Irfan
berhenti sejenak, dia menatap pada gambar menara eiffel yang dipajang di
dinding kamarnya. Gambar buatan Angga dan buatannya juga. Karena terlalu
terobsesi setelah menonton acara televisi tentang Prancis, mereka berdua
mengambil kertas gambar dan crayon kemudian menggambar menara Eiffel. Irfan
tersenyum melihat gambar itu. Dia berpikir, apakah dia sanggup mewujudkan
impiannya? Kondisi perekonomian keluarganya sangat tidak mendukung untuk Irfan
mewujudkan keinginannya. Terkadang Irfan merasa pesimis dengan kondisi ini,
tapi dia yakin jika ada kemauan pasti ada jalan.
“Ya,
aku harus berusaha dengan kemauan yang keras.” ucap Irfan.
Pergi
ke Paris adalah impian Irfan sejak lama. Dia sangat mengagumi negara itu. Namun
dengan kondisi hidupnya apakah ia akan mampu mewujudkan impian itu? Apakah Irfan
akan bertemu kembali dengan Angga, sosok lelaki yang dia cintai?
Eiffel Im LoPhe_
Minggu pagi. Tepat pukul 07.00. Irfan
melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan
rumahnya. Bukan pekerjaan rumah atau PR dari sekolah. Melainkan pekerjaan rumah
yang sesungguhnya seperti menyapu, mengepel dan mencuci baju. Tubuhnya terasa
lelah. Irfan duduk di sebuah kursi kayu yang sudah reot. Kata Ibu, umur kursi
ini lebih tua dari umur Irfan yang baru saja menginjak 17 tahun. Sejenak Irfan
menatap pada televisi yang menyala. Melihat acara kartun yang dulu ditontonnya
hampir setiap minggu. Irfan tertawa kecil melihat adegan-adegan lucu
kartun tersebut. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 07.28. Irfan teringat
ia harus membantu ibunya membuat pesanan untuk acara arisan di rumah Pak Dadang,
kepala desa di kampungnya. Irfan bergegas ke dapur. Didapati ibunya sedang
memotong-motong sayuran.
“Fan, tolong potong-potong sayurnya
seperti biasa ya. Ibu mau ke warung Bu Maryam sebentar. Ada bumbu yang kurang.”
“Iya Bu.”
Tanpa banyak bicara Irfan segera
melakukan perintah ibunya. Ibu Irfan adalah seorang penjual gado-gado. Ibu Irfan
membuka sebuah warung gado-gado yang sederhana di depan rumahnya. Seluruh
penduduk kampung tahu akan kelezatan gado-gado buatan Bu Minah, Ibu Irfan.
Hampir setiap hari Irfan membantu Bu Minah. Meskipun ia tahun ini duduk di
bangku kelas 12, tapi Irfan selalu punya waktu tersendiri untuk membantu
pekerjaan ibunya. Maklum, Irfan adalah anak tunggal. Mau tidak mau ia harus
memiliki kesadaran sendiri untuk membantu orangtuanya mencari nafkah. Ayah Irfan,
Pak Ridwan hanya seorang pegawai di sebuah kantor pos di desa sebelah. Gajinya
hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untunglah Irfan anak yang terbilang
pandai di sekolahnya sehingga ia mendapatkan beasiswa penuh dalam menjalani
pendidikan selama SMA.
Bu Minah kembali dengan membawa
sebuah plastik kecil yang berisi bumbu-bumbu. Pesanan gado-gado kali ini memang
cukup banyak. Pak Dadang memesan gado-gado untuk 25 porsi. Pukul 11 Irfan
siap mengantarkan pesanan gado-gado ke rumah Pak Dadang. Irfan mengatar pesanan
dengan mengendarai sepeda. Jarak rumah Pak Dadang tidak terlalu jauh, sekitar
200 meter dari rumah Irfan. Sesampainya di rumah Pak Dadang, Bu Dadang sudah
menyambutnya di depan rumah.
“Irfan, ibu tunggu daritadi lho,
nak. Ayo ayo sini ibu bantu. Kita lewat pintu belakang saja ya.” Bu Dadang
menghampiri Irfan dan membantunya membawa gado-gado ke dapur.
