DILEMA (part I)

Dirgantara putra 14.08 |



PART ONE
INI MEMANG BAGIANKU

Seperti kutub utara dan kutub selatan bumi, seperti ufuk barat dan ufuk  timur, seperti siang dan malam hari, seperti warna hitam dan putih, seperti hulu dan hilir sungai. Semua berpasang – pasangan, semua sudah ada bagiannya…..”

“Kamu tahu? Hidup ini sangat keras. Keras bagaikan batu,“ ucap Igo tiba – tiba, lalu ia menyulutkan api di ujung sebatang rokok.
“Aku tahu. Tidak mudah menjalani hidup seperti ini,“ jawab Dave merebahkan diri di atas tempat tidur Igo.
“Orang – orang  tidak akan mudah menerimanya atau bahkan sama sekali tidak,“ lanjut Igo lagi dengan suara pelan. Asap rokok mengepul dari mulutnya membentuk suatu rupa yang tak jelas bentuknya. Dave beranjak bangun dan duduk bersebelahan dengannya. Ia menarik napas panjang.
“Kita hidup di negara yang tidak mudah menerima hal – hal seperti itu.“
“Aku menyesal telah dilahirkan seperti ini. Kalau pun aku telah dilahirkan seperti ini, kenapa aku tak sama dengan yang lainnya!!!“ sesal Igo dengan nada suara yang meninggi. Ia beranjak dari duduknya dan berdiri di dekat jendela memandang langit yang gelap malam itu. Dave memperhatikan tingkahnya dengan rasa iba.
“Kamu nggak sendirian Igo. Bukankah aku mengalami hal yang sama denganmu?” tanya Dave.
“Tapi kau masih beruntung ‘Dave. Tidak seperti aku!!“ jawab Igo lirih. Air mata terlihat jatuh dari pelupuk matanya. Selama ini ia berusaha terlihat tegar di depan Dave, namun kali ini tidak. Perasaan memang tak mudah dibohongi.
“Ya sudah. Kita terima saja apa adanya kita. Jalani saja hidup ini selayaknya air yang mengalir,“ ucap Dave menepuk pelan pundak Igo. Igo tidak menjawab. Ia membisu dalam keheningan malam yang semakin larut. Dave membiarkannya.
“Igo, aku pulang ya?“ pamit Dave. Igo masih tak menjawab. Bahkan anggukan kepala tanda iya pun tak dilakukannya.
“Kuharap, besok kau bisa lebih tenang.“
Igo tak bergeming sedikit pun. Tatapan matanya kosong. Entah apa yang ia renungkan. Ia berusaha menerima apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
♥♥♥

