Pacar Saya seorang Mafia (part I)
Nama
saya,
sebut saja Ivan, saya tinggal dan bekerja di Malang , Jawa Timur, Saya bekerja di
bagian
administrasi sebuah Bank Swasta. Waktu itu, saya berusia
24
tahun, tinggi/berat 170 cm/59 kg, dan bentuk badan saya proposrisonal,
cenderung agak langsing dan putih Mulus dan ganteng kata temen temen kantor.
Saya ingat, malam itu saya sedang berada di kantor
untuk
menyelesaikan sisa-sisa kerjaan. Sebentar lagi akan libur musim
puasa
selama lebih kurang 1 minggu, jadi saya tidak ingin liburan saya
terganggu oleh pikiran tentang kerjaan yang belum kelar.
Beberapa yang
berpamitan dan mengucapkan happy holidays hanya saya jawab
dengan
senyum manis dan jawaban pendek "You too!" di sela-sela
kesibukan saya
menghadap ke layar monitor.
Semua berlangsung begitu saja, sampai akhirnya di
kantor kecil itu
hanya ada saya, beberapa penjaga malam, dan si pemilik kantor,
sebut
saja namanya Pak Agung. Agak lama kemudian, saya mendengar
ribut-ribut
di lantai bawah, suara orang membentak, suara kegaduhan dan
banyak
lagi.
Saya merasa agak ngeri takut takut ada perampok dan mengintip dari jendela ke
arah jalanan
di bawah sana. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam
sedang
terparkir di depan kantor. Celaka! Pikir saya. Itu pasti
segerombolan
preman kasar pegawai perusahaan lain yang menagih uang
keamanan.
Benar-benar menjengkelkan sekali, karena penyebab
ketidakamanan itu
adalah mereka sendiri. Tapi jika kantor-kantor kecil seperti kantor
saya ini telat membayar tagihan, mereka akan melakukan hal-hal
yang
diluar perikemanusiaan.
Saya memberanikan diri menuruni tangga untuk
mengintip apa yang
terjadi di ruang bawah. Saya lihat boss saya, Pak Agung sedang
menghitung sejumlah uang dengan tangan gemetar. Di
hadapannya, tampak
dua orang pria bertubuh tinggi besar. Yang satu berkulit hitam
legam
dan berkepala gundul, sementara yang satunya lagi berwajah
ganteng khas Manado, namun tampangnya juga tampak seram saat itu, dengan
memasukkan
tangan ke kantong, yang mungkin saja ada pistolnya. Namun ada
seseorang
lagi bersama dua orang centeng itu. Seorang Lelaki keturunan china
yang macho tinggi berpakaian mahal. Sebenarnya ia ganteng banget di balik
kaca
mata Hitam yang dipakainya, namun gayanya berdiri di depan Pak Agung
sambil berkacak pinggang itu benar-benar menyebalkan dan
menakutkan.
"Ivan! Tolong ambilkan lima juta dari
ruanganmu!" tiba-tiba
Pak Agung memekik karena uang yang harus dibayarnya agak
kurang.
Dengan tergopoh-gopoh saya berlari ke kantor saya,
mengambil Lima juta dari laci, lalu berlari kembali
menuruni tangga.
"Berikan langsung pada mereka!" ujar Pak Agung yang
masih berdiri dengan gemetaran.
Saya menyodorkan uang Lima juta itu ke arah
mereka, dan si lelaki china langsung menyambarnya dari tangan
saya.
Entah kenapa, tapi lelaki itu tidak segera mengalihkan
pandangannya, ia menatap saya dari balik kaca mata Hitamnya.
Mungkin
karena kurang puas, ia melepaskan kacamatanya, dan terus
menatap saya.
Sepasang mata paling mengerikan dan paling tajam yang pernah
saya lihat
sepanjang hidup saya. Saya hanya diam terpaku sambil
melangkah mundur
perlahan.
"Jangan mundur!" bentak lelaki itu dengan dialek
Surabayanya yang kental.
Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah saya, membuat
saya menundukkan pandangan karena gemetar.
"Lihat ke arah saya!" bentaknya lagi, masih dengan Bahasa jawa khas surabaya yang sangat kental.
Saya melihat ke arah matanya, dan sepasang mata itu tidak
lagi setajam tadi.
Ia menunjuk name-tag di dada saya dan berkata, "Ivan.
Hmm,ganteng juga?" tanyanya lagi, dengan nada
datar.
"Maaa maakasih." jawab saya agak terbata-bata, khawatir kalau-
kalau ia menyakiti saya.
Pak Agung juga tak kuasa melakukan apa-apa untuk
menolong saya, karena dua orang preman tinggi besar itu
memperhatikannya terus.
"Kalau gitu, diskon dua Juta deh!" ujar Lelaki china itu,
benar-benar dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Ia menyodorkan pada saya dua juta yang
tadi saya berikan padanya, dengan agak gemetar saya
menerimanya.
Lelaki itu tersenyum dingin, dan berkata lirih, "Maaf
Ivan, aku cuma mengerjakan tugas, demi keselamatanku sendiri."
