KADANG CUPID TUH TOLOL 6
BY: MARIO
Cazzo terpana. Satu sudut bibirnya menyungging
ke atas dan dia menyeringai geli. “Iya juga, sih...” gumamnya. “Berarti lo
emang pengertian banget! Lo ngerti gue.”
“Aku justru nggak ngerti kamu!” seruku frustasi. “Aku bahkan nggak ngerti kenapa aku bisa tahan sama kamu.”
“Karena lo sebetulnya didesain buat gue,” katanya.
“Didesain?!”
Aku memutar bola mata dan masuk ke kamar mandi untuk meletakkan perlengkapan mandi kami. Ketika aku kembali ke kamar, Cazzo sedang sibuk menggabungkan dua ranjang menjadi satu.
“Kamu ngapain?” Aku menyipitkan mata.
“Biar kasurnya gede, Bro!” Cazzo nyengir dan buru-buru meluruskan ranjang itu agar sejajar. “Gue nggak bisa tidur kalo cuma sekasur ini doang. Terlalu... sempit.”
“Ini Queen size, for God’s sake! Nggak mungkin kekecilan.”
“Tapi gue pengennya kan begini, dan lo mesti nurut!” sahutnya. “Inget! Lo masih punya utang ma gue.”
Aku nggak punya utang apa-apa sama kamu! jeritku dalam hati.
-XxX-
—gw udh d bawah! CW2CU!—
Aku punya janji jam lima sore untuk ketemu Adam di lobby hotel. Dia baru pulang sekolah, tapi harus buru-buru mengantar neneknya belanja sehingga nggak punya waktu lama untuk bertemu denganku. Aku kangen padanya. Terakhir kami ketemu tuh pas aku nyampe di Jakarta, ya? Waktu dia mengantarku ke sana kemari sampai akhirnya naik pesawat ke Bandung?
Aku dan Cazzo sudah selesai mandi, kami sedang asyik menonton film kartun GlobalTv—menunggu Maghrib karena rencananya kami mau main ke Malioboro—sambil menyantap makanan yang dijejalkan Granny dalam tasku. Tak kusangka Cazzo bisa sewangi ini. Dia kelihatan fresh dan kaus merahnya itu menempel pas di tubuhnya yang kurus tinggi bertulang besar.
Kadang aku ingin—maksudku, iri, dengan tubuh Cazzo yang menggemaskan itu. Dia tipe-tipe remaja idaman berkulit mulus dan muka ganteng polos yang bikin gemes.
“Aku ke bawah dulu,” kataku sambil beranjak dan meletakkan botol minuman di meja.
“Ngapain?” tanya Cazzo ketus. “Kan lo nggak boleh keluar kamar kecuali gue kasih izin.”
“Heh! Emangnya aku babumu?” bentakku. “Aku ada janji ama temen aku yang orang Jogja. Cuma bentar aja ketemu di lobby.”
"Cowok, Cewek?"
Emangnya gender penting, ya? "Cowok," jawabku.
“Ngapain?” Cazzo terdengar nggak senang.
“Ya ketemu aja, emang kenapa sih? Apa salahnya ketemuan ama temen lama?”
Belum juga aku sampai di pintu, tiba-tiba pintu kamar kami ada yang mengetuk.
Tok-tok-tok!
“Cazzoooo... ini kitaaa...” Oh, Sarah. Sialan. Mereka pasti sudah dandan dan siap makan malam dengan Cazzo. Padahal ini baru jam lima!
“Yaaahh... rombongan Nyi Roro Kidul udah menclok aja depan pintu!” Cazzo menepuk dahinya. “Singkirin dong, Bro!”
“Bukan urusan aku.” Aku memakai sandal hotel, dan—
“Pleaseee...” Cazzo melompat dari ranjang, menahanku pergi dan memelas. “Gue males banget ketemu mereka!”
“Emangnya aku nggak?”
“Tuh, kan, sehati!” Cazzo berbinar-binar. “Cari ide buat nyingkirin mereka.”
“Kenapa aku yang mesti nyari ide?”
“Cazzooo... kita ke bawah, yuuuk?” pekik salah satu dari mereka di luar. “Kan katanya mau ke Malioboro... kita naik becak yuk berdua!”
“Fuck you, Bitch! Enak aja lo pengen sabotase Cazzo sendiri!”
“Berisik lo! Siapa cepat dia dapat! Cazzzoooo...”
“Bro!” Cazzo menggenggam pergelangan tanganku lagi. “Ayo, dong! Singkirin mereka!”
“Singkirin sendiri aja kenapa, sih?” geramku.
“Please, Bro...” Cazzo sampai berlutut-lutut. “Entar gue kasih deh jatah chiki gue buat lo.”
“Aku nggak butuh Chiki!”
“Yaaahh... nggak sayang ini mah ama gue. Nggak pren!”
Aku menatap Cazzo dengan kesal. Dia memang mirip dengan Puss in Boots sekarang. Mata memelas, berkaca-kaca, dan mungkin sebentar lagi dia mendengkur seperti kucing minta makan... Eeerrggghhh!! Aku benci perasaan nggak tega ini! Kenapa sih aku diciptakan jadi orang yang nggak tegaan? Kenapa aku nggak tega kalo Cazzo udah memelas seperti itu?!
Apa Cazzo pasang susuk, ya, biar aku mau nurut apa kata-katanya? Pokoknya aku benci diriku kalo udah ngalah buat Cazzo.
“Oke-oke-oke, sekarang lepasin tangan kamu.” Aku menghela napas dan langsung mengambil ponsel Cazzo. “Kamu ngumpet di lemari, jangan keluar sebelum aku bilang keluar.”
“Siap bos!” Dalam dua detik Cazzo sudah bersembunyi di lemari. Mungkin dari tadi dia sudah berencana sembunyi di situ, karena gerakannya cepat sekali. Mungkin bahkan saat aku mandi, dia sudah berlatih sembunyi di lemari.
Aku mengirim sms dari ponsel Cazzo ke ponselku.
—Bro, gw d bawah, nyari makan. Klo udh mw k malioboro, sms gw!—
Kemudian aku meraih handuk dan membuka pintu. Trio macan nyi roro kidul itu memang sedang berdiri di depan pintu, berhimpitan seolah nggak ada space lagi di depan kamar. Ketiganya sudah dandan secantik mungkin.
“Sorry tadi aku lagi mandi,” sapaku sambil mengusap-usap kepala dengan handuk. “Cazzo udah di bawah.”
“Di bawah?” ulang Tina heran. “Tapi gue nggak ngelihat dia lewat depan kamar dari tadi. Padahal pintu udah gue buka.”
“Are you sure?” Sarah menyipitkan mata. “Lo nggak bolor, kan?”
“Mana buktinya dia di bawah? Jangan-jangan dia sembunyi di kamar!” sahut Meisa.
“Nih, smsnya!” Buru-buru kutunjukkan ponselku karena Meisa dan Sarah mulai mencoba menghadang masuk. “Dia lagi nyari makan.”
Mereka bertiga terpekur membaca sms di hapeku, dan mau nggak mau mereka mesti percaya. Wajahnya kelihatan kecewa sih. Tapi kemudian mereka menatap satu sama lain, dan...
“Gue duluan yang pencet lift!”
“Pokoknya gue yang bakal ketemu dia pertama kali!”
... Mereka berhamburan menuju lift untuk segera turun ke bawah. Kaki mereka yang dialasi heels tinggi sempoyongan saat mereka saling dorong agar bisa cepat sampai di lift. Aku menghembuskan napas lega karena berhasil menyingkirkan pengganggu-pengganggu itu dalam waktu kurang dari semenit. Rasanya seperti—oh, aku juga harus cepat-cepat ke lobby! Adam menungguku.
“Mereka udah pergi,” kataku ke lemari. “Dan aku mau turun dulu, oke?”
Buru-buru Cazzo menghambur keluar dari lemari dan menatapku dengan pandangan menuduh. “Gue ikut!”
“Apa?” Kenapa sih dia suka tiba-tiba begitu?
“Gue ikut!” ulangnya. “Gue juga ikut ketemu temen lo itu.”
-XxX-
“Aku justru nggak ngerti kamu!” seruku frustasi. “Aku bahkan nggak ngerti kenapa aku bisa tahan sama kamu.”
“Karena lo sebetulnya didesain buat gue,” katanya.
“Didesain?!”
Aku memutar bola mata dan masuk ke kamar mandi untuk meletakkan perlengkapan mandi kami. Ketika aku kembali ke kamar, Cazzo sedang sibuk menggabungkan dua ranjang menjadi satu.
“Kamu ngapain?” Aku menyipitkan mata.
“Biar kasurnya gede, Bro!” Cazzo nyengir dan buru-buru meluruskan ranjang itu agar sejajar. “Gue nggak bisa tidur kalo cuma sekasur ini doang. Terlalu... sempit.”
“Ini Queen size, for God’s sake! Nggak mungkin kekecilan.”
“Tapi gue pengennya kan begini, dan lo mesti nurut!” sahutnya. “Inget! Lo masih punya utang ma gue.”
Aku nggak punya utang apa-apa sama kamu! jeritku dalam hati.
-XxX-
—gw udh d bawah! CW2CU!—
Aku punya janji jam lima sore untuk ketemu Adam di lobby hotel. Dia baru pulang sekolah, tapi harus buru-buru mengantar neneknya belanja sehingga nggak punya waktu lama untuk bertemu denganku. Aku kangen padanya. Terakhir kami ketemu tuh pas aku nyampe di Jakarta, ya? Waktu dia mengantarku ke sana kemari sampai akhirnya naik pesawat ke Bandung?
Aku dan Cazzo sudah selesai mandi, kami sedang asyik menonton film kartun GlobalTv—menunggu Maghrib karena rencananya kami mau main ke Malioboro—sambil menyantap makanan yang dijejalkan Granny dalam tasku. Tak kusangka Cazzo bisa sewangi ini. Dia kelihatan fresh dan kaus merahnya itu menempel pas di tubuhnya yang kurus tinggi bertulang besar.
Kadang aku ingin—maksudku, iri, dengan tubuh Cazzo yang menggemaskan itu. Dia tipe-tipe remaja idaman berkulit mulus dan muka ganteng polos yang bikin gemes.
“Aku ke bawah dulu,” kataku sambil beranjak dan meletakkan botol minuman di meja.
“Ngapain?” tanya Cazzo ketus. “Kan lo nggak boleh keluar kamar kecuali gue kasih izin.”
“Heh! Emangnya aku babumu?” bentakku. “Aku ada janji ama temen aku yang orang Jogja. Cuma bentar aja ketemu di lobby.”
"Cowok, Cewek?"
Emangnya gender penting, ya? "Cowok," jawabku.
“Ngapain?” Cazzo terdengar nggak senang.
“Ya ketemu aja, emang kenapa sih? Apa salahnya ketemuan ama temen lama?”
Belum juga aku sampai di pintu, tiba-tiba pintu kamar kami ada yang mengetuk.
Tok-tok-tok!
“Cazzoooo... ini kitaaa...” Oh, Sarah. Sialan. Mereka pasti sudah dandan dan siap makan malam dengan Cazzo. Padahal ini baru jam lima!
“Yaaahh... rombongan Nyi Roro Kidul udah menclok aja depan pintu!” Cazzo menepuk dahinya. “Singkirin dong, Bro!”
“Bukan urusan aku.” Aku memakai sandal hotel, dan—
“Pleaseee...” Cazzo melompat dari ranjang, menahanku pergi dan memelas. “Gue males banget ketemu mereka!”
“Emangnya aku nggak?”
“Tuh, kan, sehati!” Cazzo berbinar-binar. “Cari ide buat nyingkirin mereka.”
“Kenapa aku yang mesti nyari ide?”
“Cazzooo... kita ke bawah, yuuuk?” pekik salah satu dari mereka di luar. “Kan katanya mau ke Malioboro... kita naik becak yuk berdua!”
“Fuck you, Bitch! Enak aja lo pengen sabotase Cazzo sendiri!”
“Berisik lo! Siapa cepat dia dapat! Cazzzoooo...”
“Bro!” Cazzo menggenggam pergelangan tanganku lagi. “Ayo, dong! Singkirin mereka!”
“Singkirin sendiri aja kenapa, sih?” geramku.
“Please, Bro...” Cazzo sampai berlutut-lutut. “Entar gue kasih deh jatah chiki gue buat lo.”
“Aku nggak butuh Chiki!”
“Yaaahh... nggak sayang ini mah ama gue. Nggak pren!”