Winda berjalan santai di koridor menuju ke kelasnya. Sementara itu, tanpa ia sadari dari kejauhan Igo memperhatikannya dengan seksama sambil menghisap sebatang rokok. Melihat secara detail setiap gerak dan lekuk – lekuk tubuh Winda yang ramping. Melihat dengan sedikit terpesona rambut Winda yang panjang hitam tergerai.
“Seksi, cantik,“ gumamnya pelan. Asap rokok yang dihembuskan dari mulutnya terbawa angin semilir hingga aroma tembakaunya yang khas tercium oleh hidung Winda. Ia berhenti sejenak dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dilihatnya Igo tengah bersandar di dinding belakang toilet siswa sambil asik menghisap rokok dan menyemburkan asapnya dengan tampak nikmat.
“Igo!!“ panggil Winda. Ia terkejut dan spontan membuang rokok yang tampak baru separuh  dihisapnya.
“Winda?“ katanya dengan nada terkejut.
Ngapain kamu di sini? Gawat lho kalau sampai ketahuan sama Pak Bambang?“ ujar Winda menasehati. Mendengar perkataan Winda, Igo tampak tidak terima. Wajahnya tiba – tiba berubah menjadi merah.
Urusin saja urusan kamu sendiri!!!“ ucap Igo dengan nada tinggi.
Lho kok marah?“ tanya Winda heran.
Laporin saja sama Pak Bambang!!“ teriak Igo kesal sambil bergegas meninggalkan Winda.
“Igo….!!!“ teriak Winda. Namun Igo tidak peduli. Ia terus melangkah tanpa memperdulikan Winda yang terus berteriak memanggil – manggil namanya. Winda heran melihat tingkah laku Igo. Padahal ia tidak bermaksud untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Pak Bambang. Memang selama ini Igo selalu bersikap dingin kepadanya, bahkan cenderung cuek. Tapi tidak pernah ia berkata – kata dengan nada tinggi seperti itu sebelumnya. Kenapa Igo yang terlihat cool di matanya itu tiba – tiba berubah menjadi temperamental?
“Mungkin Igo hanya salah paham aja,“ batin Winda dalam hati. Winda menghela napas yang panjang. Lalu ia bergegas pergi meninggalkan toilet menuju ke kelasnya dengan sedikit perasaan bersalah kepada Igo.
♥♥♥
Malam itu udara sangat lembab. Hujan gerimis yang terus – menerus turun membuat udara dingin bagaikan es. Igo duduk terpaku di lantai seorang diri di dalam kamar kosnya. Televisi yang menyala ia biarkan begitu saja tanpa ditontonnya. Kepalanya menunduk. Pikirannya kosong. Tangannya menggaruk – garuk ujung kakinya yang tidak gatal. Mulutnya bergerak – gerak tapi tidak mengeluarkan suara. Ia seperti menyesali perbuatannya selama ini.
Suara – suara jangkrik di malam hari semakin menambah hening suasana. Suara televisi terus – terusan berbunyi tanpa ada yang menanggapi untuk melihat acara apakah yang sedang ditayangkan. Igo tampak tidak tertarik dengan gambar – gambar yang ditayangkan oleh televisi tersebut. Telinganya seakan tuli, tak mendengar suara – suara di sekitarnya. Hanya suara hatinyalah yang ia dengar.
“Sampai kapan kau akan terus begini?“ suara dari dalam sudut hatinya yang paling dalam tiba – tiba berbunyi. Igo sedikit tersentak. Ia menjawab dengan bibir yang bergetar.
“Aku tidak tahu,“ jawabnya pelan.
“Kenapa kau sampai tidak tahu? Bukankah sudah jelas kau harus memilih bagian yang mana,“ kata suara hati nuraninya berbisik.
“Aku tahu. Tapi itu bukan pilihanku, itu bukan keinginanku,“ jawabnya lagi dengan suara yang sedikit membesar.
“Jangan turuti keinginanmu. Turutilah keinginan Tuhanmu!!“ lanjut hati nuraninya dengan nada meninggi.
“Ini keinginan Tuhan!! Tuhan yang membuatku jadi begini!!“ bentaknya sambil melemparkan bantal ke dinding hingga mengenai toples yang berisi ikan. Toples tersebut  jatuh pecah berserakan di lantai.
“Kau masih punya kesempatan untuk berubah. Tuhan pasti memberi jalan,“ kata hati nuraninya lagi dengan suara yang melemah.
“Kesempatan? Kesempatan apa!!! Kenapa tidak dari awal ketika aku dilahirkan!! Kenapa Tuhan membuatku jadi berbeda!! Tidak sama seperti orang lain!! Kalau boleh aku memilih, aku tidak mau dilahirkan ke dunia kalau tahu nantinya aku dilahirkan seperti ini!!“ bentak Igo kepada hati nuraninya sendiri. Suaranya memecah kesunyian malam. Air matanya jatuh tak terbendung bagaikan titik air hujan yang turun gerimis malam itu.
Suara – suara jangkrik yang nyaring seperti mengalunkan sebuah alunan melodi yang menyayat hati. Seperti alunan melodi instrumentalia yang mengiringi sebuah drama tentang kegalauan hati.
“Terima apa adanya dirimu,“ tiba – tiba suara dari sudut hatinya yang lain berbunyi. Igo menjawab dengan nada heran.
“Maksudmu?“ tanyanya dengan suara yang kembali pelan.
“Ya, jalani kehidupan ini seperti layaknya air yang mengalir. Salahkan Tuhan kenapa menciptakan kamu seperti ini,“ jawab suara hati tersebut dengan pasti. Igo seakan menemukan kembali kepercayaan dirinya.
“Dave benar,“ ujarnya pelan. Namun kepercayaan dirinya tak berlangsung lama.
Stop!! Ingat Igo perbuatan kamu itu salah!!!“ tiba – tiba suara hati nuraninya kembali bergaung dengan nada yang keras. Tanpa ia kehendaki, suara – suara hatinya yang lain tiba – tiba bermunculan, bergaung mengeluarkan komentar – komentar yang saling bertolak belakang. Suara – suara itu memenuhi seluruh ruang hatinya, pikirannya sampai ke dalam lubang telinganya. Suara – suara itu jelas dan tampak semakin nyata. Seakan ada sebuah debat seru antar kelompok dan mengharuskan Igo untuk menentukan siapa akhirnya yang menjadi pemenang. Igo tampak tak tahan. Ia menutup kedua daun telinganya rapat – rapat. Namun, suara – suara perdebatan itu masih saja menggaung di telinganya. Ia menggeram, lalu ia berteriak sekencang – kencangnya.
“Diaaaaaaaam!!!!“ suaranya kembali memecah kesunyian malam. Jangkrik – jangkrik berhenti mengalunkan nada – nada penuh kegalauan. Hujan berhenti menumpahkan airnya ke bumi. Malam semakin larut dalam persimpangan dilema.

Suara hati nurani adalah sedemikian halusnya, sehingga mudah dicekik, tetapi sedemikian murninya, sehingga tak mungkin disalah artikan.”
♥♥♥
                                                                                                            12  Maret 2014
Dear Diary
Hari ini aku melihat Igo merokok di toilet belakang sekolah. Aku heran, kenapa ia berani merokok disaat jam pelajaran tengah berlangsung. Lantas aku menghampirinya. Seperti biasa, sikap coolnya selalu membuatku terpesona. Lalu aku berbasa – basi memberi tahu dia, kalau sampai ketahuan sama Pak Bambang, bisa gawat urusannya. Eh, Tau nggak dia jawab apa? “Urusin aja urusan kamu sendiri,Gitu katanya. Padahal aku nggak ada maksud buat ngelaporin dia. Bete juga sih ngedengernya. Niatnya mau basa – basi eh malah dia salah paham.
Igo…Igo, kenapa sih sikap kamu begitu dingin. Malah lebih dingin dari sebongkah es. Aku benar – benar penasaran sama kamu. Kamu tuh beda sama cowok – cowok lain yang ada di sekolah. Nggak genit kayak si Bryan, nggak kepedean kayak si Riko atau sok kegantengan kayak si Andy. Kamu tuh cool. Ya…Cool. Aku suka gaya kamu itu. Sebenarnya kamu tuh ganteng. Seandainya kamu sedikit saja beraksi godain cewek – cewek di sekolahan kita, bisa – bisa si Riko kalah pamor tuh sama kamu. Aku yakin deh, pasti cewek – cewek pada kelepek – kelepek. Termasuk aku Igo.
Tapi, kenapa Igo tadi kamu kasar sama aku. Biasanya juga nggak. Kalau ada masalah coba ceritain.  Kalau bisa pasti aku bantu dengan senang hati. Sifat cool kamu itu menjadi bumerang bagi kamu sendiri. Punya masalah akhirnya dipendam sendiri. Abis kamu tuh terlalu cool. Jadi, orang anggap kamu tuh sombong. Temen kamu di sekolah bisa dihitung pake jari.
Walaupun begitu, aku tetap suka kamu kok Igo. Aku tetap mengagumimu. Kapan ya kita bisa ngobrol banyak. Dari hati ke hati.

Winda menutup diarynya dengan rasa penasaran yang masih menyelingkupi.
“Igo…“ desahnya pelan. Ia merebahkan tubuhnya yang ramping ke atas ranjangnya yang empuk. Matanya perlahan – lahan memejam. Pikirannya dipenuhi dengan segudang rasa penasarannya kepada Igo.
“Igo…… I love You.“ Perkataan penuh makna yang tanpa sadar ia ucapkan dari bibir mungilnya menutup hari malam itu.
♥♥♥

Winda kembali memergoki Igo tengah berada di toilet belakang sekolah. Seperti biasa, mulutnya tengah asik mengisap sebatang rokok. Ia menghampiri Igo dengan hati – hati dan sebisa mungkin menyapa dengan kata – kata yang tak berhubungan dengan aktivitasnya saat itu.
“Igo,“ sapa Winda pelan. Igo memalingkan wajahnya. Rokok yang berada di tangannya segera  dibuangnya.
“Ada apa?“ tanyanya pelan dengan wajah dingin tak berekspresi.
Nggak ada apa – apa. Aku cuma mau minta maaf soal yang kemarin,“ jawab Winda tersenyum.
“Masalah apa? Aku nggak punya masalah dengan kamu,“ ucapnya santai hingga membuat dahi Winda sedikit berkerut.
“Kamu nggak ingat sama sekali?“ tanya Winda bingung.
“Kalau kata kamu yang kemarin itu masalah, bagiku itu nggak. Jadi, kita nggak punya masalah,“ jawabnya hingga membuat Winda heran.
“Kamu aneh Igo,“ ujar Winda.
“Aku memang aneh,“ sahut Igo ketus.
“Sebenarnya apa masalah kamu Igo?“ tanya Winda menyelidik. Igo terdiam sejenak. Kali ini ia tidak menjawab pertanyaan Winda. Kepalanya menunduk dan tatapan matanya kosong. Winda lalu memegang pundaknya seperti seorang sahabat yang siap untuk mendengar cerita  dan memberikan solusi.
“Cerita Igo sama aku. Siapa tahu aku bisa membantu,“ tawar Winda dengan suara yang menyakinkan. Igo mendongakkan kepalanya ke atas. Melihat segumpalan awan putih bersih yang menyerupai segerombolan anak – anak domba yang terbang melayang – layang mengikuti hembusan angin.
“Andai aku jadi awan. Tidak usah jadi manusia yang punya banyak masalah,“ ujarnya pelan. Winda tertawa kecil mendengarnya. Dalam hati ia membatin, “Apa – apaan Igo berkata seperti itu?”
“Tapi sayang Igo. Kamu itu manusia,“ ujar Winda.
“Itulah yang kusesalkan. Kenapa aku diciptakan menjadi manusia,“ katanya lirih.
“Itu takdir Igo. Kita harusnya bersyukur diciptakan sebagai manusia. Punya akal, pikiran, hawa nafsu, keinginan – keinginan. Tiada yang lebih bahagia selain menjadi manusia,“ ucap Winda hingga membuat Igo memalingkan wajah ke arahnya. Ia tersenyum sinis.
“Bukankah itu semua menjadi bumerang bagi kita?“ tanya Igo.
“Tidak. Selama kita bisa mengaturnya dan menjalaninya sesuai apa yang dinginkan oleh Tuhan,“ jawab Winda menatap wajah Igo.
“Tapi tidak semudah itu. Tak sesederhana itu bila kamu jadi aku.“
“Aku tahu. Kamu itu laki – laki. Bukankah jadi laki – laki itu menyenangkan? Bebas, ke mana – mana nggak ada yang melarang, gaya selengekan tanpa terikat banyak aturan. Lain dengan perempuan. Ini itu nggak boleh. Pulang jangan kemalemanlah, sikap dijagalah dan seabrek – abrek yang lain. Malah aku pernah berpikir, kenapa aku nggak jadi laki – laki aja. Nggak hamil dan nggak melahirkan,“ ujar Winda panjang lebar dengan sedikit bercanda. Igo tampak tak tertarik dengan candaan itu. Ia kembali menundukkan kepalanya.
“Tetap tidak sesederhana itu masalahnya. Ini masalah hati, masalah jiwa, yang hanya Tuhan yang bisa merubahnya.“
“Kalau begitu, kamu berusaha aja untuk merubahnya, Tuhan pasti akan membantu,“ ucap Winda hingga seketika membuat hati Igo menjadi sedikit tergugah. Ia mendongakkan kepalanya lagi lalu menatap wajah Winda lekat – lekat sambil memegang lembut pundaknya dengan kedua tangannya.
“Kenapa kamu simpati sama aku ‘Tha? Padahal kita beda kelas dan nggak saling kenal dekat,“ tanyanya tiba – tiba. Winda sedikit terkejut mendengarnya. Ia tak tahu harus menjawab apa. Jantungnya berdegup dengan keras. Apalagi tatapan mata Igo yang tajam bagaikan mata elang itu serasa menembus masuk ke jantung hatinya. Ia tak kuasa melihatnya. Ibarat sebongkah es, mungkin ia telah mencair dan menjadi air. Ingin rasanya ia mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa ia telah jatuh cinta kepadanya. “Seandainya kau tahu perasaan hatiku ini Igo. Tak bisakah kau menangkap gelagat cinta yang kuberikan kepadamu? Saat itu akan segera tiba Igo,“ batinnya dalam hati. Winda melepaskan pegangan tangan Igo di kedua pundaknya.
“Tapi kita satu sekolah ‘kan Igo?“ jawab Winda tersenyum sambil melangkah meninggalkan Igo dengan raut wajah penuh keingintahuan. Igo masih tak bisa menangkap gelagat itu. Ia berdiri terpaku melihat Winda berlalu meninggalkannya.
♥♥♥

“Apa tandanya kalau ada seorang cewek yang simpati dengan kita, padahal yang lain tidak dan biasa – biasa aja?“ tanya Igo kepada Dave.
“Itu tandanya, cewek itu suka sama kamu,“ jawab Dave dengan senyum yang dipaksakan..
Ngaco kamu,“ ujar Igo melempar Dave dengan bantal.
“Putri juga begitu dulu sama aku,“ kata Dave menerawang.
“Tapi kamu bisa menerimanya,“ balas Igo dengan suara yang tiba – tiba melemah. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Dave diam dan tak ingin menjawab. Ia berbaring di kasur memainkan gitar dengan nada yang tak karuan. Igo memperhatikannya sambil tersenyum.
“Tentu saja kamu bisa menerimanya. Kamu suka dia,“ lanjut Igo lagi. Dave menghela napas yang panjang.
“Siapa namanya Igo?“ tanya Dave.
“Winda,“ jawab Igo singkat.
“Simpati bukan berarti dia suka lho Igo.“
“Kalau dia benar – benar suka aku?“ tanyanya hingga membuat Dave tak tahu harus menjawab apa. Perbincangan terhenti sangat lama. Igo terus menikmati rokoknya, sementara Dave terus memainkan senar – senar gitar dengan nada – nada yang tak berirama. Suaranya kembali memecah kekakuan.
“Kamu nggak bisa jawab ‘kan ‘Dav?“ tanyanya lagi. Dave mencoba menjawab.
“Kalau dia suka kenapa tidak?“ jawab Dave dengan nada setengah hati. Igo menghisap rokoknya dalam – dalam lalu menyemburkan asapnya ke udara hingga membuat kabut tipis yang melayang – layang bagaikan sutera di dalam kamarnya.
“Benar. Kenapa tidak? Ini memang bagianku. Ya, bagianku seperti kata hati nuraniku malam tadi,“ ujar Igo dengan kata – kata yang tak dimengerti oleh Dave.
“Apa Igo?“
“Ya, bagianku. Bagianku di dunia ini sesuai dengan kehendak Tuhan.“
♥♥♥
26  Maret  2014
Dear Diary
Hari ini aku
seneng banget. Soalnya tadi di sekolah aku ngobrol lumayan banyak dengan Igo. Jarang – jarang kesempatan seperti itu. Biasanya juga ketemu hanya bilang “hey“ atau bicara sepatah dua patah kata aja. Tapi tadi nggak. Igo curhat sama aku. Walaupun kesannya masih malu – malu. Aku juga nggak tahu pasti apa masalah yang sedang menimpa dirinya. Katanya, dia menyesal kenapa diciptakan menjadi manusia, kenapa nggak jadi awan saja. Aneh sih kedengerannya. Aku nggak tahu apa maksudnya. Aku juga nggak bisa menebak – nebak dengan pasti. Tapi menurutku, jika ada seseorang yang berandai – andai ingin menjadi awan, menjadi pohon, atau menjadi tumbuhan, pasti masalah yang dia hadapi sangatlah berat. Hingga dia berpikiran, kenapa nggak jadi pohon atau awan saja, yang bebas, nggak punya masalah, nggak mikirin ini itu segala macam seperti manusia yang dianugerahi akal dan pikiran oleh Tuhan.
Diary,  untuk pertama kalinya dia pegang kedua pundakku dan menatap mataku dengan tajam. Aku tak kuasa melihatnya. Hatiku dag dig  dug dibuatnya. Jantungku seakan ingin lepas dari gantungannya. Oh Igo, seandainya saat itu aku punya keberanian untuk mengatakannya. Tapi, kalau aku mengatakannya belum tentu juga kamu akan suka ‘kan Igo. Lagian, kesannya agresif sekali aku bila mengungkapkannya duluan. Biarlah waktu yang akan menjawab. Cinta itu memang butuh proses.

Winda menutup diarynya. Wajah Igo yang tampan terus menghiasi pikirannya. Bagaimana Igo menatapnya dan sentuhan tangannya yang lembut seakan masih terasa di atas pundaknya. Bagaimana suaranya yang serak dan berat itu masih terngiang – ngiang di lubang telinganya.
“Seandainya kamu tahu Igo. Malam ini aku nggak bisa tidur. Aku terus aja mikirin kamu. Kau telah mencuri hatiku Igo. Aku terjerat pesonamu. Mengapa kau begitu menarik di mataku. Mengapa hanya kamu yang bisa membuat hatiku bergetar. Apakah kamu merasakan hal sama denganku malam ini Igo ?“
♥♥♥




“Masih memikirkan kenapa kamu jadi manusia?“ tanya Winda tiba – tiba berdiri di depan Igo yang sedang duduk seorang diri di bangku taman sekolah.
“Masih,“ jawab Igo singkat. Winda duduk di sampingnya, kemudian memperhatikan wajahnya yang seperti biasa, cool. Sambil menopang dagu dengan kedua tangannya, Winda terus saja memperhatikannya. Igo sadar ia diperhatikan, lantas ia balas memperhatikan Winda. Namun dengan secepat kilat Winda melengoskan wajahnya. Igo geleng – geleng kepala. Winda tertawa kecil tak bersuara.
“Kenapa?“ tanya Igo singkat. Winda berpaling ke Igo.
“Coba kamu tuh senyum. Sedikit aja,“ goda Winda. Igo menatap mata Winda dengan tajam hingga membuatnya jadi salah tingkah. Lagi – lagi ia tak kuasa menatap tatapan mata itu.
“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku kemarin?“ tanya Igo tiba – tiba. Deg!  jantung Winda seketika berdegup kencang.
“Bukannya sudah kujawab?“ jawab Winda tenang.
“Itu bukan alasan kamu simpati sama aku ‘kan?“ tanya Igo lagi.
“Bukankah setiap manusia butuh manusia lain untuk berbagi cerita?“ tanya Winda balik
“Tapi kamu tidak tahu apa masalahku,“ jawab Igo ketus.
“Seandainya kamu memberitahuku Igo,“ desak Winda sambil memegang kedua pipinya. Igo tersentak kaget.
“Maaf Igo,“ ucap Winda menjauhkan tangannya. Igo buru – buru beranjak dari tempat duduknya.
“Tak perlu meminta maaf. Sorry, aku sudah ditunggu teman di kantin,“ katanya berlalu meninggalkan Winda.
Angin semilir merontokkan daun – daun beringin yang kering. Ada yang jatuh berserakan di atas tanah. Sebagian lagi tampak bersiuran ditiup angin. Winda duduk sendiri di bangku taman. Memikirkan sikap Igo yang terlalu misterius baginya.
“Sebenarnya, apa masalahmu Igo?“ tanya Winda dalam hati.
“Apakah sepenting itu hingga kau tak mau menceritakannya kepadaku.“
Ia beranjak dari tempat duduknya dengan meninggalkan daun – daun beringin yang terus berguguran jatuh ke bumi.
Mendung tampak menggelayut di atas langit kota Malang. Awan – awan yang tadinya berwarna putih bersih berganti warna menjadi kehitam – hitaman. Angin berhembus sedikit kencang hingga membuat pohon – pohon di sekitar sekolah bergoyang – goyang ke sana – kemari. Winda berjalan pelan menuju ke pintu gerbang sekolah. Ia melihat jam tangannya.
“Sudah jam 4 rupanya,“ gumamnya pelan. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat hingga akhirnya sampai di pinggir jalan. Ia berhenti. Matanya celingukan ke sana kemari melihat apakah ada angkutan umum yang lewat. Sesekali ia melihat jam tangannya. Dari belakang terdengar suara motor yang menghampirinya. Bunyi mesinnya yang nyaring cukup memekakkan telinga. Winda menoleh ke belakang hendak memarahi pengendara motor tersebut. Tapi ia tidak jadi marah ketika tahu pengendara motor tersebut adalah Igo.
“Igo, baru pulang?“ tanya Winda.
“Ya, mau bareng?“ ajak Igo lagi – lagi dengan gaya coolnya. Winda tersenyum lebar. “Tumben,“ batinnya dalam hati.
“Boleh,“ jawab Winda menerima ajakan Igo. Tanpa banyak kata Igo melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Spontan Winda memeluk pinggangnya erat. Igo membiarkannya.
“Ini memang bagianku.“
Di perjalanan mereka berdua tidak banyak bicara. Winda lebih banyak melamun memikirkan sikap Igo yang benar – benar tak bisa dimengerti olehnya, “Tadi siang jutek, sekarang berubah jadi manis.”
Igo menurunkan kecepatan motornya di jalan yang ramai. Winda melepaskan pelukkannya.
“Bentar lagi hujan lho Igo!!“ ucap Winda dengan suara yang dikuatkan. Igo tidak menjawab, lalu dengan nada cuek ia bertanya.
“Rumah kamu di mana?“ tanya Igo.
“Rumahku masih jauh, di Deket UM,“ jawab Winda. Igo kembali memacu motornya dengan kencang. Motornya ia lajukan ke arah jalanan menuju Pangkalbalam.
Winda mendongakkan kepalanya ke atas, melihat langit yang tampak semakin hitam disertai suara gemuruh yang riuh rendah. Titik air hujan tampaknya sudah tak sabar lagi ingin ditumpahkan. Ia menengadahkan tangannya ke atas. Tampak satu sampai tiga tetes air jatuh membasahi telapak tangannya yang halus. Igo terlihat tenang mengendarai motornya dengan kencang. Ia tidak terpengaruh dengan tetes air hujan yang mulai membasahi jaket levisnya.
“Igo, hujan!!“  teriak Winda dengan suara keras. Tetes air hujan itu akhirnya jatuh ke bumi dengan begitu derasnya. Igo membelokkan motornya dan berhenti di sebuah rumah kosong di pinggir jalan. Dengan cepat mereka berdua turun dari motor dan berteduh di sana.
Mereka berdua berdiri di teras depan rumah kosong tersebut dengan membisu. Tak ada kata – kata yang terlontar untuk memecah kebisuan. Winda tampak kedinginan dan merapatkan kedua tangannya di dada agar terasa hangat. Baju seragamnya terlihat setengah basah. Rambut hitam panjangnya pun kuncup tak tergerai karena basah. Igo memperhatikannya lekat – lekat. Entah apa yang ada dipikirannya. Spontan ia melepaskan jaket levis miliknya dan digantungkannya di pundak Winda.
“Kamu kedinginan ‘kan?“ ucap Igo tiba – tiba dengan nada penuh perhatian memecah kebisuan. Winda menatap wajah Igo yang basah. Ia tidak menyangka Igo tiba – tiba bisa bersikap semanis itu.
“Kamu perhatian sama aku Igo,“ ucap Winda tersanjung. Igo jadi salah tingkah.
“Aku….. aku…“ perkataan Igo terputus karena Winda buru – buru menutup mulutnya dengan kedua jarinya. Winda kembali menatap wajah Igo dengan lekat dan memegang kedua pipinya yang basah. Mereka berdua terdiam, hanyut dalam suasana. Tanpa sadar Winda mendekatkan bibirnya sambil terus menatap kedua mata Igo dalam – dalam. Igo terperanjat, namun ia tidak bisa berbuat apa – apa. Bibir mungil dan basah itu semakin dekat menuju ke arah bibirnya.
“Ini bagianmu,“ tiba – tiba terdengar suara dari dalam hatinya. Igo memantapkan hati. Ia langsung menerima bibir Winda melumat bibirnya. Ia membalas lumatan itu dengan lembut. Tanpa sadar tangannya bereaksi mendekap erat pinggang Winda yang ramping semakin mendekat ke arahnya. Bunyi rintik hujan yang semakin deras disertai bunyi gemuruh yang menggelegar tidak mereka hiraukan. Mereka berdua hanyut dalam lumatan – lumatan penuh gairah hingga mereka hampir kehilangan napas. Tiba – tiba Igo melepaskan dekapannya dan menyudahi ciuman tersebut. Winda terkejut.
“Maafkan aku. Aku memang cowok brengsek,“ maki Igo pada dirinya sendiri.
“Aku yang tidak tahu diri Igo. Tidak seharusnya aku berbuat begitu kepadamu. Aku memang cewek murahan,“ bantah Winda dengan rasa bersalah.
“Itu salahku ‘Win!!!!“ tegas Igo  keras hingga membuat Winda tersentak kaget.
Suasana kembali membisu. Kekakuan kembali meraja. Tak ada lagi suara – suara yang terlontar dari mulut mereka berdua. Hanya suara tetes – tetes air hujan dan suara gemuruh yang saling berlomba menunjukkan keangkuhannya. Winda menatap Igo yang berdiri membisu memperhatikan tiap tetes air hujan yang jatuh membasahi bumi.
“Apa dia suka aku?“ tanya Winda dalam hati.
“Cowok mana yang tidak mau jika disodorkan ciuman seperti itu,“ pikirnya lagi.
“Tapi dia tidak menolak. Dia menikmati ciuman itu,“ batinnya.
Hujan telah mereda walaupun masih menyisakan rintik – rintik yang kecil. Igo menghidupkan motornya dan memanaskannya sebentar. Winda berdiri di belakangnya.
“Apa arti dari ciuman tadi Igo?“ tanya Winda. Igo menoleh, namun ia tak menjawab pertanyaan itu hingga Winda diantarkan tepat sampai di depan rumahnya.
“Makasih Igo,“ ucap Winda tersenyum. Igo menatap Winda dengan tatapan penuh makna. Bibirnya tersenyum walaupun sedikit, entah apa arti senyuman itu. Winda surprise melihatnya.
“Ini pertama kalinya aku liat kamu tersenyum.“
“Aku pulang ya ‘Win?” pamit Igo.
Ia lalu melajukan motornya dan meninggalkan pelataran rumah Winda. Sementara itu, Winda melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya. Tiba – tiba ia sadar, ada sesuatu yang tertinggal, “Jaket Igo.“
♥♥♥