Lalu ia berpaling ke arah dua rekannya sambil memberi kode
mengajak
pergi. Pak Agung dan saya hanya diam terpaku melihat ketiga
manusia
sangar itu meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan
keras.
Sejenak sebelum menutup pintu, si lelaki china sempat melirik ke arah
saya
dan mengerdipkan mata kanannya, seolah memberikan satu
isyarat yang
saya tidak pernah mengerti.
Setelah malam yang menegangkan itu usai, liburan
tiba, dan semuanya
berjalan biasa-biasa saja. Saya pergi ke Jogja bersama keluarga
saya
selama seminggu, lalu kembali ke Malang untuk menghabiskan
sisa liburan
di sini. Rasanya, saya sudah lupa akan kejadian dengan para debt
collector seminggu sebelumnya. Namun apa yang terjadi siang
ini seperti
membuat saya tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.
Saat itu saya sedang menemani tante dan om saya dari Jakarta
mengunjungi Taman Safari. Usai melihat-lihat hewan hewan di Taman safari , tante dan om saya naik kereta kembali ke surabaya,
sementara saya masih berjalan-jalan di Pandaan, karena banyak teman yang asli sana dan tinggal di sekitar situ.
Waktu saya sedang berjalan cepat di trotoar dekat Taman Dayu , saya
merasa ada yang
berjalan di sebelah kiri saya dengan kecepatan yang sama. Saya
tidak
terlalu memperdulikan, dan mempercepat jalan saya, namun ia
juga
mempercepat jalannya hingga terus sejajar dengan saya.
Tiba-tiba ia menepuk bahu saya, "Hi Ivan, lupa sama saya
ya?" sapanya
Saya menengok ke arahnya dan kaget setengah mati. Lelaki China yang
kerja untuk Mafia itu! Saya sempat berniat kabur, namun ia
memegangi
lengan saya.
"Hey, jangan kabur dong!" ujarnya ramah, meski
mengenggam kuat lengan saya.
Akhirnya saya pasrah saja diajaknya minum di sebuah kafe di food terrace.
Saya waswas melihat ke kiri kanan, kalau-kalau dia
ditemani dua
orang centengnya tempo hari. Tapi ia tampak tenang saja sambil
tertawa-tawa mengatakan bahwa dia sedang diluar jam kerja.
Singkat cerita, kami mengobrol panjang lebar di kafe
itu. Lambat
laun, rasa takut saya mulai hilang, berubah jadi rasa persahabatan.
Namanya, sebut saja Leo. Ia menceritakan sejarah
kedatangannya ke Malang untuk menyelesaikan S1-nya, juga tentang keterlibatannya
dengan
para Mafia itu, yang disebabkan karena ia sedang kesulitan
ekonomi. Ia
berencana untuk mengumpulkan uang dulu sebelum
meninggalkan Malang. Ia
bercita-cita untuk pulang ke Padang, dan bekerja
memanfaatkan gelar S1-nya selama beberapa tahun, lalu membuka usaha sendiri
berbekal
pengalaman dan manajemen yang dipelajarinya di
lingkungan Mafia
ini. Saya bersimpati padanya, sekaligus mengagumi
keberaniannya
menceburkan diri ke lingkaran yang begitu 'hitam' dan berbahaya
itu.
"Kamu nggak punya Girlfriend kan?" tebak Leo di
sela obrolan.
"Kok kamu tahu?" tanya saya balik.
"Old Fashioned dan pendiam, kalau nggak dijodohin mana
mungkin dapat pacar?" katanya sambil tertawa kecil.
Saya tersipu malu, menyadari bahwa 'tongkrongan'
saya memang
terkesan tertutup, saya juga pendiam dan tidak banyak bicara.
Beda
dengan Leo yang tampaknya ceplas-ceplos dan tidak kenal
takut atau
malu. Dia dapat berkelakar dalam bahasa Jawa maupun Padang dengan
sangat lancar, bahkan dengan para waiter di kafe itu, yang baru
saja
dikenalnya. Diam-diam, saya bersyukur dapat berkenalan dengan
seorang
'Raja mafia' (nama ejekan saya untuknya) seperti dia ini.
Tanpa terasa hari mulai malam, dan Leo mengajak
saya meninggalkan
kafe. Karena malang dan pandaan lumayan jauh, ia menyarankan saya
untuk
tinggal di Homestay-nya. Saya menurut saja karena sudah
terlanjur
percaya. Ia mengajak saya berjalan kaki melewati jalan-jalan yang
saya
belum pernah lewati, daerah-daerah lampu merah, daerah padat penduduk, dan
daerah pusat perdagangan (pasar). Benar-benar sisi lain dari Pandaan
yang
tidak pernah saya lihat, meski saya sering ke Pasuruan .
"Nggak usah takut, Van." katanya sambil melangkah
cepat, "Kita aman di daerah sini."
Saya berusaha untuk tetap tenang, meski di kiri kanan saya
melihat
pria-pria bertubuh besar sedang mabuk atau teler karena narkoba.
Wanita-wanita jalang juga tampak berkeliaran di daerah yang
saya tidak
tahu namanya itu. Namun Leo berjalan dengan cuek, sambil
sesekali
menyapa orang di sekitar situ dengan akrab. Saya sempat heran,
orang
macam apa sebenarnya teman saya ini.
Akhirnya kami sampai di Homestay-nya. Sebuah Homestay yang dari
luar tampak kumuh dan jelek. Namun begitu saya masuk ke
kamarnya,
semuanya terasa berbeda. Meski tidak besar, ruangannya tertata
rapih
dan dipenuhi perabotan kelas menengah, penghangat listrik,
seperangkat
laptop, juga ponsel berbagai Merk.
Satu
hal yang membuat saya bergidik adalah sepucuk pistol kecil
berwarna
perak tergeletak di samping ponselnya.
Ia mempersilakan saya duduk di ranjang, lalu
membuatkan saya
segelas teh hangat. Darjeeling tea, teh yang tergolong mahal.
Ketika
saya bertanya tentang teh itu, Jenny menjawab bahwa teh itu
diambilnya
dari sebuah hotel kecil tempat ia menagih hutang. Tanpa rasa risih, Leo menanggalkan celana panjang dan jaketnya. Sambil
hanya
mengenakan kaos oblong dan celana dalam, ia mondar mandir di
situ.
Mencuci muka, sikat gigi, dan menyisir rambut, seolah-olah
sudah sangat
akrab dengan saya. Diam-diam saya iri melihat tubuhnya yang macho atletis dan
cukup jangkung , sangat menarik. Saya kira
tidak akan
ada wanita ataupun lelaki yang tidak mencuri pandang ke arahnya
saat
berada di tempat umum.
"Ngeliatin apa, Van?" tanyanya membuat saya tersipu.
"Ngeliatin badan kamu." jawab saya mencoba untuk tidak
malu, "Bagus banget."
"Hihihi." ia tertawa kecil, "Kamu juga sexy kok."
Terus terang, saya kege-eran juga mendengar pujiannya.
Apalagi
setelah ia mengatakan itu, ia menatap saya dalam-dalam sambil
menyunggingkan senyum aneh.
Ia lalu melangkah mendekati saya. Saya terpaku di bibir
ranjang
sambil memegangi cangkir teh yang sudah kosong, seolah tidak
tahu harus
berbuat apa. Dengan was-was saya melirik ke arah buffet tempat
pistolnya berada, dan merasa agak tenang karena pistol itu masih
ada di
situ. Tiba-tiba dia sudah ada di hadapan saya.
"Mana gelasnya?" bisiknya sambil meraih cangkir dari
tangan saya dan meletakkannya di karpet.
"Kamu manis sekali, Van." bisiknya lagi, sambil melepaskan
kacamata saya yang minus .
Lalu ia naik ke ranjang dan memeluk saya dari belakang.
Mula-mula saya gemetar dan takut mengingat bahwa Leo adalah
seorang anggota mafia, ditambah juga perasaan rikuh karena
dipeluk
sesama Lelaki. Saya mencoba untuk berontak secara halus.
Namun ia tetap memeluk pinggang saya dan berbisik di
kuping kiri, "Jangan takut, Van. Nikmati saja."
Saya hanya bisa diam dan mencoba menikmati.
Ia lalu membuka satu persatu kancing baju saya , sampai punggung saya benar-benar terbuka di
hadapannya. Lalu terasa tangannya yang halus memijat dan mengelus
punggung
saya. Hangat dan lembut.
"Punggung kamu halus sekali, Van." bisiknya, "Pasti kamu
perawatan , ya? Hmm?"
Ia lalu membelai rambut saya yang lurus , lalu lagi-lagi ia memuji saya, "Tengkuk
kamu
bagus, aku terangsang banget ngeliatnya, boleh aku cium?"
Tanpa menunggu jawaban saya, ia langsung menciumi
leher dan
tengkuk saya. Saya memejamkan mata merasakan kehangatan
itu. Kehangatan
yang belum pernah saya rasakan selama hidup, karena saya
belum pernah
sekalipun berpacaran.
Ciumannya menjalar kemana-mana, ke dagu saya,
rahang, telinga, aahh
rasanya geli sekali, namun membuat saya jadi lupa daratan, dan
menyerahkan diri padanya. Tangannya mulai meraba-raba dada
saya, mengelus-elus perut saya, sambil mulutnya terus
membisikkan
kata-kata indah memuji keindahan tubuh saya. Kata-katanya
membuat
perasaan saya jadi PD (percaya diri), karena selama ini saya
minder
dengan tubuh saya yang kurus.
Lidahnya menjilat-jilat punggung saya, tengkuk saya,
dan bahu saya.
Kulit saya terasa merinding dan badan saya menggelinjang kecil.
Hal itu
membuat Leo makin bersemangat.. Ia menyuruh saya
berdiri
dan menjauh dari ranjang. Saya menurut saja, meski merasa
agak gila.
Bersambung
0 komentar:
Posting Komentar