Bercinta dengan Kakak Ipar (bagian 1)
AKU merasakan kantuk saat duduk di sofa menonton serial “Friends”.
Suara gedoran di pintu membuatku terjaga. Aku bangun, meregangkan badan dan beranjak ke pintu depan. Aku membuka pintu dan kudapati kakak iparku, Sheppard Bannister, berdiri di lorong tampak menyedihkan dan kuyu. Kedua lengannya dia masukkan ke dalam kantong celana jeansnya.
“Shep,” kataku terkejut. Kulirik jam dinding dan waktu menunjukkan jam 11.45 malam. “Kau kenapa?”
“Hey, Billy. Bisakah aku menginap malam ini?”
“Oh. Uh, baiklah.”
Aku membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan Shep masuk. Dia memungut tas duffel nya yang berada di lantai. Aku menutup pintu dan menguncinya. Aku sedikit malu berdiri di situ dengan hanya memakai kaus dan celana pendek, tapi memang aku sedang tak mengharapkan kedatangan tamu. Kami berdiri canggung dalam diam selama beberapa saat.
Shep menikah dengan kakakku, Wendy. Aku tidak mengerti bagaimana dia mendapatkan pria seperti Shep. Shep adalah Kapten dari semua tim olahraga di sekolahnya. Tubuhnya tinggi besar. Tentu saja, sudah sepuluh tahun berlalu. Memang sekarang tubuhnya tak sekencang dulu, tapi Shep tetap terlihat gagah. Rambutnya pirang gelap dan bermata biru. Sama seperti rambutnya, dagunya ditumbuhi rambut dengan warna yang sama. Dia memiliki cambang panjang yang hampir menyentuh rahangnya. Aku selalu iri dengan mudahnya Shep menumbuhkan rambut di wajahnya. Di usia 28 tahun, janggutku pun tak bisa tumbuh dengan rapi. Dengan tinggi 190 cm, Shep 15 senti lebih tinggi dariku. Usianya 32 tahun, empat tahun lebih tua dari usiaku. Walau memiliki jiwa pemberontak dan sedikit kasar, tapi dia selalu bersikap baik padaku.
Saat Wendy mengenalkan Shep pada keluarga 8 tahun yang lalu, aku masih duduk di bangku kuliah. Aku sedang libur natal saat Wendy mengajaknya. Aku langsung tertarik padanya, tapi setelah mengobrol dan mengenalnya lebih jauh, aku menyukainya lebih sebagai teman. Seumur hidup, aku tak akan pernah mengerti apa yang Shep lihat pada diri Wendy. Dia gadis pecicilan. Tak ada yang bisa membuatnya senang. Mereka menikah setahun kemudan dan jika kelakuan si pengantin buas Wendy tak membuat Shep takut, berarti dia tak takut pada apapun.
“Aku gak punya tujuan lain,” ujarnya memecah kesunyian.
“Kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau, itu kalau kau tak keberatan tidur di kasur lipat.”
“Yeah. Tak apa.”
Aku berjalan di lorong menuju kamar tamu yang kugunakan sebagai ruang komputer. Kunyalakan lampu dan menarik kasur lipat dan membukanya.
“Silakan,” ujarku. “Kamar mandi di ujung lorong. Biar kuambilkan seprai dan selimut untukmu.”
“Trims.”
Aku berjalan menuju kamar mandi dan membuka lemari. Aku mengambil satu set alas tidur dan sebuah selimut. Saat aku kembali ke ruang komputer, Shep sedang duduk di atas kasur sambil menatap lantai. Aku hanya berdiri di situ, tak tahu harus bilang apa.
“Aku meninggalkan Wendy,” ujarnya pelan.
“Turut menyesal Shep,” aku berkata, walau sebenarnya tak bersungguh-sungguh.
“Trims sudah mengizinkanku menginap, Billy.”
Aku lihat matanya berkaca-kaca dan dia berpaling dariku. Kurapikan alas tidur dan selimut di kasurnya.
“Tak masalah, Shep. Panggil aku kalau butuh sesuatu.”