“Acaranya sudah mulai ya, Bu? Sudah
ramai di depan.”
“Belum, masih banyak sanak saudara
yang belum datang. Mungkin sebentar lagi baru mulai.” Bu Dadang menjelaskan
sambil tersenyum. Irfan hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Bu Dadang.
“Bi Inah, tolong pindahkan gado-gado
ini ke piring yang besar itu ya Bi. Nanti biar langsung bisa disajikan.”
“Iya, Bu.”
“Sebentar ya, Gi. Ibu ambilkan uang sisa
pembayaran gado-gado ini.”
“Iya, Bu.” Irfan mengangguk. Irfan
melihat ke sekeliling. Seperti mencari cari sesuatu.
“Hayo neng Irfan cari apa, tho?”
tanya Bi Inah.
“Ah, tidak Bi.” Irfan terdiam
sejenak. “Bi, Irfan boleh bertanya?”
“Jelas boleh, le. Mau nanya apa?”
sahut Bi Inah sambil terus memindahkan gado-gado ke dalam piring. Irfan pun
ikut membantu Bi Inah.
“Ka Angga belum pulang juga ya Bi?”
“Den Anggara? Lha wong kuliahnya
jauh, masa iya pulang sebulan sekali.”
“Tapi Bi, Ka Angga sudah hampir satu
tahun belum pernah pulang.”
Tiba-tiba Bu Dadang datang.
“Bi Inah dan Irfan sedang
membicarakan apa? Sepertinya seru sekali.” tanya Bu Dadang.
“Tidak, Bu.” sahut Irfan malu-malu.
“Ini Irfan sisa uang pembayaran
gado-gadonya. Kamu ambil saja kembalinya ya.” kata Bu Dadang ramah.
“Terimakasih ya, Bu. Kalau begitu Irfan
pulang dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam” ucap Bu Dadang dan
Bi Inah bersamaan.
Saat Irfan hendak berjalan menuju
sepedanya. Ia melihat Pak Dadang di teras samping. Ia mendengar pembicaraan Pak
Dadang dengan seseorang di telepon.
“Ya… Iya nanti Ayah yang urus
semuanya, kamu bilang saja kapan kamu mau pulang… Iya Ayah mengerti, yang
penting sekarang kamu belajar sungguh-sungguh disana…” dari pembicaraannya yang
di dengarnya, Irfan tahu pasti, Angga-lah seseorang yang sedang berbicara
dengan Pak Dadang. Namun Irfan tidak ingin terlalu lama berada di sana. Ia
harus pulang.
Sepanjang perjalanan Irfan terus
memikirkan pembicaraan Pak Dadang di telepon. Angga akan pulang. Dia sangat
senang mendcengarnya. Angga adalah anak semata wayang Pak Dadang. Awalnya Angga
hanyalah figur seorang kakak bagi Irfan. Perbedaan umur 2 tahun antara Angga
dan Irfan membuat Irfan merasa Angga adalah sosok kakak untuknya. Namun seiring
berjalannya waktu, perasaan lain mulai timbul di dalam hati Irfan. Irfan mulai
menyayangi Angga, bukan hanya sebagai kakak melainkan kearah rasa sayang
seorang wanita terhadap seorang lelaki yang sesungguhnya ya Irfan seorang Gay .
Dua tahun yang lalu, tepat setelah kelulusan Angga dari SMA, dia mendapat
beasiswa ke sebuah Universitas ternama di Paris. Saat itulah Irfan merasa
sangat kehilangan Angga. Tapi dia juga tidak dapat melakukan apapun untuk
mencegah Angga, itu adalah impian Angga sejak lama, dan impian Irfan juga.
Mereka berdua sama-sama menyukai Prancis dan semua hal yang berhubungan dengan
Prancis.
Berawal pada 7 tahun yang lalu,
mereka melihat acara televisi yang mengulas tentang negara Prancis. Mereka
berdua pun terpesona melihat keindahan yang disajikan acara televisi
tersebut. Dari sanalah mereka mempunyai impian untuk pergi ke Prancis suatu
saat nanti. Mereka berjanji akan bersama-sama berdiri di depan menara Eiffel. Irfan
sangat menyukai menara Eiffel. Tempat tersebut sangat terkenal akan
keromantisannya. Tahun lalu Angga pulang ke kampung, namun sayangnya saat itu Irfan
sedang mengikuti sebuah lomba di Jakarta yang mengharuskannya tinggal di
asrama. Irfan sangat sedih saat mendengar kabar tersebut. Saat Irfan kembali ke
rumah ternyata Angga menitipkan beberapa barang untuknya. Ada miniatur menara
Eiffel, kalung berbandul Eiffel, sebuah buku belajar berbahasa Prancis, foto
Angga di depan menara Eiffel, secarik kertas. Kertas tersebut berisi tulisan:
“Semoga benda-benda ini bisa memotivasi
kamu untuk menggapai cita-cita untuk ke Paris ya mungkin aku salah memiliki
rasa ini tapi setelah aku kehilangan kamu aku sadar aku sayang kamu .I Love You
Irfan aku akan menunggumu disini :)“
Semua benda itu disimpan dengan rapi
di dalam laci meja belajarnya oleh Irfan.
Sesampainya di rumah, Irfan
memberikan uang pemberian Bu Dadang pada ibunya. Setelah itu dia menuju ke
kamarnya dan mengerjakan PR matematika. Baru beberapa soal yang berhasil dia
kerjakan, tapi rasa jenuh sudah mulai ia rasakan. Irfan berhenti sejenak, dia
menatap pada gambar menara eiffel yang dipajang di dinding kamarnya. Gambar
buatan Angga dan buatannya juga. Karena terlalu terobsesi setelah menonton
acara televisi tentang Prancis, mereka berdua mengambil kertas gambar dan crayon
kemudian menggambar menara Eiffel. Irfan tersenyum melihat gambar itu. Dia
berpikir, apakah dia sanggup mewujudkan impiannya? Kondisi perekonomian
keluarganya sangat tidak mendukung untuk Irfan mewujudkan keinginannya.
Terkadang Irfan merasa pesimis dengan kondisi ini, tapi dia yakin jika ada
kemauan pasti ada jalan.
“Ya, aku harus berusaha dengan
kemauan yang keras.” ucap Irfan.
***
Saat istirahat di sekolah, tiba-tiba
Ranti, sahabat Irfan berlari-lari ke kelas dengan kertas berwarna putih yang
digulung di tangan kirinya.
“Irfan! Irfan!” teriak Surya heboh.
Seisi kelas langsung menoleh ke arahnya, namun Ranti tidak peduli.
“Ada apa sih Sur? Semua anak jadi
melihat ke arah kamu, nggak malu apa?”
“Ah, biar saja. Fan, aku punya kabar
baik untuk kamu!”
“Kabar baik apa?” tanya Irfan
penasaran.
“Tadi Bu Mala memberikan aku ini dan
dia memintaku untuk menunjukkannya padamu. Lihat!” Surya menyodorkan kertas
ditangannya yang ternyata adalah sebuah poster. Irfan membaca poster tersebut.
Lomba pidato kenegaraan berbahasa Inggris di depan Presiden.
‘Mengapa Surya memberi poster lomba
ini? Jelas-jelas aku tidak berbakat untuk berbicara di depan orang banyak.’
ucap Irfan dalam hati.
“Aku tidak berminat Sur.” ujar Irfan
tidak berniat sambil menyerahkan kembali poster itu pada Ranti.
“Baca dulu sampai selesai, Fan!” Surya
tetap menyodorkan poster itu ke depan Irfan. Dengan malas Irfan membacanya
sampai selesai, ketika sampai pada bagian bawah poster y ang menjelaskan
tentang hadiah lomba, tiba-tiba saja Irfan berteriak kegirangan. Semua murid
yang ada di dalam kelas menoleh, kali ini semua melihat pada Irfan.
“Sssttt semuanya menoleh ke arah
kamu tuh!”
“Aaaaaa SUrya! Ini dia yang aku
cari! Wah terimakasih banyak ya, kamu memang sahabat terbaikku!” seru Irfan
tanpa memedulikan pandangan teman-temannya. Bagaimana tidak, juara I lomba
pidato itu akan mendapatkan beasiswa S1 full di Prancis dan semua biaya akan
ditanggung pemerintah. Kini dia sangat bersemangat untuk mengikuti lomba itu.
Dia tidak ingin kehilangan kesempatan emas yang ada di depan mata. Lagipula
lomba itu akan diselenggarakan sehabis UN jadi tidak masalah baginya untuk
mengikuti lomba tersebut.
***
Waktu berlalu sangat cepat. Irfan
sudah melewati Ujian Nasional. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin dalam
ujian tersebut. Kini dia hanya bisa berdo’a dan berharap mendapatkan hasil yang
bagus. Sekarang Irfan akan fokus untuk mengikuti lomba pidato yang beberapa
minggu lalu ditunjukkan Ranti padanya. Irfan berlatih dengan bimbingan Bu Mala,
guru Bahasa Inggris disekolahnya. Beliau tahu betul Irfan memiliki bakat
yang besar dalam bidang bahasa. Oleh karena itu, Bu Mala menunjuk Irfan untuk
mewakili sekolahnya mengikuti lomba pidato tersebut.Setiap hari Irfan berlatih
dengan giat. Irfan tidak merasa kesulitan dalam melakukan latihan. Begitu pula
dengan Bu Mala, beliau juga tidak menemukan kendala yang berarti. Justru dia
merasa sangat beruntung karena bisa menjadi guru pembimbing untuk murid pintar
seperti Irfan.
***
Lomba pidato terbagi menjadi dua
hari. Irfan adalah peserta yang tampil pada hari kedua. Hari ini dia akan
berpidato di depan Presiden. Dia hanya ditemani oleh Bu Mala. Saat Irfan dan Bu
Mala tiba di gedung tempat lomba dilaksanakan, suasana masih terlihat sepi.
Baru ada beberapa murid dan guru pendamping yang telihat. Irfan melihat daftar
peserta yang ditempel di sebuah papan pengumuman. Dia tidak menyangka bahwa
peserta yang ikut berjumlah 50 orang lebih. Ternyata saingannya cukup banyak.
Terlebih banyak murid-murid dari sekolah ternama yang mengikuti lomba. Hal ini
membuat nyali Irfan agak menciut.
Hari semakin siang, kali ini sudah
banyak peserta yang datang. Sebentar lagi lomba akan dimulai. Irfan berada di
urutan ke 10. Irfan memperhatikan setiap peserta yang tampil. Pidato mereka
sangat bagus. Irfan semakin khawatir.
“Bu, aku takut. Saingannya berat
sekali.” ucap Irfan tidak bersemangat.
“Irfan, ingat perjuangan kamu untuk
mencapai tempat ini tidak mudah. Banyak waktu yang kamu habiskan untuk
mengikuti lomba ini. Kamu tidak bisa mundur lagi. Sekarang berdo’alah agar
diberi kemudahan.” Bu Mala memeberikan motivasi untuk Irfan.
‘Benar juga, aku tidak ingin
perjuanganku sia-sia. Aku tidak boleh takut! Semangat Fan! Demi orangtua,
teman-teman, guru, sekolah dan tentu saja Kak Angga.’ Irfan menyemangati
dirinya sendiri di dalam hati.
Akhirnya tiba giliran Irfan yang
berpidato. Dia berjalan menuju ke atas podium. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Irfan
sangat gugup, tapi dia berusaha untuk menenangkan dirinya. Akhirnya Irfan
berhasil berpidato dengan baik dan lancar. Bu Mala sangat bangga melihatnya.
“Irfan selamat ya kamu berhasil
berpidato dengan baik sekali, nak.”
“Terimakash, Bu.” jawab Irfan dengan
perasaan lega. Kini dia tinggal menunggu hasil lomba yang akan diumumkan sore
ini juga.
***
Tepat pukul 3 sore juri mengumumkan
juara lomba. Pertama-tama mereka mengumumkan juara harapan lalu dilanjutkan
juara 1, 2 dan 3.
“Sebelum kami mengumumkan pemenang
juara I, II, dan III. Kami akan memIrfanl 3 orang calon pemenang kita itu. Bagi
yang namanya saya sebutkan bisa langusng naik ke atas panggung. Yang pertama,
Gracia Aurelita dari SMA Fosvella.” tepuk tangan terdengar meriah saat nama
salah satu nominasi juara disebutkan.
“Yang kedua, Salsabila Mietha
Rusdiantara dari SMA Negeri 1 Malang.” Ruangan kembali riuh dengan tepuk tangan
para peserta yang hadir. Satu lagi, Irfan sangat berharap namanya yang akan dipIrfanl.
Dia berdo’a sambil memejamkan mata.
“Dan nominasi teakhir adalah… Irfani
Syafiudin dari SMA Harapan 1.”
“Irfan kamu nominasi juara!” Bu Mala
hampir berteriak saking senangnya. Irfan seakan tidak percaya. Dia menoleh ke
arah Bu Mala. Beliau mengangguk, dia telihat sangat senang. Begitu pula dengan Irfan.
Dia segera naik ke atas panggung diiringi dengan tepuk tangan meriah dari
peserta lainnya. Setelah semua nominasi juara naik ke atas panggung juri
kembali memberikan pengumuman.
“Karena semua sudah ada di atas
panggung. Inilah saat-saat yang paling kita tunggu. Langsung saja, pemenang
ke-3 lomba pidato kenegaraan jatuh pada… Gracia Aurelita dari SMA Fosvella.”
Tepuk tangan hadirin menggema. Jantung Irfan berdegup kencang, masih ada
harapan untuk dia mendapat juara 1.
“Juara ke-2 jatuh kepada…” juri
menghentikan kata-katanya. Suasana di ruangan hening seketika.
“Irfani Syafiudin dari SMA Harapan 1
dan juara pertama kita jatuh pada Salsabila Mietha Rusdiantara dari SMA Negeri
1 Malang.” Kini tepuk tangan dan sorak sorai peserta dan guru pendamping
semakin keras dari sebelumnya. Pemenang yang mendapatkan juara pertama terlihat
sangat senang. Irfan bingung. Dia harus senang atau sedih? Dia bahkan tidak
tahu apa yang akan didapatkan pemenang kedua dari lomba ini. Tidak lama setelah
penerimaan piala dan hadiah yang diserahkan oleh Bapak Presiden acara pun usai.
Semua peserta bergegas pulang. Irfan terlihat agak murung dan Bu Mala menyadari
hal itu.
“Fan, kamu tidak boleh sedih. Ibu
tau kamu sangat menginginkan juara pertama. Tapi Allah sudah menempatkan kamu
agar menempati posisi yang kamu dapatkan sekarang. Bersyukurlah an.” ucap Bu
Mala.
“Tapi Irfan ingin ke Paris, Bu.
Bukan ke Australia.”
“Irfan, di luar sana masih banyak
yang menginginkan beasiswa itu. Belajar itu tidak melihat tempat nak, tapi
melihat ilmunya.”
Irfan hanya diam. Tak pernah
terpikir olehnya dia akan mendapat juara kedua. Selama ini dia hanya
berorientasi pada juara pertama. Bahkan hadiah untuk juara kedua pun baru
diketahuinya hari ini, beasiswa ke Australia, bukan ke Paris.
***
Hari ini adalah pengumuman kelulusan
seluruh SMA di Indonesia. Irfan datang ke sekolah lebih awal. Dia ingin
cepat-cepat mengetahui perolehan nilai ujiannya. Irfan berdo’a agar nilai yang
dia terima memuaskan. Meskipun dia pernah berjanji pada Angga untuk mendapatkan
nilai terbaik di sekolahnya, tapi Irfan tidak ingin berkhayal terlalu tinggi
dia takut akan kecewa seperti kejadian lomba pidato beberapa minggu lalu.
Pukul 08.00 Pak Farid masuk ke ruang
kelas. Beliau membawa tumpukan amplop yang cukup banyak. Satu persatu
teman-teman Irfan dipIrfanl kemudian diberikan amplop tersebut. Tapi sampai
semua temannya selesai dipIrfanl, nama Irfan tidak juga disebut oleh gurunya.
Seisi kelas sudah diliput kebahagiaan, banyak yang menangis haru karena
berhasil lulus. Irfan was-was. Berbagai macam kemungkinan terburuk hinggap di
otaknya. Tiba-tiba Pak Farid memIrfanl Irfan.
“Irfan, kemari sebentar.”
Wajah Pak Farid yang terlihat begitu
serius membuat Irfan semakin takut. Pak Farid berdiri bersisian dengan Irfan
menghadap ke semua muris di kelas.
“Anak-anak Bapak akan memberikan
sebuah pengumuman penting untuk kalian.” Seketika suasana kelas menjadi hening
dan semua anak melihat ke arah Pak Farid dan Irfan. Irfan merasakan sekujur
tubuhnya berkeringat dingin.
“Teman kalian yang berdiri di
samping Bapak belum mendapatkan hasil nilai ujiannya. Hasil miliknya masih
disimpan dengan baik oleh Kepala Sekolah. Apa kalian tahu penyebabnya?”
Teman-teman Irfan menggeleng.
“Pengumuman penting yang akan Bapak
sampaikan berkaitan dengan nilai ujian teman kalian ini. Ia telah membawa
sebuah kebanggaan untuk sekolah kita. Pelangi Maharani berhasil memperoleh
nilai hampir sempurna dalam ujian nasional dan mendapat mendapat nilai
tertinggi di sekolah kita. Bukan hanya di sekolah, bahkan dia mendapat nilai
terbaik di seluruh Indonesia. Berikan tepuk tangan untuk Irfan.”
Tiba-tiba suasana kelas yang awalnya
sangat hening berubah total menjadi sangat gaduh. Sorak sorai teman-teman Irfan
memenuhi seisi kelas.
“Selamat ya Irfan. Bapak sangat
bangga denganmu.” ucap Pak Farid dengan senyumnya.
“I… Iya… Terimakasih, Pak.” jawab Irfan
gugup. Teman-temannya satu per satu memberikan selamat pada Irfan. Irfan tidak
menyangka dia bisa mendapat nilai terbaik di sekolahnya, bahkan se-Indonesia!
Ini seperti mimpi baginya. Dia yakin orang tuanya pasti bangga, demikian juga
dengan Angga.
Keberangkatan calon mahasiswa
penerima beasiswa kuliah akan dilaksanakan seminggu lagi. Awalnya Irfan sangat
ragu, namun karena dukungan guru, teman-teman dan kedua orang tuanya Irfan
memutuskan akan mengambil beasiswa itu. Irfan menerapkan prinsip ‘Banyak
jalan menuju Roma’. Meskipun saat ini dia tidak bisa menuntut ilmu di negara
favoritnya, ini adalah takdir yang diberikan Tuhan untuknya.
***
Tahun pertama Irfan kuliah di
Australia dia sudah mendapatkan banyak prestasi. Mengikuti berbagai lomba
internasional dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Bahkan Irfan baru saja
mendapat kabar dari salah satu dosennya bahwa dia akan dikirim ke Prancis
dengan dua orang temannya untuk studi banding. Irfan setengah tidak percaya.
Akhirnya keinginannya bisa terwujud! Tidak seperti saat di rumahnya dulu,
sekarang Irfan bisa dengan mudah menghubungi Angga. Irfan segera menelepon
Angga lewat telepon di kampusnya.
“Halo.” Terdengar suara berat dari
seberang telepon.
“Halo. Kakaaaaaak!” teriak Irfan
senang.
“Irfan ya? Kamu mengagetkan saja.
Ada apa?”
“Iya. Aku punya kabar baik, lho.”
“Kabar baik apa? Ayo ceritakan
padaku.”
“Aku akan mengadakan studi banding
ke luar negeri!”
“Benarkan? Kemana?”
“Ke Paris!”
“Are you serious?”
“Yes, of course! I’m really really
serious.”
“Wah kalau begitu kita bisa bertemu.
Kapan kamu akan kesini?”
“Minggu depan Kak. Nanti aku
seminggu disana.”
“Baiklah, kita rencanakan pertemuan
kita nanti ya. Aku tunggu kabar selanjutnya darimu.”
“Oke. Miss you so much!”
“Miss you too deek.”
Irfan memutus telepon. Dia tidak
bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Sebentar lagi, hari yang lama
dinantikan akan tiba. Ya, tak akan lama lagi.
***
Tidak terasa Irfan sudah tiga hari
berada di negara impiannya, Paris. Malam ini dia telah membuat janji dengan
Angga untuk bertemu. Untung saja hotel tempat menginap Irfan tidak jauh dari
kawasan menara Eiffel, hanya sekitar 10 menit dengan menaiki taksi. Mereka
bersepakat untuk bertemu di sana. Tepat pukul 7 Irfan sudah rapi dengan mantel
biru muda dan topi rajutan berwarna senada. Meskipun belum musim salju, tapi
cuaca di luar sangat dingin. Tidak lupa juga dia memakai kalung berbandul
Eiffel pemberian Angga. Setelah mendapat izin dari dosen pembimbingnya Irfan
bergegas berangkat.
Sesampainya di depan menara Eiffel, Irfan
tidak menemukan sosok yang dicarinya. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di
bangku panjang yang menghadap langsung ke menara Eiffel. Irfan tak henti
hentinya mengagumi bangunan indah yang satu ini. Dipandangi berapa lamapun
sepertinya ia tidak akan merasa bosan. Bahkan dia tidak sadar jika disebelahnya
sudah ada seorang lelaki yang duduk manis memandanginya. Tiba-tiba Irfan
mendengar suara.
“Ehm…” Irfan menoleh. Didapatinya
seorang lelaki yang wajahnya tidak asing. Lelaki yang sangat dia rindukan.
Meskipun kacamata menghiasi wajahnya tapi Irfan sangat mengenali sosok lelaki
itu.
“Kyaaaaa…! Kak Angga!” tanpa sadar Irfan
langsung memeluk Angga.
“Kak, aku kangen banget sama kakak.
Akhirnya sekarang bisa ketemu juga!” ujar Irfan senang.
“Iya, aku juga kangen sama kamu.”
Angga tersenyum manis sekali. Irfan jadi salah tingkah sendiri.
“Ehm sebelumnya aku mau nagih janji
kamu dulu.”
“Janji? Janji apa?” tanya Irfan
bingung.
“Janji kamu yang bilang akan
menunjukkan piagam lulusan terbaik satu sekolah, eh, satu Indonesia maksudnya.”
“Oh iya Kak! Aku lupa bawa piagam
itu. Lagipula piagamnya ada di rumah, disimpan sama ibu.”
Tiba-tiba Angga bangkit dan
berpura-pura akan pergi. Irfan yang tidak menyadari kalau Angga sedang
berpura-pura menjadi panik.
“Kak, tolong jangan marah. Maaf aku
benar-benar tidak ingat. Sungguh! Aku tidak berbohong. Suer deh!” Irfan
mengangkat jarinya dan membentuknya menyerupai huruf V.
“Haha kamu takut aku marah? Mana
mungkin aku marah hanya karena hal sepele seperti itu.” Angga mencubit pipi Irfan
dengan gemas sambil tertawa.
“Aduduh, sakit Kak. Aku pikir kakak
benar-benar marah. Huh bikin panik saja!”
“Iya maaf maaf. Hem bagaimana kalau
aku mentraktirmu makan di restoran itu. Makanannya sangat enak, lho.” kata
Angga sambil menunjuk sebuah restoran yang hanya berjarak 50 meter dari tempat
mereka berdiri.
“Ayo!”
Irfan dan Anggapun berjalan
bersisian. Melihat menara Eiffel di malam hari bersama Angga adalah impian Irfan
sejak lama. Dan hari ini, mimpinya terwujud. Mimpinya telah menjadi kenyataan.
Tamat
0 komentar:
Posting Komentar