Aku menatap Cazzo dengan kesal. Dia memang mirip dengan Puss in Boots sekarang. Mata memelas, berkaca-kaca, dan mungkin sebentar lagi dia mendengkur seperti kucing minta makan... Eeerrggghhh!! Aku benci perasaan nggak tega ini! Kenapa sih aku diciptakan jadi orang yang nggak tegaan? Kenapa aku nggak tega kalo Cazzo udah memelas seperti itu?!
Apa Cazzo pasang susuk, ya, biar aku mau nurut apa kata-katanya? Pokoknya aku benci diriku kalo udah ngalah buat Cazzo.
“Oke-oke-oke, sekarang lepasin tangan kamu.” Aku menghela napas dan langsung mengambil ponsel Cazzo. “Kamu ngumpet di lemari, jangan keluar sebelum aku bilang keluar.”
“Siap bos!” Dalam dua detik Cazzo sudah bersembunyi di lemari. Mungkin dari tadi dia sudah berencana sembunyi di situ, karena gerakannya cepat sekali. Mungkin bahkan saat aku mandi, dia sudah berlatih sembunyi di lemari.
Aku mengirim sms dari ponsel Cazzo ke ponselku.
—Bro, gw d bawah, nyari makan. Klo udh mw k malioboro, sms gw!—
Kemudian aku meraih handuk dan membuka pintu. Trio macan nyi roro kidul itu memang sedang berdiri di depan pintu, berhimpitan seolah nggak ada space lagi di depan kamar. Ketiganya sudah dandan secantik mungkin.
“Sorry tadi aku lagi mandi,” sapaku sambil mengusap-usap kepala dengan handuk. “Cazzo udah di bawah.”
“Di bawah?” ulang Tina heran. “Tapi gue nggak ngelihat dia lewat depan kamar dari tadi. Padahal pintu udah gue buka.”
“Are you sure?” Sarah menyipitkan mata. “Lo nggak bolor, kan?”
“Mana buktinya dia di bawah? Jangan-jangan dia sembunyi di kamar!” sahut Meisa.
“Nih, smsnya!” Buru-buru kutunjukkan ponselku karena Meisa dan Sarah mulai mencoba menghadang masuk. “Dia lagi nyari makan.”
Mereka bertiga terpekur membaca sms di hapeku, dan mau nggak mau mereka mesti percaya. Wajahnya kelihatan kecewa sih. Tapi kemudian mereka menatap satu sama lain, dan...
“Gue duluan yang pencet lift!”
“Pokoknya gue yang bakal ketemu dia pertama kali!”
... Mereka berhamburan menuju lift untuk segera turun ke bawah. Kaki mereka yang dialasi heels tinggi sempoyongan saat mereka saling dorong agar bisa cepat sampai di lift. Aku menghembuskan napas lega karena berhasil menyingkirkan pengganggu-pengganggu itu dalam waktu kurang dari semenit. Rasanya seperti—oh, aku juga harus cepat-cepat ke lobby! Adam menungguku.
“Mereka udah pergi,” kataku ke lemari. “Dan aku mau turun dulu, oke?”
Buru-buru Cazzo menghambur keluar dari lemari dan menatapku dengan pandangan menuduh. “Gue ikut!”
“Apa?” Kenapa sih dia suka tiba-tiba begitu?
“Gue ikut!” ulangnya. “Gue juga ikut ketemu temen lo itu.”
-XxX-
Adam nggak berubah sejak terakhir kali kami
bertemu di Jakarta beberapa bulan lalu. Hanya aja rambutnya lebih pendek
sekarang. Dan di giginya ada behel.
Warna hijau.
“Sorry lama! Tadi ada distraction dulu. Howdy?” sapaku sambil memeluknya. Cazzo di belakangku berdehem dengan keras dan pandangannya menuduh menatap Adam. “Cazzo, please...” bisikku sambil melotot. “Kenalin, ini Cazzo. Yang sering aku ceritain ke kamu di YM!”
“He looks better in person,” sahut Adam dengan logat jawa kental. “Adam.”
“Hmmhh...” Cazzo bahkan nggak sudi menyebut namanya sendiri saat berjabat tangan.
“Oh! Gue bawa oleh-oleh nih buat lo!” ujar Adam riang sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. “Lo mesti beli ini sebelum pulang entar. Wajib!”
“Give us no worries,” ujarku. “Granny udah nyumpelin aku sama daftar oleh-oleh dari Yogya yang mesti aku beli. Eeerrggghhh. So I’m sure I had enough list to do. Padahal Granny baru dari sini seminggu yang lalu.”
“Nggak mungkin, lo pasti belum nyobain ini. Naaahhh...” Adam mengeluarkan kotak bakpia warna pink, yang seingatku masih menumpuk kotak yang sama di rumah dan belum dimakan. “Eit! Yang ini rasa leci! Tiada duanya.”
“Really?”
“Wanna try?”
“EHEM!” Cazzo berdeham keras.
“Heh! Berisik!” Aku menarik Adam lebih jauh ke arah pintu, tapi Cazzo malah membuntuti kami. “Kamu besok ke mana? Besok Sabtu, kan? Kamu libur?”
“Gue nggak kemana-mana. Gue di rumah. Paling jaga warung.”
“Kali aja besok kita bisa ketemu lagi. Kamu bilang mau bawa aku ke Lawang Sewu?”
“Itu Semarang, kaliii... di Yogya tuh paling ada tempat mandi putri keraton, di Taman Sari. Mau ke sana? Gue anterin!”
“Ehem! Besok tuh kita ngerjain tugas Budaya Seni kan BRO? Dari pagi sampe malem, kan?” Tiba-tiba Cazzo nimbrung, menekankan kata “bro” dan memandang Adam dengan tatapan tak menyenangkan.
Aku menoleh ke arah Cazzo, menyipitkan mata dan nggak percaya Cazzo tega bicara seperti itu.
“Oh, kita bisa jalan-jalan malem, nonton show waria di Mirota Batik! Mirip yang di Pattaya itu, lho! Besok malem minggu, kan?” usul Adam. “Habis itu kita bisa nongkrong-nongkrong di depan Benteng Vredeburg. Biasanya suka ada acara di situ.”
“Oh, kayak Gasibu Bandung?”
“Besok kita pasti capek, kan ngerjain tugas Budaya Seni. Pasti malemnya mesti istirahat. Iya kan BRO?” timbrung Cazzo lagi.
“Apa sih?” desisku.
“Lo juga boleh ikut kok Cazzo!” seru Adam riang, mencoba beramah tamah. “Kita bertiga bisa jalan-jalan ke jalan Solo, nyari Mie Jawa enak! Gue tau tempat yang bagus.”
“Oh, sorry. Gue pasti capek besok. Nggak butuh mie jawa juga. Si Agas juga begitu pastinya,” jawab Cazzo dengan sinis.
Adam bingung harus merespon gimana lagi. Dia jelas sudah merasakan ketidaksenangan Cazzo sedari tadi. Matanya melirik ke arahku, minta petunjuk, tapi aku pun clueless dengan sikap Cazzo. Tumben-tumbenan dia bersikap kayak begini? Kenapa dia seolah... overprotektif?
“Oh,” kata Adam. “Mungkin hari Minggu aja, Gas. Mungkin Minggu lo lebih—“
“Mungkin kapan-kapan aja, kayaknya,” potong Cazzo dengan alis mengkerut. “Sepuluh tahun lagi, atau seratus?”
“Cazzo!” bentakku. “Kamu tuh kenapa sih?”
“Nggak kenapa-napa!” balasnya sama-sama sewot. “Gue cuma mau ngingetin aja kalo lo di sini mau ngerjain tugas. Bukan buat main-main.”
“I know!” geramku frustasi. “Tapi bukan berarti aku ngelupain tugas gara-gara main ama temen. I just want to enjoy the city, for God’s sake! Aku nggak bakal pake waktu ‘studi’-ku buat jalan-jalan, kok! How could you...”
Rahang Cazzo mengeras. Kondisi udah nggak mengenakkan. Terlebih lagi aku melihat seorang concierge menatap kami penuh waspada dari balik pintu masuk.
“Oh, okay...” ujar Adam kemudian, masih awkward dan kebingungan. “Kalo gitu gue pergi dulu. Nenek gue udah nungguin. Eh, ini bakpia lecinya!”
“Thanks,” ujarku. “Entar aku sms kamu.”
“Sip! Gue pergi dulu ya Gas... Cazzo.”
Adam melambai dan lenyap di pintu. Detik itu juga aku berbalik menghadap Cazzo dengan pandangan menuduh. “Kamu tuh kenapa, sih?”
Aku nggak menyangka pertemuanku dengan sahabat mayaku itu berlangsung kurang dari lima menit.
“Gue nggak suka dia,” jawabnya sambil melipat tangan di depan dada. “Dia orang Jawa.”
“Emang kenapa kalo orang Jawa? Emang salah jadi orang Jawa?”
“Ya gue sebel aja, maksudnya apa coba ngasih-ngasih lo ini segala, hah?”
“This is complementary gift! What’s wrong with this!” Aku menghela napas frustasi.
“Pokoknya gue nggak suka dia. Mestinya lo jangan deket-deket ama dia lagi.”
“Yang nggak suka kan kamu. Kenapa aku yang nggak boleh deket-deket!”
“Lo nggak lihat, apa? Dia tuh kayak yang... pedekate ama lo! Dia tuh cowok!”
“Dia bukan pedekate, for God’s sake! Dia itu temen aku! Temen aku sejak aku masih di Amerika. Bahkan sebelum aku temenan sama kamu, aku udah temenan ama dia. Dan sampe sekarang kami cuma temenan. Pedekate dari manaaaa?” jeritku.
Cazzo terdiam. Dia menatapku dengan pandangan marah tapi nggak berani balas membentak. Yang dia lakukan sepuluh detik kemudian hanyalah. “Pokoknya gue nggak suka dia. Titik.”
“Kamu cemburu!” tembakku langsung.
“Ya, gue cemburu!” jawab Cazzo tiba-tiba. “Gue nggak mau satu-satunya temen gue direbut orang lain! Lo mestinya milik gue!”
“Cazzooooo!” Sialan. Trio Macan tiba-tiba muncul dari luar. “There you are! Kita nyari-nyari kamu lhoooo... yuk kita ke Malioboro bareng!”
-XxX-
Kami bersepuluh (ya, kelompok tiga entah dari mana asalnya tiba-tiba muncul dan gabung bersama kami) sedang ada di sepanjang jalan Malioboro, menawar-nawar barang khas Yogya yang bernuansa batik.
Atau lebih tepatnya, “menawarkan” Cazzo barang-barang tersebut.
“Kamu mau aku beliin gelang ini Cazzo?” seru Sarah. “Ini bagus, lho! Warnanya cocok sama kulit kamu. Aku beli ya. Pak! Berapa harganya? Dua puluh lima ribu? Lima dollar boleh nggak, Pak?”
“Disgusting! Ew...” balas Esel. “Cazzie mau yang ini? Mobil-mobilan lucu, ada motif batiknya. Iiiihhh.. imut-imut!”
“He’s not a kid, Bitch! Dia pasti mau kaus Dagadu pilihanku ini! Cazzo mau kaaan? Gambarnya gajah duduk!”
“Itu Gadjah Mada, idiot!”
Aku geleng-geleng kepala dan kembali ke tujuanku semula mencari kaus-kaus batik murah di situ. Aku nggak mau dipusingkan oleh mereka. Bahkan kalau perlu, aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari mereka, belanja sendiri, atau naik becak keliling-keliling kota. Tapi begitu aku pindah jalur ke jalan aspal kecil yang penuh delman sedang parkir, Cazzo dan rombongan penggemarnya mengikutiku pindah jalur.
Well, yang membuntutiku sih sebenarnya cuma Cazzo—kebetulan fans Cazzo membuntuti Cazzo, jadi kesannya seolah aku dibuntuti sembilan orang penggemarku. Jarakku hanya dua meter di depan Cazzo. Di depan cowok yang alisnya mengerut sedari tadi, cemberut karena sepanjang kami naik Taksi dari Trans Yogya ke Malioboro aku smsan terus dengan Adam.
Warna hijau.
“Sorry lama! Tadi ada distraction dulu. Howdy?” sapaku sambil memeluknya. Cazzo di belakangku berdehem dengan keras dan pandangannya menuduh menatap Adam. “Cazzo, please...” bisikku sambil melotot. “Kenalin, ini Cazzo. Yang sering aku ceritain ke kamu di YM!”
“He looks better in person,” sahut Adam dengan logat jawa kental. “Adam.”
“Hmmhh...” Cazzo bahkan nggak sudi menyebut namanya sendiri saat berjabat tangan.
