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah Rafa. Ia berjongkok didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Rafa tak sanggup berjalan lagi untuk sekedar masuk ketengah-tengah bis.

“duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti itu. Rafa menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.

Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin. Tapi sudahlah yang terpenting sivia bisa duduk sekarang yah meskipun akan terlihat seperti dilantai bis. Aku berjongkok disampingnya.

Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.

“thanks ya vin.” Ucapku. Alvin mengangguk saja menimpali.

“oh ya Raf, kenalin ini alvin temen smpku dulu.” Ucapku. Rafa memandang alvin lama, alvin menunjukkan senyumnya.
Alvin merupakan teman SMP ku aku kenal baik dengannya aku juga tahu dia sama denganku . Dia begitu karena orang tuanya bercerai .

“alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.

“Rafa.” Ucap cowok imut ini menyambut jabatan tangan alvin.

“makasih ya.” Tambah Rafa.

Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan kehilangan.

Sejak pertemuan di bis itu, sivia dan alvin semakin dekat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih. Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah, tepatnya rumah Rafa. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar Rafa pulang kemarin.aku takut Rafa jatuh cinta pada Alvin.

Rafa mulai agak menjauh dariku. Mm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia Rafa, dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama dengan mereka.

Entah sejak kapan alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan alvin terpaksa naik bus dan mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya Rafa dan alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol, bercanda, tertawa bahkan alvin pernah menolong Rafa yang hampir jatuh dari pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.

Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak mengajaknya pergi, dan kalian tahu Rafa berkata apa? cowok itu berkata...

“hey Raf. Mm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku

Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa kembali seperti dulu.

“mm… sorry yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Rafa menatapku tak enak hati.

Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“ngg.. yauda ga pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.


Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan. Benar!! aku tengah kecewa sekarang.

“oke.. bye iyel.” Pamitnya

Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku berjalan kembali memasuki rumah.

“loh kenapa balik yel?.” Tanya ibuku.

“gak jadi pegi ma.” Ucapku malas.

Aku duduk disofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.

“kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.

“pertandingannya gak penting kok.” Ucapku berusaha santai.

Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal, jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak memungkirinya.

“trus gimana yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan kelas loh yel.”

“aku uda bilang berapa kali sih sama mama. Aku gak mau pindah ke australia. Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.” Jelasku.

Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.

“sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”

“mama gak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”

“ada siapa? Rafa?” potong ibuku

Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.

“sampe kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak ada? Memangnya dia gak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.

Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan Rafa dan keluarganya?

Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Ia? Benar, mungkin aku memang terlalu merepotkan.

“iel ngerepotin Rafa ya ma?” ucapku pelan.

Hari ini, aku tidak berangkat dengan Rafa. Aku masih kepikiran ucapan mama, apa benar aku merepotkan sahabat yang aku cintai itu?.

Aku berangkat agak siang. Aku yakin Rafa juga tak akan menungguku, toh didepan sana sudah ada alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria lain yang menjaga cowok rasa apel itu. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga Rafa?. Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga Rafa selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar Rafa. Dan satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas Rafa. Aku tak akan melepaskan Rafa demi apapun. Kecuali Rafa yang memintanya. aku sampai detik ini belum mengungkapkan rasa ini.
Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan waktu meninggalkanku sendiri tanpa Rafa.

Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah itu, Aku menunggu kedatangan Rafa ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini. Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada Rafa. Dia Orang pertama yang ingin kuberi tahu.

Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga dalam hidupku. Dan inilah waktunya.

Menunggu sivia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang. Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.

Tak lama cowok rasa apel itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku bisa menambah bahagianya hari ini.

“hay Raf... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.

Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman, tapi kuharap aku bisa melakukannya.

“aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.

“oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. adekku yang lucu imut ini aja dulu.” Ucapku sok-sok’an.tapi kenapa aku pakek kalimat adek ...bukan sayang ..bodoh "batinku . Rafa tertawa lebar.

“oke, yang pertama nilaiku diatas 85 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.

“wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku berbasa-basi. Ia berhenti melompat.

“eumm.. gak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm .kamu kan tahu rahasiaku siapa sebenrnya aku dan kamu tahu gag ..apa yang bikin aku lebih seneng?.”

Rafa menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku berdegup semakin cepat. Ya tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat merindukannya setiap detik. Aku menggeleng pelan.

“alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi.cowok yang aku idam idamkan selama ini datang padaku dan membak aku yel .... Yee...” ucapnya girang lagi.

DEGG...
Hening. Bukan,, bukan karna Rafa tak bersuara lagi, Rafa masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.

Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.

“kamu kenapa yel?. Gak seneng yah?.” Ucap Rafa sedih menyadari aku yang tak bereaksi apa-apa.

Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum kuhembuskan sebelum Rafa berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.

“yel?. Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”

Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil tuhan.

“beneran yel?. Ato Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucet?.”

Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.

“aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.

Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat. Aku mengurung diriku di kamar. Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.

Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir sesuatu. Sesuatu yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku leih baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.

Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.

“kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.

“iel mau ngomong ma.”

Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk kembali.

“apa?.”

“ma, iel bersedia sekolah di australi.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.

“kenapa?.”

“mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting iel mau.” Ucapku

“tapi?. Baiklah kalau begitu. Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.

“besok? Bisa?.” Tanyaku tak yakin.

“secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.

Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut cowok apel itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat rafa itu tersenyum seperti tadi pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada saat bersamaku.

“oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.

Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk disofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin pertanyaan macam ini. ‘bagaimana bisa? Ada apa?’ benar. Karna sebelumnya aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan. Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga cowok  itu. cowok rasa apel itu sudah mempunyai penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.


Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok ditempat ini. Malass sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang malam.

Semula ku tak yakin
Kau lakukan ini padaku
Meski di hati merasa
Kau berubah saat kau mengenal dia
Reff:
Bila cinta tak lagi untukku
Bila hati tak lagi padaku
Mengapa harus dia yang merebut dirimu
Bila aku tak baik untukmu
Dan bila dia bahagia dirimu
Aku kan pergi meski hati tak akan rela
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu
“aku cinta kamu vi. Aku cinta kamu.” Ucapku lirih pada wajah sivia yang terlukis dilangit.

***

“aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.

Mataku membelalak lebar

Darimana?

“yah.. aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”

Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo alvin tau tentang aku pasti dia biisa lihat itu. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu Rafa. Tapi apa? Sudah tak ada gunanya juga bukan?.

Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu Raf? Kenapa bukan kamu sendiri yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat jawabannya?.

“kenapa harus pergi sih yel?. Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara aku gak bisa bales perasaan kamu?.”

Aku menggeleng keras.

“bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku tersenyum.

“terus?.” Kening Rafa mengerut.

“aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Rafa sudah memasang wajah tak terima.

“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”

“banyak alasan yang gak bisa aku sebutin Raf, aku harus pergi. Aku harap kamu ngerti keputusanku.” Timpalku.

Rafa memasang wajah pasrah lagi. cowok  ini. Ya tuhan andai dia tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya semakin dalam.

Rafa mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.

“kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk orang lain. Hey cowok pert ganteng ganteng looooooooh.”

“haha aku suka cowok indonesia apalagi cowok rasa apel.” Ucapku basa-basi.

“oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya

“janji yah?.” Tagihnya.

Aku berfikir sejenak.

“mm.. okeh.” Ucapku

Dalam hati aku berkata ‘enggak, aku gak janji Raf"

Rafa tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada alvin. Alvin tersadar waktunya datang. Ia menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya milikku dan Rafa. Seperti duniaku sebelum kedatangan alvin dulu.

“jaga Rafa ya bro.” Ucapku sok-sok’an

“pasti. Tanpa lo minta.” Ucapnya yakin.

Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.

“iyel.”panggil alvin.

“gue akan ngejaga Rafa sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada disaat garis takdir belum mempertemukan gue sama cowok yang gue cintai.” Ucapnya.

Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.

“gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.

“aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.

Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.

“kamu memang bukan orang yang aku cintai yel. Tapi kamu special.” Ucap cowok itu, cowok yang aku impikan jadi pangeran di istana hatiku

* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu


END.

Read More

kisah sang Surya

Dirgantara putra 16.17 |

Sebening Cinta Surya
 Oleh: M Andrean Ramadanish

Embun. Aku memanggilnya embun. Titik – titik air yg jatuh dari langit di malam hari dan berada di atas dedaunan hijau yang membuatku damai berada di taman ini, seperti damai nya hatiku saat berada disamping lelaki  yang sangat aku kagumi, Surya .yang selalu temaniku menikmati indahnya embun di pagi hari . memberikan kehangatan .

              Setiap nafasku ada rasa rindu
              Setiap detak jantung terasa getaran sayang
              Setiap denyut nadi beriramakan cinta
              Sepi dan sendiri bersama aliran darah
              Daun-daun bernyanyi bersamaku
              Bebatuan bernyanyi bersamaku
              Gemercik air bernyanyi bersamaku
              jagad raya bernyayi untukmu
              yang kurindukan hanya kamu
              yang kudambakan hanya kamu
              yang kutakutkan hanya satu
              terpisah dari genggamanmu
                                                                    surya ,,,

“ngapain diam di situ, ayo sini Ram…” teriakan surya  yang memecahkan lamunanku. Aku lalu menghampirinya, dan tersenyum manis dihadapan nya.

“gimana kabarmu Surya?”

“seperti yang kamu lihat, tak ada kemajuan. Obat hanyalah media yang bertujuan memperparah keadaanku. Dan lihat saja saat ini, aku masih terbaring lemah dirumah sakit kan?”, Keluhnya.

“obat bukan memperparah keadaanmu, tapi mencegah rasa sakitnya. Surya,, kamu harus optimis ya”.

“helloooooo Ram, aku selalu optimis. Kamu nya aja yang cengeng. Kalo jenguk aku pasti kamu mau nangis,, iya kan? Udahlah Ram,,, aku udah terima semua yang di takdirkan Tuhan,, dan saatnya aku untuk menjalaninya, kamu jgn khawatir, aku baik-baik aja kok”. Benar kata Surya, aku selalu ingin menangis ketika melihat keadaannya. Lelaki setegar apapun, pasti akan sedih melihat keadaannya, termasuk aku.

***

Sudah 2 minggu tak kutemui senyum Surya  di sekolah. Sangat sepi yang aku rasakan. Orang yang aku cintai sedang bertaruh nyawa melawan kanker otak yang telah merusak sebagian hidupnya. Apa? Cinta? Apakah benar aku mencintainya??? Entahlah,, aku hanya merasakan sakit di saat melihat dia seperti ini. ya Tuhan, izinkan aku menggantikan posisinya. Aku tak ingin melihat lelaki yang aku sayangi terbaring lemah di sana. Tolong izinkan aku.

Seperti biasa, aku menyempatkan diri setelah pulang sekolah untuk pergi menjenguk Surya di rumah sakit.

“hai Surya baby Doll,, bagaimana kabarmu?”

“sudah merasa lebih baik di bandingkan hari kemarin. Gimana keadaan sekolah kita?”

“baik juga. Cuma… ada sedikit keganjalan.”

“keganjalan apa Ram?”

“karena di sana tak kutemukan senyummu Surya , Gurauanmu , Canda Tawamu , Cablakmu , serta Omongan cadelmu yang biasa memekakkan telinga….”

“ada ada aja kamu Ram,,, hahaha. O iya, kata dokter, besok aku udah di izinin pulang lho. Aku senang banget. Kamu bisa kan jemput aku di sini”.

“apa? Serius?” tanyaku kaget dan senang juga.

“sejak kapan aku bisa bohong sama kamu. Aku serius Rama  Aditya. Hehehhe”.

“gak perlu sebut nama lengkapku Surya Nurodillah,, aku percaya kok”. Senang sekali bisa melihat senyum dan tawamu embun,,, bathinku.

***
Deretan nada telah terbang bersama angin
Membelai lembut bagai tangan tak bertulang
Menjemput ia yang tengah lelap di bawah langit malam
Lelah akan peperangan yang tak pernah usai
Sebuah nyanyian telah usai ia mainkan
Tertunduk ia sejenak tercengang akan sebuah mimpi
terlalu sukar untuk diterima dan diterjemahkan
Deretan nada dan nyanyian tentang keabadian 
 
Waktu terasa cepat berlalu, karena sekarang aku sudah berada tepat di depan pintu kamar Surya. Aku mengetuknya dan…” pagi Surya,,”

“pagi juga Rama,, gimana, kamu dah siapkan antar aku kemanapun aku mau…?”

“siap Pangeran,, aku selalu siap mengantarmu kemanapun engkau mau. Heheheh”

“ok,, sekarang aku pengen ke taman. Tempat kita pertama kali bertemu Ram,, kamu bisa antar aku ke sana kan?”.

“siip, berangkat”.

Taman ini menjadi tempat favorit kami. Sedih, suka, marah akan kami lontarkan di tempat ini. Tempat yang penuh dengan bunga-bunga yang kami tanam dari nol. Ya, taman ini karya kami. Taman yg terletak tepat di belakang gedung sekolah. 1 petak tanah yg tak pernah tersentuh oleh tangan manusia, ntah apa alasan mereka. Tanah yg tandus, bunga yg layu telah kami sulap menjadi taman cinta yang begitu indah, yang di tumbuhi bunga2 kesukaan kami. Sejak Surya di rawat di rumah sakit, aku tak pernah mengunjungi taman ini, walaupun dekat dengan sekolahku.

Kusandingkan bayanganku akan wajahmu bersama sang surya yang mulai merangkak meninggalkan kaki langit
Agar sang surya dapat menyampaikan kepada jagad raya
betapa teduh dan indah rona wajahmu
Oohhh kekasih yang bersanding dengan matahari yang perkasa..
Layaknya sinar mentari yang menyirami jagad raya
sirami juga wajah usang bumiku
bumi usang yang selalu kubawa dan kubanggakan..


“Ram, kenapa semua bunga di sini layu,, apakah tak pernah kamu rawat?”. Tanyanya. Apa yang harus aku jawab,, aku tau, dia pasti marah.

“mereka layu karena tak ada embun dan sang surya  di sini”. jawabku seadanya.

