malam Pertama di Pasuruan I

Dirgantara putra 15.03 |

 Pacar Saya seorang Mafia (part I)

Nama saya, sebut saja Ivan, saya tinggal dan bekerja di Malang , Jawa Timur, Saya bekerja di bagian administrasi sebuah Bank Swasta. Waktu itu, saya berusia 24 tahun, tinggi/berat 170 cm/59 kg, dan bentuk badan saya proposrisonal, cenderung agak langsing dan putih Mulus dan ganteng kata temen temen kantor.

Saya ingat, malam itu saya sedang berada di kantor untuk menyelesaikan sisa-sisa kerjaan. Sebentar lagi akan libur musim puasa selama lebih kurang 1 minggu, jadi saya tidak ingin liburan saya terganggu oleh pikiran tentang kerjaan yang belum kelar. Beberapa yang berpamitan dan mengucapkan happy holidays hanya saya jawab dengan senyum manis dan jawaban pendek "You too!" di sela-sela kesibukan saya menghadap ke layar monitor.

Semua berlangsung begitu saja, sampai akhirnya di kantor kecil itu hanya ada saya, beberapa penjaga malam, dan si pemilik kantor, sebut saja namanya Pak Agung. Agak lama kemudian, saya mendengar ribut-ribut di lantai bawah, suara orang membentak, suara kegaduhan dan banyak lagi.

Saya merasa agak ngeri takut takut ada perampok dan mengintip dari jendela ke arah jalanan di bawah sana. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam sedang terparkir di depan kantor. Celaka! Pikir saya. Itu pasti segerombolan preman kasar pegawai perusahaan lain yang menagih uang keamanan. Benar-benar menjengkelkan sekali, karena penyebab ketidakamanan itu adalah mereka sendiri. Tapi jika kantor-kantor kecil seperti kantor saya ini telat membayar tagihan, mereka akan melakukan hal-hal yang diluar perikemanusiaan.

Saya memberanikan diri menuruni tangga untuk mengintip apa yang terjadi di ruang bawah. Saya lihat boss saya, Pak Agung sedang menghitung sejumlah uang dengan tangan gemetar. Di hadapannya, tampak dua orang pria bertubuh tinggi besar. Yang satu berkulit hitam legam dan berkepala gundul, sementara yang satunya lagi berwajah ganteng khas Manado, namun tampangnya juga tampak seram saat itu, dengan memasukkan tangan ke kantong, yang mungkin saja ada pistolnya. Namun ada seseorang lagi bersama dua orang centeng itu. Seorang Lelaki keturunan china yang macho tinggi berpakaian mahal. Sebenarnya ia ganteng banget di balik kaca mata Hitam yang dipakainya, namun gayanya berdiri di depan Pak Agung sambil berkacak pinggang itu benar-benar menyebalkan dan menakutkan.

"Ivan! Tolong ambilkan lima  juta  dari ruanganmu!" tiba-tiba Pak Agung memekik karena uang yang harus dibayarnya agak kurang.
Dengan tergopoh-gopoh saya berlari ke kantor saya, mengambil Lima juta dari laci, lalu berlari kembali menuruni tangga.
"Berikan langsung pada mereka!" ujar Pak Agung yang masih berdiri dengan gemetaran.
Saya menyodorkan uang Lima juta itu ke arah mereka, dan si lelaki china  langsung menyambarnya dari tangan saya.

Entah kenapa, tapi lelaki itu tidak segera mengalihkan pandangannya, ia menatap saya dari balik kaca mata Hitamnya. Mungkin karena kurang puas, ia melepaskan kacamatanya, dan terus menatap saya. Sepasang mata paling mengerikan dan paling tajam yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya. Saya hanya diam terpaku sambil melangkah mundur perlahan.

"Jangan mundur!" bentak lelaki itu dengan dialek Surabayanya yang kental.
Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah saya, membuat saya menundukkan pandangan karena gemetar.
"Lihat ke arah saya!" bentaknya lagi, masih dengan Bahasa jawa khas surabaya yang sangat kental.
Saya melihat ke arah matanya, dan sepasang mata itu tidak lagi setajam tadi.
Ia menunjuk name-tag di dada saya dan berkata, "Ivan. Hmm,ganteng juga?" tanyanya lagi, dengan nada datar.
"Maaa maakasih." jawab saya agak terbata-bata, khawatir kalau- kalau ia menyakiti saya.
Pak Agung juga tak kuasa melakukan apa-apa untuk menolong saya, karena dua orang preman tinggi besar itu memperhatikannya terus.
"Kalau gitu, diskon dua Juta deh!" ujar Lelaki china itu, benar-benar dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Ia menyodorkan pada saya dua juta  yang tadi saya berikan padanya, dengan agak gemetar saya menerimanya.