Kipas angin berputar dengan kencang. Udara malam yang gerah memaksa Igo untuk menyetelnya hingga level teratas. Ia duduk di pinggir ranjang sambil merokok dengan nikmat. Sementara Dave keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada.
“Aku tadi menciumnya,“ ucap Igo tiba – tiba. Dave terkejut mendengarnya.
“Terus?“ tanya Dave sembari mengenakan kaosnya yang tergeletak di atas lantai.
“Kau bisa tahu bagaimana kelanjutannya,“ jawab Igo dengan melirik ke arah Dave.
Sex?? “ tebak Dave sembarangan. Igo tertawa terbahak – bahak.
Ngeres otak lo!!“ sergahnya berdiri dan mendowel kepala Dave.
“Lalu apa?“ tanya Dave penasaran. Igo menuju ke arah cermin dan memperhatikan wajahnya sendiri. Ia merapikan rambutnya yang tampak terlihat acak – acakan.
Just kissing,“ jawabnya dengan logat sok inggris. Dave melemparnya dengan kain handuk.
“Gaya lo!! Tapi kau menikmatinya ‘kan?“ tanya Dave lagi. Igo terdiam. Ia menarik napas yang panjang. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Rokok terus ia hisap hingga menyisakan batangan yang pendek.
“Apakah kau begitu terhadap Putri?“ tanya Igo. Dave mengangguk. Igo tersenyum kecut melihatnya.
“Kau menikmatinya?“ tanya Igo lagi. Dave kembali mengangguk.
“Kau sungguh biadab ‘Dave,“ sindir Igo. Dave membela diri.
“Kita sama bro. Kau juga menciumnya ‘kan?“ tanya Dave.
“Tapi dia yang mulai,“ jawab Igo.
“Tapi kamu mau ‘kan?“ tanya Dave lagi.
“Yang pasti aku tidak seberuntung kamu ‘Dave. Kau suka Putri,“ jawab Igo dengan kepala tertunduk.
“Cobalah untuk menyukainya Igo,“ ujar Dave seraya menepuk pundak Igo pelan. Igo diam sejenak. Suara hatinya yang paling dalam kembali menyerukan, “Ini bagianmu….memang bagianmu,“ Kalimat sakti itu selalu berhasil membuat hatinya tergugah.
“Jadi, mau kau apakan si Winda?“ tanya Dave. Igo menjawab dengan pasti.
“Aku jadiin pacar,“ jawab Igo singkat hingga membuat Dave  terperangah.
♥♥♥
                                                                                                            28  Maret 2014
Dear Diary
Hatiku luluh lantak. Aku mencium bibir Igo. Ibarat roket, mungkin aku sudah terbang ke langit ke tujuh. Entah dorongan apa yang membuatku berani melakukannya. Tapi, dia tidak menolak. Malah dia medekapku dengan erat, seakan tak ingin lepas. Igo, andai itu dapat terulang lagi. Merasakan hangatnya sentuhan bibirmu dan dekapan hangatmu. Tapi aku tidak yakin, apakah dia memang suka aku atau karena memang terbawa suasana aja. Dia sempat minta maaf dan mengatakan bahwa dia cowok brengsek. Aku juga minta maaf karena  telah berbuat lancang seperti itu.
Tapi, waktu dia melepaskan jaketnya dan menggantungkannya di pundakku, aku yakin dia juga ada rasa kepadaku.
 Dia rela kedinginan demi aku. Sikapnya yang sering berubah – ubah membuatku semakin bingung. Terkadang dia pendiam, terkadang temperamental, terkadang lembut dan perhatian. Akh, aku nggak mau mengecap dia memiliki kepribadian ganda. Mungkin semua sikapnya itu mengikuti moodnya saja saat itu.
Aku tak sabar melihat sikap Igo besok kepadaku setelah kejadian tadi. Apakah dia dengan mudah melupakannya atau berpura – pura tidak terjadi apa – apa seperti waktu dia salah paham terhadapku tempo hari? Kita liat aja besok. Kuharap dia tidak melupakannya. Karena itu adalah moment yang sangat berharga dalam hidupku.
My FIRST KISS.

Winda mengambil jaket Igo yang tergantung di gantungan bajunya. Jaket yang tampak setengah basah itu ia dekap ke dadanya erat – erat. Bau parfum Igo yang khas membuat Winda terbang melayang ke alam khayal. Ia merebahkan tubuhnya ke tempat tidur dengan jaket Igo berada dalam dekapannya.
“Igo, kau berhasil membuatku tidak tidur nyenyak lagi malam ini.“ Winda memejamkan matanya dengan seribu bayangan wajah Igo di pelupuk matanya.
♥♥♥