“embun dan surya ? Bukannya tiap pagi selalu ada embun yg membasahinya dan surya yang menghangatkannya?”

“tak ada yg lebih berarti selain embun cinta kita dan hangatnya Surya Nurodillah  bagi tanaman ini, termasuk aku”. Jelasku yg membuat dia terdiam sesaat.

“maksud kamu?”, dia menatapku dalam.

“tak ada,, mereka cuma butuh embun cinta kita berdua dan Surya Nurodillah yg merawatnya, bukan  Sang  Rama . Mereka kesepian, karena sudah 2 minggu tak melihat senyum dan tawamu surya mereka kedinginan karena cahayamu tak ada”.

“ya, aku menyadarinya itu. Sahabat,,, maafin surya ya,,, maaf selama ini surya gak bisa merawat sahabat serutin kemarin. Itu karena kesehatan surya yg semakin berkurang. Dulu surya bisa berdiri sendiri, sekarang surya harus menggunakan tongkat, kursi roda dan bahkan teman. Teman seperti Rama, yg bisa memapah Surya. Thanks y Rama..”

“eh,, ii iya, iya Surya, sama sama.”

Sudah seharian kami di sini,, tanpa di sadari Surya terlelap di pangkuanku. Menetes airmataku ketika melihat semua perubahan fisik yg terjadi padanya. Wajahnya yg pucat, tubuhnya yg semakin kurus, dan rambutnya yg semakin menipis, membuat aku kasihan. Kenapa harusSurya yg mengalaminya? Tapi aku juga salut, tak pernah ada airmata di wajahnya. Dia sangat menghargai cobaan yg diberikan Tuhan kepadanya, dia selalu tersenyum, walaupun sebenarnya aku tau, ada kesedihan dibalik senyum itu.

“Rama…” desahnya

“ia Surya. Kamu dah bangun ya? Kita pulang sekarang yuk,,, “ ajakku ketika dia sadar dari mimpinya.

“aku mau di sini terus Ra,, kamu mau kan nemenin aku. Aku mau menunggu embun datang membasahi tubuhku dan surya akan hangatkan aku. Sudah lama sekali aku tak merasakannya”.

“tapi angin malam gak baik buat kesehatan kamu”.

“aku tau, tapi untuk terakhir kali nya Ram,,, pliss…”.

“maksud kamu apa? Aku gak mau dengar kalimat itu lagi”.

“gak ada maksud apa-apa,,, kita gak tau takdir kan. Dah ah,, kalo kamu gak mau nemenin aku, gak apa-apa. Aku bisa sendiri”.

“gak mungkin aku gak nemenin kamu Surya ,, percayalah… aku akan selalu ada untukmu”.

“ gitu dong,, itu baru sahabat aku.” Ucapnya sambil melihat bunga-bunga di sekelilingnya.

“Surya…”

“ya,,,”

“kamu suka dengan embun dan Cahaya Surya?”

“sangat. Aku sangat menyukainya. Embun itu bening, sangat bening. Dan bening itu menyimpan sejuta kesucian. Aku ingin seperti embun, bening dan suci dan surya akan menambah kebeningan sang embun membiaskan semua perasaan sang embun . Menurutmu bagaimana?”

“aku juga suka embun tapi aku lebih mencintai surya. Mencintai surya sejak mengenal embun”.

“Surya , kamu tau… aku ingin persahabtan kita seperti embun dan surya. Embun yang bisa hadir dan memberi suasana beda di pagi hari. Embun yg selalu di sambut kedatangannya oleh tumbuhan dan surya yang akan selalu menerangi dan menghangatkan suasana”.

“kamu sudah menjadi embun yg kamu inginkan sekaligus surya yang menghangatkan hatiku.”

“maksudmu?”

“tak ada”.

Aku sengaja merahasiakan perasaanku terhadapnya. Karena aku tau, tak ada kata “ya” saat aku menyatakan perasaanku nanti. dia tak mau pacaran, dan dia benci seorang kekasih, ntah apa alasannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Embun pun terlelap kelelahan di sampingku.

“surya,,,, surya,,,,,, bangun surya,, sekarang sudah pagi. Katanya mau melihat embun dan sang surya, ayo bangun” bujukku,, tapi tak kudengarkan sahutan darinya.

“ayolah surya, bangun. Jangan terlelap terlalu lama…” aku mulai resah, apa yg terjadi. Kurasakan dingin tubuhnya, tapi aku menepis fikiran negatif ku. Mungkin saja dingin ini berasal dari embun pagi.

“surya sayang,, ayo bangun. Jangan buat aku khawatir”. Lagi lagi tak kudengarkan sahutannya. Tubuhnya pucat, dingin, kaku,,. Aku mencoba membawanya kerumah sakit dengan usahaku sendiri. Dan,,, “ kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. surya sudah menghadap sang pencipta” itulah kata-kata dokter yg memeriksa surya yg membuat aku bagai tersambar petir. Aku lemah, jatuh, dan merasa bersalah. Kalau tak karena aku yang mengajaknya ke taman, mungkin tak kan seperti ini. Ya Tuhan, kenapa ini terjadi… aku tak sanggup.

***

Beberapa bulan kemudian….
Aku temui surat berwarna biru dan ada gambar embun di surat itu.

Teruntuk Rama Aditya
Embun…
Titik titik air bening yg jatuh dari langit
Dan membasahi kelopak bunga yg aku sukai.
          surya
          cahaya kilatan sang khaliq
          menyimpan kehangatan semesta menyalurkan berjuta imaji
Aku ingin seperti embun, yg bisa hadir di hati orang
Yg menyayanginya. Tapi aku tak menemui siapa orang itu???
           aku juga ingin seperti surya
           yang bisa hangatkan keadaan membawa kebahagiaan


Ram … makasih ya, dalam waktu terakhirku, kamu bisa menjadi embun di hatiku. Dan tak kan pernah aku lupakan itu. Ram,, maaf kalau sebenarnya aku suka sama kamu aku ingin kamu aku surya yang hangatkan hatimu . Aku sengaja tak mengungkapkannya, karena aku tau.. sahabat lebih berharga di banding kekasih.

O ia Ram,,, tolong rawat taman kita ya,, aku gak mau dia layu karena tak ada yg memperhatikannya lagi. Karena taman itu adalah tempat pertemuan kita pertama dan terakhir kalinya.
sekali lagi,, makasih dah jadi embun selama aku hidup dan tolong,, jadiin aku embun di hatimu ….

salam manis… Surya Nurodillah

“Surya,,,kamu tau, pertama aku kenal kamu, kamu telah menjadi surya dihidupku, yang menghangatkan hatiku. Dan kamu adalah butiran bening yang selalu buat aku tersenyum, seperti embun yang selalu buatmu tersenyum.

Taman ini, bukan aku yg akan merawatnya, tapi kita. Dan taman ini tak akan pernah mati, karena kamu selalu ada di sini, di sini rumah mu.” Kalimat terakhirku ketika meletakkan setangkai bunga mawar yg aku ambil dari taman di atas pusaranya. Pusara yg terletak di tengah-tengah taman surya. Dan kunamai taman itu dengan nama Surya. Surya .. yang tak kan pernah mati…yang selalu menunggu embun .

            ada suara lembut memecah keheningan
            seperti mengajak untuk terbang ke sana
            meninggalkan kepekatan yang menyelimuti
            ada untaian nada-nada nan indah
            membangunkan dari sihir dunia fana
            meninggalkan kepekatan yang menyelimuti
            ada seberkas cahaya menerobos celah hati
            seperti ingin menuntun setiap langkah kaki
            meninggalkan kepekatan yang menyelimuti
                                             surya ..... 












The End
Read More

kicauan sang Rama II

Dirgantara putra 15.18 |

Bunga dan Derita
 
by : M andrean Ramadanish
           
Mungkin cinta ini membutakan egoku . aku Surya attalah fadillah biasa dipanggil surya tapi bunda memanggilku dengan sebutan "Tata" . aku menyadari kalau aku berbeda dengan anak remaja lainnya yang bisa mencintai wanita yang cantik . ya ..aku Gay ...aku tak tahu kenapa aku jadi gay mungkin ini sudah takdir dari Tuhan buatku untuk mengagumi lelaki bukannya perempuan.

Aku masih terpaku pada deretan bunga sepatu di hadapanku. Bunga yang telah terkatup layu seiring dengan telah lamanya aku menanti seorang pria yang mengajakku kencan di taman ini. Tiga puluh menit dari jadwal janjian, terasa tak jadi masalah saat dari kejauhan terdengar seseorang memanggilku. Namun saat kupalingkan wajahku, aku kecewa bukan main ternyata hanya kegaduhan orang-orang disebrang jalan.

Kembali aku fokuskan perhatianku pada rangkaian bunga dihadapanku. Sesekali kulirik wajahku pada kaca spion sepeda di parkiran. Aku harus memastikan saat Dannis datang aku bisa terlihat lebih Ganteng. Soalnya dia adalah laki-laki pertama yang aku persilahkan untuk mengajak diriku berkencan, ya walau hanya di taman kota saja. Dannis adalah teman sekelasku yang dua tahun terakhir ini aku idam-idamkan tembakannya. Padahal sebelumnya waktu menginjak kelas satu SMA aku sangat tidak akur dengan cowok tengil itu.

Tapi karena suatu moment saat aku cidera diperlombaan basket antar sekolah, dia dengan gagahnya membopong tubuhku. Dari kejadian itulah aku mulai mengalihkan fikiran jelekku kepadanya. Dari yang tadinya evil yang paling dihindari, kini jadi sosok pangeran penolong yang dinantikan kehadirannya.

Jarum jam telah menunjuk angka sembilan.

“Oh Dannis, setega itukah kamu? udah dua jam Nis hikss…..,” aku tejatuh dalam tangis. Anganku telah hancur lebur karena sebuah janji yang tidak ditepati.

Padahal masih hangat di memoriku, tadi siang saat jam istirahat aku mendapati sepucuk surat beramplop merah jambu terselip di mejaku.



Hi  Surya…..

Malam ini aku haraf kita bisa ketemu….
Ada beberapa hal yang perlu aku sampein ke loe Surya….
Gw.. Eh aku ssssstunggu kamu jam tujuh di taman kota yaa….

-Dannis-

Ku ulang kembali hingga tiga kali, aku baca dengan super apik, terutama dibagian pengirim.

“Oh Tuhan, Dannis?” suasana bahagia bercampur haru menyelimuti hatiku.

Nuansa kelas menjadi indah dipenuhi bunga warna-warni. Hingga seseorang menepuk pundakku. Dan suasana kembali berubah menjadi kelas dua belas saat jam istirahat. Sepi, dan terkapar tak berdaya buku-buku yang dilempar majikannya.

“Surya….”

“Ehhh….. Ghufron, kenapa Fron?
“Loe yang kenapa? Dari tadi Gw intip dari jendela Loe senyum-senyum sendiri….”

Aku disuguhi pertanyaan yang membuat aku kikuk sendiri. Aku tidak bisa membayangkan seberapa merah wajahkun saat itu. Yang pasti saat itu aku benar-benar tertunduk.

“Eng….ngak ko Fron, aku gak kenapa-napa”, sahutku gugup.

“Ya udah Gw mau ke kantin aja, mau ikut gak Sur?”

“Oh gak, maksih aku gak laper.”

Aku segera membalikkan tubuhku, memburu kursi dipojokan kelas. Namun baru beberapa langkah, hartaku yang paling berharga disabet oleh orang dibelakangku.

“ehhhh..”

“Haaa… ternyata ini toh yang bikin Loe jadi gak laper? Hahhahah…”

“FRon kembaliin!” ku rebut kembali kertas berharga itu.

“Yah Loe ini  Surya , sekalipun Gw gak baca tapi Gw udah tahu isinya apaan.”

“So tahu kamu!”

“Ya Gw tahu, itu surat dari Dannis kan? Dia ngajak kencan? Soalnya nanti malam dia mau……” omongan Gufron  tertahan dengan kedatangan seseorang yang dari tadi dibicarakan.

“Dannis…..” sahut ku dan Ghufron kaget.

“Aduh hampir saja” bisik Ghufron pelan.

“Kenpa FRon?” tanyaku penasaran.

“Ohh enggak! Gw kayaknya ngedadak gak mau kekantin deh!”

“Lantas loe mau kemana Fron?” tanyaku semakin heran.

“Ke WC ya Fron? ya udah sana!” tangkas Dannis plus kedipan kecil dimata kirinya.

“Oh ya bener, hhehhe”

Ghufron telah berlalu, sekarang tinggal aku dan Dannis.

“Gimana?” Tanya Dannis.

“Gimana apanya Nis?”

“Tuu…” tunjuknya ke arah kertas dijemariku.

“Oh oke deh aku mau”

“Ya udah Gw cabut dulu ya!” sahutnya salah tingkah.

“Oh ya…” aku tak kalah salting.

Perlahan Dannis meninggalkan kelas, namun sebelum dia benar-benar pergi dia memanggilku.

“Hmmm…. surya ,  jangan ampe telat ya!”

“Ok sipp!”

“Awas loh”
,
“Iya bawel”
***

Dengan berurai air mata dan kecewa, aku putuskan untuk pulang kerumah. Sesampainya dirumah aku semakin kacau dengan disuguhi omelan Bunda, yang malah bikin hatiku semakin hancur saja. Beribu pertanyaan Bunda menghujani aku.

“Dari tadi kamu kemana saja?”

Aku hanya terdiam kaku tanpa menjawab pertanyaan Bunda.

“Jawab!” kali ini nada suara Bunda meninggi,

”Kamu tahu? kamu sudah ga ikut Bimbel kagak ikut Ngaji rutinan !” sambung Bunda.

Aku masih tak memberikan respon apa-apa.

Plakkk

Sebuah tamparan menggores pipiku, “Oh Tuhan sakit sekali” bisikku dalam hati.

“Bunda jahat tampar ayo tampar lagi apa ini yang bunda mau!” aku segera masuk kekamar, kubanting pintu itu tanpa mempedulikan perasaan bunda.