Aku keluar kamarnya dan menutup pintu. Kumatikan televisi di ruang tamu dan bersiap untuk tidur. Aku masuk kamar dan menutup pintu. Aku tak bisa berhenti memikirkan Shep. Belum pernah kulihat dia tertekan seperti itu. Kuharap besok perasaannya akan membaik. Tidur malam yang nyenyak mungkin bisa membantu.
* * *
Aku bangun pagi sekali keesokan harinya dan kemudian mandi serta berpakaian untuk kerja. Di dapur aku mulai membuat kopi. Pagi itu aku sarapan sereal dan duduk di meja kecil. Saat Shep muncul di dapur, aku nyaris menumpahkan kopiku kemana-mana.
Shep muncul di dapur dengan mata setengah menutup. Rambutnya berantakan sekali. Dia hanya memakai boxer hijau saja. Dada dan perutnya tertutupi bulu-bulu pirang gelap, di mana terlihat tebal di tengah-tengah dadanya dan segaris di tengah hingga menghilang ke dalam celana pendeknya. Walau perutnya sedikit tak rata, tubuhnya masih berbentuk bagus untuk pria seusianya. Dia memiliki beragam tato di lengannya dan tato berbentuk laba-laba di kaki kriinya. Menurutku tato laba-laba itu terlihat keren, namun aku lebih suka tato berbentuk salib besar di lengan kirinya. Aku tak bisa untuk tidak memperhatikan celana pendeknya yang kesulitan menyembunyikan gundukan yang ada di dalamnya.
Aku duduk tak nyaman dan mengalihkan pandanganku pada mangkuk sereal. AKu bisa merasakan wajahku memanas dan memerah. Penisku menegang dan kututup mataku untuk menenangkan diri.
“Wangi kopinya enak,” katanya. Suaranya terdengar serak dan dia kemudian berdeham.
“Ambillah sendiri,” kataku tak berani menatapnya. “Cangkirnya ada di lemari.”
Shep mengambil cangkir dan menuangkan kopi untuknya sendiri, lalu duduk di meja. Dia meneguk kopinya beberapa kali dan merentangkan tangannya sambil menguap. Kemudian dia menggaruk-garuk dadanya. Aku harus menahan diri untuk tidak menatapnya.
“Susunya ada di kulkas kalau kau ingin makan sereal,” tawarku.
“Trims.”
Cepat-cepat kuhabiskan sarapanku dan berpamitan padanya untuk kerja. Aku akan mempermalukan diri sendiri jika terlalu lama bersamanya.
“Kau yakin tak apa aku tinggal di sini?” tanyanya saat aku hendak keluar ruangan. “Hanya beberapa hari. Aku tak akan merepotkan.”
“Yah, tak apa. Sesukamu. Ini kuncinya.”
Aku menarik laci dan mengeluarkan kunci serep rumahku. Aku menatap matanya dan tersenyum, kemudian cepat-cepat keluar. Aku berjalan menuju tempat parkir dan melihat truk merahnya terparkir di sebelah jeep milikku.
Shep seorang mekanik. Kebanyakan dia memperbaiki mobil-mobil dan truk lama. Dia sendiri memakai truk pick-up Chevy klasik. Warnanya merah terang dan sepertinya seumur hidup dia memakai truk itu. Jalannya masih seperti mobil baru. Dia pernah menyebutkan tahun pembuatan truk itu padaku, tapi aku sudah tak ingat. Mungkin buatan tahun enampuluhan. Wendy selalu berusaha membujuk Shep untuk menjual truk itu, tapi dia enggan melakukannya karena butuh kerja keras bertahun-tahun lamanya untuk memperbaiki truk itu. Shep menganggap truk itu seperti anaknya, dan dia bangga akan hal itu. Sementara aku tak punya ikatan apapun terhadap mobil jeep-ku, aku bisa mengerti keterikatan Shep pada truknya.
Kuusap truk itu dengan tanganku dan kemudian mengendarai jeepku ke tempat kerja.
Saat aku duduk di kubikal kerjaku, aku sulit berkonsentrasi pada pekerjaan. Yang kupikirkan hanyalah Shep. Jika aku tak memikirkan apa yang terjadi antara dia dan Wendy, pastilah aku sedang membayangkan tubuhnya.
Ketika aku sampai di rumah, aku masuk ke kamar dan melepas pakaian kerjaku. Aku sudah ingin mengganti pakaianku dengan pakaian yang lebih nyama. Lalu aku memakai kaus dan celana pendek.