Lelaki itu tersenyum dingin, dan berkata lirih, "Maaf Ivan, aku cuma mengerjakan tugas, demi keselamatanku sendiri."
Lalu ia berpaling ke arah dua rekannya sambil memberi kode mengajak pergi. Pak Agung dan saya hanya diam terpaku melihat ketiga manusia sangar itu meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan keras. Sejenak sebelum menutup pintu, si lelaki china sempat melirik ke arah saya dan mengerdipkan mata kanannya, seolah memberikan satu isyarat yang saya tidak pernah mengerti.

Setelah malam yang menegangkan itu usai, liburan tiba, dan semuanya berjalan biasa-biasa saja. Saya pergi ke Jogja bersama keluarga saya selama seminggu, lalu kembali ke Malang untuk menghabiskan sisa liburan di sini. Rasanya, saya sudah lupa akan kejadian dengan para debt collector seminggu sebelumnya. Namun apa yang terjadi siang ini seperti membuat saya tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.

Saat itu saya sedang menemani tante dan om saya dari Jakarta mengunjungi Taman Safari. Usai melihat-lihat hewan hewan di Taman safari , tante dan om saya naik kereta kembali ke surabaya, sementara saya masih berjalan-jalan di Pandaan, karena banyak teman  yang asli sana dan tinggal di sekitar situ.

Waktu saya sedang berjalan cepat di trotoar dekat Taman Dayu , saya merasa ada yang berjalan di sebelah kiri saya dengan kecepatan yang sama. Saya tidak terlalu memperdulikan, dan mempercepat jalan saya, namun ia juga mempercepat jalannya hingga terus sejajar dengan saya.
Tiba-tiba ia menepuk bahu saya, "Hi Ivan, lupa sama saya ya?" sapanya
Saya menengok ke arahnya dan kaget setengah mati. Lelaki China yang kerja untuk Mafia itu! Saya sempat berniat kabur, namun ia memegangi lengan saya.
"Hey, jangan kabur dong!" ujarnya ramah, meski mengenggam kuat lengan saya.
Akhirnya saya pasrah saja diajaknya minum di sebuah kafe di food terrace.

Saya waswas melihat ke kiri kanan, kalau-kalau dia ditemani dua orang centengnya tempo hari. Tapi ia tampak tenang saja sambil tertawa-tawa mengatakan bahwa dia sedang diluar jam kerja.

Singkat cerita, kami mengobrol panjang lebar di kafe itu. Lambat laun, rasa takut saya mulai hilang, berubah jadi rasa persahabatan.

Namanya, sebut saja Leo. Ia menceritakan sejarah kedatangannya ke Malang untuk menyelesaikan S1-nya, juga tentang keterlibatannya dengan para Mafia itu, yang disebabkan karena ia sedang kesulitan ekonomi. Ia berencana untuk mengumpulkan uang dulu sebelum meninggalkan Malang. Ia bercita-cita untuk pulang ke Padang, dan bekerja memanfaatkan gelar S1-nya selama beberapa tahun, lalu membuka usaha sendiri berbekal pengalaman dan manajemen yang dipelajarinya di lingkungan Mafia ini. Saya bersimpati padanya, sekaligus mengagumi keberaniannya menceburkan diri ke lingkaran yang begitu 'hitam' dan berbahaya itu.

"Kamu nggak punya Girlfriend kan?" tebak Leo di sela obrolan.
"Kok kamu tahu?" tanya saya balik.
"Old Fashioned dan pendiam, kalau nggak dijodohin mana mungkin dapat pacar?" katanya sambil tertawa kecil.

Saya tersipu malu, menyadari bahwa 'tongkrongan' saya memang terkesan tertutup, saya juga pendiam dan tidak banyak bicara. Beda dengan Leo yang tampaknya ceplas-ceplos dan tidak kenal takut atau malu. Dia dapat berkelakar dalam bahasa Jawa maupun Padang dengan sangat lancar, bahkan dengan para waiter di kafe itu, yang baru saja dikenalnya. Diam-diam, saya bersyukur dapat berkenalan dengan seorang 'Raja mafia' (nama ejekan saya untuknya) seperti dia ini.

Tanpa terasa hari mulai malam, dan Leo mengajak saya meninggalkan kafe. Karena malang dan pandaan lumayan jauh, ia menyarankan saya untuk tinggal di Homestay-nya. Saya menurut saja karena sudah terlanjur percaya. Ia mengajak saya berjalan kaki melewati jalan-jalan yang saya belum pernah lewati, daerah-daerah lampu merah, daerah padat penduduk, dan daerah pusat perdagangan (pasar). Benar-benar sisi lain dari Pandaan yang tidak pernah saya lihat, meski saya sering ke Pasuruan .