Malam ini sungguh menjadi malam yang paling berat untukku. Ini adalah kali pertama Bunda menampar dan memarahiku. Belum lagi dengan perasaanku yang masih kecewa karena kencan pertamaku gagal, karena Dannis tak hadir diundangannya sendiri.

“Oh Tuhan, semalang itukah nasib ku?”

Aku kembali terhanyut dalam tangis, hingga akhirnya aku tertidur pulas.
***

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk pergi kesekolah. pikirku sudah matang, sesampainya disekolah akan ku beri tamparan mereka berdua.

“Ghufron sama Dannis itu dari mulai sekarang bukan temanku lagi, teman macam apa mereka? Berani ngerjain aku ampe separah itu!” gerutuku kesal

Kakiku masih mengayuh, menyusuri pinggiran jalan kota yang ramai. Namun saat aku melewati Taman Kota kakiku serasa tertahan, aku mengingat peristiwa tadi malam.

“Cuihh….. aku bakalan balas semua rasa sakitku tadi malam!” aku kembali bergerutu kesal.

Aku samakin kesal saat aku menyadari banyak kelopak bunga mawar berantakan diruas jalan.

“Apa-apaan nih, mereka kira aku lagi jatuh cinta apa?” dunia pun seakan menertawakan rasa sakitku dengan menabur bunga di jalanan yang aku lewati ini.

Aku berlari kencang meninggalkan keanehan yang membuat aku semakin gila. Tak membutuhkan waktu yang lama aku telah sampai disekolah.

Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari dua orang biadab itu. Tiga puluh menit telah berlalu, aku sudah mengubek-ubek isi sekolah tapi hasilnya nihil, keduanya hilang bak ditelan bayang. Hingga bell masuk pun tiba, tapi keduanya tak kunjung masuk kelas. Sampai pelajaran dimulai, baru sepuluh menit seseorang mengetuk pintu kelas. Aku terperajat kaget “Aku harap itu Dannis atau Ghufron”. Tapi ternyata bukan, dia adalah Bu Jen, wali kelas kami.

“Pagi anak-anak”

“Pagi Bu……” jawab murid hamper serempak.

“Pagi ini ibu dengan berat hati akan mengabarkan kabar duka kepada kalian”. Semua anak kelas dua belas terlihat tenang mendengar penjelasan Bu Jen.

“Salah satu teman kita, Dannis. Semalam mendapat musibah, dia mengalami kecelakaan yang cukup parah, hingga nyawanya tidak dapat tertolong”. Suara Bu Jen semakin melemah.

Suasana berubah menjadi pilu, tangisan mulai tumpah ruah dimana-mana. Aku sendiri terpasung dalam diam, jantungku berdegup dalam kisah sedih yang tak tertahankan.

“Dannissssss!!!!!”

Aku berteriak kencang dalam hati , aku berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya aku telah bertepi di ruas jalan di dekat Taman, dimana aspal dipenuhi kelopak bunga yang telah layu diinjak pengguna jalan.

“Oh Tuhan ternyata kelopak bunga ini dipenuhi cipratan darah”

Diri ini semakin berguncang hebat, saat aku temui secarik kertas.


Dear……
Surya (Calon Kekasihku)
From : Dannis

Kertas kotor bernoda darah itu aku peluk sekuat-kuatnya.

“Dannis…..Hiks” kepala ini semakin tak tertahan,hati ini remuk mataku sekan tak terbendyung lagi . tam ku pedulikan semua orang melihatku . bertanya tanya ada apa denganku .
langkah ini terhuyung huyung tak terasa sudah di depan rumah tapi seakan tak kuasa menahan beban dan rasa capek yang teramat aku pingsan di depan rumah .

***

Mata ini pelan-pelan mulai menatap jelas orang-orang disekelilingku. Ku lihat dengan pasti wajah Bunda dan Ghufron penuh dengan kehawatir dan penasaran.

“Surya kayaknya udah sadar Tant”

“Iya”

“Aku kenapa Bund?” tanyaku dengan nada berat.

Bunda dan Via menatapku pilu. Aku mulai mengingat deretan kejadian sebelum aku terkapar dalam tempat tidur ini,

“Dann….” Ucapanku terhenti karena sentuhan telunjuk Bunda di bibirku. Bunda menganggukkan kepalanya petanda mengiyakan setiap halus ucapanku,

“Iya, kamu yang sabar ya nak bunda buatkan Teh hangat ya ...”

Lagi-lagi aku terpaku dalam diam, hanya linangan air mata yang mengalir deras dipipiku.
Via memeluku erat,

“Maafin Gw ya Surya, Hiks… Gw tahu, Gw gx mampu jaga Dannis buat Loe.”

“Hiks…… Dannis”
***

Satu minggu sudah aku mengurung diri dikamar, tanpa bicara dan tak ingin brtemu siapa-siapa.

Tukk tukkkk…..

Seseorang mengetuk pintu kamarku

“Surya  , nih ada Nak Ghufron pengen ketemu kamu.”

“Pergi Kamu!!” bentakku kasar, dan lemparan bantal tepat mendarat diwajah Ghufron saat Bunda membuka pintu kamarku.

“Surya ini Gw sahabat Lu, Ghufron”

aku membuka pintu itu dan tak hiraukan ghufron aku lari ke taman kota aku ingin lihat tempat Dannish terakhir kalinya bernafas .
"Surya , kamu mau kemana ?"teriak bunda
"udah tante biar aku yang kejar surya , tante tenang saja . aku akan bawa surya pulang " cegah Ghufron
"makasih ya nak "




akhirnya ghufron menyusul Surya ke Taman kota . ghufron mencari ke semua sudut taman kota dia yakin kalau surya pasti ke tempat ini . akhirnya ghufron mendapati surya di bawa bunga sepatu di taman kota .

“Pergi kamu!!! Kamu yang udah bikin Dannis meninggal!!!”

“Ya Gw surya, Gw yang udah nagsih buku Diary loe itu ke Dannis, yang membuat Dannis sadar tentang semua perasaan Loe ke dia. Tapi asal Loe tahu Diary Loe itu juga yang bikin Dannis sadar kalo cintanya gak bertepuk sebelah tangan!”

“Jadi Dannis……..” ucapanku terhenti, perlahan aku mendekati wajah Ghufron yang basah karena air mata, “Bohong!” bentakku bringas.

“Gak Surya!”

“Alah itu akal-akalan kamu aja, biar aku enggak ngerasa terhianati” sahutku sinis.

“Gak Surya , Loe gak sadar waktu malam itu Dannis terlambat tiga puluh menit, dia terus manggin-manggil Loe, tapi Loe gak denger,” ucapannya terhenti, sesaat Ghufron mengambil nafas panjang “Loe malah sibuk sama riasan Loe itu, sampai akhirnya dia tertabrak karena lari kearah Loe!”

“Bohong!”

“Tidak! Gw liat dngan mata kepala Gw sendiri, Gw yang anter Dannis ke Taman karena dia kelamaan milih bunga di toko bunga nyokap Gw.”

“Dannis….Jadi”

“Jadi gak ada yang terhianati disini, Dannis bener-bener cinta sama Loe Surya ! Please  Loe jalani hidup Loe lagi, buat Dannis Surya!”

“Hiks…….”

Aku menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan menjadi tangisan terakhirku. Karena aku telah berjanji untuk menjalani kehidupan ini dengan sebaik mungkin. Karena aku mencintai Dannis, laki-laki yang mencintai aku.

***
The End




Read More

coretan Sang Virgo

Dirgantara putra 14.44 |

Izinkan Aku Hidup 
 
Oleh: M Andrean Ramadanish

“Ivan…bangun!!!”

Berat sekali rasanya membuka mata dihari libur seperti ini. Pelan-pelan Aku coba membuka mata mencari suara yang tega-teganya menggangguku sepagi ini. Kulihat Bunda sudah berpakaian rapi berdiri didepanku. Belum sepenuhnya nyawaku terkumpul langsung saja Aku melompat dari tempat tidurku menuju kamar mandi. Wah bodohnya Aku melupakan keberangkatanku hari ini. Untungnya tadi malam semua keperluanku sudah Bunda siapkan. Jadi Aku tinggal berangkat.

“Tasmu sudah didalam mobil, cepat berangkat.”

“Bunda ga nganter?” tanyaku.

“Ngga, bunda ga mau nanti ga bisa nahan air mata bunda sayang , ga papa kan ?.”

“Wah, Bunda….sesayang itukah Bunda  padaku,” canda manjaku sambil berjalan menghampiri kemudian memeluknya.

Matanya berbinar saatku memeluknya. Ada rasa ketidak tegaan dihatiku meninggalkan BUnda sendirian. Sekali lagi Aku memeluknya erat, binar dimatanya kini menjadi air yang menetes dipipi. Wajar kalo Bunda menangis seperti itu karna terhitung dari hari ini sampai 2 tahun kedepan kami tidak akan bertemu.

“Cepat berangkat, nanti Ivan ketinggalan pesawat!!!”

“Hati-hati, jaga diri Kamu baik-baik, jangan bandel, Ivan harus konsentrasi belajar ga boleh pacaran, disana harus nurut sama Om kamu Inget kamu di Negeri Orang jangan macam macam jaga perilaku . Anak Bunda harus jaga Martabat Bunda Sayang .” lanjut Bunda menasehatiku.
***

Sekarang Aku berada dibenua eropa untuk melanjutkan studi. Masih ada waktu 2 tahun lamanya agar bisa lulus dan kembali ke Indonesia. Oh iya, disini Aku belajar bukan sebagai seorang mahasiswa tapi hanya seorang siswa.

Hari-hari berlalu seperti biasa, rutinitasku disini tidak ada yang mengesankan. Ingin sekali rasanya Aku buru-buru pergi dari keasingan ini terdampar di benua yang asing meski kebahagiaan itu Random tapi apa ini jalan yang harus aku jalani untuk dapatkannya . Pernah ada niatan berontak ke Bunda tapi Aku juga ga tega melihat Bunda kecewa. Bunda sangat berharap agar Aku berprestasi disini menorehkan tinta emas dalam tiap tindakanku membuant bangga orang tua dan Negara. Percuma rasanya Aku bebas kalo Bunda jadi kecewa.

Lambat sekali waktu berputar, ruang gerakku semakin hari semakin sempit. Kalau bukan buku pasti laptop yang jadi temanku. Hanya itu yang mengisi hari-hariku. Oh Tuhan, Aku berpikir kalo saat ini Aku sedang diuji.Kpan berhenti semua ujian ini . kesendirian selalu menghantui apa ini rasanya tak punya teman ?

Seperti biasanya hampir setiap pagi Aku berlari mengejar bis sekolah. Dan pagi ini adalah kesialan yang teramat sangat yang terjadi padaku, bis sekolah benar-benar penuh. Mungkin karena siswa baru. Susah rasanya bernafas ditengah himpitan orang-orang besar di sekelilingku. Baru beberapa menit menikmati perjalanan bisnya kembali berhenti. Ya ampun, semerana inikah hidupku, gumamku.

Bis sekolah kembali melanjutkan perjalanan, samar-samar aku melihat cowok muda  yang baru naik tadi desak-desakkan mencari tempat duduk. Anak itu pasti siswa baru pikirku. Sebenarnya Aku sudah berniat untuk tidak menghiraukannya, na’asnya Aku, cowok  itu berjalan menuju ke arahku dan, iya! Dia berdiri tepat di hadapanku. mata ini sebenarnya enggan untuk tak menatap mata itu mata indah yang tak pernah aku lihat , oh shit napa aku jadi memperhatikan cowok ini 'batinku . Ya aku Gay sejak SMP rasa ini selalu aku tepis karena aku tak mau BUnda sedih melihat anak satu satunya tak bisa mencintai perempuan . tanpa sadar mulut ini nerocos tak terkendali dan aku berdiri . Dan membiarkan Dia menduduki tempatku. “Hi…sit here,” ucapku sambil berdiri.

“Makasih.”

“Kamu dari Indonesia?”

“Iya.” sahutnya menatapku.

Spontan Aku mencubit pipinya dan berteriak kesenangan sehingga semua orang melihatku. Tatapan mereka seperti sedang mengintrogasiku. Aku hanya tertunduk malu. Dan Aku meminta maaf pada penumpang bis lainnya, sepertinya teriakanku mengagetkan mereka.

“Maaf ya…. disini Aku bener-bener ga punya teman jadi pas ketemu Kamu rasanya kaya lagi menang undian yang berhadiah mobil. Ga kebayang senengnya,” gurauku pada cowok Blasteran dari Indonesia itu.

Dia tertawa mendengar gurauku.

“Kamu siswa baru?” lanjutku.

“No…no… no… Aku sudah satu tahun disini.” sahutnya sambil tertawa.

“Oh jadi ceritanya Kita satu angkatan nih,”

Cowok manis  itu menganggukkan kepalanya. Sepertinya Aku jatuh cinta pada pandangan yang benar-benar pertama dalam hidupku.Matanya senyumnya indah sekali . apa ini jawaban dari penantianku ?

Semenjak pertemuan itu ada harapan-harapan baru yang mulai kumunculkan dalam hidupku. Sekarang impianku bukan hanya ingin membahagiakan Bunda saja tapi juga Aku ingin membahagiakan diriku sendiri.

“Ivan….”

Aku menghentikan langkahku. Kepalaku celingak celinguk mencari sumber suara yang serak-serak parau memanggilku.

“Ivan…”

Suara itu semakin dekat ditelingaku. 1 tahun sudah lewat. Baru hari ini Aku mendengar seseorang di sekolah memanggil namaku.

Tiba-tiba cowok itu menepuk pundakku. “Yeeee, ketemu Kamu lagi,” ujarnya cengengesan.

“Kok kamu tau namaku? Tau dari mana?” tanyaku penasaran.

“Kemaren Aku cerita-cerita sama Kevin tentang pertemuan kita dibis eh tau-tau Dia kenal sama Kamu padahal Aku cuman ngasih tau ciri-ciri Kamu doang ke Kevin.”

“Yang Kamu maksud Kevin Bagas? Kayanya Dia temen SMPku.” tanyaku sambil meraba-raba ingatan.

“Iya. Oh Kalian teman lama ya. Ya, ya, ya…” ujarnya padaku.

“Aku David.” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.