“Oh! Gue bawa oleh-oleh nih buat lo!” ujar Adam riang sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. “Lo mesti beli ini sebelum pulang entar. Wajib!”
“Give us no worries,” ujarku. “Granny udah nyumpelin aku sama daftar oleh-oleh dari Yogya yang mesti aku beli. Eeerrggghhh. So I’m sure I had enough list to do. Padahal Granny baru dari sini seminggu yang lalu.”
“Nggak mungkin, lo pasti belum nyobain ini. Naaahhh...” Adam mengeluarkan kotak bakpia warna pink, yang seingatku masih menumpuk kotak yang sama di rumah dan belum dimakan. “Eit! Yang ini rasa leci! Tiada duanya.”
“Really?”
“Wanna try?”
“EHEM!” Cazzo berdeham keras.
“Heh! Berisik!” Aku menarik Adam lebih jauh ke arah pintu, tapi Cazzo malah membuntuti kami. “Kamu besok ke mana? Besok Sabtu, kan? Kamu libur?”
“Gue nggak kemana-mana. Gue di rumah. Paling jaga warung.”
“Kali aja besok kita bisa ketemu lagi. Kamu bilang mau bawa aku ke Lawang Sewu?”
“Itu Semarang, kaliii... di Yogya tuh paling ada tempat mandi putri keraton, di Taman Sari. Mau ke sana? Gue anterin!”
“Ehem! Besok tuh kita ngerjain tugas Budaya Seni kan BRO? Dari pagi sampe malem, kan?” Tiba-tiba Cazzo nimbrung, menekankan kata “bro” dan memandang Adam dengan tatapan tak menyenangkan.
Aku menoleh ke arah Cazzo, menyipitkan mata dan nggak percaya Cazzo tega bicara seperti itu.
“Oh, kita bisa jalan-jalan malem, nonton show waria di Mirota Batik! Mirip yang di Pattaya itu, lho! Besok malem minggu, kan?” usul Adam. “Habis itu kita bisa nongkrong-nongkrong di depan Benteng Vredeburg. Biasanya suka ada acara di situ.”
“Oh, kayak Gasibu Bandung?”
“Besok kita pasti capek, kan ngerjain tugas Budaya Seni. Pasti malemnya mesti istirahat. Iya kan BRO?” timbrung Cazzo lagi.
“Apa sih?” desisku.
“Lo juga boleh ikut kok Cazzo!” seru Adam riang, mencoba beramah tamah. “Kita bertiga bisa jalan-jalan ke jalan Solo, nyari Mie Jawa enak! Gue tau tempat yang bagus.”
“Oh, sorry. Gue pasti capek besok. Nggak butuh mie jawa juga. Si Agas juga begitu pastinya,” jawab Cazzo dengan sinis.
Adam bingung harus merespon gimana lagi. Dia jelas sudah merasakan ketidaksenangan Cazzo sedari tadi. Matanya melirik ke arahku, minta petunjuk, tapi aku pun clueless dengan sikap Cazzo. Tumben-tumbenan dia bersikap kayak begini? Kenapa dia seolah... overprotektif?
“Oh,” kata Adam. “Mungkin hari Minggu aja, Gas. Mungkin Minggu lo lebih—“
“Mungkin kapan-kapan aja, kayaknya,” potong Cazzo dengan alis mengkerut. “Sepuluh tahun lagi, atau seratus?”
“Cazzo!” bentakku. “Kamu tuh kenapa sih?”
“Nggak kenapa-napa!” balasnya sama-sama sewot. “Gue cuma mau ngingetin aja kalo lo di sini mau ngerjain tugas. Bukan buat main-main.”
“I know!” geramku frustasi. “Tapi bukan berarti aku ngelupain tugas gara-gara main ama temen. I just want to enjoy the city, for God’s sake! Aku nggak bakal pake waktu ‘studi’-ku buat jalan-jalan, kok! How could you...”
Rahang Cazzo mengeras. Kondisi udah nggak mengenakkan. Terlebih lagi aku melihat seorang concierge menatap kami penuh waspada dari balik pintu masuk.
“Oh, okay...” ujar Adam kemudian, masih awkward dan kebingungan. “Kalo gitu gue pergi dulu. Nenek gue udah nungguin. Eh, ini bakpia lecinya!”
“Thanks,” ujarku. “Entar aku sms kamu.”
“Sip! Gue pergi dulu ya Gas... Cazzo.”
Adam melambai dan lenyap di pintu. Detik itu juga aku berbalik menghadap Cazzo dengan pandangan menuduh. “Kamu tuh kenapa, sih?”
Aku nggak menyangka pertemuanku dengan sahabat mayaku itu berlangsung kurang dari lima menit.
“Gue nggak suka dia,” jawabnya sambil melipat tangan di depan dada. “Dia orang Jawa.”
“Emang kenapa kalo orang Jawa? Emang salah jadi orang Jawa?”
“Ya gue sebel aja, maksudnya apa coba ngasih-ngasih lo ini segala, hah?”
“This is complementary gift! What’s wrong with this!” Aku menghela napas frustasi.
“Pokoknya gue nggak suka dia. Mestinya lo jangan deket-deket ama dia lagi.”
“Yang nggak suka kan kamu. Kenapa aku yang nggak boleh deket-deket!”
“Lo nggak lihat, apa? Dia tuh kayak yang... pedekate ama lo! Dia tuh cowok!”
“Dia bukan pedekate, for God’s sake! Dia itu temen aku! Temen aku sejak aku masih di Amerika. Bahkan sebelum aku temenan sama kamu, aku udah temenan ama dia. Dan sampe sekarang kami cuma temenan. Pedekate dari manaaaa?” jeritku.
Cazzo terdiam. Dia menatapku dengan pandangan marah tapi nggak berani balas membentak. Yang dia lakukan sepuluh detik kemudian hanyalah. “Pokoknya gue nggak suka dia. Titik.”
“Kamu cemburu!” tembakku langsung.
“Ya, gue cemburu!” jawab Cazzo tiba-tiba. “Gue nggak mau satu-satunya temen gue direbut orang lain! Lo mestinya milik gue!”
“Cazzooooo!” Sialan. Trio Macan tiba-tiba muncul dari luar. “There you are! Kita nyari-nyari kamu lhoooo... yuk kita ke Malioboro bareng!”
-XxX-
Kami bersepuluh (ya, kelompok tiga entah dari mana asalnya tiba-tiba muncul dan gabung bersama kami) sedang ada di sepanjang jalan Malioboro, menawar-nawar barang khas Yogya yang bernuansa batik.
Atau lebih tepatnya, “menawarkan” Cazzo barang-barang tersebut.
“Kamu mau aku beliin gelang ini Cazzo?” seru Sarah. “Ini bagus, lho! Warnanya cocok sama kulit kamu. Aku beli ya. Pak! Berapa harganya? Dua puluh lima ribu? Lima dollar boleh nggak, Pak?”
“Disgusting! Ew...” balas Esel. “Cazzie mau yang ini? Mobil-mobilan lucu, ada motif batiknya. Iiiihhh.. imut-imut!”
“He’s not a kid, Bitch! Dia pasti mau kaus Dagadu pilihanku ini! Cazzo mau kaaan? Gambarnya gajah duduk!”
“Itu Gadjah Mada, idiot!”
Aku geleng-geleng kepala dan kembali ke tujuanku semula mencari kaus-kaus batik murah di situ. Aku nggak mau dipusingkan oleh mereka. Bahkan kalau perlu, aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari mereka, belanja sendiri, atau naik becak keliling-keliling kota. Tapi begitu aku pindah jalur ke jalan aspal kecil yang penuh delman sedang parkir, Cazzo dan rombongan penggemarnya mengikutiku pindah jalur.
Well, yang membuntutiku sih sebenarnya cuma Cazzo—kebetulan fans Cazzo membuntuti Cazzo, jadi kesannya seolah aku dibuntuti sembilan orang penggemarku. Jarakku hanya dua meter di depan Cazzo. Di depan cowok yang alisnya mengerut sedari tadi, cemberut karena sepanjang kami naik Taksi dari Trans Yogya ke Malioboro aku smsan terus dengan Adam.
KADANG CUPID TUH TOLOL
PART 44
By: Mario
Aku juga lagi sebel kok sama Cazzo. Sebab dia
nggak sopan sama temenku. Mestinya dia nggak perlu begitu. Mestinya dia nggak
perlu mencemburui Adam. Aku dan Adam kan hanya teman biasa. Benar-benar teman.
Bahkan satu kalipun nggak pernah terlintas di benakku untuk pacaran dengannya. No way. Aku nggak suka Long Distance Relationship.
Mungkin aku mesti buru-buru ketemu Bello dan membantuku menghilangkan rasa suka Cazzo padaku. Kali ini aku harus mantap. Aku takut Cazzo bingung. Setahuku dia straight, sedikit pun nggak ada tanda-tanda gay. Aku takut rasa nyamannya denganku mengantarnya ke perasaan suka yang mestinya nggak dia rasakan. Aku tahu kok dia bersikap begitu karena hanya aku yang bisa nerima dia apa adanya. Tapi aku yakin hanya itu aja. Perasaan nyaman... perasaan yang sewaktu-waktu bahkan bisa hilang.
Aku menoleh ke arah Cazzo saat tadi memilih-milih sandal batik. Cowok itu masih cemberut. Tatapannya terpaku jelas padaku. Dia masih digelayuti Esel dan cewek-cewek penggemarnya dan hanya sekali bilang, “Bagus” “Nggak ah” “Boleh juga” dengan nada malas.
“Oh! Udah mau jam setengah tujuh!” pekik Esel. Saat itu kami semua sudah ada di depan sebuah bangunan berhalaman luas yang terletak di ujung jalan Malioboro. Kami duduk-duduk di bawah pohon besar, membiarkan banyak orang lalu lalang di hadapan kami. “Saatnya ngecek jumlah Like di facebook!”
Aku menoleh ke arah Cazzo dan melihat cowok itu meringis ngeri teringat janji yang dia tawarkan di bandara. Dalam hati aku terkikik geli. Huh, rasain! Tuh akibatnya kalo terlalu spontan dan nggak mikirin apa-apa dulu sebelum bertindak.
“Gue delapan belas!” pekik Meisa. “Kok delapan belas?”
“Haaaa..! Gue dua tiga!”
Tiba-tiba Esel menjerit senang. “I dapet empat dua! Kyyaaaaa...”
Sekarang wajah Cazzo memucat.
Dalam semenit berikutnya, masing-masing dari mereka membuka facebook masing-masing dan menyebutkan jumlah like yang mereka dapat. Ada yang cuma tujuh, ada yang dua puluh lima, Yanto bahkan berbisik padaku, “Yaaah, gue cuma dapet sebelas,” dengan wajah kecewa.
Astaga.
Aku geli membayangkan Yanto makan malam berdua dengan Cazzo.
Memangnya Cazzo mau? I mean, seiyanya Yanto dapat seribu like, akankah Cazzo tetap mengajaknya makan malam?
“Berarti I dooong?” seru Esel.
“Iiihh... nggak mau!” Cazzo bergidik ngeri. “Lo pake cara licik, ya buat dapetin like segitu?!”
“Ya nggak dong Darling, I pake cara halal. Emangnya si Tina Toon, pake ngesms semua orang buat dapetin Like.”
“Biarin! Weekkk!” Tina menjulurkan lidah.
“Ogah, ah! Pasti lo curang!”
“Iiihh, nggaaakk... Yuk yuk, nyari taksi.”
Esel bangkit dan menarik-narik Cazzo ke jalan. Tapi cowok itu bergeming, berkali-kali bilang nggak mau dan sejuta kali bergidik ngeri melihat mata berkontak-lens Esel mengedip-ngedip cantik.
“Bro! Tolong, Bro!” pekik Cazzo padaku, memelas.
“Udah deh, jangan ngurusin Suster Ngesot yang itu,” ujar Esel sambil melirik sinis padaku. “Yuk kita cari restoran. Ayooo...”
“Bro!”
Aku menghela napas. “You made that promise. Grant it as it deserves.”
“Lu ngomong apa, sih?!” Cazzo masih berusaha keras menarik tangannya yang ditarik Esel. Satupun dari yang lain nggak ada yang menolong Cazzo, apalagi Esel. Mungkin mereka kecewa duluan karena nggak dapet kesempatan dinner bareng Cazzo. “Sini bantuin gue... iiih! Esel! Ini lepasin kenapa, sih?”
“Ayo darling, lets have fun!” Esel menjejak lagi kakinya, menarik Cazzo lebih kuat lagi.
“Bro!” Cazzo memelas lagi. “Please...”
Bukannya menolong, aku malah melipat tangan di depan dada dan tidak menunjukkan tanda-tanda bakal membantu. Lagipula aku sedang sebel sama Cazzo, betul? Dia udah nggak ramah sama Adam. Jadi aku biarin aja dia dapet balesannya. Lagian juga dia sendiri kok yang bikin kompetisi itu. Dasar kompetisi bodoh.
“Tunggu!” tiba-tiba Yanto berdiri sambil mengacungkan iPad-nya. “Yang menang ternyata bukan Esel!”
Kami bersembilan langsung terdiam, menoleh dengan heran ke arah Yanto. Jangan bilang bahwa Yanto-lah yang menang. Oh, Tuhan... saat makan malam, mereka nggak bakal pegangan tangan, kan?
“Maksud yooouuu...?” Esel melepas tangan Cazzo dan berkacak pinggang. “I jelas-jelas paling banyak dapetin like. Gimenong caranya bukan I yang menang?”
“Yes!” desah Cazzo.
“Yang menang Agas!” Semua orang menoleh ke arahku. “Dia dapet empat puluh tiga like!”
Aku terpaku diam, bingung dengan pernyataan Yanto. Jangan bercanda deh. Aku bahkan nggak ikutan kompetisi mencari like.
“Ini buktinya!”
Vargas OQ AdiGuna
Wishing for a thousand ‘likes’ for a chance of dinner with ur crush? How priceless you are!
Suka – Komentari – Bagikan sekitar enam jam yang lalu melalui seluler
43 orang menyukai ini.
Aku melongo membacanya. Bahkan saat aku cek sendiri dari ponselku, ada sekitar dua puluh komentar mengenai statusku itu.
Sayang Kakak LOL! Gw jg dpt request like bejibun nih. Ganggu banget siang2 msti nge-like segala.
sekitar enam jam yang lalu – Suka –
Natalia Tika What a great cynical quotes! Gw tambahin like bwat lo deh. Wkwkwk...
sekitar enam jam yang lalu – Suka –
Lilly Monsoon heeeyy... my lovely neighbor! Howaz Indonesia?? I give you like up there... is there a story behind? Dya hv crush now? Exciting!
sekitar enam jam yang lalu – Suka –
Allea Pr3Tty^9iRL^iN^dA^w0RLd LuMppTh bR4n9kaTt ? ?
sekitar enam jam yang lalu – Suka –
“Naaah, kita udah dapet pemenang sebenarnya!” seru Cazzo kemudian, terlihat lebih riang dan bahagia. Dia bahkan mengangkat salah satu tanganku, seolah aku baru memenangkan pertandingan tinju. “Oke! Gue cari taksi!”
-XxX-
Aku nggak menyangka Cazzo bisa sesumringah ini. Aku pikir dia bakal bete semalaman, dan menunjukkan muka cemberutnya itu, dan mungkin menghantuiku dengan alis mengerutnya yang menyebalkan. Tapi nyatanya aku sekarang duduk di hadapannya, menunggu pesanan kami datang, di sebuah restoran mewah di kota Yogyakarta.
Bayangkan itu, Cazzo entah dari mana tahu tempat ini! Ketika kami masuk ke taksi, Cazzo dengan pedenya bilang, “Ke Kota Gede pak, ke Sekar Kedhaton.” Dia mengatakannya seolah tiap hari pergi ke situ.
“Jangan nyengir-nyengir mulu! Jelek!” sahutku sambil memainkan tisu.
“Biarin!” Cazzo menjulurkan lidah. “Sirik amat, lo!”
Okay, aku nggak bisa berhenti mengagumi interior menakjubkan restoran ini. Semuanya terlalu... fancy! Ornamen jawa di mana-mana, seolah aku sedang ada di dalam Kraton kerajaan. Ketika aku masuk, aku merinding melihat bangunan Sekar Kedhaton yang bernuansa Belanda campur Portugis. Bahkan sampai aku duduk di salah satu meja, aku masih belum berhenti terpukau melihat banyaknya benda-benda menakjubkan terpasang di dalam restoran ini. Seperti misalnya lampu hias penuh ornamen batik itu. Atau, Oh! Pilar-pilarnya juga dilukis batik!
To make it better, kami bahkan mendapat rijsttafel service—apapun itu artinya.
Mungkin aku mesti buru-buru ketemu Bello dan membantuku menghilangkan rasa suka Cazzo padaku. Kali ini aku harus mantap. Aku takut Cazzo bingung. Setahuku dia straight, sedikit pun nggak ada tanda-tanda gay. Aku takut rasa nyamannya denganku mengantarnya ke perasaan suka yang mestinya nggak dia rasakan. Aku tahu kok dia bersikap begitu karena hanya aku yang bisa nerima dia apa adanya. Tapi aku yakin hanya itu aja. Perasaan nyaman... perasaan yang sewaktu-waktu bahkan bisa hilang.
Aku menoleh ke arah Cazzo saat tadi memilih-milih sandal batik. Cowok itu masih cemberut. Tatapannya terpaku jelas padaku. Dia masih digelayuti Esel dan cewek-cewek penggemarnya dan hanya sekali bilang, “Bagus” “Nggak ah” “Boleh juga” dengan nada malas.
“Oh! Udah mau jam setengah tujuh!” pekik Esel. Saat itu kami semua sudah ada di depan sebuah bangunan berhalaman luas yang terletak di ujung jalan Malioboro. Kami duduk-duduk di bawah pohon besar, membiarkan banyak orang lalu lalang di hadapan kami. “Saatnya ngecek jumlah Like di facebook!”
Aku menoleh ke arah Cazzo dan melihat cowok itu meringis ngeri teringat janji yang dia tawarkan di bandara. Dalam hati aku terkikik geli. Huh, rasain! Tuh akibatnya kalo terlalu spontan dan nggak mikirin apa-apa dulu sebelum bertindak.
“Gue delapan belas!” pekik Meisa. “Kok delapan belas?”
“Haaaa..! Gue dua tiga!”
Tiba-tiba Esel menjerit senang. “I dapet empat dua! Kyyaaaaa...”
Sekarang wajah Cazzo memucat.
Dalam semenit berikutnya, masing-masing dari mereka membuka facebook masing-masing dan menyebutkan jumlah like yang mereka dapat. Ada yang cuma tujuh, ada yang dua puluh lima, Yanto bahkan berbisik padaku, “Yaaah, gue cuma dapet sebelas,” dengan wajah kecewa.
Astaga.
Aku geli membayangkan Yanto makan malam berdua dengan Cazzo.
Memangnya Cazzo mau? I mean, seiyanya Yanto dapat seribu like, akankah Cazzo tetap mengajaknya makan malam?
“Berarti I dooong?” seru Esel.
“Iiihh... nggak mau!” Cazzo bergidik ngeri. “Lo pake cara licik, ya buat dapetin like segitu?!”
“Ya nggak dong Darling, I pake cara halal. Emangnya si Tina Toon, pake ngesms semua orang buat dapetin Like.”
“Biarin! Weekkk!” Tina menjulurkan lidah.
“Ogah, ah! Pasti lo curang!”
“Iiihh, nggaaakk... Yuk yuk, nyari taksi.”
Esel bangkit dan menarik-narik Cazzo ke jalan. Tapi cowok itu bergeming, berkali-kali bilang nggak mau dan sejuta kali bergidik ngeri melihat mata berkontak-lens Esel mengedip-ngedip cantik.
“Bro! Tolong, Bro!” pekik Cazzo padaku, memelas.
“Udah deh, jangan ngurusin Suster Ngesot yang itu,” ujar Esel sambil melirik sinis padaku. “Yuk kita cari restoran. Ayooo...”
“Bro!”
Aku menghela napas. “You made that promise. Grant it as it deserves.”
“Lu ngomong apa, sih?!” Cazzo masih berusaha keras menarik tangannya yang ditarik Esel. Satupun dari yang lain nggak ada yang menolong Cazzo, apalagi Esel. Mungkin mereka kecewa duluan karena nggak dapet kesempatan dinner bareng Cazzo. “Sini bantuin gue... iiih! Esel! Ini lepasin kenapa, sih?”
“Ayo darling, lets have fun!” Esel menjejak lagi kakinya, menarik Cazzo lebih kuat lagi.
“Bro!” Cazzo memelas lagi. “Please...”
Bukannya menolong, aku malah melipat tangan di depan dada dan tidak menunjukkan tanda-tanda bakal membantu. Lagipula aku sedang sebel sama Cazzo, betul? Dia udah nggak ramah sama Adam. Jadi aku biarin aja dia dapet balesannya. Lagian juga dia sendiri kok yang bikin kompetisi itu. Dasar kompetisi bodoh.
“Tunggu!” tiba-tiba Yanto berdiri sambil mengacungkan iPad-nya. “Yang menang ternyata bukan Esel!”
Kami bersembilan langsung terdiam, menoleh dengan heran ke arah Yanto. Jangan bilang bahwa Yanto-lah yang menang. Oh, Tuhan... saat makan malam, mereka nggak bakal pegangan tangan, kan?
“Maksud yooouuu...?” Esel melepas tangan Cazzo dan berkacak pinggang. “I jelas-jelas paling banyak dapetin like. Gimenong caranya bukan I yang menang?”
“Yes!” desah Cazzo.
“Yang menang Agas!” Semua orang menoleh ke arahku. “Dia dapet empat puluh tiga like!”
Aku terpaku diam, bingung dengan pernyataan Yanto. Jangan bercanda deh. Aku bahkan nggak ikutan kompetisi mencari like.
“Ini buktinya!”
Vargas OQ AdiGuna
Wishing for a thousand ‘likes’ for a chance of dinner with ur crush? How priceless you are!
Suka – Komentari – Bagikan sekitar enam jam yang lalu melalui seluler
43 orang menyukai ini.
Aku melongo membacanya. Bahkan saat aku cek sendiri dari ponselku, ada sekitar dua puluh komentar mengenai statusku itu.
Sayang Kakak LOL! Gw jg dpt request like bejibun nih. Ganggu banget siang2 msti nge-like segala.
sekitar enam jam yang lalu – Suka –
Natalia Tika What a great cynical quotes! Gw tambahin like bwat lo deh. Wkwkwk...
sekitar enam jam yang lalu – Suka –
Lilly Monsoon heeeyy... my lovely neighbor! Howaz Indonesia?? I give you like up there... is there a story behind? Dya hv crush now? Exciting!
sekitar enam jam yang lalu – Suka –
Allea Pr3Tty^9iRL^iN^dA^w0RLd LuMppTh bR4n9kaTt ? ?
sekitar enam jam yang lalu – Suka –
“Naaah, kita udah dapet pemenang sebenarnya!” seru Cazzo kemudian, terlihat lebih riang dan bahagia. Dia bahkan mengangkat salah satu tanganku, seolah aku baru memenangkan pertandingan tinju. “Oke! Gue cari taksi!”
-XxX-
Aku nggak menyangka Cazzo bisa sesumringah ini. Aku pikir dia bakal bete semalaman, dan menunjukkan muka cemberutnya itu, dan mungkin menghantuiku dengan alis mengerutnya yang menyebalkan. Tapi nyatanya aku sekarang duduk di hadapannya, menunggu pesanan kami datang, di sebuah restoran mewah di kota Yogyakarta.
Bayangkan itu, Cazzo entah dari mana tahu tempat ini! Ketika kami masuk ke taksi, Cazzo dengan pedenya bilang, “Ke Kota Gede pak, ke Sekar Kedhaton.” Dia mengatakannya seolah tiap hari pergi ke situ.
“Jangan nyengir-nyengir mulu! Jelek!” sahutku sambil memainkan tisu.
“Biarin!” Cazzo menjulurkan lidah. “Sirik amat, lo!”
Okay, aku nggak bisa berhenti mengagumi interior menakjubkan restoran ini. Semuanya terlalu... fancy! Ornamen jawa di mana-mana, seolah aku sedang ada di dalam Kraton kerajaan. Ketika aku masuk, aku merinding melihat bangunan Sekar Kedhaton yang bernuansa Belanda campur Portugis. Bahkan sampai aku duduk di salah satu meja, aku masih belum berhenti terpukau melihat banyaknya benda-benda menakjubkan terpasang di dalam restoran ini. Seperti misalnya lampu hias penuh ornamen batik itu. Atau, Oh! Pilar-pilarnya juga dilukis batik!
To make it better, kami bahkan mendapat rijsttafel service—apapun itu artinya.
“Emang kamu ada uangnya buat mesen makanan di
sini?” tanyaku cemas. “Kamu nggak lihat apa, daftar harga di menu barusan?”
“Jadi lo ngeremehin gue, Bro?” Cazzo geleng-geleng kepala. “Tenang aja, Bro! Makan aja sampe kenyang.”
Cazzo kembali nyengir-nyengir senang. Daripada melihat-lihat interior restoran, dia lebih tertarik melihat ekspresi mukaku. Waktu barusan aku menganga, terkagum dengan gamelan yang dipasang di tengah restoran, Cazzo langsung terkikik geli.
“Belum pernah ya ke sini?” ejeknya.
“Emang belum,” kataku, asyik menatap bule-bule di sebelah yang menyantap daun pepaya direbus. “Emang kenapa kalo belum? Salah, ya?”
“Ya nggak juga sih...” Cazzo menatapku berbinar-binar. “Gue sih selalu ke sini tiap gue liburan ke Yogya. Tapi gue naik pesawat dari Jakarta, pesawat bagus!” tambahnya buru-buru.
Kami berdua lalu terdiam lagi. Aku sih sibuk memperhatikan restoran ini, sementara Cazzo senyum-senyum sendiri.
“Untung aja lo menang,” ujarnya.
“Untung?” ulangku. “Nggak. Sial banget aku akhirnya mesti dinner sama kamu.”
“Lo masih marah, Bro?”
“Iya, lah... kamu nggak sopan sama temenku!”
Cazzo mendengus dan melempar pandangannya ke arah lain. “Udah, ah. Jangan bahas-bahas itu mulu!”
“Terserah...” balasku. "Lagian kamu kok yang mulai-mulai."
Kami terdiam lagi.
Cazzo dengan dongkol mencoba melirik ke arahku. Tapi setiap aku dengan sengaja menoleh ke arahnya, dia langsung melemparkan pandangannya ke arah lain. Kenapa dia jadi malu-malu begitu? Kenapa mukanya merah?
“Is there something you wanna talk with me?” tanyaku.
“Nggaaakkk...” jawabnya, pura-pura. “Nggak ada apa-apa, kok.”
Aku menghela napas. “Kamu masih marah sama aku karena smsan di taksi tadi?”
“Nggak, kok, gue cuma... yaa... ” Cazzo memutar-mutar tangannya mencari kata yang tepat. “... iya sih, gue sebenernya masih bete ama lo karena smsan ama orang itu!”
“Jadi aku mesti gimana biar kamu yakin bahwa aku sama dia cuma temenan?”
“Jauhin dia.” Cazzo meneguk air putih di atas meja kami dengan gugup. “Yaaa, semacam... jangan ngobrol ama dia lagi, lah.”
“Emangnya dia kenapa? Bahaya?”
“Dangerous!” sahut Cazzo, sampai-sampai menunjukkan wajah ngeri. “Lo emang nggak lihat apa, dia tuh kelihatan... sorry, ya... gay!”
Memang dia gay kok, batinku. Dan akupun gay. Dan gara-gara kami gay, makanya kami bisa berteman! For God’s sake.
“Cazzo, aku mau bilang sama kamu,” kataku tegas, “please jangan sampe kamu berpikir bahwa aku adalah satu-satunya temen kamu di dunia ini. Jangan ngebatasin temen cuma sampe aku aja. Kamu juga mesti socialize sama yang lain.”
“Gue juga socialize, kok! Kenapa lo pikir gue nggak punya temen lain selain lo!” sahutnya dengan nada tersinggung. “Maksud gue yang sore tadi tuh, lo tuh satu-satunya sobat yang ngerti gue. Yang nerima gue apa adanya. Yang nggak bakal ngejahilin gue kalo tahu bobroknya gue kayak gimana...”
Aku menghembuskan napas frustasi. “Jadi kamu udah over dari Mahobia? Sama sekali?”
“Nggak usah ngomong-ngomongin nama itu!” sentak Cazzo. “Gue benci!” Dan lama kelamaan dia bergumam kecil—tapi aku masih bisa mendengarnya, “Fuck you Derry! Gue sunat lo sampe kontol lo jadi memek!”
“Ehem! Bahasanya, yaaa...” tegurku.
Cazzo langsung melempar senyum lebar ke arahku, merasa bersalah.
“Kalau kata aku sih, ini restoran mahal banget. Mending kamu jangan ngabisin uang kamu buat dinner yang diisi ama cemberut dan ngebahas masalah-masalah kemaren. Okay? Senyum!”
“Siap, bos!” Cazzo memberi hormat sambil nyengir. “Mau toss air putih?”
Aku mengangkat gelasku dan akhirnya mendentingkan gelas kaca itu dengan gelas milik Cazzo. Kami meminumnya seolah itu sampanye. Dan kulihat Cazzo kembali tersenyum riang seperti anak kecil yang sedang dibawa ke Disneyland.
Baiklah, aku harus memaafkan Cazzo soal kejadian sore tadi. Aku harus mengerti kalau dia cemburu, kalau dia merasa terancam. Mungkin aku harus sosialisasi lagi padanya bahwa aku ini milik siapapun, setiap orang bisa berteman denganku, nggak ada alasan baginya untuk cemburu.
“Gue mau bilang sesuatu sama lo,” ujar Cazzo setelah beberapa saat. Cazzo tertunduk malu. Kulihat pipinya memerah dan senyumnya ditahan-tahan. “Tapi nggak jadi!”
“Eh, Kenapa?”
“Entar pasti lo ngetawain. Entar pasti lo ngejekin gue...” katanya. “Malah mungkin aja lo jadi ngejauhin gue.”
Ya Tuhan...
“Heh, Pretty Boy. Kalo iya aku orangnya kayak gitu, sejak pertama kali nolongin kamu di WC, aku udah ngetawain dan ngejekin kamu. Memangnya apa lagi yang bisa bikin aku jadi ilfeel banget sama kamu? Aku udah kebal.”
Dan kami berdua pun tertawa.
Tawa hangat. Di dalam restoran fancy yang wangi dan suasana akrab yang menyenangkan.
Aku harus mengakui bahwa aku pun sekarang nyaman bersama Cazzo. Aku suka saat dia menjadi dirinya sendiri di hadapanku, atau saat dia dengan jujur mencurahkan isi hatinya padaku. I mean, itu lebih baik kan daripada orang-orang bermuka dua yang nggak nunjukin ekspresi yang sama antara muka dan hati?
“Tapi lo jangan jadi beda ya gara-gara gue ngomong ini,” lanjutnya. Cazzo menarik napas, berdeham dan melancarkan tenggorokannya, lalu dengan pandangan paling hangat yang pernah kulihat, dia menatapku dengan dalam. “Gue sebenernya sa—“
“Heeeeiiiii.... I’m baaaaccckkk...!!”
Esel?!
“Oh, hello Darling.” Esel membelai dagu Cazzo sampai cowok itu nyaris melompat dari kursinya. Kemudian menoleh ke arahku dengan tatapan kemenangan. “Sorry dinner-nya cuma sampe sini, dear Suster Ngesot. Tapi sekarang I yang berhak dinner ama Cazzo. Nggak percaya?” Esel mengacungkan ponselnya di hadapanku, menunjukkan profil facebook-nya. “See? Empat puluh empat. So you better bye-bye...”
“Kamu ngapain di sini Esel?” tukasku. “Kamu ngebuntutin kami?”
“No, baby, worst. I’m behind you all the times, kayak bayangan aja gimana.” Esel menoleh ke arah Cazzo dan melemparkan senyum palsu. “Don’t worry Baby, I lah pemenang sebenarnya. Mau lihat?”
Esel duduk di salah satu kursi kosong di meja ini. Dia juga menunjukkan ponselnya ke Cazzo, memperlihatkan bahwa jumlah Like yang sudah dia dapat kini empat puluh empat, lebih banyak satu Like dibandingkan aku.
“Ternyata ada last minute support buat I,” jelasnya. “Emang sih yah, jagoan tuh kalah dulu, baru entar menang. Betul, Sust?”
“Tapi kan Agas udah menang!” seru Cazzo nggak terima. “Kontesnya udah ditutup!”
“Dinner-nya aja belum mulai, berarti kuisnya belum tutup, kan? Mas-mas, menunya dong!” Esel mengacungkan tangan ke arah pelayan terdekat.
Aku masih terkejut melihat sosok wewe gombel jadi-jadian ini muncul di meja kami. Aku nggak bisa membayangkan sedari tadi dia ada di belakang kami, mungkin buru-buru naik ke taksi dan bilang ke supirnya, “Kejar mobil itu!” Lalu diam di luar Sekar Kedhaton untuk melihat-lihat suasana.
And what a perfect timing, Bitch! Aku rasa dia memang menunggu momen-momen barusan untuk menginterupsi perkataan Cazzo.
“Jadi lo ngeremehin gue, Bro?” Cazzo geleng-geleng kepala. “Tenang aja, Bro! Makan aja sampe kenyang.”
Cazzo kembali nyengir-nyengir senang. Daripada melihat-lihat interior restoran, dia lebih tertarik melihat ekspresi mukaku. Waktu barusan aku menganga, terkagum dengan gamelan yang dipasang di tengah restoran, Cazzo langsung terkikik geli.
“Belum pernah ya ke sini?” ejeknya.
“Emang belum,” kataku, asyik menatap bule-bule di sebelah yang menyantap daun pepaya direbus. “Emang kenapa kalo belum? Salah, ya?”
“Ya nggak juga sih...” Cazzo menatapku berbinar-binar. “Gue sih selalu ke sini tiap gue liburan ke Yogya. Tapi gue naik pesawat dari Jakarta, pesawat bagus!” tambahnya buru-buru.
Kami berdua lalu terdiam lagi. Aku sih sibuk memperhatikan restoran ini, sementara Cazzo senyum-senyum sendiri.
“Untung aja lo menang,” ujarnya.
“Untung?” ulangku. “Nggak. Sial banget aku akhirnya mesti dinner sama kamu.”
“Lo masih marah, Bro?”
“Iya, lah... kamu nggak sopan sama temenku!”
Cazzo mendengus dan melempar pandangannya ke arah lain. “Udah, ah. Jangan bahas-bahas itu mulu!”
“Terserah...” balasku. "Lagian kamu kok yang mulai-mulai."
Kami terdiam lagi.
Cazzo dengan dongkol mencoba melirik ke arahku. Tapi setiap aku dengan sengaja menoleh ke arahnya, dia langsung melemparkan pandangannya ke arah lain. Kenapa dia jadi malu-malu begitu? Kenapa mukanya merah?
“Is there something you wanna talk with me?” tanyaku.
“Nggaaakkk...” jawabnya, pura-pura. “Nggak ada apa-apa, kok.”
Aku menghela napas. “Kamu masih marah sama aku karena smsan di taksi tadi?”
“Nggak, kok, gue cuma... yaa... ” Cazzo memutar-mutar tangannya mencari kata yang tepat. “... iya sih, gue sebenernya masih bete ama lo karena smsan ama orang itu!”
“Jadi aku mesti gimana biar kamu yakin bahwa aku sama dia cuma temenan?”
“Jauhin dia.” Cazzo meneguk air putih di atas meja kami dengan gugup. “Yaaa, semacam... jangan ngobrol ama dia lagi, lah.”
“Emangnya dia kenapa? Bahaya?”
“Dangerous!” sahut Cazzo, sampai-sampai menunjukkan wajah ngeri. “Lo emang nggak lihat apa, dia tuh kelihatan... sorry, ya... gay!”
Memang dia gay kok, batinku. Dan akupun gay. Dan gara-gara kami gay, makanya kami bisa berteman! For God’s sake.
“Cazzo, aku mau bilang sama kamu,” kataku tegas, “please jangan sampe kamu berpikir bahwa aku adalah satu-satunya temen kamu di dunia ini. Jangan ngebatasin temen cuma sampe aku aja. Kamu juga mesti socialize sama yang lain.”
“Gue juga socialize, kok! Kenapa lo pikir gue nggak punya temen lain selain lo!” sahutnya dengan nada tersinggung. “Maksud gue yang sore tadi tuh, lo tuh satu-satunya sobat yang ngerti gue. Yang nerima gue apa adanya. Yang nggak bakal ngejahilin gue kalo tahu bobroknya gue kayak gimana...”
Aku menghembuskan napas frustasi. “Jadi kamu udah over dari Mahobia? Sama sekali?”
“Nggak usah ngomong-ngomongin nama itu!” sentak Cazzo. “Gue benci!” Dan lama kelamaan dia bergumam kecil—tapi aku masih bisa mendengarnya, “Fuck you Derry! Gue sunat lo sampe kontol lo jadi memek!”
“Ehem! Bahasanya, yaaa...” tegurku.
Cazzo langsung melempar senyum lebar ke arahku, merasa bersalah.
“Kalau kata aku sih, ini restoran mahal banget. Mending kamu jangan ngabisin uang kamu buat dinner yang diisi ama cemberut dan ngebahas masalah-masalah kemaren. Okay? Senyum!”
“Siap, bos!” Cazzo memberi hormat sambil nyengir. “Mau toss air putih?”
Aku mengangkat gelasku dan akhirnya mendentingkan gelas kaca itu dengan gelas milik Cazzo. Kami meminumnya seolah itu sampanye. Dan kulihat Cazzo kembali tersenyum riang seperti anak kecil yang sedang dibawa ke Disneyland.
Baiklah, aku harus memaafkan Cazzo soal kejadian sore tadi. Aku harus mengerti kalau dia cemburu, kalau dia merasa terancam. Mungkin aku harus sosialisasi lagi padanya bahwa aku ini milik siapapun, setiap orang bisa berteman denganku, nggak ada alasan baginya untuk cemburu.
“Gue mau bilang sesuatu sama lo,” ujar Cazzo setelah beberapa saat. Cazzo tertunduk malu. Kulihat pipinya memerah dan senyumnya ditahan-tahan. “Tapi nggak jadi!”
“Eh, Kenapa?”
“Entar pasti lo ngetawain. Entar pasti lo ngejekin gue...” katanya. “Malah mungkin aja lo jadi ngejauhin gue.”
Ya Tuhan...
“Heh, Pretty Boy. Kalo iya aku orangnya kayak gitu, sejak pertama kali nolongin kamu di WC, aku udah ngetawain dan ngejekin kamu. Memangnya apa lagi yang bisa bikin aku jadi ilfeel banget sama kamu? Aku udah kebal.”
Dan kami berdua pun tertawa.
Tawa hangat. Di dalam restoran fancy yang wangi dan suasana akrab yang menyenangkan.
Aku harus mengakui bahwa aku pun sekarang nyaman bersama Cazzo. Aku suka saat dia menjadi dirinya sendiri di hadapanku, atau saat dia dengan jujur mencurahkan isi hatinya padaku. I mean, itu lebih baik kan daripada orang-orang bermuka dua yang nggak nunjukin ekspresi yang sama antara muka dan hati?
“Tapi lo jangan jadi beda ya gara-gara gue ngomong ini,” lanjutnya. Cazzo menarik napas, berdeham dan melancarkan tenggorokannya, lalu dengan pandangan paling hangat yang pernah kulihat, dia menatapku dengan dalam. “Gue sebenernya sa—“
“Heeeeiiiii.... I’m baaaaccckkk...!!”
Esel?!
“Oh, hello Darling.” Esel membelai dagu Cazzo sampai cowok itu nyaris melompat dari kursinya. Kemudian menoleh ke arahku dengan tatapan kemenangan. “Sorry dinner-nya cuma sampe sini, dear Suster Ngesot. Tapi sekarang I yang berhak dinner ama Cazzo. Nggak percaya?” Esel mengacungkan ponselnya di hadapanku, menunjukkan profil facebook-nya. “See? Empat puluh empat. So you better bye-bye...”
“Kamu ngapain di sini Esel?” tukasku. “Kamu ngebuntutin kami?”
“No, baby, worst. I’m behind you all the times, kayak bayangan aja gimana.” Esel menoleh ke arah Cazzo dan melemparkan senyum palsu. “Don’t worry Baby, I lah pemenang sebenarnya. Mau lihat?”
Esel duduk di salah satu kursi kosong di meja ini. Dia juga menunjukkan ponselnya ke Cazzo, memperlihatkan bahwa jumlah Like yang sudah dia dapat kini empat puluh empat, lebih banyak satu Like dibandingkan aku.
“Ternyata ada last minute support buat I,” jelasnya. “Emang sih yah, jagoan tuh kalah dulu, baru entar menang. Betul, Sust?”
“Tapi kan Agas udah menang!” seru Cazzo nggak terima. “Kontesnya udah ditutup!”
“Dinner-nya aja belum mulai, berarti kuisnya belum tutup, kan? Mas-mas, menunya dong!” Esel mengacungkan tangan ke arah pelayan terdekat.
Aku masih terkejut melihat sosok wewe gombel jadi-jadian ini muncul di meja kami. Aku nggak bisa membayangkan sedari tadi dia ada di belakang kami, mungkin buru-buru naik ke taksi dan bilang ke supirnya, “Kejar mobil itu!” Lalu diam di luar Sekar Kedhaton untuk melihat-lihat suasana.
And what a perfect timing, Bitch! Aku rasa dia memang menunggu momen-momen barusan untuk menginterupsi perkataan Cazzo.
Aku dan
Cazzo berpandangan, jelas kami merasa terganggu dengan kehadiran wewe gombel
ini. Sementara Esel justru terlihat santai. Dia mengambil asbak dan mulai
menyulut rokok.
Oh, Tuhan. Aku benci rokok.
“Udah sampe mana?” tanyanya. “I belum ketinggalan banyak, kan?”
“You don’t belong here, Es-Hole. Get yourself a table!” sahutku.
“You kasar banget sih jadi orang,” ujarnya tiba-tiba dengan suara lembut. “Cazzie, mestinya you jangan temenan ama orang kasar kayak begini...”
“Agas nggak kasar!” bela Cazzo. “Lo tuh kenapa sih ngikutin gue mulu?”
“Karena I pengen yang terbaik buat you... gimana kalo Cazzie berada dalam ancaman?”
Kamulah ancamannya! jeritku dalam hati.
“I pesen yang ini,” kata Esel ketika pelayan datang. Dia menunjuk sebuah gambar dan dengan santai mengepulkan asap rokoknya ke si pelayan. “Jangan pake babi, ya.”
“Di restoran ini nggak ada—“
“Shoo! Shoo!” Esel mengibas-ngibaskan tangan di depan pelayan itu. “Balik lagi kerja, sana!”
“Mau kamu tuh apa sih, Esel?”
“Kurang jelas, ya?” Esel memutar bola mata. “I mawar Cazzie, baby. Lain kali periksa ya matanya di dokter mata, kayaknya rabun tuh. Bisa ngejanya? Er, A, Che, U, En. Rabun.”
“Guenya juga nggak mau ama lo! Iiihhh...” Cazzo bergidik ngeri.
Esel tergelak kecil. “Don’t worry, Dahling. You tuh masih dalam tahap Love in Denial. Itu wajar, kok. Semua cowok yang I sukain juga gitu awal-awalnya.”
Cazzo mengangkat tangan ke arahku, menunjukkan mimik “ngomong apa sih dia?”.
“Nah, Sust,” lanjutnya sambil menoleh ke arahku, “bisa minggir? I butuh privacy, nih.”
“Kalo butuh privacy, pergi ke toilet. Di sana sangat-sangat privacy,” balasku.
Esel mendengus geli sambil melemparkan tatapan mengejek. Dia melihatku atas bawah seolah aku sedang mengenakan pakaian gembel atau apa gitu. “Nggak nyangka you ternyata lemot begitu. Sia-sia dong ya, setiap hari hangout ke perpustakaan.”
“Kenapa, Bel? Sirik?” tantangku. “Cazzo, kamu bawa camdi? Mumpung kita bisa lihat penampakan Wewe Gombel lagi ngerokok!”
Dan Cazzo dengan tololnya mencari-cari camdi di dalam tas, padahal aku kan cuma sarkastik.
Esel menatapku tak suka di balik contact-lens warna hijau terangnya. Dengan sengaja dia mengepulkan asap rokoknya ke mukaku, membuatku sesak. Aku baru menyadari rambut Esel lebih panjang sekarang, dengan kilau-kilau pirang kalau terkena cahaya lampu.
“Too bad, Honey,” ujar Esel setelah beberapa saat menatapku tak suka, “kuku I baru dikuteks, jadi nggak bisa bantuin you jahit mulut you yang kayak ular itu. Cazzie, mendingan you jangan main-main sama detseu lagi deh... dangerous.” Dan mengepulkan lagi asap rokoknya ke mukaku.
“Esel, mending lo pergi lah! Eneg gue lihat lo,” ujar Cazzo serius.
“Nggak bisa, Baby... I kan baru pesen makanan.” Menyulut rokok sebentar. “Lagian kan I yang berhak duduk di sini dibanding Suster Ngesot itu.”
“Tapi gue nggak mau ama lo! Menang sejuta Like juga gue nggak mau ama lo!”
Esel kelihatan kecewa. “Are you sure?” tanyanya dengan lembut.
“I am syur!” bentak Cazzo. “Pergi nggak lo?”
Esel menggeleng sambil menatap Cazzo dengan pandangan kasihan. “You jangan gitu, Darling... you can’t resist me.”
“Udahlah, jangan ngomong pake bahasa Inggris!” Cazzo kesal. “Pokoknya gue nggak mau ngelihat lo di sini!”
“I nggak mungkin pergi, Dahling... atau I bilang di facebook soal kejadian kontes kenti waktu itu?”
“Kontes kenti apaan?” Cazzo mengerutkan alis.
“Masa nggak tahu, sih...” Esel mengepulkan lagi asap rokoknya dengan dramatis. “Bulan-bulan kemaren, hari Jumat—habis main futsal—di shower room hall basket, semua anak Mahobia pada telenji lalu ngadain kontes ‘siapa yang kentinya paling panjang’, lalu ada satu orang yaaang... you know lah...”
Cazzo terlihat pucat.
“M-maksud lo... a-apa sih?” Cazzo menelan ludah dan takut melihat wajahku. “Lo jangan ngawur!”
“Siapa yang ngawur, Baby... I ada di sana! Ngumpet di bilik empat, dan yah, pemandangannya jelas, laahh...”
Cazzo terlihat panik sekarang. Bahkan, aku dapat melihat semburat merah melintasi pipinya. Kenapa dia? Apa itu kontes kenti? Memangnya apa hubungannya kontes kenti dengan Cazzo? Ini bukan kontes panjang-panjangan alat kelamin waktu Cazzo dikurung di WC dan aku menemukannya, kan?
Esel menyipitkan mata menatap Cazzo. Di wajahnya langsung membuncah ekspresi gembira. “Ooohh... jadi you belum kasih tau Agas, yaaa?” serunya. “Exciting! I yang kasih tau deh, ya. Sekarang?”
“Berisik lo, Esel!”
Cazzo terlihat bimbang. Beberapa kali dia menoleh ke arahku dengan malu-malu, lalu menatap ke arah Esel dengan pandangan kesal, tapi tak berbicara sepatah kata pun.
“Kamu tuh ngomong apa sih, Esel?” kataku akhirnya.
“Dear...” Esel berbalik ke arahku dan mulai melemparkan wajah ramah yang palsu. “You masih inget nggak waktu kita ngobrol di WC, waktu you awal-awal masuk CIS?”
“Jangan dengerin dia Gas!”
“Easy, Baby... I bantuin ngasih tau, ya...”
“NGGAK!”
Kepalaku memutar memori awal-awal masuk CIS, sekaligus mengingat momen-momen aku ngobrol di WC bareng Esel. Seingatku, kami nyaris tiap hari masuk WC bersama. Dan jujur aja aku nggak ingat apa saja yang kami obrolkan waktu itu.
Atau mungkin memang...
“Emang kita ngobrolin apa?” tanyaku.
“Oh, kita nggak ngobrolin apa-apa. Tapi pernah waktu itu I baru keluar dari shower hall basket—“
“Oke, Esel! Lo boleh duduk di sini. Tapi lo diem!” pekik Cazzo kemudian. Wajahnya memerah dan dia nggak berani menatap mataku. “Lo bisa diem, kan? Atau lo gue cekik!”
“Owwhhh... cekik?” Esel menggesek-gesek telapak tangannya. “Mau dong... Kamu tipe-tipe BDSM, darling?”
“Ayam Goreng Pandan?” Pelayan sudah datang menyajikan makanan.
-XxX-
Jujur aja ini bukan dinner yang kuharapkan.
Well, memang dari awal aku nggak ngincer dinner ini juga sih. Tapi at least aku kan punya ekspektasi lebih untuk dinner yang tiba-tiba kumenangkan ini. Dengan tempat fancy dan makanan selezat itu, lalu (mestinya) hanya ada aku dan Cazzo, seharusnya ini menjadi dinner yang romantis. Tapi nggak, ini sama sekali nggak romantis. Ini lebih buruk daripada dinner-ku yang sepi di rumah Granny yang hanya ditemani mie goreng dan tirai putih melayang-layang dari jendela.
Aku jadi berharap aku nggak pernah ngepos status apapun siang tadi.
“Lo pegang kuncinya?” tanya Cazzo dengan canggung.
“Iya. Sini aku yang buka.”
Oh, Tuhan. Aku benci rokok.
“Udah sampe mana?” tanyanya. “I belum ketinggalan banyak, kan?”
“You don’t belong here, Es-Hole. Get yourself a table!” sahutku.
“You kasar banget sih jadi orang,” ujarnya tiba-tiba dengan suara lembut. “Cazzie, mestinya you jangan temenan ama orang kasar kayak begini...”
“Agas nggak kasar!” bela Cazzo. “Lo tuh kenapa sih ngikutin gue mulu?”
“Karena I pengen yang terbaik buat you... gimana kalo Cazzie berada dalam ancaman?”
Kamulah ancamannya! jeritku dalam hati.
“I pesen yang ini,” kata Esel ketika pelayan datang. Dia menunjuk sebuah gambar dan dengan santai mengepulkan asap rokoknya ke si pelayan. “Jangan pake babi, ya.”
“Di restoran ini nggak ada—“
“Shoo! Shoo!” Esel mengibas-ngibaskan tangan di depan pelayan itu. “Balik lagi kerja, sana!”
“Mau kamu tuh apa sih, Esel?”
“Kurang jelas, ya?” Esel memutar bola mata. “I mawar Cazzie, baby. Lain kali periksa ya matanya di dokter mata, kayaknya rabun tuh. Bisa ngejanya? Er, A, Che, U, En. Rabun.”
“Guenya juga nggak mau ama lo! Iiihhh...” Cazzo bergidik ngeri.
Esel tergelak kecil. “Don’t worry, Dahling. You tuh masih dalam tahap Love in Denial. Itu wajar, kok. Semua cowok yang I sukain juga gitu awal-awalnya.”
Cazzo mengangkat tangan ke arahku, menunjukkan mimik “ngomong apa sih dia?”.
“Nah, Sust,” lanjutnya sambil menoleh ke arahku, “bisa minggir? I butuh privacy, nih.”
“Kalo butuh privacy, pergi ke toilet. Di sana sangat-sangat privacy,” balasku.
Esel mendengus geli sambil melemparkan tatapan mengejek. Dia melihatku atas bawah seolah aku sedang mengenakan pakaian gembel atau apa gitu. “Nggak nyangka you ternyata lemot begitu. Sia-sia dong ya, setiap hari hangout ke perpustakaan.”
“Kenapa, Bel? Sirik?” tantangku. “Cazzo, kamu bawa camdi? Mumpung kita bisa lihat penampakan Wewe Gombel lagi ngerokok!”
Dan Cazzo dengan tololnya mencari-cari camdi di dalam tas, padahal aku kan cuma sarkastik.
Esel menatapku tak suka di balik contact-lens warna hijau terangnya. Dengan sengaja dia mengepulkan asap rokoknya ke mukaku, membuatku sesak. Aku baru menyadari rambut Esel lebih panjang sekarang, dengan kilau-kilau pirang kalau terkena cahaya lampu.
“Too bad, Honey,” ujar Esel setelah beberapa saat menatapku tak suka, “kuku I baru dikuteks, jadi nggak bisa bantuin you jahit mulut you yang kayak ular itu. Cazzie, mendingan you jangan main-main sama detseu lagi deh... dangerous.” Dan mengepulkan lagi asap rokoknya ke mukaku.
“Esel, mending lo pergi lah! Eneg gue lihat lo,” ujar Cazzo serius.
“Nggak bisa, Baby... I kan baru pesen makanan.” Menyulut rokok sebentar. “Lagian kan I yang berhak duduk di sini dibanding Suster Ngesot itu.”
“Tapi gue nggak mau ama lo! Menang sejuta Like juga gue nggak mau ama lo!”
Esel kelihatan kecewa. “Are you sure?” tanyanya dengan lembut.
“I am syur!” bentak Cazzo. “Pergi nggak lo?”
Esel menggeleng sambil menatap Cazzo dengan pandangan kasihan. “You jangan gitu, Darling... you can’t resist me.”
“Udahlah, jangan ngomong pake bahasa Inggris!” Cazzo kesal. “Pokoknya gue nggak mau ngelihat lo di sini!”
“I nggak mungkin pergi, Dahling... atau I bilang di facebook soal kejadian kontes kenti waktu itu?”
“Kontes kenti apaan?” Cazzo mengerutkan alis.
“Masa nggak tahu, sih...” Esel mengepulkan lagi asap rokoknya dengan dramatis. “Bulan-bulan kemaren, hari Jumat—habis main futsal—di shower room hall basket, semua anak Mahobia pada telenji lalu ngadain kontes ‘siapa yang kentinya paling panjang’, lalu ada satu orang yaaang... you know lah...”
Cazzo terlihat pucat.
“M-maksud lo... a-apa sih?” Cazzo menelan ludah dan takut melihat wajahku. “Lo jangan ngawur!”
“Siapa yang ngawur, Baby... I ada di sana! Ngumpet di bilik empat, dan yah, pemandangannya jelas, laahh...”
Cazzo terlihat panik sekarang. Bahkan, aku dapat melihat semburat merah melintasi pipinya. Kenapa dia? Apa itu kontes kenti? Memangnya apa hubungannya kontes kenti dengan Cazzo? Ini bukan kontes panjang-panjangan alat kelamin waktu Cazzo dikurung di WC dan aku menemukannya, kan?
Esel menyipitkan mata menatap Cazzo. Di wajahnya langsung membuncah ekspresi gembira. “Ooohh... jadi you belum kasih tau Agas, yaaa?” serunya. “Exciting! I yang kasih tau deh, ya. Sekarang?”
“Berisik lo, Esel!”
Cazzo terlihat bimbang. Beberapa kali dia menoleh ke arahku dengan malu-malu, lalu menatap ke arah Esel dengan pandangan kesal, tapi tak berbicara sepatah kata pun.
“Kamu tuh ngomong apa sih, Esel?” kataku akhirnya.
“Dear...” Esel berbalik ke arahku dan mulai melemparkan wajah ramah yang palsu. “You masih inget nggak waktu kita ngobrol di WC, waktu you awal-awal masuk CIS?”
“Jangan dengerin dia Gas!”
“Easy, Baby... I bantuin ngasih tau, ya...”
“NGGAK!”
Kepalaku memutar memori awal-awal masuk CIS, sekaligus mengingat momen-momen aku ngobrol di WC bareng Esel. Seingatku, kami nyaris tiap hari masuk WC bersama. Dan jujur aja aku nggak ingat apa saja yang kami obrolkan waktu itu.
Atau mungkin memang...
“Emang kita ngobrolin apa?” tanyaku.
“Oh, kita nggak ngobrolin apa-apa. Tapi pernah waktu itu I baru keluar dari shower hall basket—“
“Oke, Esel! Lo boleh duduk di sini. Tapi lo diem!” pekik Cazzo kemudian. Wajahnya memerah dan dia nggak berani menatap mataku. “Lo bisa diem, kan? Atau lo gue cekik!”
“Owwhhh... cekik?” Esel menggesek-gesek telapak tangannya. “Mau dong... Kamu tipe-tipe BDSM, darling?”
“Ayam Goreng Pandan?” Pelayan sudah datang menyajikan makanan.
-XxX-
Jujur aja ini bukan dinner yang kuharapkan.
Well, memang dari awal aku nggak ngincer dinner ini juga sih. Tapi at least aku kan punya ekspektasi lebih untuk dinner yang tiba-tiba kumenangkan ini. Dengan tempat fancy dan makanan selezat itu, lalu (mestinya) hanya ada aku dan Cazzo, seharusnya ini menjadi dinner yang romantis. Tapi nggak, ini sama sekali nggak romantis. Ini lebih buruk daripada dinner-ku yang sepi di rumah Granny yang hanya ditemani mie goreng dan tirai putih melayang-layang dari jendela.
Aku jadi berharap aku nggak pernah ngepos status apapun siang tadi.
“Lo pegang kuncinya?” tanya Cazzo dengan canggung.
“Iya. Sini aku yang buka.”
Aku dan
Cazzo sudah kembali ke hotel kami sekitar pukul sembilan malam. Kami begitu
lelah. Dan canggung. Sepanjang perjalanan dari Sekar Kedhaton menuju hotel,
kami bahkan nggak bicara satu sama lain.
Aku membuka pintu dan melemparkan ranselku ke atas meja. Cazzo langsung masuk kamar mandi, entah mau ngapain. Aku berbaring di atas ranjang, menutup mata dan mengingat lagi dinner menyebalkan yang kualami barusan.
Well, kalo Esel memang dari awal berniat menghancurkan dinner kami, dia berhasil. Dia nge-blackmail Cazzo supaya bisa ikutan dinner dan Cazzo nggak bisa berkutik lagi.
Aku benci saat Esel dengan seenaknya menyulut rokok di atas makananku. Dan saat dia menarik perhatian orang sekitar dengan memaksa menyuapi Cazzo. Atau waktu bertengkar dengan pelayan karena dia nggak kebagian segelas air putih. Pokoknya aku benci Esel. Sangat-sangat benci. Aku nggak habis pikir kenapa dulu aku bisa berteman dengannya. Maksudku, bisa bertahan ke sana kemari bareng Esel atau bahkan mengobrol banyak dengannya.
Cazzo keluar dari kamar mandi, berusaha sebisa mungkin nggak bertatapan langsung denganku. Dia mengamati teve, mengamati langit-langit... kadang-kadang menengok berlebihan ke arah jendela.
“Mandi?” tanyaku.
“Eh, nggak. Barusan pipis.”
Cazzo sudah seperti ini sejak dinner kami tadi. Sejak Esel akhirnya ditetapkan duduk di meja kami, tepatnya. Dia sering menunduk, mengusap-usap belakang kepalanya, nggak konsentrasi, kebanyakan bilang “Hah?” saat aku bertanya padanya, dan sekilas aku melihat mukanya memerah.
“Kamu nggak apa-apa, Cazzo?”
Cazzo duduk di ranjangnya, dan aku menghampirinya.
“Gue nggak apa-apa.” Dia memaksakan senyum.
“Begini,” kataku, “Aku nggak peduli rahasia apa yang kamu simpen dariku, apakah itu buruk atau bagus, tapi apapun itu, aku nggak mau kamu jadi canggung begini gara-gara takut aku mikirin soal rahasia itu. Sumpahnya, aku sama sekali nggak berharap buat tahu. Dan kamu juga nggak mesti nyeritain itu sama aku. Jadi tolong jangan canggung begitu.”
“Lo tahu kok soal itu,” katanya.
“Soal apa?”
Cazzo merenung sebentar. “Lo tahu sebenernya apa yang dimaksud Esel tadi. Cuma, lo belum... apa ya... dapet gambaran jelas, lah. Lo nggak ngerti sepenuhnya.” Cazzo melirik ke arahku sekilas. “Ibarat puzzle, lo punya semua potongannya, tapi lo nggak punya tempat puzzle-nya buat masangin potongan-potongan itu.”
Hah? Emangnya soal apa sih ini? Aku jadi penasaran. Sejauh ini dugaanku masih ke kontes panjang-panjangan alat kelamin beberapa bulan lalu di mana Cazzo dianggap gay karena ereksi.
“Tapi berhubung lo barusan bilang lo nggak peduli,” lanjutnya. “Gue kayaknya nggak bakal cerita ama lo.”
Sialan. Aku pikir dia akhirnya bakal cerita versi detailnya.
“Ya udah, nggak apa-apa. Tapi kamu jangan canggung gitu, dong.”
“Lo nggak bete kan sama gue?”
“Oh my God... aku justru selalu bete sama kamu, tapi mau gimana lagi, kamunya ngekorin terus.”
“Sialan lo, Bro!” Cazzo melemparkan senyum sambil menjitak kepalaku.
Cowok itu kelihatan lebih rileks sekarang. Tangannya mencari-cari remote dan langsung menyalakan teve begitu menemukannya. Aku tetap duduk di sampingnya dan menatap wajahnya yang polos itu mengomentari sesuatu di teve. Dia kelihatan begitu... menggemaskan. Kadang aku nggak ngerti, kenapa aku bisa bersikap biasa aja sama Cazzo? Sementara jutaan wanita dan gay di luar sana jatuh cinta sama dia?