Kuputuskan untuk memasak makan malam. Aku suka sekali memasak, dan kupikir betapa menyenangkan bila harus memasak untuk orang lain selain diriku. Aku memilih untuk memasak dada ayam saus madu dengan kentang tumbuk dan brokoli kukus.
Shep tiba di rumah saat aku sedang memasak. Dia bersandar di pintu dapur dan mengawasiku. Dia memakai kemeja kerja biru tua bertuliskan “Midtown Auto” di dada sebelah kirinya. Di sebalah kanannya, ada tulisan “Shep” yang dibordir. Terlihat beberapa noda oli di celana kerjanya.
“Baunya enak sekali,” katanya.
Aku melihatnya sambil tersenyum. “Trims.”
“Butuh bantuan?”
“Tidak usah.”
“Baiklah. Um… aku mau nonton tv saja kalau boleh?”
“Silakan.”
Dia berjalan menuju keran wastafel dan menggosok-gosok lengannya. “Butuh gojo (sejenis sabun tangan – red.),” gumamnya sambil terus menggosok kotoran dan oli dari lengan dan kukunya. Setelah dia membersikan lengannya, dia melepas sepatu kerjanya dan keluar dari dapur. Aku menghela nafas gugup dan melanjutkan menumbuk kentang.
Aku menggelar alas meja dan memanggil Shep. Dia mematikan televisi dan berdiri gugup melihat meja makan.
“Kau ingin minum sesuatu?” tanyaku.
“Kau punya bir?”
“Aku punya bir gandum Blue Moon.”
“Bolehlah.”
Aku mengambil botol bir untuk Shep dan air mineral untukku. Kami duduk di meja makan dan menyantap makan malam kami.
“Mm. ini enak sekali, Billy.” Gumam Shep memuji masakanku. “Jarang makan seperti ini di rumah,” tambahnya. “Atau yang dulunya rumahku.”
“Trims, Shep. Senang rasanya bisa memasak untuk orang lain.”
Kami ngobrol ringan saat makan malam. Tak ada yang serius. Shep terlalu sibuk makan. Dengan cepat dia menghabiskan makanannya.
Selesai makan, Shep membantuku mencuci piring dan memasukkan sisa makanan pada wadah.
“Kau bisa membawa ini untuk makan siang besok kalau mau,” tawarku saat menaruh wadah makanan ke dalam kulkas.
“Sungguh?”
“Tentu. Kalau kau mau.”
“Yeah. Trims, Bill,” ujarnya sambil nyengir.
Kuambil lagi sebotol bir untuk Shep. Kami menuju ruang tamu dan menonton TV. Kami tak banyak bicara, hanya menonton televisi dan minum dari botol masing-masing. Saat pertengahan acara berita, Shep akhirnya angkat bicara.
“Trims untuk makan malamnya, dan mengijinkanku tinggal.”
“Kau tak perlu terus-terusan berterima kasih.”
“Kau tak dengar cerita apapun dari Wendy?”
“Tidak.”
“Kami sering bertengkar belakangan ini,” katanya pelan sambil meneguk tetesan bir terakhir. Shep berpikir sejenak, dan menambahkan, “Pastinya menyenangkan rasanya bila orang-orang tak menaruh harapan besar padamu. Kau beruntung. Kau bisa jadi diri sendiri.”
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu… menjadi gay dan sebagainya.”
“Apa hubungannya?” kataku sambil mengerutkan dahi.
“Aku tak bermaksud demikian. Maksudku, kau tahu, tak ada yang berharap kau jago olahraga. Tak ada yang menyuruhmu menikah, membeli rumah, berkeluarga. Tak ada yang memaksamu untuk mencari uang lebih banyak. Kau tahu, hal-hal berbau gay.”
Aku merasa postur tubuhku menegang. “Hal-hal berbau gay? apa maksudnya itu? hanya karena aku seorang gay?” kudengar volume suaraku mulai meninggi. “Kau pikir aku senang tinggal di apartemen ini seorang diri? Kau pikir aku tak ingin mencari seorang pria untuk kunikahi dan berkeluarga? hanya karena aku gay?”
Shep mengangkat lengannya mencoba membela diri. “Aku tak bermaksud membuatmu kesal, Billy dan aku tak bilang kalau kau seperti wanita atau apa. Kupikir cowok gay tidak berpikir ke arah sana. Aku tidak tahu.”
“Sekarang kau tahu, kan? aku mau tidur duluan.”
Shep meraih lenganku dan menahanku pergi. “Aku minta maaf.”
Shep tampak bersungguh-sungguh menyesal telah menyinggungku sehingga aku melunak sedikit dan berusaha untuk tersenyum. “Tak usah khawatir. Mungkin akulah yang terlalu sensitif.”
AKu beranjak dan pergi ke kamar, meninggalkan Shep yang duduk di sofa. Walau bisa kurasakan penyesalannya, diriku masih merasa tersinggung.
Shep tak tahu rasanya. Aku sadar diriku gay sejak lama. Aku mengaku pada orangtuaku saat berusia 16 tahun. Mom berkata dia tak peduli, tapi aku bisa merasakan kalau dia sebenarnya terpengaruh. Dad berkata ‘tak apa’, selama kami tak membicarakan hal tersebut di segala situasi. Wendy yang egois tak peduli selama hal itu tak ada hubungan dengannya. Adikku Wilson menganggapku aneh dan itu terlihat jelas di matanya.
Saat SMU aku adalah anak yang ‘cupu’. Sampai di bangku kuliah, akhirnya aku telah menemukan jati diriku. Aku bahkan sudah memiliki pacar.
Aku masih terlihat sama seperti dahulu. Seperti anggota keluargaku yang lain, aku memiliki mata coklat dan rambut ikal coklat gelap. Aku membuat rambutku supaya tetap pendek sehingga tak tumbuh menjadi keriting. Aku memakai kacamata seperti halnya adik dan ibuku. Tinggiku hanya 175 senti. Perutku memang tak sekencang dulu, tapi tubuhku masih tetap terlihat langsing.
Pacar pertamaku Dave sangat menyenangkan. Dia berpendirian, dewasa dan penuh percaya diri untuk ukuran pria seusianya. Dia benar-benar berbeda denganku 180 derajat, dan aku ingin menjadi sepertinya. Aku sangat jatuh cinta padanya. Kuserahkan keperjakaanku padanya, dan kami berpacaran selama dua tahun. Dia bisa membuatku keluar dari cangkang. Saat kami berkencan, aku tak lagi cupu dan semakin percaya diri. Aku terguncang saat kami putus. Ketika kelulusannya hampir tiba, Dave sepertinya menjadi sangat sibuk. Kupikir penyebabnya adalah sibuknya dia yang mulai mencari pekerjaan. Aku terkejut saat tahu kenyataan sebenarnya kalau dia berselingkuh. Tetapi aku berhasil bertahan, walau hati ini merasa sekarat.
Setelah lulus kuliah dan kembali ke kampung halamanku, aku bertemu Payne. Dia lebih tua dariku. Usiaku waktu itu 22 tahun dan dia 36. Dia seorang pria besar dan gagah. Payne memperlakukanku dengan baik dan kami berpacaran selama hampir empat tahun. Aku sadar perbedaan usia kami membuat keluargaku merasa tak nyaman. Hampir seperti tak nyamannya mereka dengan ‘hal berbau gay’. Tapi aku tak peduli. Usianya tak menjadi masalah buatku. Sayangnya, tak berapa lama setelah dia menginjak usia 40 tahun, dia seperti terkena krisis paruh baya dan ketakutan. Setidaknya itulah yang kusangka. Selanjutnya sangat klise. Dia membeli mobil mustang konvertibel dan mencampakkan aku demi seorang cowok berusia 21 tahun. Saat itu aku merasa hancur, tapi sekarang kupikir dan sadar kalau dia seorang yang brengsek. Usianya tak jadi masalah buatku, tapi tampaknya usiakulah yang menjadi masalah baginya.
Itu terjadi beberapa tahun lalu. Kini usiaku 28 tahun. Aku tak mau bilang kalau hidupku getir, tapi kuakui aku sedikit lelah. Aku tak ingin terluka lagi, jadi aku kini jarang bergaul. Aku lebih suka hidup sendiri daripada terluka. Oke, mungkin hidupku memang sedikit getir.
Suara gedoran di pintu membuatku terjaga. Aku bangun, meregangkan badan dan beranjak ke pintu depan. Aku membuka pintu dan kudapati kakak iparku, Sheppard Bannister, berdiri di lorong tampak menyedihkan dan kuyu. Kedua lengannya dia masukkan ke dalam kantong celana jeansnya.
“Shep,” kataku terkejut. Kulirik jam dinding dan waktu menunjukkan jam 11.45 malam. “Kau kenapa?”
“Hey, Billy. Bisakah aku menginap malam ini?”
“Oh. Uh, baiklah.”
Aku membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan Shep masuk. Dia memungut tas duffel nya yang berada di lantai. Aku menutup pintu dan menguncinya. Aku sedikit malu berdiri di situ dengan hanya memakai kaus dan celana pendek, tapi memang aku sedang tak mengharapkan kedatangan tamu. Kami berdiri canggung dalam diam selama beberapa saat.
Shep menikah dengan kakakku, Wendy. Aku tidak mengerti bagaimana dia mendapatkan pria seperti Shep. Shep adalah Kapten dari semua tim olahraga di sekolahnya. Tubuhnya tinggi besar. Tentu saja, sudah sepuluh tahun berlalu. Memang sekarang tubuhnya tak sekencang dulu, tapi Shep tetap terlihat gagah. Rambutnya pirang gelap dan bermata biru. Sama seperti rambutnya, dagunya ditumbuhi rambut dengan warna yang sama. Dia memiliki cambang panjang yang hampir menyentuh rahangnya. Aku selalu iri dengan mudahnya Shep menumbuhkan rambut di wajahnya. Di usia 28 tahun, janggutku pun tak bisa tumbuh dengan rapi. Dengan tinggi 190 cm, Shep 15 senti lebih tinggi dariku. Usianya 32 tahun, empat tahun lebih tua dari usiaku. Walau memiliki jiwa pemberontak dan sedikit kasar, tapi dia selalu bersikap baik padaku.
Saat Wendy mengenalkan Shep pada keluarga 8 tahun yang lalu, aku masih duduk di bangku kuliah. Aku sedang libur natal saat Wendy mengajaknya. Aku langsung tertarik padanya, tapi setelah mengobrol dan mengenalnya lebih jauh, aku menyukainya lebih sebagai teman. Seumur hidup, aku tak akan pernah mengerti apa yang Shep lihat pada diri Wendy. Dia gadis pecicilan. Tak ada yang bisa membuatnya senang. Mereka menikah setahun kemudan dan jika kelakuan si pengantin buas Wendy tak membuat Shep takut, berarti dia tak takut pada apapun.
“Aku gak punya tujuan lain,” ujarnya memecah kesunyian.
“Kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau, itu kalau kau tak keberatan tidur di kasur lipat.”
“Yeah. Tak apa.”
Aku berjalan di lorong menuju kamar tamu yang kugunakan sebagai ruang komputer. Kunyalakan lampu dan menarik kasur lipat dan membukanya.
“Silakan,” ujarku. “Kamar mandi di ujung lorong. Biar kuambilkan seprai dan selimut untukmu.”
“Trims.”
Aku berjalan menuju kamar mandi dan membuka lemari. Aku mengambil satu set alas tidur dan sebuah selimut. Saat aku kembali ke ruang komputer, Shep sedang duduk di atas kasur sambil menatap lantai. Aku hanya berdiri di situ, tak tahu harus bilang apa.
“Aku meninggalkan Wendy,” ujarnya pelan.
“Turut menyesal Shep,” aku berkata, walau sebenarnya tak bersungguh-sungguh.
“Trims sudah mengizinkanku menginap, Billy.”
Aku lihat matanya berkaca-kaca dan dia berpaling dariku. Kurapikan alas tidur dan selimut di kasurnya.
“Tak masalah, Shep. Panggil aku kalau butuh sesuatu.”
Aku keluar kamarnya dan menutup pintu. Kumatikan televisi di ruang tamu dan bersiap untuk tidur. Aku masuk kamar dan menutup pintu. Aku tak bisa berhenti memikirkan Shep. Belum pernah kulihat dia tertekan seperti itu. Kuharap besok perasaannya akan membaik. Tidur malam yang nyenyak mungkin bisa membantu.
* * *
Aku bangun pagi sekali keesokan harinya dan kemudian mandi serta berpakaian untuk kerja. Di dapur aku mulai membuat kopi. Pagi itu aku sarapan sereal dan duduk di meja kecil. Saat Shep muncul di dapur, aku nyaris menumpahkan kopiku kemana-mana.
Shep muncul di dapur dengan mata setengah menutup. Rambutnya berantakan sekali. Dia hanya memakai boxer hijau saja. Dada dan perutnya tertutupi bulu-bulu pirang gelap, di mana terlihat tebal di tengah-tengah dadanya dan segaris di tengah hingga menghilang ke dalam celana pendeknya. Walau perutnya sedikit tak rata, tubuhnya masih berbentuk bagus untuk pria seusianya. Dia memiliki beragam tato di lengannya dan tato berbentuk laba-laba di kaki kriinya. Menurutku tato laba-laba itu terlihat keren, namun aku lebih suka tato berbentuk salib besar di lengan kirinya. Aku tak bisa untuk tidak memperhatikan celana pendeknya yang kesulitan menyembunyikan gundukan yang ada di dalamnya.
Aku duduk tak nyaman dan mengalihkan pandanganku pada mangkuk sereal. AKu bisa merasakan wajahku memanas dan memerah. Penisku menegang dan kututup mataku untuk menenangkan diri.
“Wangi kopinya enak,” katanya. Suaranya terdengar serak dan dia kemudian berdeham.
“Ambillah sendiri,” kataku tak berani menatapnya. “Cangkirnya ada di lemari.”
Shep mengambil cangkir dan menuangkan kopi untuknya sendiri, lalu duduk di meja. Dia meneguk kopinya beberapa kali dan merentangkan tangannya sambil menguap. Kemudian dia menggaruk-garuk dadanya. Aku harus menahan diri untuk tidak menatapnya.
“Susunya ada di kulkas kalau kau ingin makan sereal,” tawarku.
“Trims.”
Cepat-cepat kuhabiskan sarapanku dan berpamitan padanya untuk kerja. Aku akan mempermalukan diri sendiri jika terlalu lama bersamanya.
“Kau yakin tak apa aku tinggal di sini?” tanyanya saat aku hendak keluar ruangan. “Hanya beberapa hari. Aku tak akan merepotkan.”
“Yah, tak apa. Sesukamu. Ini kuncinya.”
Aku menarik laci dan mengeluarkan kunci serep rumahku. Aku menatap matanya dan tersenyum, kemudian cepat-cepat keluar. Aku berjalan menuju tempat parkir dan melihat truk merahnya terparkir di sebelah jeep milikku.
Shep seorang mekanik. Kebanyakan dia memperbaiki mobil-mobil dan truk lama. Dia sendiri memakai truk pick-up Chevy klasik. Warnanya merah terang dan sepertinya seumur hidup dia memakai truk itu. Jalannya masih seperti mobil baru. Dia pernah menyebutkan tahun pembuatan truk itu padaku, tapi aku sudah tak ingat. Mungkin buatan tahun enampuluhan. Wendy selalu berusaha membujuk Shep untuk menjual truk itu, tapi dia enggan melakukannya karena butuh kerja keras bertahun-tahun lamanya untuk memperbaiki truk itu. Shep menganggap truk itu seperti anaknya, dan dia bangga akan hal itu. Sementara aku tak punya ikatan apapun terhadap mobil jeep-ku, aku bisa mengerti keterikatan Shep pada truknya.
Kuusap truk itu dengan tanganku dan kemudian mengendarai jeepku ke tempat kerja.
Saat aku duduk di kubikal kerjaku, aku sulit berkonsentrasi pada pekerjaan. Yang kupikirkan hanyalah Shep. Jika aku tak memikirkan apa yang terjadi antara dia dan Wendy, pastilah aku sedang membayangkan tubuhnya.
Ketika aku sampai di rumah, aku masuk ke kamar dan melepas pakaian kerjaku. Aku sudah ingin mengganti pakaianku dengan pakaian yang lebih nyama. Lalu aku memakai kaus dan celana pendek.
Kuputuskan untuk memasak makan malam. Aku suka sekali memasak, dan kupikir betapa menyenangkan bila harus memasak untuk orang lain selain diriku. Aku memilih untuk memasak dada ayam saus madu dengan kentang tumbuk dan brokoli kukus.
Shep tiba di rumah saat aku sedang memasak. Dia bersandar di pintu dapur dan mengawasiku. Dia memakai kemeja kerja biru tua bertuliskan “Midtown Auto” di dada sebelah kirinya. Di sebalah kanannya, ada tulisan “Shep” yang dibordir. Terlihat beberapa noda oli di celana kerjanya.
“Baunya enak sekali,” katanya.
Aku melihatnya sambil tersenyum. “Trims.”
“Butuh bantuan?”
“Tidak usah.”
“Baiklah. Um… aku mau nonton tv saja kalau boleh?”
“Silakan.”
Dia berjalan menuju keran wastafel dan menggosok-gosok lengannya. “Butuh gojo (sejenis sabun tangan – red.),” gumamnya sambil terus menggosok kotoran dan oli dari lengan dan kukunya. Setelah dia membersikan lengannya, dia melepas sepatu kerjanya dan keluar dari dapur. Aku menghela nafas gugup dan melanjutkan menumbuk kentang.
Aku menggelar alas meja dan memanggil Shep. Dia mematikan televisi dan berdiri gugup melihat meja makan.
“Kau ingin minum sesuatu?” tanyaku.
“Kau punya bir?”
“Aku punya bir gandum Blue Moon.”
“Bolehlah.”
Aku mengambil botol bir untuk Shep dan air mineral untukku. Kami duduk di meja makan dan menyantap makan malam kami.
“Mm. ini enak sekali, Billy.” Gumam Shep memuji masakanku. “Jarang makan seperti ini di rumah,” tambahnya. “Atau yang dulunya rumahku.”
“Trims, Shep. Senang rasanya bisa memasak untuk orang lain.”
Kami ngobrol ringan saat makan malam. Tak ada yang serius. Shep terlalu sibuk makan. Dengan cepat dia menghabiskan makanannya.
Selesai makan, Shep membantuku mencuci piring dan memasukkan sisa makanan pada wadah.
“Kau bisa membawa ini untuk makan siang besok kalau mau,” tawarku saat menaruh wadah makanan ke dalam kulkas.
“Sungguh?”
“Tentu. Kalau kau mau.”
“Yeah. Trims, Bill,” ujarnya sambil nyengir.
Kuambil lagi sebotol bir untuk Shep. Kami menuju ruang tamu dan menonton TV. Kami tak banyak bicara, hanya menonton televisi dan minum dari botol masing-masing. Saat pertengahan acara berita, Shep akhirnya angkat bicara.
“Trims untuk makan malamnya, dan mengijinkanku tinggal.”
“Kau tak perlu terus-terusan berterima kasih.”
“Kau tak dengar cerita apapun dari Wendy?”
“Tidak.”
“Kami sering bertengkar belakangan ini,” katanya pelan sambil meneguk tetesan bir terakhir. Shep berpikir sejenak, dan menambahkan, “Pastinya menyenangkan rasanya bila orang-orang tak menaruh harapan besar padamu. Kau beruntung. Kau bisa jadi diri sendiri.”
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu… menjadi gay dan sebagainya.”
“Apa hubungannya?” kataku sambil mengerutkan dahi.
“Aku tak bermaksud demikian. Maksudku, kau tahu, tak ada yang berharap kau jago olahraga. Tak ada yang menyuruhmu menikah, membeli rumah, berkeluarga. Tak ada yang memaksamu untuk mencari uang lebih banyak. Kau tahu, hal-hal berbau gay.”
Aku merasa postur tubuhku menegang. “Hal-hal berbau gay? apa maksudnya itu? hanya karena aku seorang gay?” kudengar volume suaraku mulai meninggi. “Kau pikir aku senang tinggal di apartemen ini seorang diri? Kau pikir aku tak ingin mencari seorang pria untuk kunikahi dan berkeluarga? hanya karena aku gay?”