“David…. David … nama yang bagus kayak nama pemain sepak bola kesukaan Bundaku.”

“Oh iya, apa Kevin satu kelas denganmu , kok kalian bisa kenal?” lanjutku menanyakan kedekatan Kevin dan Thesa.

“Sama sepertimu, Dia juga temanku dari SMP, cuman kita beda SMP.”

“Bagus banget, untung kalian ga pacaran.” gumamku.

“Apa? Kamu ngomong apa barusan?” tanyanya penasaran.

“Ngga, Aku ngga ngomong apa-apa.”

“Tau ah Van! Jelas-jelas tadi Kamu ngomong.”

Setelah David datang dalam hidupku. Sepertinya waktu tidak berjalan selambat kemaren. Sekarang malah Aku mau protes sama waktu yang jalannya kecepetan. Rasanya Aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Nyaman sekali disini setelah ada Thesa.

***1 tahun kemudian***

Semakin kedepan semakin jelas terlihat cinta segitiga diantara Kami. Aku harus rela berbagi cinta dengan Kevin. Sebenarnya Kami menyadari bahwa ada cinta segitiga, tapi masing-masing dari Kami tidak ada yang mau mengalah apalagi sampai menyerah untuk mendapatkan David . aku tahu david sama sepertiku tapi dia ngaku ke aku kalau dia bisex karena dia pernah jadian ma ketuan osis di sekolahku sekaligus dia pacaran dengan sahabat perempuanku di SMP . dia terkenal sering gonta ganti pacar .

Seharusnya Aku lebih realistis melihat keadaan seperti ini. Dibandingkan denganku Kevin sangat lebih pantas untuk David. Tapi, kukatakan ‘tidak’ meskipun Aku dipaksa menyerah untuk meDavid. Aku tidak akan menyerah, tidak akan.

Banyak hal yang sudah terlewatkanku bersama David. Walaupun bersamanya sangat menyakitkan tapi Aku rela menahan sakit itu agar bisa terus ada disisinya. Ini tahun terakhir Kami disini. Semoga setelah lulus, David juga pulang ke Indonesia dan melanjutkan studinya diperguruan tinggi yang ada di Indonesia agar Aku bisa bersamanya lagi. Walaupun tidak, Aku akan menunggunya sampai dia kembali ke Indonesia.

Aku selalu merasa iri pada Kevin yang lebih banyak waktu bersama David. Terakhir kali Aku memegang tangan david pada saat Kami berlibur kepantai. Kalo si Kevin setiap hari juga bisa memegang tangan david.Apalagi apartemen Kevin ma David satu gedung cuma beda lantai . Semakin jauh saja peluangku dapatkan David.

Malam ini Kami bertiga janjian makan malam bareng. David tampil sangat Tampan tak pernah ku lihat kesempurnaan seorang cowok meski aku dan kevin tak kalah ganteng dengan David tapi kali ini kayaknya kita berdua harus mengakui David begitu tampan, Dia datang sendirian kerumahku. Kemudian disusul dengan kedatangan Kevin.

Tempatnya sangat indah. Pepohonan ditempat ini benar-benar membuatku nyaman. Apalagi sambil melihat cowok pujaanku.

Malam ini Aku merasa sedikit lega karna si Kevin mendadak pulang lebih awal. Katanya dipanggil Omanya. Beruntungnya Aku. Seandainya Kevin tidak pulang bisa-bisa Aku mati duduk menahan rasa cemburu melihat mereka ngobrol berdua.jadi Obat nyamuk.

Belum sempat pramusaji menghidangkan makanan. Mendadak nafasku berhenti, pandanganku buram, dadaku nyut nyutan seperti ada yang menahan pompa jantungku. Aku berusaha tenang agar tidak merusak momen terbaikku bersama David. Tapi Aku tak tahan, kucoba menahan sakit didadaku itu dengan tangan kiriku, tapi sakitnya tidak berhenti. Penglihatanku semakin redup hampir-hampir Aku tidak bisa melihat David. Sakitnya semakin menggila. Aku mendengar suara David samar-samar memanggil namaku.

Akhirnya Aku menyerah dari sakit itu. Penglihatanku benar-benar menghilang, Aku tidak bisa melihat apa-apa. Sekarang tubuhku terasa ringan. Pelan-pelan kubuka mataku. Yang kulihat hanya ada kain putih yang mengelilingiku. Apakah ini yang namanya surga? Gumamku.

Aku tidak bisa berpikir banyak, kembali kupejamkan mataku. Aku merasa seperti sedang terbang tinggi saat ini. Rasanya Aku terbang menorobos awan yang bergumpal. Aku benar-benar diketinggian yang sejengkal lagi akan menerobos langit. Tapi Aku berhenti. Aku berhenti digumpalan awan, disana Aku melihat seseorang yang wajahnya sama sekali tidak tampak jelas. Tapi entah mengapa mendengar suaranya membuatku merasa damai, membuatku ingin menggapainya. Suara itu membuatku berhenti. Suara itu memanggil manggil namaku berulang kali. Kemudian Dia menghilang. Tak lama, Aku terbangun dari mimpiku dan saat Aku terbangun. Ternyata Bunda orang pertama yang kulihat.

“Bun…Bun-da.” sapaku kelu.

Belum sempat Aku bangkit dari tempat tidurku. Bunda memelukku erat, tubuhku terhempas lagi pada tempat tidurku. Lagi-lagi Aku membuat Bunda menangis. Hancur hatiku melihat Bunda menangis terisak seperti itu. Ingin sekali rasanya Aku menghajar diriku sendiri yang bisanya hanya merepotkan Bunda. BUnda terus saja memelukku erat, sesekali mencium keningku. Bunda tidak berkata apapun. Tidak juga memarahiku seperti biasanya. Airmataku pelan-pelan jatuh kepipi. Ada apa dengan Bunda? Tanyaku dalam hati. Berhenti rasanya jantungku melihat Bunda seperti itu. Kutarik kedua tangannya. Kucium telapak tangannya. Aku katakan padanya Aku sangat menyayanginya, Aku katakan lagi padanya, Aku tidak akan meninggalkannya.

Kemudian Bunda mengusap airmatanya. Pelan-pelan Bunda mengangkat kepalanya dan menatapku syahdu. “Maafkan Bunda Van.”

Mamah kembali menangis menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ada hal yang membuatnya cemas. Semakin penuh otakku dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Bunda kenapa?” tanyaku pelan.

“Inilah alasan Bunda menyekolahkan Kamu disini. Bunda tidak bisa menjagamu sendirian. Bunda juga tidak bisa melindungimu sendirian. Bunda tidak sanggup melihatmu menjerit kesakitan. Bunda tidak sanggup melihat anak kesayangan Bunda terluka,” ujarnya sambil menangis terisak.

“Maksud Bunda?”

“Maafkan Bunda…. Bunda sudah menyembunyikan hal ini kepadamu.”

“Katakan Bun! Ada apa denganku?” Aku merasa panik mendengar omongan Bunda.

“Ivan sedang mengalami penyumbatan pada jantung. Om Frans bilang ke Bunda kalo Ivan mengalami Jantung koroner pada level yang rendah. Masih ada kesempatan untuk sembuh makanya buru-buru Bunda sekolahkan Kamu disini. Biar Om Frans gampang ngobatin Ivan. Ivan yang sabar ya Bunda pasti akan melakukan apapun supaya Kamu sehat lagi. Ivan jangan khawatir.”

“Tapi kenapa ini sakit sekali Bun?”

“Sekarang penyakitmu itu berada pada level yang parah, tapi Ivan jangan takut Bunda sama Om Frans pasti akan membuat Ivan sehat lagi. Jangan khawatir Bunda selalu ada untuk Ivan.”

Bergetar hatiku rasanya mendengar ini. Tak sanggup rasanya Aku berpisah dari bunda. Tak ingin rasanya Aku meninggalkan Bunda sendirian. Saat ini kurasa bumi seperti sedang berhenti berputar, manakala bunda bilang penyakitku sudah pada level yang parah. Kenapa tidak langsung diambil saja nyawaku. Toh kalo sakit ini datang lagi rasanya Aku seperti sudah mati. Sakit sekali jantungku.
***

Akhirnya Aku menyelesaikan sekolahku dengan hasil yang memuaskan. Walaupun tidak berada pada posisi 1 sampai 10. Sudah lulus saja Aku sangat merasa puas. Nilaiku juga tidak begitu jelek. Selagi Bunda tidak protes itu artinya Aku sudah melaksanakan tugas dengan baik.

Akhirnya, Aku bisa kembali lagi ke Indonesia. Momen inilah yang Aku damba-dambakan 2 tahun belakangan ini.

Setelah perpisahan sekolah sampai sekarang Aku tidak pernah lagi bertemu dengan cowok pujaanku itu. Juga dengan si Kevin. Ya sudahlah sepertinya Aku harus berhenti menunggu David. Toh percuma juga menunggunya, kalopun akhirnya Dia datang pastilah Kevin sudah menjadi kekasihnya.
***

“Ivan…..bangun!!!”

Malas sekali rasanya membuka mata sepagi ini. Suara itu mengganggu sekali. Mau tidak mau Aku mencoba membuka mataku yang seperti sedang digantungi besi, berat sekali. Pelan-pelan mataku terbuka. Kupikir Bunda yang membangunkanku. Tapi kok tumben suara Bunda kayak gini kayak aku kenal suara ini , suara lembut ini , gumamku dalam hati. Tak percaya dengan yang kulihat. Kukucek kedua mataku dengan tangan. Benar saja, yang membangunkanku pagi ini adalah David. cowok  pujaanku. Aku langsung bangkit dari tempat tidur lalu mencubit pipinya seperti yang kulakukan dibis waktu pertama kali kami bertemu. David tertawa melihat kelakuanku yang kekanak-kanakan ini. Tapi Aku tidak peduli. Aku benar-benar rindu padanya.

“Kenapa Kamu menghilang sih Van! Disana Aku mencarimu. Nomer telponmu sudah ga aktif. Sengaja ya biar Aku khawatir.” tanyanya sinis padaku.

“Apa? Ulangin kata terakhir yang Kamu ucapin tadi. Please Aku mau dengar lagi.” Pintaku melas.

“Aku khawatir.” Jawabnya ketus.

“Akhirnya…. Ada juga orang lain selain Bunda yang mengkhwatirkanku. Kamu orang pertama yang mengkhawatirkanku. Makasih ya…..” ujarku sambil tersenyum.

“Oh iya… Kevin mana?”

“Entahlah.” Sahutnya.
***

Nanti malam David mengajakku makan malam bareng, katanya sih mau mengganti makan malam yang gagal dulu. Semoga kali ini penyakitku tidak kambuh lagi.

Malam hari tiba. Telapak tangan dan kakiku berkeringatan entah mengapa bisa seperti itu. Sepertinya Aku grogi menghadapi David. Aku melihat disekelilingku orang-orang tampak biasa saja dengan pasangannya. Aku harus seperti mereka, gumamku menyemangati diri sendiri.

“Ivan.” Suara Thesa tepat dibelakangku.

Aku menoleh kearah David. Wow, mataku tidak ingin melihat kelain selain ke cowok pujaanku itu. Malam ini penampilannya perfect.

Makan malampun dimulai. Sesekali Kami saling curi-curi pandang. Kaku sekali.

“Ivan….”

“Iya.” Sahutku dengan tertunduk malu.

“Aku baru tau kalo Kamu orangnya pemalu kaya gini…. Lucu.” ejeknya.

“Ini kali pertama dalam hidupku makan malam se-formal ini  selain nemenin Bunda ma kolega bisnisnya. Jadi……” sahutku bingung mau bicara apa padanya.

“Jadi apa?”

“Ngga…. Ngga jadi apa-apa.”

Kekakuan inilah yang membuat Kami jadi banyak tertawa hingga akhirnya suasana menjadi nyaman dengan candaan-candaan.

“Ivan…” panggilnya dengan nada serius.

Aku kaget sekali mendengar suara yang terdengar arogan tersebut.

“Iya.” Sahutku ragu.

Mendadak suasana menjadi hening. “Aku suka sama Kamu, sejak Aku bertemu denganmu di bis sekolah,” tuturnya menatap tajam ke kornea mataku, “Sebelum Kamu masuk rumah sakit sebenarnya Aku ingin mengatakan ini. Tapi Aku ngga sempat.” Lanjutnya.

“Bagaimana dengan Kevin? Bukannya Kamu?”

“Iya dulu Aku memang suka sama Kevin tapi semenjak Kamu datang dihidupku. Aku ngga bisa berbohong Aku jauh lebih menyukaimu dibanding Kevin, Aku ngga bisa berhenti memikirkan Kamu. Tentangmu yang selalu menari-nari dipikiranku. Aku ngga bisa terus-terusan menghindar darimu dengan perasaanku yang seperti ini. aku tahu kisahmu dari kevin makanya aku beranikan untuk ngomong ini sekrang aku takut kehilangan kamu van.” Ujarnya memotong pembicaraanku.

Ternyata selama ini Aku sudah salah paham kepada David. Kukira David tidak pernah memperhitungkanku dalam hidupnya. Kupikir hanya Kevin yang Dia pedulikan. Ternyata Aku salah. Aku tidak berusaha untuk mengerti perasaan David. Aku terlalu egois, membiarkan perasaanku terlihat oleh David. Tapi Aku tidak memberikan kesempatan pada David untuk memperlihatkan perasaannya padaku. Sekarang sangatlah terlambat jika Aku bilang kalau Aku juga cinta sama David. Setelah penyakit yang kuderita ini sangat parah, rasanya tidak mungkin Aku meng-iyakan keinginan David, itu hanya akan menyakitinya saja. Beralasan palsu adalah jalan terbaik yang bisa Aku lakukan. Agar saat Aku menghilang dari hidupnya, Aku tidak membuat hatinya sakit. Mungkin inilah yang bisa Aku lakukan untuk melindunginya. Aku rela jika akhirnya Kevin yang akan menemaninya. Aku rela jika akhirnya Kevin yang akan mendampinginya. Aku sangat lega jika setelah Aku tiada nanti David bisa berbahagia, Aku sangat lega. Aku percaya pasti Kevin akan memberikan yang terbaik untuk David. Melindungi, menjaga, dan selalu ada untuk David. Aku yakin Kevin pasti akan melakukannya dengan baik.

“Sebelumnya Aku tau kalau Aku menyukaimu sejak kita pertama kali ketemu. Tapi Aku benar-benar ngga tau kalo Aku sukanya sedalam ini ke kamu. Lama Aku memendam perasaan ini. Selalu menahan rasa sakit dihatiku melihatmu yang sangat dekat dengan Kevin. Aku cemburu padamu, saat Kamu dekat denganku Aku selalu berpikir buruk tentangmu. Percuma rasanya Aku berkorban untukmu toh akhirnya Kamu sudah termiliki oleh Kevin. Itulah yang sering terlintas dibenakku. Sampai akhirnya Kamu menghilang dari penglihatanku. Setelah kelulusan, Aku mencarimu tapi Aku tidak bisa menemukanmu. Itu sangat menghancurkan hatiku. Otakku tidak bisa berhenti berprasangka buruk padamu. Aku mengira Kamu sudah bahagia bersama Kevin. Aku lelah dengan yang kurasakan, Aku keberatan dengan apa yang Aku lakukan. Aku berjaniji untuk berhenti menunggumu. Aku memutuskan untuk membuka hatiku menerima penghuni baru yang layak untuk menempati hatiku. Perlahan kekosonganku terisi oleh lelaki itu dan pelan-pelan Kamu sudah menghilang dari ingatanku,” ujarku sambil menatap wajahnya, “Sekarang Kamu datang lagi dengan membawa cinta yang sejak dulu Aku harap bisa mendapatkannya. Sayangnya Kamu datang disaat yang salah. Kamu datang disaat yang tidak tepat. Kamu datang setelah Aku mencintai orang lain dan Aku tidak bisa meninggalkan orang itu.” Lanjutku.

Binar dimatanya mencair menjadi airmata yang menetes. Tak sampai hati Aku melihatnya menangis. Sebenarnya apa yang kukatakan padanya sangat bertentangan dengan hatiku. Yang kuucapkkan tadi adalah kata-kata terburuk yang pernah keluar dari lisanku. Tapi Aku harus melakukannya. Sebelum Aku pergi Aku harus membuatnya membenciku agar Dia bisa buru-buru melupakanku. Aku tidak ingin membuatnya menangis lebih lagi dari ini. jadi biarlah kulakukan seperti ini agar saat Aku tiada David tidak memiliki perasaan apa-apa lagi padaku dengan begitu Dia tidak akan tersakiti.

David tidak menjelaskan apapun padaku. Dia pergi begitu saja meninggalkanku. Aku juga tidak menuntutnya mengatakan sesuatu padaku.

Setelah Dia menghilang dari penglihatanku. Jantungku mulai nyut nyutan. Ya ampun sakitnya tidak bisa tergambarkan oleh apapun. Buru-buru kuambil ponsel meminta Bunda menjemputku. Aku takut tidak bisa pulang dengan selamat jika kupaksakan.

Suara Bunda terdengar panik saat Aku menelponnya. Pendengaranku mulai terganggu. Sakit dijantungku membuat organ tubuhku yang lain juga terganggu. Aku mulai kehilangan kesadaran. Ponselku sepertinya jatuh. Aku tidak tau lagi apa yang sedang Bunda pikirkan saat telponku tiba-tiba terputus. Tapi yang jelas Bunda pasti akan sangat panik. Aku takut terjadi apa-apa sama Bunda saat diperjalanan menjemputku. Tapi Aku sudah tidak bisa menguasai diriku. Pandanganku hitam tidak ada sedikitpun cayaha yang kulihat. Nafasku terengah, Aku rasa Aku sudah mati sekarang.

Pelan-pelan Aku mulai tersadar. Mataku perlahan kubuka. Buram sekali penglihatanku saat pertama kali membuka mata. Tidak ada siapa-siapa disekelilingku. Aku mencoba mengenali tempatku berada sekarang. Ternyata Aku berada dirumah sakit. Tapi anehnya Bunda tidak ada. Tidak mungkin rasanya kalo Bunda tidak mencariku, gumamku dalam hati. Aku melihat lelaki berkaca mata menghampiriku.

“Maaf, apa anda keluarga Ibu Farida?” tanya lelaki berkacamata itu padaku.

“Benar, Dia Ibu saya Pak…. Kenapa dengan Ibu saya Pak?” tanyaku penasaran.

“Ibu saudara mengalami kecelakan. Tapi Alhamdulillah beliau sudah siuman. Hanya saja beliau mengalami kebutaan. Jika ada pendonor yang mau memberikan kornea matanya untuk Ibu anda. Beliau bisa selamat dari kebutaan.”

“Ambil mata saya pak! Ambil semua yang Ibu saya perlukan. Jantung, ginjal, ataupun yang lainnya. Ambil nyawa Saya jika Ibu memerlukannya. Lakukan yang terbaik untuknya Pak! Lakukan!” pintaku spontan memaksa lelaki berkacamata itu.

Ternyata penyakit jantungku tidak sebanding sakitnya dengan perasaanku yang hancur lebur mendengar Bunda kecelakaan dan menjadi buta. Aku tidak ingin melihatnya terluka, Aku juga tidak ingin Dia meninggalkanku. Dia adalah Perempuan terhebat didunia yang pernah kumiliki. Selalu memberiku yang terbaik. Perempuan yang tidak pernah menyakiti hatiku ataupun mengecewakanku. Aku akan melakukan apapun untuk membuatnya tetap hidup. Kukorbankan kornea mataku untuk Bunda. Aku berharap Dia baik-baik saja dan Dia bisa melihat dunia lagi dengan mata miliku itu.

Sebelum pendonoran dimulai Aku sempat berpesan pada Kevin, teman lamaku yang kebetulan sebagai pahlawan yang menolong Bunda. Semuanya kuceritakan padanya tentang cintaku pada David dan rasa sayangku pada Bunda.

Proses pendonoran akan dimulai. Tiba-tiba jantungku sakit lagi. Nafasku tersendat lagi. Tapi Aku harus menahan sakit ini sampai dokter memberi bius padaku. Aku ingin proses pendonoran segera dilakukan agar Mamah bisa segera melihat lagi. Aku sudah tidak kuat lagi dengan sakit yang kutahan tapi untunglah prosesnya sudah berlangsung. Ingin rasanya Aku tetap hidup berlama-lama. Berdiri didepan Bunda sebagai pelindungnya dan bersandar disamping David sebagai pendampingnya teman hidup untunknya. Tapi sepertinya Aku sudah sampai dibagian akhir dari perjalanan hidupku. Aku berhenti pada takdir yang telah dituliskan untukku. Sekarang Aku merasa terbang tinggi sejajar dengan gumpalan awan. Aku berharap bertemu lagi dengan perempuan yang memanggilku dulu saat pertama kali Aku koma.

Aku berharap seseorang itu memanggilku dan membangunkanku dari mimpiku ini. Aku berharap saat membuka mata nanti Bunda memelukku lagi. Aku janji kali ini Aku akan membalas pelukan Bunda dengan pelukan terhangat yang Aku miliki. Tapi sepertinya Aku tidak mendapatinya lagi. Aku terbang semakin tinggi dengan perasaan yang jauh lebih damai sekarang. Sakit dijantungku sudah menghilang, tidak ada lagi nyut nyutan yang membuatku menangis. Sekarang Aku merasa sangat nyaman. Aku terbang semakin tinggi bahkan sudah menembus batas langit. Entah berada dimana Aku saat ini? yang jelas tempatku bukan dunia lagi. Aku berada ditempat dimana Aku hidup abadi. Semoga Kevin bisa memenuhi janjinya padaku untuk memberikan yang terbaik pada David. Juga, semoga Kevin menceritakan semua yang ku sampaikan padanya. Dan meminta David juga Mamah untuk tidak menangisiku. Karna Aku akan selalu ada untuk mereka meskipun Kami tak saling melihat. Sekarang jasadku memang sudah tidak ada lagi. Tapi hatiku masih tetap ada dihati mereka yang tulus mencintaiku.

SELESAI
Read More
Dirgantara putra 17.38 |

HADIRNYA CINTA
Oleh Wahyu Ardiansyah

Rasa yang hadir dalam dada
Merangkai indah sebuah nada
Membuat semua orang terkesima
Karena terkena panah asmara

Sesuatu yang sangat indah
Jika semua dilalui dengannya
Dan terasa amat pilu
Ketika dia meninggalkanmu

Itulah sebenarnya cinta
Menguatkan hati dan rasa
Mencerahkan hari dan dunia
Serta memberi warna indah

Cinta itu bukan permainan
Apalagi untuk hal tidak benar
Cinta itu untuk menceriakan
Bukan untuk hal yang tak wajar

Hidupmu akan sepi tanpa hadirnya
Terasa hampa jika tak ada dia
Milikilah selalu cintamu
Sebab cinta trus bersemi di hatimu
Read More

Love Blue Sky In bromo

Dirgantara putra 17.37 |


semenjak kematian kakakku,  ayah dan bundaku jadi sering murung dan tidak punya semangat untuk melanjutkan hidup . itu yang aku lihat di mata kedua orang tuaku . kadang aku ngerasa bukan bagian dari keluarga ini , masih ada aku ayah bunda come on kakak ga mungkin kembali" itu yang selalu aku batin selama dua bulan ini semenjak kecelakaan itu merenggut nyawa kakakku . bus pariwisata yang ditumpangi kakak terbalik saat rombongan sekolah mengadakan study tour. ayah memang tak pernah mengijinkan kakak ikut kegiatan apapun , bukan karena apa apa . tapi penyakit asma kakak . sebagai anak kedua aku selalu jadi nomor dua . kadang aku cemburu melihat perlakuan kedua orang tuaku ke kakak ku . tapi setelah kepergian kak Guntur keluarga kami jadi sepi hambar kayak sayur tanpa bumbu . keluarga yang dulu dipenuhi candaan , banyolan kini sepi seperti kamar mayat. karena khawatir dengan keadaan akan semakin parah , ayah memutuskan untuk pindah rumah dan stay di rumah kakek di jawa timur . alhasil aku juga harus pindah sekolah meninggalkan teman teman aku . teman yang selama ini menemaniku .
“Semuanya harap tenang! Hari ini kita kedatangan murid baru dan dia akan bergabung di kelas ini,”seru Bu melati. “Silahkan perkenalkan diri kamu di depan teman-teman !”katanya padaku.
“Perkenalkan, namaku Rama aditya putra. Kalian bisa memanggilku Rama atau Adit. Aku pindahan dari semarang . Terima kasih,”kuperkenalkan diriku di depan puluhan mata yang begitu asing bagiku.mata yang tajam laksana mata elang yang mengincar buruan . aku sedikkit ngeri dengan kelas ini .
Dari puluhan mata yang begitu asing tersebut, aku mendapati sepasang mata dari seorang murid cowok yang duduk di bangku paling depan persis di depan bangku guru , mata yang dihiasi kacamata yang semakin membuatnya kelihatan cool, yang tampak begitu indah, namun tatapannya sangat teduh dan mengayomi mirip banget dengan kak guntur . Aku memang belum berkenalan dengannya secara pribadi, tapi rasanya aku bisa merasakan kalau cowok itu baik dan pintar . tapi kenapa di mukanya tak terhias senyum . wjah rupawan itu terlihat datar dan masam tanpa senyuman .
“Ada yang ingin kalian tanyakan pada Adit ?”seru Bu melati.
"dit , boleh minta no Hp kagak ? "celetuk seorang cewek berambut sebahu 
"huuuuuuuuuuuuuuuuu" seketika kelas menjadi gaduh gara gara pertanyaan cewek tadi.
"sudah ...sudah .....ada lagi yang kalian mau tanyakan?"seru bu melati sambil menaruh tasnya di meja guru
“Nggak ada, kok Bu…….,”jawab semua murid, kecuali cowok yang duduk di bangku paling depan itu.
“Kalau begitu, Adit silahkan duduk , kamu boleh memilih duduk di belakang atau di depan  !”suruh Bu Laksmi.
Aku sebenernya lebih nyaman di belakang  , tapiii  aku juga  sangat penasaran pada cowok yang duduk di bangku paling depan itu , akhirnya  pun berniat untuk duduk di sebelahnya, yang kebetulan kursinya masih kosong. Aku berjalan perlahan menuju kursi yang kosong di depan  di samping cowok bermata teduh dan Cool  itu. Kemudian matanya yang indah itu menatap kearahku dengan tatapan sendu, aku langsung tersenyum semanis mungkin. Cowok itu membalas senyumku. Tapi sayang, senyum yang ia lepaskan untukku itu adalah senyum yang dipaksakan kayak matahari yang lagi malas keluar karena banyak mendung yang menghalanginya . Mungkin dia enggan tersenyum saat itu, tapi karena tuntutan tata krama pada orang baru, akhirnya dia membalas senyumku, walaupun tampak dipaksakan . Aku langsung duduk di sampingnya. Semua murid menoleh ke tempat dimana aku duduk sekarang, tapi kemudian pelajaran dimulai dan wajah-wajah yang menatapku tadi kembali menatap papan putih.
“Oh ya, kita kan belum kenalan. Aku Adit,”aku mengulurkan tanganku pada cowok di sebelahku.
“Saga adrianus pambudi. Panggil aja Aga!”cowok itu menjabat tanganku.
Setelah perkenalan itu, tak terjadi percakapan apapun di antara kami, sebab kami sibuk mencatat apa yang dijelaskan oleh Bu Melati. Jam terus berganti berputar meliuk liukkan panah yang menjadikan dunia terus mengikutinya . Aku dan saga masih belum melanjutkan percakapan masih sibuk menggoreskan penah hitam ini diatas buku . Aku tak berani memulai percakapan dengannya dan sepertinya dia juga tak ingin bicara denganku , dia terlalu dingin lebih dingin dari embun pagi ini . Sampai akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Semua murid berlarian keluar kelas laksana kumpulan bebek yang keluar dari kandangnya ...melesat kesegala arah  untuk istirahat, tak terkecuali denganku. Setelah kenyang, aku segera kembali ke kelas.duduk di tempat baruku .
“Ssstt…Ram!”panggil Nadia dengan sedikit berbisik sambil melambaikan tangan padaku.gadis berponi itu memanggilku .
Aku pun membalikkan tubuhku, memutar arah tujuanku yang semula hendak duduk di bangkuku bersama Saga, kini berganti menuju Nadia  dan teman-temannya berada.
“Ada apa, sih, ?”tanyaku.
“Eh, kenalin aku Nadia , Nadia putri syareefa ! Tadi kenapa kamu milih duduk sama Saga, sih? Sama Randy atau Nayla  kan bisa!”bisik Nadia .
“Memangnya kenapa sih, kalau aku duduk sama dia? Dia anaknya baik kok,”kataku dengan nada yang sangat rendah.takut Saga mendengar apa yang keluar dari mulut ini . aku ga mau mulut ini membuat hati orang tersayat .
“Saga memang baik, tapi dia itu anak yang dingin, jarang senyum boro boro senyum niat buat senyum aja kagak , banyak cewek yang dekatin tapi gara gra sifat dia banyak yang nyerah termasuk aku heheheheheh . Sampai-sampai teman satu kelas memberi julukan  ‘Ice man’,”tambah melanie.
“Aku yakin syakin yakinnya , kamu enggak akan tahan lama-lama duduk sama dia lihat aja ntar kamu pasti boring bingits duduk sama tuh anak,”bisik Husein.
“Menurut aku sih, dia itu bukannya dingin, tapi agak pendiam saja,  ada kalanya dim itu lebih baik dibanding terlalu mengumbar omongan  ,”tambahku.
“Lepas dari sifatnya yang dingin itu, menurutku dia itu cowok terkece, terganteng, terkeren, dan terseksi , tercetar mebaheNOL di sekolah ini. Selain wajahnya yang rupawan, otaknya juga encer,”jelas Melani, sambil sesekali melirikkan matanya pada Saga . Aku pun turut melirik Saga . walau dengan pandangan biasa tak sefrontal pandangan melanie yang otaknya radak geser.
emang sich kalau dilihat lebih jauh , Yang dikatakan Melani memang benar. Dengan kulitnya yang putih bersih tanpa noda layak kayak artis korean kesukaan sepupuq adel, wajahnya yang ganteng, rambut hitamnya yang sedikit gondrong ala ala korean style , dan bibirnya yang kemerahan, kurasa Saga  memang layak mendapatkan predikat yang telah disebutkan oleh Melani tadi. terlebih kedua bola mata itu mengingatkanku pada kak Guntur yang amat sangat aku rindukan . teduh meneduhi hatiku yang lagi dilanda gundah gulana kacau badai .
“Ram, sebaiknya kamu segera pindah sama randy  atau syukur syukur ma nayLa! Sebelum kamu mati beku ada di dekat dia hahahaha,”bisik Nadia.
“Kita lihat saja nanti!”aku berdiri dan meninggalkan Nadia, Husein, Randy, dan Melani. Aku kembali duduk di sebelah Saga.
Bel masuk berbunyi selang beberapa menit setelah aku duduk di sebelah Saga, murid murid yang tadi berhamburan di halaman kantin dan perpustakaan kini kembali ke tempat duduk masing masing di kelas masing masing . Jam pelajaran bahasa Indonesia telah di mulai. Bu Astuti mencatatkan materi di papan putih, sedangkan kami menyalinnya, menulis tiap kalimat tersusun . Tiba-tiba aku dihampiri oleh rasa bosan. Pelajaran bahasa Indonesia kali ini begitu membosankan, ditambah lagi makhluk tampan yang duduk di sampingku itu masih tak mau bicara padaku seperti berada di kutub dingin banget . Aku menoleh kearah Nadia. Ingin sekali rasanya aku berteriak minta tolong padanya untuk membebaskanku dari rasa bosan yang memerangkapku memenjarakanku di tempat sedingin ini , aku tak tahan toloooonggggggg. Akhirnya bel pulang sekolah berdering dengan kencangnya. Sorak-sorak semua murid pun mengiringi suara bel yang cukup mengganggu itu memekakkan telinga ketika langkah kaki dan candaan murid murid terdengar di sana sini. Semua murid segera membereskan buku mereka, menenenteng tas dan keluar dari kelas beramai-ramai. Aku masih sibuk membereskan buku-bukuku, sedangkan Saga sudah menenteng tasnya dan mendahuluiku keluar dari kelas. Aku mempercepat gerakanku saat membereskan bukuku kemudian lari keluar kelas untuk menyusul Saga, namun aku tak melihat saga
“Cepat banget sih, jalannya itu anak apa dia malaikat yang punya sayap hingga aku kehilangan jejaknya ,”gerutuku sebal.
Aku mempercepat langkah kaki ini menuju gerbang sekolah , sekolah baruku , tempat dimana aku harus sungguh sungguh memilih pijakan untukmasa depanku . Aku melihat Saga tengah berdiri di tepi jalan sedang menunggu bis. Tak lama kemudian sebuah bis berwarna kuning bertulis SAYANG BOJO berhenti di hadapan Saga. Tanpa pikir panjang lagi, dia pun Naik. Aku juga naik bis yang sama dengan Saga tadi. Kenapa aku naik bus ya padahaldi trumah ada motor ..mobil juga ada . Aku naik dari pintu belakang, jadi dia tidak tau kalau aku satu bis dengannya. Selama di dalam bis, aku terus memerhatikan Saga  yang sedari tadi menujukan pandangannya pada jalanan yang ada di luar sana. Tatapannya begitu sendu. ‘Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirin sih apa di otakkamu ada yang mengganjal , saGa’ batinku dalam hati. Bis berhenti di sebuah halte. Ada beberapa orang yang sedari tadi menunggu bis di halte itu pun segera naik bis itu. Aku melihat Saga turun di halte tersebut. Entah kenapa aku sangat ingin tau apa yang akan dilakukan oleh Saga dan aku pun turun juga, padahal rumahku masih jauh, seperempat jam dari halte tempat aku turun. Aku terus mengikuti langkah Saga yang tak kunjung kuketahui kemana tujuannya. Saat itu Saga tak sadar bila aku membuntutinya membuntuti orang yang kita keepoo-in itu nikmat juga ada sensasi yang gimana gitu. Tiba-tiba saja Saga berbelok ke kanan saat ada pertigaan jalan di gang depan . Aku sempat kehilangan jejaknya untungnya aku dibekali mata setajam burung nazar , tapi kemudian aku melihatnya memasuki sebuah toko alat-alat seni lukis. Entah apa yang akan dia lakukan di dalam sana. Aku bertambah kepo dengan apa yang dia lakuin , kemudian aku pun turut memasuki toko tersebut. Masih sama seperti tadi, Saga masih tak menyadari keberadaanku .
Saga berpindah-pindah dari rak satu ke rak lainnya. Dia melihat-lihat alat-alat seni yang terpajang di dalam toko itu. Ada kuas lukis, pallet(tempat menuangkan cat), kanvas, krayon, pensil gambar, pensil warna, spidol, buku gambar, gliter, dan masih banyak lagi benda-benda yang berbau seni di dalam toko itu.apa yusuf suka melukis ya kayak kak guntur . kenapa banyak sekali kesamaan kak guntur dengan Saga . aku semakin kepo dengan apa yang dilakuin Saga di Toko itu.  Saga  yang saat itu sedang berdiri di rak yang berisi macam-macam pensil gambar, tiba-tiba menoleh kearah rak berisi kumpulan cat minyak dimana aku berada. Aku terkejut dan dengan sigap aku langsung menunduk. Saat sedang bersembunyi dari saga  itu, aku melihat sebuah peristiwa yang mencengangkan peristiwa yang ga akan aku bayangin ..boro boro bayangin terlintas di benak aku saja tidak akan . Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat saga yang cool itu  mengambil satu dari masing-masing jenis pensil gambar yang ada di rak di depannya itu, kemudian memasukkan pensil pensil itu ke dalam saku celana abu-abunya. Sesekali aku melirik pada pemilik toko yang duduk di belakang meja kasir sambil membaca majalah. Ternyata aksi yang tergolong nekat dari Saga itu tak disadari oleh Ibu pemilik toko itu. Setelah selesai dengan pensil gambar, Yusuf beralih ke rak berisi buku gambar. Dia mengambil satu buah buku gambar yang terlihat cukup tebal. Aku memerkirakan isinya ada lima puluh lembar. Aku melupakan saga sejenak. Muncul ide gila dalam otakku untuk ikut melakukan apa yang dilakukan oleh saga di awal tadi, tapi sasaranku bukanlah pensil gambar, tapi bolpen warna. Aku mengambil bolpen warna merah, biru, hijau, dan emas, kemudian langsung kumasukkan dalam saku celanaku seperti yang dilakukan Saga. Entah kenapa aku merasakan sensasi yang luar biasa saat melakukan hal itu hari ini aku melakukan dua hal yang membuatku merasakan hal yang amat nekad tapi punya sensasi yang tak bisa dibayangin nguntut dan ngutil . Untuk pengalihan, aku mengambil satu buah pensil gambar dan membawanya ke kasir. Setelah membayarnya, aku segera keluar dari toko itu dan kembali mengikuti Saga . Di depan sana ada perempatan. Saga berbelok ke kanan dan aku pun segera mengejar langkahnya. Sialnya aku kehilangan jejaknya. Aku sama sekali tak melihat batang hidungnya di sekitar situ. Dia menghilang begitu cepat seperti hantu.apa dia kayak Galang ya ...tokoh di serial tv GGS yang bisa lari secepat kilat .karena masih keturunan serigala...jadi ngeri sendiri .
“Jangan-jangan rumahnya ada di sekitar sini,”gumamku. “Berarti tak jauh dari rumah nenekku dong,”aku tersenyum sendiri kemudian berjalan lurus meneruskan perjalanan pulang.
Keesokan harinya, aku berangkat diantar oleh supirku, Pak ghufron.Pagi ini mendung, berselimut dalam kabut yang masih membekas di jendela kamar. Melihat sekeliling tumbuhan hijau. Menghirup kabut-kabut yang mulai hilang dalam panas surya. Sekitar lima menit dia beranjak dari rumah,  Saat sampai di tengah perempatan, dari lorong sebelah kanan, aku melihat seorang cowok yang kuyakini adalah Saga. Dia sedang berjalan dengan santainya menuju perempatan. Sekarang aku benar-benar yakin kalau rumahnya ada di serkitar sana. tak jauh dari kediaman omah tersayangku . kayaknya akan ada alasan aku ke rumah nenek selain kangen dengan kue jahe buatan omahku .
“Den Rama kenapa senyum-senyum sendiri?”Pak ghufron membuyarkan lamunanku.
“Ahh, Bapak kepo banget sih,kalah kayak pincess the pinkers ”
Pak Ghufron kembali memacu mobil menuju sekolahku tanpa ingin tau lagi apa yang sudah membuatku tersenyum sendiri tadi. Sampailah aku di sekolahku tempat baru aku menimba ilmu . Pak ghufron turun dari mobil kemudian membukakan pintu mobil untukku bak raja namunitulah tugas seorang sopir ,tapi pak ghufron ini adalah orang kepercayaan ayah dan bunda , beliaulah yang dari SD nganterin aku dan kak guntur ke sekolah , dialah orang yang melindungi aku dan kak guntur di jalan , lalu aku pun turu dari mobil .
“Pak, aku nanti enggak usah dijemput, ya! Aku mau pulang naik angkot  sama teman teman saja,”kataku.
“Lho! Memangnya kenapa, Den? Nanti kalau saya ditanya sama Tuan bagaimana, Den? Terus Bapak jawab apa?”Pak ghufron jadi banyak tanya.
“Lagian aku bosen naik mobil terus ,masak dari SD dianter bapak terus bosan tau pak . Sekalian mau liat-liat daerah sini. Pokoknya nanti Bapak enggak usah jemput aku! Titik. Sudah, jangan banyak nanya lagi!”aku meninggalkan Pak ghufron.
Aku berlari menuju kelasku. Disana masih sedikit muridnya. Hanya ada Randy dan Melani. Mereka sedang sibuk mengerjakan PR Matematika yang diberikan bu melati kemaren .
“Sibuk ngapain sih?”tanyaku.
“Kamu bagaimana sih? PR Matematika gitu kok. Kamu sudah selesai?”kata Randy.kamu tak tau apa atau kamu amnesia . kebanyakan tinggal di kutub sich ...makanya buruan pindah tempat.
“Oh iya! Aku lupa,”aku langsung berlari ke mejaku, mengeluarkan LKS dan buku tugas Matematikaku, dan mulai mengerjakan.dengan susah payah aku memikirkan jawaban dari tiap point pertanyaan di LKS tapi kepala ini serasa diperas . kenapa ada pelajaran matematika ?gerutuku
Tiba-tiba Saga datang dan duduk di tempatnya. Seperti biasa, dia langsung menyandarkan kepalanya pada tembok. Setiap hari dia selalu seperti itu, tak pernah terlihat ceria, selalu murung tapi kali ini senada dengan langit yang mendung .
Bersandar pada tembok kelas dengan menyembunyikan mukanya. Apa yang dia lakukan. Sedikit waktu. Dia beralih ke jendela, melihat keluar. Membisukan sejenak mulutnya, menulikan sebentar telinganya. Wahai muda, apa yang kau pikirkan.Aku meliriknya sebentar. Aku ingin bertanya padanya, tapi aku takut. ‘Aku harus berani bertanya padanya’ batinku. Aku tersenyum padanya. Dia pun membalas senyumku tadi. Akhirnya suasana sedikit mencair. Aku pun melanjutkan percakapan.
“Eh, Ga ! Tadi aku lihat kamu di perempatan jalan perumahan Griya mandiri. Rumah kamu sekitar situ, ya?”tanyaku.
“Ya, yang belokan ke kanan,”jawabnya datar.
“Tau, enggak, Ga , rumahku juga di sekitar situ. Kalau kamu belok ke kanan, aku masih lurus,”
“Begitu, ya,”
Responnya yang dingin itu benar-benar membuatku kesal.suasana yang memang lagi dingin jadi bertambah dingin . jari jemariku jadi sedikit kaku.  Hampir saja aku kehabisan kesabaran, tapi demi bisa dekat dengannya aku kembali mengisi ‘amunisi’ kesabaranku mengisinya penuh , agar bisa lebih sabar menghadapi sifat dingin dari Saga itu. Aku harus bisa mencairkan es yang ada dalam dirinya dengan sikap yang ramah dan hangat . Bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid mengemasi buku mereka dan segera pulang. Yusuf mengangkat tasnya dan pergi meninggalkan aku yang sedang mengemasi bukuku.
“Ga , tunggu aku!”aku menghentikan langkahnya saat dia sampai di depan pintu.
“Ada apa, Ram?”
“Kita kan, searah, jadi pulangnya bareng, ya,”
“Ayo kalau gitu,”
Aku tersenyum girang lalu menyusul langkahnya yang sedikit jauh di depanku meninggalkan kumpulan bangku yang kosong karena ditinggal penghuninya melewati gerbang hijau . Kami berdua menunggu bis di tepi jalan. Tak lama kemudian ada bis yang datang dan kami pun naik bis tersebut. Di dalam bis, kami duduk bersebelahan. Walau kami duduk bersebelahan, tapi kami seperti duduk sendiri. Kami saling diam.kenapa tetapsaja dingin ya padahal sudah kagak di sekolahan .Aku tak mau mengawali percakapan, begitu juga dengan Saga . Bis pun berhenti di halte untuk menaikkan penumpang. Selagi orang-orang di halte itu naik ke bis, kami turun di halte itu. Kami berjalan beriringan kayak anak bebek dan induknya. Masih seperti di dalam bis tadi, tak terjadi percakapan antara aku dan Saga. Sampai akhirnya, dengan tidak tau malu, cacing-cacing di perutku meronta-ronta, monyet monyet di otakku udah menggelayut minta agar aku belok ke warung nasi bebek. Maklum saja tadi pagi aku tidak sarapan dan ditambah lagi waktu istirahat tadi, aku juga tidak jajan. Saga menatapku kemudian tersenyum, sambil geleng-geleng. Mukaku memerah. Aku benar-benar malu. ‘Dasar cacing bodoh!’ hardikku dalam hati.kenapa perut  inikagak bisa diajak kompromi .
“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Lucu, ya? Ketawa saja sepuasnya!”aku sedikit kesal.
“Kamu benar-benar lapar, ya?”tanya saga.
“Tadi pagi aku enggak sarapan, terus waktu istirahat aku enggak jajan,”jawabku sambil memegangi perutku yang masih keroncongan.
“Kita makan dulu, yuk! Aku tau tempat makan yang enak,”
“Benarkah? Ayo kita kesana! Aku sudah lapar,”aku mempercepat langkahku meninggalkan saga.sok tau tempat mana yang akan ku tuju.
“Ram, tempatnya belok ke kiri, bukan lurus. Kamu gimana sih ?”
“Enggak bilang dari tadi,”aku malu tau sambil cengar cengir.
Aku hanya berjalan mengikuti Saga saja, sebab dia yang paling tau tempat-tempat disini. Sedangkan aku yang orang baru disini tak begitu tau tempat-tempat disini tapi lapar tlah butakan otakku hingga tadi nyeludur sesukanya . Dan ditambah lagi aku jarang keluar rumah, kalaupun keluar rumah harus ditemani oleh Pak ghufron. Tak terasa aku dan Saga sudah berdiri di depan sebuah Café.
“Selamat datang, Mas Saga,”sambut seorang pelayan.
Aku dan Saga duduk di meja nomor tujuh. Entah kenapa Yusuf lebih memilih duduk di meja nomor tujuh, daripada duduk di meja kosong lainnya.ada apa dengan meja ini .tapi senggaknya meja ini kagak sedingin meja di kelas dan di bis tadi. ada suasana hangat meski ga terlalu .tapi aku senang.
“Ga, kenapa sih, kita kok, duduk di meja ini, padahal kan meja yang kosong banyak?”tanyaku.
“Ini meja kesukaanku,”jawabnya datar.
“Pesan apa Mas Saga?”tanya seorang pelayan.
“Seperti biasanya saja, Mbak vea,”jawabnya. “Kamu pesan apa, Rama?”
“Sama kayak kamu saja,”jawabku datar sedatar meja cafe ini.
“Ditunggu, ya!”pelayan langsung pergi ke dapur untuk menyerahkan pesanan kami pada koki wanita yang ada di sana.
“ga, kamu sering kesini, ya?”tanyaku sedikit kepo.
“Betul,”jawab Ysaga dengan nada datar seperti di awal-awal tadi.
“Pantesan pelayannya tau nama kamu. Ternyata kamu pelanggan café ini, ya,”kataku.
Tak lama kemudian Mbak Vea datang bersama makanan pesanan kami. Di atas nampan yang di bawanya, ada dua burger dan dua jus alpokat.
“Silahkan, Mas Saga!”kata Mbak Vea sambil meletakkan burger dan jus alpokat di atas meja kami.
“Makasih,ya  Mbak,”kata Yusuf.
“Sama-sama. Selamat menikmati,”Mbak Vea beranjak dari meja kami. Kemudian beralih ke meja lain untuk melayani pengunjung lainnya.
“Aku berani bertaruh, ini pasti menu yang biasanya kamu makan disini kan, ga . kata kataku sedikit sotoy tapi gimana lagi kata kata itu meluncur kayak rudal yang sulit aku cegah,”kataku.
“Yap, tepat sekali,”jawabnya. Kemudian menggigit burgernya.
“Ga, kenapa sih, kamu dingin banget?”tanyaku.
“Dingin? Enggak tuh,”katanya sambil menyentuh telinganya.
“Bukan itu maksudku, tapi sikapmu padaku dan anak-anak lain,”jelasku.
Saga meletakkan burgernya.
“Tidak bisakah kamu tidak membahas sikapku ini?”tanya Saga,
sambil menatapku. Aku tak berani menatapnya. Tatapan matanya
membuat jantungku berdebar.
“Maafkan aku, Ga! Aku hanya ingin kamu bersikap sedikit ramah
pada teman-teman, agar kamu tidak dinilai buruk oleh teman-
teman,”jawabku sambil menundukkan kepalaku takut takut ntar dia 
menerkamku dan buat aku jadi manusia serigala.
“Biar saja mereka menilaiku buruk! Toh, itu hak mereka,”jawab saga ketus
“Tapi aku enggak suka kalau kamu dijelek-jelekin sama mereka,”aku menyelah
“Ada apa denganmu, Rama? Kenapa kamu begitu
memerdulikanku?”mata Saga terus menatapku dengan tajam.
Seakan dia mencoba membaca pikiranku.seperti Thea di film GGS .
Aku tak menjawab pertanyaannya itu. Sebab bila Sagatau kalau
aku menaruh hati padanya , pasti dia akan menjauhiku dan semuanya akan
jadi kacau.
“Apa salah bila aku memerdulikan sahabatku sendiri?”kini aku yang
menatap matanya.
“Huh, apa maksudmu aku? Sejak kapan kamu menganggapku
sahabat?”Saga menggigit burgernya.
“Sejak kita duduk di bangku yang sama. Apa kamu enggak
menganggapku sebagai sahabatmu?”aku menyedot jus alpokatku.
“Kamu adalah orang pertama yang bisa dibilang cukup akrab
denganku, Ram,”saga pun juga menyedot jus alpokatnya.
“Berarti aku ini sahabat pertamamu, ya?”tanyaku sambil
mencondongkan tubuhku ke depan.
“Kurasa begitu,”Saga juga mencodongkan tubuhnya ke depan.
Wajahku dan wajahnya sangat dekat. Aku segera menarik tubuhku
ke belakang.takut takut Saga tau kalau aku Salting.
Mendengar jawaban Saga tadi, aku tersenyum saja, tapi
sebenarnya dalam hati aku sudah melonjak kegirangan . Saat ini
hatiku benar-benar bahagia. Seperti seorang musyafir yang tengah
kehausan dan menemukan oasis di tengah padang pasir. Aku
benar-benar tak menyangka kalau aku ini sahabat pertama saga.
Aku terus menatap wajahnya. Saat di menggigit burgernya, dia
tampak begitu manis. Saat dia mengunyah lalu menelan burgernya,
dia terlihat manis. Begitu juga saat dia menyedot jus alpokatnya,
dia tampak sangat manis bagiku. Apapun yang dia lakukan, selalu
tampak manis bagiku.kayaknya dia punya wajah yang pas dihati.
“Kamu kelihatannya senang sekali mendengar itu,”Saga
membuyarkan lamunanku.
“Ya, iyalah, aku senang banget kamu ga tau sich gimana rasanya,”
“Memangnya apa yang kamu harapkan dari orang yang dingin
sepertiku ini?”celetuknya
“Aku tak mengharapkan apa-apa darimu. Yang kuharapkan hanya
menjadi sahabatmu,”
“Apa kamu akan tahan dengan hawa dingin dariku?”sindirnya
“Selama api persahabatan masih menyala, aku akan pasti akan
tahan dengan hawa dingin itu,”sambilsenyum cengengesan
“Semoga kamu tidak mengingkari kata-katamu itu,”saga
mengacungkan kelingkingnya.
“Aku janji akan selalu ada untukmu,”aku mengaitkan kelingkingku
pada kelingking saga.
Disini, di café ini deretan lampu temaram puluhan kursi hitam ini 
, aku dan Saga mengikatkan tali persahabatan. Meja, kursi, mesin kasir, makanan,
 minuman, lampu, dan semua yang ada di dalam café ini menjadi saksi bisu 
persahabatan kami.persahabatan yang dimulai denganrasa dingin yang menusuk tulang
Aku yang dulu hanya teman bagi saga, kini sudah menjadi
sahabatnya. Untuk hal ini aku sudah selangkah lebih maju untuk
bisa lebih dekat dengan Saga. Dan itu adalah sebuah kemajuan
yang sangat pesat. Aku tak mau terlalu memerlihatkan kalau aku
senang bisa menjadi sahabatnya dan bisa selalu dekat dengannya,
sebab bila itu kulakukan mungkin Saga akan curiga, jadi aku harus
lebih bersabar. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke
kamarku, kurebahkan tubuhku yang penuh keringat ini di atas
ranjangku. Kupejamkan mataku, kubayangkan wajah tampan
Saga. Aku benar-benar tak bisa menghilangkan wajah Saga dari
memoriku. Ingin rasanya hari cepat pagi, agar aku bisa segera
bertemu dengan Saga.
“Rama, darimana saja kamu, jam segini baru pulang?”seruan
bundaku itu membuyarkan lamunanku.
“Eh, Bunda. Anu, Bun, itu…anu..”aku jadi gugup gelagapan bingung alasan apa 
yang harus aku berikan pada bundaku.
“Anu, anu. Anu apa? Kalau ngomong itu yang jelas!”celetuk bunda
“Tadi aku main sama anu, bun,”bicaraku makin tak jelas kesana kemari tak ada juntrungannya.
“Ya….ampuuuuunnn, Ramaa! Kamu mainan sama anunya siapa?
Sudah bunda bilang jangan mainan anunya orang
sembarangan,”bicara bunda ikut enggak jelas ngelantur kemana aku kemana .
“Saga, Bun. Maksud aku itu Saga bunda,”akhirnya bicaraku sudah mulai
jelas tak tersengal sengal seperti beberapa menit sebelum ini.
“Saga? Siapa Saga? Jadi kamu mainan anunya Saga?”tambah bunda yang ngelatur
“Saga itu sahabatku, Bunda. Tadi aku main sama dia, tapi bukan main
yang begituan. Main yang beneran. Tadi aku makan siang sama dia
di café,”jelasku.
“Ohhh….kirain Mama, kamu mainan anunya Saga,”
“Ihh…BUndaaaa, pikirannya jorok,”
“Ya sudah! Cepat mandi sana! Baumu seperti ikan asin yang di jemur di tepi jalan ,”ujar bunda
“Oke, bun. Eh, Bunda! ayah  kemana?”tanyaku
“ayah  kamu ada lembur hari ini, jadi pulangnya agak
malam,”kemudian Mama meninggalkanku di kamar.
Oh ya, aku belum bilang pada kalian kalau Mama sama Papaku
sudah tau kalau aku gay. bunda sama Ayahku menerima apa
adanya orientasi seksualku ini semua berkat kak Guntur yang menyakinkan Ayah dan bunda 
. Mereka selalu mendukungku, agar akuselalu kuat menghadapi 
kehiduapanku sebagai gay. Aku rasa tidak semua orang tua mau 
menerima dengan lapang dada terhadap
melencengnya orientasi seksual anaknya. Dalam hal ini aku
termasuk gay yang beruntung kakak kandungku yang meyakinkan kalau Gay bukanlah penyakit , atau hal yang harus dibunuh karena di dalam dunia gay yang kejam ini, aku dilahirkan di antara dua orang yang sangat toleran dan menghormati orientasi seksualku meski awalnya mereka terpukul . Ya. Mereka adalah ayah dan bundaku yang sangat aku sayangi. meningat ini aku jadi kangen banget sama Kak Guntur. Tapi lucunya Mama sama Papaku itu berbeda prinsip dalam mendidikku. Papaku pernah
bilang kalau apapun yang aku lakukan asalkan itu masih positif,
Ayah akan selalu mendukungku. Sedangkan Bunda selalu mewanti- wanti aku, agar tidak mainan sama anunya orang sembarangan. Bunda juga pernah berpesan, agar aku jadi ‘Smart gay’, ‘Selective
gay’, harus sedikit jual mahal sama cowok, dan bla-bla-bla masih
banyak lagi..
Keesokan harinya saat jam istirahat berlangsung, aku tidak melihat
Melani di dalam gengnya(Randy, Husein, dan nadia) saat di kantin.
“Nad, Melani kemana?”tanyaku pada salah satu teman satu
gengnya Melani.
“Si Melani tadi sih, disini sama kami, tapi tiba-tiba dia balik ke
kelas. Katanya hapenya ketinggalan,”jelas Husein.
“Tumben, kamu nyariin Melani. Ada apaan sih?”Nadia penasaran.
“Kemarin dia janji ke aku, katanya dia mau ngasih aku film kartun
terbaru yang ada di laptopnya. Ya sudah, kalau gitu aku samperin
dia saja di kelas,”
“Kamu enggak makan atau minum dulu, Ram?”tawar Randy.
“Enggak lapar,”kemudian aku meninggalkan mereka.
Aku pun segera berlari keluar kantin menuju kelas.
“Kamu kenapa, Ram? Kayak habis liat setan saja,”kata Intan yang
tadi sedikit kaget dengan kedatanganku.
“Kamu liat Melani?”tanyaku.
“Kayaknya dia di ke kebun belakang sama si Saga deh,”jawab
Intan, sambil memainkan gadgetnya.
Aku segera berlari menuju kebun belakang sekolah. Jantungku
terus berdebar mendengar bahwa Melani sedang berduaan
bersama Saga. Dalam hati aku terus berharap kalau Saga dan
melani jangan sampai berduaan. Sesampainya aku di kebun
belakang, aku mendapati sebuah bayangan yang ada di balik pohon
jambu disana. Aku yakin kalau itu adalah Saga. Ternyata tidak ada
Melani disana. Aku bisa sedikit bernapas lega. Perlahan aku
menghampiri bayangan itu.
“Sendirian saja, Ga? Melani mana?”aku sedikit berbasa-basi. “Kata
Intan, tadi kamu sama Melani,”
“Tadi memang sama Melani, tapi sampai sini kami pisah. Awalnya
dia ngajakin aku ke kantin, tapi aku nolak, soalnya ada banyak
orang. Aku enggak suka,”jawabnya.
“Syukur deh, kalau gitu,”gumamku.
“Kenapa memangnya kalau aku sama Melani?”tanya Saga, sambil
berbalik menatapku. Aku jadi deg-degan. Mukaku pasti sudah
memerah.
“Eh, enggak apa-apa kok,”dalihku.
“Enggak apa-apa gimana, jelas-jelas tadi kamu bersyukur banget
aku enggak lagi sama Melani,”
“Disini panas. Balik ke kelas yuk, Ga!”aku meninggalkan saga.
“Tunggu, Ram!”tiba-tiba saga menangkap tanganku dan aku pun
berhenti.
Rasanya tubuhku seperti terbakar. Panas sekali. Ini bukan panas
karena sengatan matahari, tapi karena tanganku merasakan panas
dari tangan saga. Panas dari tangan saga itu menjalar ke seluruh
tubuhku.membuat genderang di hatiku berdegub tak beraturan . 
pipi ini pun memerah kayak tomat yang siap untuk dimakan.tapi
aku rela kalau yang makan saga .lelaki yang menghipnotis ku 
sepersekian detik tadi.
“Ada apa, Ga?”tanyaku dengan nada lirih.
“Nanti malam aku jemput kamu, ya,”Saga melepaskan tanganku.
“Memangnya mau kemana?”tanyaku penasaran bercampur senang.
“Pokoknya kamu tungguin aku saja! Jangan ketiduran!”
“Heemm, baiklah. Aku siap bos saga ,”
Ada rasa penasaran bercampur senang berkecamuk dalam diriku.
‘Entah akan diajak kemana aku malam minggu ini. Mungkinkah dia
mau mengajakku kencan?’ batinku dalam hati. Aku benar-benar
tidak sabar menunggu malam hari. Kalau saja aku bisa memohon
pada Tuhan, aku akan memohon agar Tuhan segera membawa
matahari ke peraduannya, tapi itu sungguh permintaan yang konyol
dan tak mungkin terjadi. Kalau pun itu dapat terjadi, pasti seluruh
dunia akan gempar. Dan pastinya aku lah yang akan dipersalahkan,
gara-gara permohonan konyolku pada Tuhan. Jarum-jarum pada
jam dindingku terus berputar pada tempatnya. Detik demi detik
kuhitung. Jam demi jam kulewati dengan perasaan berdebar.
Malam ini aku tak tenang. Aku terus mondar-mandir dalam
kamarku, seperti ayam yang mau bertelur.
Malam hanya sebatas 
pembagi Matahari dan Bulan. Malam hanya waktu yang diperlukan 
oleh bintang untuk bersinar.Sesekali kulihat keluar
rumah melalui jendela kamarku yang masih terbuka. Ada sedikit
rasa kecewa yang hinggap saat tak kutemukan Saga di luar sana,
tapi aku tetap sabar menanti. Lama-lama aku merasa lelah
mondar-mandir dalam kamarku dan aku pun duduk di tepi
ranjangku sambil menatap jam yang menunjukkan pukul sebelas
malam.
‘Miaw….miaw….’ sayup-sayup terdengar suara kucing dari luar
rumahku. Entah kucing siapa yang keluyuran malam-malam begini.
Awalnya aku mengacuhkan suara kucing itu, tapi lama kelamaan
suara kucing tersebut semakin terdengar ganjil di telingaku. Aku
beranjak dari dudukku lalu berjalan menuju jendela kamarku untuk
melihat keluar rumah. Betapa senangnya hatiku saat melihat keluar
rumah melalui jendela kamarku, aku melihat orang yang sedari tadi
membuatku gelisah sedang berdiri di luar sana sambil
melambaikan tangannya padaku. Kulempar senyumku padanya
kemudian aku segera berlari keluar kamar menuju halaman untuk
menghampiri saga.
“Kamu lama banget sih, Ram,”sagatampak sedikit kesal.
“Sorry! Tadi aku kira suara kucing itu adalah suara kucing
tetanggaku. Eh, ternyata itu suara kamu,”kataku sambil
memasukkan kedua telapak tanganku ke dalam saku celanaku.
“Wow, ini motor kamu, Ga? Keren banget,”
“Ya iyalah. Masa’ motornya tetanggaku,”jawabnya datar.
“Eh, kita mau kemana sih, ga?”tanyaku.
“Pokoknya kamu ikut saja. Dah, cepat naik!”saga menaiki motornya
kemudian aku pun naik juga.
Semula, sagamelajukan motornya secara perlahan, namun tiba-
tiba dia menambah kecepatannya. Aku yang kaget pun dengan
otomatis langsung memeluk pinggang Saga. Kali ini motor Saga
melaju dengan kecepatan yang sama seperti tadi dan aku pun
masih memeluk pinggang saga. Malahan pelukanku itu semakin
erat, karena malam ini terasa sangat dingin. Dengan berani, aku
menyandarkan kepalaku di pundak saga kemudian kupejamkan
mataku sejenak. Kurasakan ada yang menggenggam jemariku
kemudian diremas pula jari-jariku. Tanganku yang semula terasa
dingin karena angin malam, kini mulai sedikit terasa hangat.
“Ram, jangan tidur dulu, ya!”suara saga bercampur dengan suara
angin. “Kalau kamu tidur, nanti kamu bisa ketinggalan
pertunjukannya,”
“Pertunjukan apaan sih, Ga?”
“Pokoknya nanti kamu akan tau sendiri,”
Motor Saga  yang semula melaju kencang, kini mulai melaju
dengan perlahan. Aku membuka mataku kemudian melihat ke
kanan dan ke kiri. Aku tak tau tempat apa itu. Maklum saja aku
bukan orang asli sini. Ditambah lagi gelapnya malam membuat aku
tidak bisa mengamati tempat itu dengan mataku.tempat yang tadi jalannya
 enak mulus kayak pahaku kini berubah penuh terjal .pelukan ini semakin 
erat memeluk Saga . Dinginnya malam membuat aku semakin erat dan erat lagi
 Tiba-tiba saga menghentikan motornya di tengan hamparan pasir . Motornya itu dia parkir di
tepi jalan
“Ini dimana, ga?”tanyaku sambil turun dari motor saga.
“Ini tempat penuh kenangan. Setiap ada kesempatan, aku selalu kesini. Pada
jam yang sama. Dulu-dulu, aku selalu kesini sendiri, tapi kali ini
untuk pertama kalinya aku mengajak seseorang ke tempat ini. Saat
siang, tempat ini terlihat biasa-biasa saja, tapi saat malam hingga
fajar, tempat ini akan menjadi tempat yang sangat indah dan
romantis,”jelas saga
“Indah? Romantis? Mana? Enggak ada. Semuanya hanya terdiri dari
pohon, batu, rumput, hamparan pasir,  gelap, dan suara binatang malam. Sama
seperti tempat-tempat lainnya tapi kalau ada pasir kok ga ada pantai ya,”kataku sambil berjalan di samping Saga.
“Pertunjukkannya belum dimulai, Rama, jadi sabar dulu!”katanya.
“Pertunjukkan apa sih, Ga? Kamu bikin penasaran saja,”
“Duduk sini, Ram!”saga yang sudah duduk duluan memintaku untuk
duduk di sampingnya. Dan aku pun duduk di sampingnya.
Tiba-tiba Saga merebahkan tubuhnya di tanah yang ditumbuhi oleh
rerumputan. Matanya memandang ke langit malam. Di malam yang
gelap seperti ini, aku seperti melihat pancaran cahaya dari mata
Saga. Matanya benar-benar berbinar-binar bak bintang di langit malam ini.
Senyum manis mengukir di wajahnya yang tampan itu. wajah itu tak sedingin malam ini.
mata itu senyum itu penuh kehangatan yang belum ada di dirinya selama ini
“Tidur sini, Ram! Pertunjukkan akan dimulai,”katanya. Aku pun
menurut saja.
“Pertunjukkan….”kata-kataku tak berlanjut. Karena saga
menyilangkan telunjuknya di depan bibirku.
“Tunggu dan lihat saja!”
“Lihat, ga! Ada bintang jatuh,”aku terkejut karena melihat sebuah
bintang yang jatuh.
“Itu masih belum apa-apa, Ram. Ini baru permulaan,”kata-kata
Saga membuatku penasaran.
Setelah beberapa saat, ada satu lagi bintang jatuh di langit sana.
Kemudian muncul lagi, lagi, lagi, dan lagi, hingga langit malam
penuh dengan ribuan bahkan mungkin ratusan ribu bintang jatuh.
Ternyata itu bukan sekedar bintang jatuh, tapi hujan meteor. Aku
benar-benar kagum, hingga tak bisa berkata-kata lagi. Kurasakan
ada yang menggenggam telapak tanganku dengan sangat eratnya.
Aku sadar tangan itu adalah tangan Saga, tapi aku tak
memerdulikannya. Aku masih terpaku melihat fenomena hujan
meteor yang begitu menakjubkan itu.
“Banyak sekali bintang jatuhnya kayak di film meteor garden. Kalau begini caranya, aku bisa
mengucapkan beribu-ribu permohonan,”kataku.
“Kenapa tidak kamu lakukan?”tanya saga. Tangannya masih
menggenggam tanganku.
“Ya, enggak mungkin lah. Itu kan bintangnya banyak banget. Kalau
setiap satu bintang, aku harus mengucapkan satu permohonan. Itu
kan bintangnya ada ribuan, masa’ aku juga harus mengucapkan
beribu permohonan? Berbusa dong, mulutku,”
“Kamu enggak perlu mengucapkan beribu permohonan, Ram! Cukup
satu permohonan saja. Maka bintang-bintang yang lain akan ikut
memohon agar permohonanmu dapat terkabulkan. Coba
bayangkan! Bila semua bintang jatuh itu ikut memohonkan
permohonanmu, aku yakin pasti Tuhan akan mengabulkannya,”kata
Saga sambil menatapku dengan matanya yang berbinar bagai
bintang itu.
Jantungku berdebar kencang seperti genderang perang. Darahku
memanas sepanas lava gunung berapi seperti gunung bromo di sampingku 
. Kalau saja di atas kepalaku terdapat lubang, pasti berliter-liter darahku akan menyembur
keluar melewatinya. Mendadak saga mendekatkan wajahnya ke
wajahku. Langsung saja aku bangun dari tidurku dan duduk sambil
melihat bulan satu satunya cahaya malam ini. Melihat aku bangun,
Saga juga ikut bangun dari tidurnya. Tiba-tiba saja saga
memelukku dari belakang dan pelukannya itu sangat erat
kurasakan. Dapat kurasakan hangatnya hembusan napas Saga
memenuhi leherku dan itu membuat dadaku terasa berdesir seperti
debur ombak di lautan. Tangannya membelai lembut wajahku
kemudian menghadapkan wajahku ke wajahnya. Perlahan tapi
pasti, SAga mengecupkan bibirnya yang ranum di atas bibirku yang
tipis, kemudian bibirnya itu mulai bermain-main dengan bibirku.
Aku hanya diam, tidak melakukan penolakan ataupun membalas
ciuman itu.
“Saat ini aku sedang ciuman dengan boneka manikin, ya? Sama
sekali tidak ada balasan,”sindir Saga.
Aku tersenyum mendengar sindiran dari Saga itu, kemudian
langsung saja kusambar bibir Saga yang merah dan ranum itu.
Dan terjadilah pertarungan sengit antara bibirku dan bibir Saga.
Lama sekali pertempuran itu berlangsung, tapi tak kunjung ada
yang kalah. Dalam pertempuran ini aku tidak mau kalah, begitu
juga dengan Yusuf. Kami berdua saling memertahankan diri, agar
tidak tumbang. Aku sungguh tak menyangka, Saga yang biasanya
begitu dingin padaku, kini malah berubah jadi begitu hangat, panas
malahan. Sesekali hembusan angin malam menerpa tubuh kami
dan dia pun mendinginkan jiwa kami yang panas oleh api cinta.
Kemudian sagamemererat pelukannya sedangkan aku memainkan
tanganku di leher dan rambut saga, dan itu menyebabkan api cinta
dalam jiwa kami semakin berkobar-kobar. Kami pun menyudahi
ciuman kami dan merebahkan tubuh kami di atas tanah sambil
menatap ke langit malam yang penuh bintang.sekitar pukul 05.00 saga 
mengajakku ke puncak untuk lihat sunrise . ternyata bukan hanya hujan meteor yang 
dia beri kepadaku tapi senyuman sang fajar pagi ini jadi tanda cintanya padaku 
i love u saga .






*****TAMAT*****
Read More