Pagi itu Igo meluncurkan motor Satria-nya menuju ke rumah Winda. Lokasi Rumah Winda yang melewati beberapa gang sempit membuatnya sedikit bingung. Memang itu pertama kalinya ia memasuki daerah tersebut, sehingga terlihat asing di matanya.
Motornya tiba – tiba berhenti di persimpangan gang. Ia bingung untuk memilih, apakah harus berbelok kiri atau kanan atau lurus saja. Kemarin sewaktu mengantar Winda pulang, ia tidak melihat dengan benar ke mana ia membelokkan motornya di persimpangan gang tersebut. Karena waktu itu hari sudah gelap dan hujan rintik – rintik yang turun membuat pandangan menjadi sedikit terganggu. Akhirnya ia putuskan untuk menunggu di persimpangan gang tersebut. Matanya celingukan ke sana kemari menanti Winda keluar dari jalur jalan yang sebelah mana. Sembari menunggu, ia mengambil sebatang rokok dari dalam tasnya. Rokok tersebut ia nyalakan dan dihisapnya pelan – pelan. Asapnya mengepul bagaikan kabut pagi yang tipis melayang – layang lalu menghilang ditiup angin.
Dari arah kanannya Winda muncul dengan mengenakan jaket sweater berwarna pink dan tas selempangan berwarna cokelat muda. Igo melambaikan tangannya sambil tersenyum. Winda sedikit kaget. Ia berkali – kali mengucek kedua matanya, tak percaya bahwa cowok yang melambaikan tangan kepadanya itu adalah Igo.
“Igo?“ gumam Winda pelan. Lalu dengan langkah yang dipercepat, ia menghampirinya.
“Igo, tumben?“ tanyanya tak percaya. Igo menjawab dengan nada suara yang seperti biasa, cool dan to the point.
“Yuk berangkat,“ katanya singkat. Winda segera naik ke motornya dan seketika itu Igo melajukan motornya dengan kencang. Seperti biasa, Winda panik dan spontan memeluk pinggangnya.
Pagi itu adalah pagi terindah yang pernah dialami oleh Winda. Siapa sangka cowok yang selama ini ia kagumi dan diimpikannya setiap malam, selangkah lagi hampir menjadi miliknya.
“Benar dia suka aku. Kali ini aku yakin, dia benar – benar suka aku,“ batinnya dalam hati.
Sesampai di sekolah, Igo menurunkan Winda di depan pintu gerbang sekolah. Ia sedikit kecewa. Padahal ia berharap diturunkan di parkiran saja biar semua orang tahu bahwa ia bersama dengan Igo pagi itu.
“Makasih Igo,“ ucap Winda mengembangkan senyuman manis ke arahnya. Igo membalas senyuman itu.
“Win, istirahat jam kedua, aku tunggu di toilet belakang sekolah,“ ucapnya dengan menatap tajam kedua mata Winda. Winda mengangguk, lalu berlalu meninggalkan Igo menuju ke kelasnya dengan hati yang berbunga – bunga.
“Ya Tuhan, saat itu akan segera tiba,“ gumamnya.
Siang hari udara sangat terik. Angin seakan berhenti menyemburkan kesejukannya. Dengan wajah sedikit berpeluh Winda melangkahkan kaki dengan cepat menuju toilet yang terletak di belakang sekolah. Dilihatnya Igo telah berdiri menanti sambil menyenderkan bahunya ke dinding. Seperti biasa ia merokok dengan wajah tak berdosa.
Winda mendekatinya tanpa bersuara dan berdiri di hadapannya dengan membisu.
“Aku ingin berubah sesuai dengan keinginan Tuhan dan kuharap Tuhan bisa membantu,“ ujar Igo sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara. Lagi – lagi Winda dibuatnya bingung dengan perkataannya yang terkadang sulit untuk ditangkap apa maknanya.
“Berubah?“ tanya Winda dengan nada heran.
“Ya, berubah. Seperti kata hati nuraniku,“ lanjut Igo hingga membuat Winda semakin bertambah bingung. Tiba – tiba Igo memegang kedua tangannya dan meremasnya dengan lembut.
“Kau ingin tahu apa arti ciuman kemarin itu?“ tanyanya hingga membuat Winda terperangah.
“Itulah yang ingin kutahu Igo,“ jawab Winda dengan mata berbinar. Tak lama ia menanti sebuah jawaban meluncur keluar dari bibirnya.
“Aku mau kamu jadi pacarku,“ ucap Igo setengah berbisik. Deg! Winda tak bisa berkata – kata setelah mendengar sebaris kalimat penuh makna tersebut. Bibirnya terasa kelu. Darah mengalir cepat dalam tubuhnya. Jantungnya berdetak sangat kencang. Tanpa sadar ia memeluk Igo. Igo membiarkan ia memeluk tubuh kekarnya.
“Aku nggak salah dengar ‘kan Igo?“ tanya Winda dengan suara bergetar. Igo melepaskan pelukannya.
“Bukankah itu keinginanmu ‘Win?“ tanya Igo balik. Winda terdiam. Lalu ia kembali memeluk Igo. Kali ini ia tidak menjawab pertanyaannya. Ia lega karena Igo ternyata juga menyukainya. Suasana siang yang terasa panas bagaikan api neraka itu terasa bagaikan angin surga olehnya. Ia merasa menjadi orang yang paling bahagia di seluruh dunia. Keinginannya telah tercapai. Igo telah menjadi miliknya, miliknya seorang. Ia memeluk tubuh Igo semakin erat.








Bersambung






0 komentar:

Posting Komentar