"Nggak usah takut, Van." katanya sambil melangkah cepat, "Kita aman di daerah sini."
Saya berusaha untuk tetap tenang, meski di kiri kanan saya melihat pria-pria bertubuh besar sedang mabuk atau teler karena narkoba. Wanita-wanita jalang juga tampak berkeliaran di daerah yang saya tidak tahu namanya itu. Namun Leo berjalan dengan cuek, sambil sesekali menyapa orang di sekitar situ dengan akrab. Saya sempat heran, orang macam apa sebenarnya teman saya ini.

Akhirnya kami sampai di Homestay-nya. Sebuah Homestay yang dari luar tampak kumuh dan jelek. Namun begitu saya masuk ke kamarnya, semuanya terasa berbeda. Meski tidak besar, ruangannya tertata rapih dan dipenuhi perabotan kelas menengah, penghangat listrik, seperangkat laptop, juga ponsel berbagai Merk. Satu hal yang membuat saya bergidik adalah sepucuk pistol kecil berwarna perak tergeletak di samping ponselnya.

Ia mempersilakan saya duduk di ranjang, lalu membuatkan saya segelas teh hangat. Darjeeling tea, teh yang tergolong mahal. Ketika saya bertanya tentang teh itu, Jenny menjawab bahwa teh itu diambilnya dari sebuah hotel kecil tempat ia menagih hutang. Tanpa rasa risih, Leo menanggalkan celana panjang dan jaketnya. Sambil hanya mengenakan kaos oblong dan celana dalam, ia mondar mandir di situ. Mencuci muka, sikat gigi, dan menyisir rambut, seolah-olah sudah sangat akrab dengan saya. Diam-diam saya iri melihat tubuhnya yang macho atletis  dan cukup jangkung , sangat menarik. Saya kira tidak akan ada wanita ataupun lelaki yang tidak mencuri pandang ke arahnya saat berada di tempat umum.

"Ngeliatin apa, Van?" tanyanya membuat saya tersipu.
"Ngeliatin badan kamu." jawab saya mencoba untuk tidak malu, "Bagus banget."
"Hihihi." ia tertawa kecil, "Kamu juga sexy kok."
Terus terang, saya kege-eran juga mendengar pujiannya. Apalagi setelah ia mengatakan itu, ia menatap saya dalam-dalam sambil menyunggingkan senyum aneh.

Ia lalu melangkah mendekati saya. Saya terpaku di bibir ranjang sambil memegangi cangkir teh yang sudah kosong, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Dengan was-was saya melirik ke arah buffet tempat pistolnya berada, dan merasa agak tenang karena pistol itu masih ada di situ. Tiba-tiba dia sudah ada di hadapan saya.

"Mana gelasnya?" bisiknya sambil meraih cangkir dari tangan saya dan meletakkannya di karpet.
"Kamu manis sekali, Van." bisiknya lagi, sambil melepaskan kacamata saya yang minus .
Lalu ia naik ke ranjang dan memeluk saya dari belakang.

Mula-mula saya gemetar dan takut mengingat bahwa Leo adalah seorang anggota mafia, ditambah juga perasaan rikuh karena dipeluk sesama Lelaki. Saya mencoba untuk berontak secara halus.
Namun ia tetap memeluk pinggang saya dan berbisik di kuping kiri, "Jangan takut, Van. Nikmati saja."
Saya hanya bisa diam dan mencoba menikmati.

Ia lalu membuka satu persatu kancing baju saya , sampai punggung saya benar-benar terbuka di hadapannya. Lalu terasa tangannya yang halus memijat dan mengelus punggung saya. Hangat dan lembut.
"Punggung kamu halus sekali, Van." bisiknya, "Pasti kamu perawatan , ya? Hmm?"
Ia lalu membelai rambut saya yang lurus , lalu lagi-lagi ia memuji saya, "Tengkuk kamu bagus, aku terangsang banget ngeliatnya, boleh aku cium?"
Tanpa menunggu jawaban saya, ia langsung menciumi leher dan tengkuk saya. Saya memejamkan mata merasakan kehangatan itu. Kehangatan yang belum pernah saya rasakan selama hidup, karena saya belum pernah sekalipun berpacaran.

Ciumannya menjalar kemana-mana, ke dagu saya, rahang, telinga, aahh rasanya geli sekali, namun membuat saya jadi lupa daratan, dan menyerahkan diri padanya. Tangannya mulai meraba-raba dada  saya, mengelus-elus perut saya, sambil mulutnya terus membisikkan kata-kata indah memuji keindahan tubuh saya. Kata-katanya membuat perasaan saya jadi PD (percaya diri), karena selama ini saya minder dengan tubuh saya yang kurus.

Lidahnya menjilat-jilat punggung saya, tengkuk saya, dan bahu saya. Kulit saya terasa merinding dan badan saya menggelinjang kecil. Hal itu membuat Leo makin bersemangat.. Ia menyuruh saya berdiri dan menjauh dari ranjang. Saya menurut saja, meski merasa agak gila.


Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar