My Dreams (oneshoot)

Dirgantara putra 14.13 |



Irfan berhenti sejenak, dia menatap pada gambar menara eiffel yang dipajang di dinding kamarnya. Gambar buatan Angga dan buatannya juga. Karena terlalu terobsesi setelah menonton acara televisi tentang Prancis, mereka berdua mengambil kertas gambar dan crayon kemudian menggambar menara Eiffel. Irfan tersenyum melihat gambar itu. Dia berpikir, apakah dia sanggup mewujudkan impiannya? Kondisi perekonomian keluarganya sangat tidak mendukung untuk Irfan mewujudkan keinginannya. Terkadang Irfan merasa pesimis dengan kondisi ini, tapi dia yakin jika ada kemauan pasti ada jalan.
“Ya, aku harus berusaha dengan kemauan yang keras.” ucap Irfan.
Pergi ke Paris adalah impian Irfan sejak lama. Dia sangat mengagumi negara itu. Namun dengan kondisi hidupnya apakah ia akan mampu mewujudkan impian itu? Apakah Irfan akan bertemu kembali dengan Angga, sosok lelaki yang dia cintai? 

Eiffel  Im LoPhe_

Minggu pagi. Tepat pukul 07.00. Irfan melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Bukan pekerjaan rumah atau PR dari sekolah. Melainkan pekerjaan rumah yang sesungguhnya seperti menyapu, mengepel dan mencuci baju. Tubuhnya terasa lelah. Irfan duduk di sebuah kursi kayu yang sudah reot. Kata Ibu, umur kursi ini lebih tua dari umur Irfan yang baru saja menginjak 17 tahun. Sejenak Irfan menatap pada televisi yang menyala. Melihat acara kartun yang dulu ditontonnya hampir setiap minggu. Irfan tertawa kecil melihat adegan-adegan lucu kartun  tersebut. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 07.28. Irfan teringat ia harus membantu ibunya membuat pesanan untuk acara arisan di rumah Pak Dadang, kepala desa di kampungnya. Irfan bergegas ke dapur. Didapati ibunya sedang memotong-motong sayuran.
“Fan, tolong potong-potong sayurnya seperti biasa ya. Ibu mau ke warung Bu Maryam sebentar. Ada bumbu yang kurang.”
“Iya Bu.”
Tanpa banyak bicara Irfan segera melakukan perintah ibunya. Ibu Irfan adalah seorang penjual gado-gado. Ibu Irfan membuka sebuah warung gado-gado yang sederhana di depan rumahnya. Seluruh penduduk kampung tahu akan kelezatan gado-gado buatan Bu Minah, Ibu Irfan. Hampir setiap hari Irfan membantu Bu Minah. Meskipun ia tahun ini duduk di bangku kelas 12, tapi Irfan selalu punya waktu tersendiri untuk membantu pekerjaan ibunya. Maklum, Irfan adalah anak tunggal. Mau tidak mau ia harus memiliki kesadaran sendiri untuk membantu orangtuanya mencari nafkah. Ayah Irfan, Pak Ridwan hanya seorang pegawai di sebuah kantor pos di desa sebelah. Gajinya hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untunglah Irfan anak yang terbilang pandai di sekolahnya sehingga ia mendapatkan beasiswa penuh dalam menjalani pendidikan selama SMA.
Bu Minah kembali dengan membawa sebuah plastik kecil yang berisi bumbu-bumbu. Pesanan gado-gado kali ini memang cukup banyak. Pak Dadang memesan gado-gado untuk 25 porsi. Pukul  11 Irfan siap mengantarkan pesanan gado-gado ke rumah Pak Dadang. Irfan mengatar pesanan dengan mengendarai sepeda. Jarak rumah Pak Dadang tidak terlalu jauh, sekitar 200 meter dari rumah Irfan. Sesampainya di rumah Pak Dadang, Bu Dadang sudah menyambutnya di depan rumah.
“Irfan, ibu tunggu daritadi lho, nak. Ayo ayo sini ibu bantu. Kita lewat pintu belakang saja ya.” Bu Dadang menghampiri Irfan dan membantunya membawa gado-gado ke dapur.
“Acaranya sudah mulai ya, Bu? Sudah ramai di depan.”
“Belum, masih banyak sanak saudara yang belum datang. Mungkin sebentar lagi baru mulai.” Bu Dadang menjelaskan sambil tersenyum. Irfan hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Bu Dadang.
“Bi Inah, tolong pindahkan gado-gado ini ke piring yang besar itu ya Bi. Nanti biar langsung bisa disajikan.”
“Iya, Bu.”
“Sebentar ya, Gi. Ibu ambilkan uang sisa pembayaran gado-gado ini.”
“Iya, Bu.” Irfan mengangguk. Irfan melihat ke sekeliling. Seperti mencari cari sesuatu.
“Hayo neng Irfan cari apa, tho?” tanya Bi Inah.
“Ah, tidak Bi.” Irfan terdiam sejenak. “Bi, Irfan boleh bertanya?”
“Jelas boleh, le. Mau nanya apa?” sahut Bi Inah sambil terus memindahkan gado-gado ke dalam piring. Irfan pun ikut membantu Bi Inah.
“Ka Angga belum pulang juga ya Bi?”
“Den Anggara? Lha wong kuliahnya jauh, masa iya pulang sebulan sekali.”
“Tapi Bi, Ka Angga sudah hampir satu tahun belum pernah pulang.”
  Tiba-tiba Bu Dadang datang.
“Bi Inah dan Irfan sedang membicarakan apa? Sepertinya seru sekali.” tanya Bu Dadang.
“Tidak, Bu.” sahut Irfan malu-malu.
“Ini Irfan sisa uang pembayaran gado-gadonya. Kamu ambil saja kembalinya ya.” kata Bu Dadang ramah.
“Terimakasih ya, Bu. Kalau begitu Irfan pulang dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam” ucap Bu Dadang dan Bi Inah bersamaan.
Saat Irfan hendak berjalan menuju sepedanya. Ia melihat Pak Dadang di teras samping. Ia mendengar pembicaraan Pak Dadang dengan seseorang di telepon.
“Ya… Iya nanti Ayah yang urus semuanya, kamu bilang saja kapan kamu mau pulang… Iya Ayah mengerti, yang penting sekarang kamu belajar sungguh-sungguh disana…” dari pembicaraannya yang di dengarnya, Irfan tahu pasti, Angga-lah seseorang yang sedang berbicara dengan Pak Dadang. Namun Irfan tidak ingin terlalu lama berada di sana. Ia harus pulang.
Sepanjang perjalanan Irfan terus memikirkan pembicaraan Pak Dadang di telepon. Angga akan pulang. Dia sangat senang mendcengarnya. Angga adalah anak semata wayang Pak Dadang. Awalnya Angga hanyalah figur seorang kakak bagi Irfan. Perbedaan umur 2 tahun antara Angga dan Irfan membuat Irfan merasa Angga adalah sosok kakak untuknya. Namun seiring berjalannya waktu, perasaan lain mulai timbul di dalam hati Irfan. Irfan mulai menyayangi Angga, bukan hanya sebagai kakak melainkan kearah rasa sayang seorang wanita terhadap seorang lelaki yang sesungguhnya ya Irfan seorang Gay . Dua tahun yang lalu, tepat setelah kelulusan Angga dari SMA, dia mendapat beasiswa ke sebuah Universitas ternama di Paris. Saat itulah Irfan merasa sangat kehilangan Angga. Tapi dia juga tidak dapat melakukan apapun untuk mencegah Angga, itu adalah impian Angga sejak lama, dan impian Irfan juga. Mereka berdua sama-sama menyukai Prancis dan semua hal yang berhubungan dengan Prancis.
Berawal pada 7 tahun yang lalu, mereka melihat acara televisi yang mengulas tentang negara Prancis. Mereka berdua pun  terpesona melihat keindahan yang disajikan acara televisi tersebut. Dari sanalah mereka mempunyai impian untuk pergi ke Prancis suatu saat nanti. Mereka berjanji akan bersama-sama berdiri di depan menara Eiffel. Irfan sangat menyukai menara Eiffel. Tempat tersebut sangat terkenal akan keromantisannya. Tahun lalu Angga pulang ke kampung, namun sayangnya saat itu Irfan sedang mengikuti sebuah lomba di Jakarta yang mengharuskannya tinggal di asrama. Irfan sangat sedih saat mendengar kabar tersebut. Saat Irfan kembali ke rumah ternyata Angga menitipkan beberapa barang untuknya. Ada miniatur menara Eiffel, kalung berbandul Eiffel, sebuah buku belajar berbahasa Prancis, foto Angga di depan menara Eiffel, secarik kertas. Kertas tersebut berisi tulisan:
“Semoga benda-benda ini bisa memotivasi kamu untuk menggapai cita-cita untuk ke Paris ya mungkin aku salah memiliki rasa ini tapi setelah aku kehilangan kamu aku sadar aku sayang kamu .I Love You Irfan aku akan menunggumu disini :)“
Semua benda itu disimpan dengan rapi di dalam laci meja belajarnya oleh Irfan.
Sesampainya di rumah, Irfan memberikan uang pemberian Bu Dadang pada ibunya. Setelah itu dia menuju ke kamarnya dan mengerjakan PR matematika. Baru beberapa soal yang berhasil dia kerjakan, tapi rasa jenuh sudah mulai ia rasakan. Irfan berhenti sejenak, dia menatap pada gambar menara eiffel yang dipajang di dinding kamarnya. Gambar buatan Angga dan buatannya juga. Karena terlalu terobsesi setelah menonton acara televisi tentang Prancis, mereka berdua mengambil kertas gambar dan crayon kemudian menggambar menara Eiffel. Irfan tersenyum melihat gambar itu. Dia berpikir, apakah dia sanggup mewujudkan impiannya? Kondisi perekonomian keluarganya sangat tidak mendukung untuk Irfan mewujudkan keinginannya. Terkadang Irfan merasa pesimis dengan kondisi ini, tapi dia yakin jika ada kemauan pasti ada jalan.
“Ya, aku harus berusaha dengan kemauan yang keras.” ucap Irfan.
***
Saat istirahat di sekolah, tiba-tiba Ranti, sahabat Irfan berlari-lari ke kelas dengan kertas berwarna putih yang digulung di tangan kirinya.
“Irfan! Irfan!” teriak Surya heboh. Seisi kelas langsung menoleh ke arahnya, namun Ranti tidak peduli.
“Ada apa sih Sur? Semua anak jadi melihat ke arah kamu, nggak malu apa?”
“Ah, biar saja. Fan, aku punya kabar baik untuk kamu!”
“Kabar baik apa?” tanya Irfan penasaran.
“Tadi Bu Mala memberikan aku ini dan dia memintaku untuk menunjukkannya padamu. Lihat!” Surya menyodorkan kertas ditangannya yang ternyata adalah sebuah poster. Irfan membaca poster tersebut. Lomba pidato kenegaraan berbahasa Inggris di depan Presiden.
‘Mengapa Surya memberi poster lomba ini? Jelas-jelas aku tidak berbakat untuk berbicara di depan orang banyak.’ ucap Irfan dalam hati.
“Aku tidak berminat Sur.” ujar Irfan tidak berniat sambil menyerahkan kembali poster itu pada Ranti.
“Baca dulu sampai selesai, Fan!” Surya tetap menyodorkan poster itu ke depan Irfan. Dengan malas Irfan membacanya sampai selesai, ketika sampai pada bagian bawah poster y ang menjelaskan tentang hadiah lomba, tiba-tiba saja Irfan berteriak kegirangan. Semua murid yang ada di dalam kelas menoleh, kali ini semua melihat pada Irfan.
“Sssttt semuanya menoleh ke arah kamu tuh!”
“Aaaaaa SUrya! Ini dia yang aku cari! Wah terimakasih banyak ya, kamu memang sahabat terbaikku!” seru Irfan tanpa memedulikan pandangan teman-temannya. Bagaimana tidak, juara I lomba pidato itu akan mendapatkan beasiswa S1 full di Prancis dan semua biaya akan ditanggung pemerintah. Kini dia sangat bersemangat untuk mengikuti lomba itu. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan emas yang ada di depan mata. Lagipula lomba itu akan diselenggarakan sehabis UN jadi tidak masalah baginya untuk mengikuti lomba tersebut.
***
Waktu berlalu sangat cepat. Irfan sudah melewati Ujian Nasional. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin dalam ujian tersebut. Kini dia hanya bisa berdo’a dan berharap mendapatkan hasil yang bagus. Sekarang Irfan akan fokus untuk mengikuti lomba pidato yang beberapa minggu lalu ditunjukkan Ranti padanya. Irfan berlatih dengan bimbingan Bu Mala, guru  Bahasa Inggris disekolahnya. Beliau tahu betul Irfan memiliki bakat yang besar dalam bidang bahasa. Oleh karena itu, Bu Mala menunjuk Irfan untuk mewakili sekolahnya mengikuti lomba pidato tersebut.Setiap hari Irfan berlatih dengan giat. Irfan tidak merasa kesulitan dalam melakukan latihan. Begitu pula dengan Bu Mala, beliau juga tidak menemukan kendala yang berarti. Justru dia merasa sangat beruntung karena bisa menjadi guru pembimbing untuk murid pintar seperti Irfan.
***
Lomba pidato terbagi menjadi dua hari. Irfan adalah peserta yang tampil pada hari kedua. Hari ini dia akan berpidato di depan Presiden. Dia hanya ditemani oleh Bu Mala. Saat Irfan dan Bu Mala tiba di gedung tempat lomba dilaksanakan, suasana masih terlihat sepi. Baru ada beberapa murid dan guru pendamping yang telihat. Irfan melihat daftar peserta yang ditempel di sebuah papan pengumuman. Dia tidak menyangka bahwa peserta yang ikut berjumlah 50 orang lebih. Ternyata saingannya cukup banyak. Terlebih banyak murid-murid dari sekolah ternama yang mengikuti lomba. Hal ini membuat nyali Irfan agak menciut.
Hari semakin siang, kali ini sudah banyak peserta yang datang. Sebentar lagi lomba akan dimulai. Irfan berada di urutan ke 10. Irfan memperhatikan setiap peserta yang tampil. Pidato mereka sangat bagus. Irfan semakin khawatir.
“Bu, aku takut. Saingannya berat sekali.” ucap Irfan tidak bersemangat.
“Irfan, ingat perjuangan kamu untuk mencapai tempat ini tidak mudah. Banyak waktu yang kamu habiskan untuk mengikuti lomba ini. Kamu tidak bisa mundur lagi. Sekarang berdo’alah agar diberi kemudahan.” Bu Mala memeberikan motivasi untuk Irfan.
‘Benar juga, aku tidak ingin perjuanganku sia-sia. Aku tidak boleh takut! Semangat Fan! Demi orangtua, teman-teman, guru, sekolah dan tentu saja Kak Angga.’ Irfan menyemangati dirinya sendiri di dalam hati.
Akhirnya tiba giliran Irfan yang berpidato. Dia berjalan menuju ke atas podium. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Irfan sangat gugup, tapi dia berusaha untuk menenangkan dirinya. Akhirnya Irfan berhasil berpidato dengan baik dan lancar. Bu Mala sangat bangga melihatnya.
“Irfan selamat ya kamu berhasil berpidato dengan baik sekali, nak.”
“Terimakash, Bu.” jawab Irfan dengan perasaan lega. Kini dia tinggal menunggu hasil lomba yang akan diumumkan sore ini juga.
***
Tepat pukul 3 sore juri mengumumkan juara lomba. Pertama-tama mereka mengumumkan juara harapan lalu dilanjutkan juara 1, 2 dan 3.
“Sebelum kami mengumumkan pemenang juara I, II, dan III. Kami akan memIrfanl 3 orang calon pemenang kita itu. Bagi yang namanya saya sebutkan bisa langusng naik ke atas panggung. Yang pertama, Gracia Aurelita dari SMA Fosvella.” tepuk tangan terdengar meriah saat nama salah satu nominasi juara disebutkan.
“Yang kedua, Salsabila Mietha Rusdiantara dari SMA Negeri 1 Malang.” Ruangan kembali riuh dengan tepuk tangan para peserta yang hadir. Satu lagi, Irfan sangat berharap namanya yang akan dipIrfanl. Dia berdo’a sambil memejamkan mata.
“Dan nominasi teakhir adalah… Irfani Syafiudin dari SMA Harapan 1.”
“Irfan kamu nominasi juara!” Bu Mala hampir berteriak saking senangnya. Irfan seakan tidak percaya. Dia menoleh ke arah Bu Mala. Beliau mengangguk, dia telihat sangat senang. Begitu pula dengan Irfan. Dia segera naik ke atas panggung diiringi dengan tepuk tangan meriah dari peserta lainnya. Setelah semua nominasi juara naik ke atas panggung juri kembali memberikan pengumuman.
“Karena semua sudah ada di atas panggung. Inilah saat-saat yang paling kita tunggu. Langsung saja, pemenang ke-3 lomba pidato kenegaraan jatuh pada… Gracia Aurelita dari SMA Fosvella.” Tepuk tangan hadirin menggema. Jantung Irfan berdegup kencang, masih ada harapan untuk dia mendapat juara 1.
“Juara ke-2 jatuh kepada…” juri menghentikan kata-katanya. Suasana di ruangan hening seketika.
“Irfani Syafiudin dari SMA Harapan 1 dan juara pertama kita jatuh pada Salsabila Mietha Rusdiantara dari SMA Negeri 1 Malang.” Kini tepuk tangan dan sorak sorai peserta dan guru pendamping semakin keras dari sebelumnya. Pemenang yang mendapatkan juara pertama terlihat sangat senang. Irfan bingung. Dia harus senang atau sedih? Dia bahkan tidak tahu apa yang akan didapatkan pemenang kedua dari lomba ini. Tidak lama setelah penerimaan piala dan hadiah yang diserahkan oleh Bapak Presiden acara pun usai. Semua peserta bergegas pulang. Irfan terlihat agak murung dan Bu Mala menyadari hal itu.
“Fan, kamu tidak boleh sedih. Ibu tau kamu sangat menginginkan juara pertama. Tapi Allah sudah menempatkan kamu agar menempati posisi yang kamu dapatkan sekarang. Bersyukurlah an.” ucap Bu Mala.
“Tapi Irfan ingin ke Paris, Bu. Bukan ke Australia.”
“Irfan, di luar sana masih banyak yang menginginkan beasiswa itu. Belajar itu tidak melihat tempat nak, tapi melihat ilmunya.”
Irfan hanya diam. Tak pernah terpikir olehnya dia akan mendapat juara kedua. Selama ini dia hanya berorientasi pada juara pertama. Bahkan hadiah untuk juara kedua pun baru diketahuinya hari ini, beasiswa ke Australia, bukan ke Paris.
***
Hari ini adalah pengumuman kelulusan seluruh SMA di Indonesia. Irfan datang ke sekolah lebih awal. Dia ingin cepat-cepat mengetahui perolehan nilai ujiannya. Irfan berdo’a agar nilai yang dia terima memuaskan. Meskipun dia pernah berjanji pada Angga untuk mendapatkan nilai terbaik di sekolahnya, tapi Irfan tidak ingin berkhayal terlalu tinggi dia takut akan kecewa seperti kejadian lomba pidato beberapa minggu lalu.
Pukul 08.00 Pak Farid masuk ke ruang kelas. Beliau membawa tumpukan amplop yang cukup banyak. Satu persatu teman-teman Irfan dipIrfanl kemudian diberikan amplop tersebut. Tapi sampai semua temannya selesai dipIrfanl, nama Irfan tidak juga disebut oleh gurunya. Seisi kelas sudah diliput kebahagiaan, banyak yang menangis haru karena berhasil lulus. Irfan was-was. Berbagai macam kemungkinan terburuk hinggap di otaknya. Tiba-tiba Pak Farid memIrfanl Irfan.
“Irfan, kemari sebentar.”
Wajah Pak Farid yang terlihat begitu serius membuat Irfan semakin takut. Pak Farid berdiri bersisian dengan Irfan menghadap ke semua muris di kelas.
“Anak-anak Bapak akan memberikan sebuah pengumuman penting untuk kalian.” Seketika suasana kelas menjadi hening dan semua anak melihat ke arah Pak Farid dan Irfan. Irfan merasakan sekujur tubuhnya berkeringat dingin.
“Teman kalian yang berdiri di samping Bapak belum mendapatkan hasil nilai ujiannya. Hasil miliknya masih disimpan dengan baik oleh Kepala Sekolah. Apa kalian tahu penyebabnya?”
Teman-teman Irfan menggeleng.
“Pengumuman penting yang akan Bapak sampaikan berkaitan dengan nilai ujian teman kalian ini. Ia telah membawa sebuah kebanggaan untuk sekolah kita. Pelangi Maharani berhasil memperoleh nilai hampir sempurna dalam ujian nasional dan mendapat mendapat nilai tertinggi di sekolah kita. Bukan hanya di sekolah, bahkan dia mendapat nilai terbaik di seluruh Indonesia. Berikan tepuk tangan untuk Irfan.”
Tiba-tiba suasana kelas yang awalnya sangat hening berubah total menjadi sangat gaduh. Sorak sorai teman-teman Irfan memenuhi seisi kelas.
“Selamat ya Irfan. Bapak sangat bangga denganmu.” ucap Pak Farid dengan senyumnya.
“I… Iya… Terimakasih, Pak.” jawab Irfan gugup. Teman-temannya satu per satu memberikan selamat pada Irfan. Irfan tidak menyangka dia bisa mendapat nilai terbaik di sekolahnya, bahkan se-Indonesia! Ini seperti mimpi baginya. Dia yakin orang tuanya pasti bangga, demikian juga dengan Angga.
Keberangkatan calon mahasiswa penerima beasiswa kuliah akan dilaksanakan seminggu lagi. Awalnya Irfan sangat ragu, namun karena dukungan guru, teman-teman dan kedua orang tuanya Irfan memutuskan akan mengambil beasiswa itu.  Irfan menerapkan prinsip ‘Banyak jalan menuju Roma’. Meskipun saat ini dia tidak bisa menuntut ilmu di negara favoritnya, ini adalah takdir yang diberikan Tuhan untuknya.
***
Tahun pertama Irfan kuliah di Australia dia sudah mendapatkan banyak prestasi. Mengikuti berbagai lomba internasional dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Bahkan Irfan baru saja mendapat kabar dari salah satu dosennya bahwa dia akan dikirim ke Prancis dengan dua orang temannya untuk studi banding. Irfan setengah tidak percaya. Akhirnya keinginannya bisa terwujud! Tidak seperti saat di rumahnya dulu, sekarang Irfan bisa dengan mudah menghubungi Angga. Irfan segera menelepon Angga lewat telepon di kampusnya.
“Halo.” Terdengar suara berat dari seberang telepon.
“Halo. Kakaaaaaak!” teriak Irfan senang.
“Irfan ya? Kamu mengagetkan saja. Ada apa?”
“Iya. Aku punya kabar baik, lho.”
“Kabar baik apa? Ayo ceritakan padaku.”
“Aku akan mengadakan studi banding ke luar negeri!”
“Benarkan? Kemana?”
“Ke Paris!”
“Are you serious?”
“Yes, of course! I’m really really serious.”
“Wah kalau begitu kita bisa bertemu. Kapan kamu akan kesini?”
“Minggu depan Kak. Nanti aku seminggu disana.”
“Baiklah, kita rencanakan pertemuan kita nanti ya. Aku tunggu kabar selanjutnya darimu.”
“Oke. Miss you so much!”
“Miss you too deek.”
Irfan memutus telepon. Dia tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Sebentar lagi, hari yang lama dinantikan akan tiba. Ya, tak akan lama lagi.
***
Tidak terasa Irfan sudah tiga hari berada di negara impiannya, Paris. Malam ini dia telah membuat janji dengan Angga untuk bertemu. Untung saja hotel tempat menginap Irfan tidak jauh dari kawasan menara Eiffel, hanya sekitar 10 menit dengan menaiki taksi. Mereka bersepakat untuk bertemu di sana. Tepat pukul 7 Irfan sudah rapi dengan mantel biru muda dan topi rajutan berwarna senada. Meskipun belum musim salju, tapi cuaca di luar sangat dingin. Tidak lupa juga dia memakai kalung berbandul Eiffel pemberian Angga. Setelah mendapat izin dari dosen pembimbingnya Irfan bergegas berangkat.
Sesampainya di depan menara Eiffel, Irfan tidak menemukan sosok yang dicarinya. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di bangku panjang yang menghadap langsung ke menara Eiffel. Irfan tak henti hentinya mengagumi bangunan indah yang satu ini. Dipandangi berapa lamapun sepertinya ia tidak akan merasa bosan. Bahkan dia tidak sadar jika disebelahnya sudah ada seorang lelaki yang duduk manis memandanginya. Tiba-tiba Irfan mendengar suara.
“Ehm…” Irfan menoleh. Didapatinya seorang lelaki yang wajahnya tidak asing. Lelaki yang sangat dia rindukan. Meskipun kacamata menghiasi wajahnya tapi Irfan sangat mengenali sosok lelaki itu.
“Kyaaaaa…! Kak Angga!” tanpa sadar Irfan langsung memeluk Angga.
“Kak, aku kangen banget sama kakak. Akhirnya sekarang bisa ketemu juga!” ujar Irfan senang.
“Iya, aku juga kangen sama kamu.” Angga tersenyum manis sekali. Irfan jadi salah tingkah sendiri.
“Ehm sebelumnya aku mau nagih janji kamu dulu.”
“Janji? Janji apa?” tanya Irfan bingung.
“Janji kamu yang bilang akan menunjukkan piagam lulusan terbaik satu sekolah, eh, satu Indonesia maksudnya.”
“Oh iya Kak! Aku lupa bawa piagam itu. Lagipula piagamnya ada di rumah, disimpan sama ibu.”
Tiba-tiba Angga bangkit dan berpura-pura akan pergi. Irfan yang tidak menyadari kalau Angga sedang berpura-pura menjadi panik.
“Kak, tolong jangan marah. Maaf aku benar-benar tidak ingat. Sungguh! Aku tidak berbohong. Suer deh!” Irfan mengangkat jarinya dan membentuknya menyerupai huruf V.
“Haha kamu takut aku marah? Mana mungkin aku marah hanya karena hal sepele seperti itu.” Angga mencubit pipi Irfan dengan gemas sambil tertawa.
“Aduduh, sakit Kak. Aku pikir kakak benar-benar marah. Huh bikin panik saja!”
“Iya maaf maaf. Hem bagaimana kalau aku mentraktirmu makan di restoran itu. Makanannya sangat enak, lho.” kata Angga sambil menunjuk sebuah restoran yang hanya berjarak 50 meter dari tempat mereka berdiri.
“Ayo!”
Irfan dan Anggapun berjalan bersisian. Melihat menara Eiffel di malam hari bersama Angga adalah impian Irfan sejak lama. Dan hari ini, mimpinya terwujud. Mimpinya telah menjadi kenyataan.
Tamat

0 komentar:

Posting Komentar