Shep mengangkat lengannya mencoba membela diri. “Aku tak bermaksud membuatmu kesal, Billy dan aku tak bilang kalau kau seperti wanita atau apa. Kupikir cowok gay tidak berpikir ke arah sana. Aku tidak tahu.”
“Sekarang kau tahu, kan? aku mau tidur duluan.”
Shep meraih lenganku dan menahanku pergi. “Aku minta maaf.”
Shep tampak bersungguh-sungguh menyesal telah menyinggungku sehingga aku melunak sedikit dan berusaha untuk tersenyum. “Tak usah khawatir. Mungkin akulah yang terlalu sensitif.”
AKu beranjak dan pergi ke kamar, meninggalkan Shep yang duduk di sofa. Walau bisa kurasakan penyesalannya, diriku masih merasa tersinggung.
Shep tak tahu rasanya. Aku sadar diriku gay sejak lama. Aku mengaku pada orangtuaku saat berusia 16 tahun. Mom berkata dia tak peduli, tapi aku bisa merasakan kalau dia sebenarnya terpengaruh. Dad berkata ‘tak apa’, selama kami tak membicarakan hal tersebut di segala situasi. Wendy yang egois tak peduli selama hal itu tak ada hubungan dengannya. Adikku Wilson menganggapku aneh dan itu terlihat jelas di matanya.
Saat SMU aku adalah anak yang ‘cupu’. Sampai di bangku kuliah, akhirnya aku telah menemukan jati diriku. Aku bahkan sudah memiliki pacar.
Aku masih terlihat sama seperti dahulu. Seperti anggota keluargaku yang lain, aku memiliki mata coklat dan rambut ikal coklat gelap. Aku membuat rambutku supaya tetap pendek sehingga tak tumbuh menjadi keriting. Aku memakai kacamata seperti halnya adik dan ibuku. Tinggiku hanya 175 senti. Perutku memang tak sekencang dulu, tapi tubuhku masih tetap terlihat langsing.
Pacar pertamaku Dave sangat menyenangkan. Dia berpendirian, dewasa dan penuh percaya diri untuk ukuran pria seusianya. Dia benar-benar berbeda denganku 180 derajat, dan aku ingin menjadi sepertinya. Aku sangat jatuh cinta padanya. Kuserahkan keperjakaanku padanya, dan kami berpacaran selama dua tahun. Dia bisa membuatku keluar dari cangkang. Saat kami berkencan, aku tak lagi cupu dan semakin percaya diri. Aku terguncang saat kami putus. Ketika kelulusannya hampir tiba, Dave sepertinya menjadi sangat sibuk. Kupikir penyebabnya adalah sibuknya dia yang mulai mencari pekerjaan. Aku terkejut saat tahu kenyataan sebenarnya kalau dia berselingkuh. Tetapi aku berhasil bertahan, walau hati ini merasa sekarat.
Setelah lulus kuliah dan kembali ke kampung halamanku, aku bertemu Payne. Dia lebih tua dariku. Usiaku waktu itu 22 tahun dan dia 36. Dia seorang pria besar dan gagah. Payne memperlakukanku dengan baik dan kami berpacaran selama hampir empat tahun. Aku sadar perbedaan usia kami membuat keluargaku merasa tak nyaman. Hampir seperti tak nyamannya mereka dengan ‘hal berbau gay’. Tapi aku tak peduli. Usianya tak menjadi masalah buatku. Sayangnya, tak berapa lama setelah dia menginjak usia 40 tahun, dia seperti terkena krisis paruh baya dan ketakutan. Setidaknya itulah yang kusangka. Selanjutnya sangat klise. Dia membeli mobil mustang konvertibel dan mencampakkan aku demi seorang cowok berusia 21 tahun. Saat itu aku merasa hancur, tapi sekarang kupikir dan sadar kalau dia seorang yang brengsek. Usianya tak jadi masalah buatku, tapi tampaknya usiakulah yang menjadi masalah baginya.
Itu terjadi beberapa tahun lalu. Kini usiaku 28 tahun. Aku tak mau bilang kalau hidupku getir, tapi kuakui aku sedikit lelah. Aku tak ingin terluka lagi, jadi aku kini jarang bergaul. Aku lebih suka hidup sendiri daripada terluka. Oke, mungkin hidupku memang sedikit getir.
0 komentar:
Posting Komentar