Aku nggak mau membual, tapi aku memang nggak merasakan apa-apa pada Cazzo. Aku orangnya jujur, kok. Kalo Cazzo memang membuatku turn-on, aku bakal bilang dia bikin turn-on. Kalo aku bilang benci Cazzo, aku memang benar-benar membencinya. Mungkin suatu hari aku bakal bilang “aku cinta Cazzo” seperti banyak penggemarnya, tapi untuk hari ini nggak. Aku masih belum bisa menemukan chemistry antara aku dan dirinya.
Beda dengan Bang Dicky.
Hari pertama aku melihatnya, aku suka dia. Detik pertama dia meminjamkan kausnya waktu kausku basah kena cipratan kubangan, aku jatuh cinta. Bang Dicky buatku charming. Tipe-tipeku lah. Seolah ada aura dalam dirinya yang menyedot hatiku untuk masuk.
Dan sial. Gara-gara mikirin bang Dicky, aku jadi kangen sama dia. Ke mana sih dia selama seminggu ini? Kenapa bisa hilang selama itu? Nggak mungkin kan dia ikutan workshop tentang pengrajin bingkai di Swedia? Setidaknya dia bisa ngasih kabar, betul? Dan Granny juga sama aja, selalu berkelit setiap aku bertanya Bang Dicky ada di mana.
“Aduh, pegel!” celetuk Cazzo tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya dan merasa dia sedang menyindirku. Memangnya apa yang—Oh, iya. Dia kan minta dipijitin.
“Apa?” tanyaku.
Cazzo menoleh malu-malu dan mulai tersenyum lebar. Kedua alisnya digerakkan naik turun.
“Aku nggak bisa mijitin.”
“Who cares?” sahut Cazzo. “Yang penting pencet-pencet pijit-pijit.” Dan kedua alisnya terus menerus bergerak naik turun. Menyebalkan.
Jujur aja aku benci kalo cowok ganteng, dengan ekspresi imut-imut, mendadak memelas seperti kucing minta makan. Aku kan orangnya nggak tegaan. Kucing yang kebetulan mampir depan rumah aja, if possible, bakal aku kasihin ikan yang ada di kulkas. Apalagi dia, cowok yang sudah memberiku fancy dinner, dan yang dengan pedenya membantah pernyataan Esel bahwa aku gay... somehow aku jadi sayang padanya.
Eh, ralat. Maksudku, kasihan.
Sayang dan kasihan beda, kan?
“Mau dipijitin apanya?” tanyaku.
“Yes!” pekik Cazzo sambil mulai membuka bajunya.
“Heh! Aku cuma nanya, bukan ngeiyain—“
“Nggak bisa! Barusan artinya udah setuju. Ini punggungnya tolong pijit-pijit.”
Aku nggak bisa berkata-kata lagi karena pandanganku keburu teralihkan oleh gerak luwes Cazzo melepas kausnya. Darahku berdesir kencang... lalu tiba-tiba kurasakan ‘deg’ saat kaus itu lepas dari tubuhnya, menguak kulit mulus Cazzo yang terang, dengan rambut-rambut halus di ketiaknya saat dia mengangkat kedua tangan... dan putingnya yang coklat itu...
Oh, stop it, Agas! Kamu kan udah lihat dia telanjang seminggu lalu. Kenapa kali ini jadi deg-degan?
Aku melemparkan pandangan ke arah lain, tubuhku merinding sekarang. Dari sudut mataku dapat kulihat bayangan Cazzo bertelanjang dada, dengan tubuhnya yang kurus bertulang besar, dengan otot-otot yang dibentuk dari main futsal atau basket, dengan kulit terang mulus yang... siapa sih artis Thailand yang sering kulihat di gayindonesiaforum itu?
“Ayo, Bro!” serunya sambil telungkup di atas ranjang. “Duduk aja di atas pantat gue.”
Dengan deg-degan, aku berbalik dan menatap punggung paling mulus yang pernah kulihat. Oh, Tuhan. Bikin iri saja. Seingatku sih, punggungku kadang dipenuhi jerawat. Dan lihat itu bahunya yang lebar atau lekukan di tulang punggungnya yang cekung ke dalam, bikin darahku makin ser-seran!
Aku membuka pintu dan melemparkan ranselku ke atas meja. Cazzo langsung masuk kamar mandi, entah mau ngapain. Aku berbaring di atas ranjang, menutup mata dan mengingat lagi dinner menyebalkan yang kualami barusan.
Well, kalo Esel memang dari awal berniat menghancurkan dinner kami, dia berhasil. Dia nge-blackmail Cazzo supaya bisa ikutan dinner dan Cazzo nggak bisa berkutik lagi.
Aku benci saat Esel dengan seenaknya menyulut rokok di atas makananku. Dan saat dia menarik perhatian orang sekitar dengan memaksa menyuapi Cazzo. Atau waktu bertengkar dengan pelayan karena dia nggak kebagian segelas air putih. Pokoknya aku benci Esel. Sangat-sangat benci. Aku nggak habis pikir kenapa dulu aku bisa berteman dengannya. Maksudku, bisa bertahan ke sana kemari bareng Esel atau bahkan mengobrol banyak dengannya.
Cazzo keluar dari kamar mandi, berusaha sebisa mungkin nggak bertatapan langsung denganku. Dia mengamati teve, mengamati langit-langit... kadang-kadang menengok berlebihan ke arah jendela.
“Mandi?” tanyaku.
“Eh, nggak. Barusan pipis.”
Cazzo sudah seperti ini sejak dinner kami tadi. Sejak Esel akhirnya ditetapkan duduk di meja kami, tepatnya. Dia sering menunduk, mengusap-usap belakang kepalanya, nggak konsentrasi, kebanyakan bilang “Hah?” saat aku bertanya padanya, dan sekilas aku melihat mukanya memerah.
“Kamu nggak apa-apa, Cazzo?”
Cazzo duduk di ranjangnya, dan aku menghampirinya.
“Gue nggak apa-apa.” Dia memaksakan senyum.
“Begini,” kataku, “Aku nggak peduli rahasia apa yang kamu simpen dariku, apakah itu buruk atau bagus, tapi apapun itu, aku nggak mau kamu jadi canggung begini gara-gara takut aku mikirin soal rahasia itu. Sumpahnya, aku sama sekali nggak berharap buat tahu. Dan kamu juga nggak mesti nyeritain itu sama aku. Jadi tolong jangan canggung begitu.”
“Lo tahu kok soal itu,” katanya.
“Soal apa?”
Cazzo merenung sebentar. “Lo tahu sebenernya apa yang dimaksud Esel tadi. Cuma, lo belum... apa ya... dapet gambaran jelas, lah. Lo nggak ngerti sepenuhnya.” Cazzo melirik ke arahku sekilas. “Ibarat puzzle, lo punya semua potongannya, tapi lo nggak punya tempat puzzle-nya buat masangin potongan-potongan itu.”
Hah? Emangnya soal apa sih ini? Aku jadi penasaran. Sejauh ini dugaanku masih ke kontes panjang-panjangan alat kelamin beberapa bulan lalu di mana Cazzo dianggap gay karena ereksi.
“Tapi berhubung lo barusan bilang lo nggak peduli,” lanjutnya. “Gue kayaknya nggak bakal cerita ama lo.”
Sialan. Aku pikir dia akhirnya bakal cerita versi detailnya.
“Ya udah, nggak apa-apa. Tapi kamu jangan canggung gitu, dong.”
“Lo nggak bete kan sama gue?”
“Oh my God... aku justru selalu bete sama kamu, tapi mau gimana lagi, kamunya ngekorin terus.”
“Sialan lo, Bro!” Cazzo melemparkan senyum sambil menjitak kepalaku.
Cowok itu kelihatan lebih rileks sekarang. Tangannya mencari-cari remote dan langsung menyalakan teve begitu menemukannya. Aku tetap duduk di sampingnya dan menatap wajahnya yang polos itu mengomentari sesuatu di teve. Dia kelihatan begitu... menggemaskan. Kadang aku nggak ngerti, kenapa aku bisa bersikap biasa aja sama Cazzo? Sementara jutaan wanita dan gay di luar sana jatuh cinta sama dia?
Aku nggak mau membual, tapi aku memang nggak merasakan apa-apa pada Cazzo. Aku orangnya jujur, kok. Kalo Cazzo memang membuatku turn-on, aku bakal bilang dia bikin turn-on. Kalo aku bilang benci Cazzo, aku memang benar-benar membencinya. Mungkin suatu hari aku bakal bilang “aku cinta Cazzo” seperti banyak penggemarnya, tapi untuk hari ini nggak. Aku masih belum bisa menemukan chemistry antara aku dan dirinya.
Beda dengan Bang Dicky.
Hari pertama aku melihatnya, aku suka dia. Detik pertama dia meminjamkan kausnya waktu kausku basah kena cipratan kubangan, aku jatuh cinta. Bang Dicky buatku charming. Tipe-tipeku lah. Seolah ada aura dalam dirinya yang menyedot hatiku untuk masuk.
Dan sial. Gara-gara mikirin bang Dicky, aku jadi kangen sama dia. Ke mana sih dia selama seminggu ini? Kenapa bisa hilang selama itu? Nggak mungkin kan dia ikutan workshop tentang pengrajin bingkai di Swedia? Setidaknya dia bisa ngasih kabar, betul? Dan Granny juga sama aja, selalu berkelit setiap aku bertanya Bang Dicky ada di mana.
“Aduh, pegel!” celetuk Cazzo tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya dan merasa dia sedang menyindirku. Memangnya apa yang—Oh, iya. Dia kan minta dipijitin.
“Apa?” tanyaku.
Cazzo menoleh malu-malu dan mulai tersenyum lebar. Kedua alisnya digerakkan naik turun.
“Aku nggak bisa mijitin.”
“Who cares?” sahut Cazzo. “Yang penting pencet-pencet pijit-pijit.” Dan kedua alisnya terus menerus bergerak naik turun. Menyebalkan.
Jujur aja aku benci kalo cowok ganteng, dengan ekspresi imut-imut, mendadak memelas seperti kucing minta makan. Aku kan orangnya nggak tegaan. Kucing yang kebetulan mampir depan rumah aja, if possible, bakal aku kasihin ikan yang ada di kulkas. Apalagi dia, cowok yang sudah memberiku fancy dinner, dan yang dengan pedenya membantah pernyataan Esel bahwa aku gay... somehow aku jadi sayang padanya.
Eh, ralat. Maksudku, kasihan.
Sayang dan kasihan beda, kan?
“Mau dipijitin apanya?” tanyaku.
“Yes!” pekik Cazzo sambil mulai membuka bajunya.
“Heh! Aku cuma nanya, bukan ngeiyain—“
“Nggak bisa! Barusan artinya udah setuju. Ini punggungnya tolong pijit-pijit.”
Aku nggak bisa berkata-kata lagi karena pandanganku keburu teralihkan oleh gerak luwes Cazzo melepas kausnya. Darahku berdesir kencang... lalu tiba-tiba kurasakan ‘deg’ saat kaus itu lepas dari tubuhnya, menguak kulit mulus Cazzo yang terang, dengan rambut-rambut halus di ketiaknya saat dia mengangkat kedua tangan... dan putingnya yang coklat itu...
Oh, stop it, Agas! Kamu kan udah lihat dia telanjang seminggu lalu. Kenapa kali ini jadi deg-degan?
Aku melemparkan pandangan ke arah lain, tubuhku merinding sekarang. Dari sudut mataku dapat kulihat bayangan Cazzo bertelanjang dada, dengan tubuhnya yang kurus bertulang besar, dengan otot-otot yang dibentuk dari main futsal atau basket, dengan kulit terang mulus yang... siapa sih artis Thailand yang sering kulihat di gayindonesiaforum itu?
“Ayo, Bro!” serunya sambil telungkup di atas ranjang. “Duduk aja di atas pantat gue.”
Dengan deg-degan, aku berbalik dan menatap punggung paling mulus yang pernah kulihat. Oh, Tuhan. Bikin iri saja. Seingatku sih, punggungku kadang dipenuhi jerawat. Dan lihat itu bahunya yang lebar atau lekukan di tulang punggungnya yang cekung ke dalam, bikin darahku makin ser-seran!
“Bro?” Cazzo
memanggilku lagi sambil menoleh.
“Eh, bentar,” aku salah tingkah, “Aku siap-siap dulu. Pake minyak?”
“Boleh, Bro... Pake minyak telon!”
Minyak telon?
“Aku nggak punya minyak telon.”
“Gue ada, Bro...” Cazzo bangkit lagi menuju ranselnya, dan aku nggak sanggup menatap tubuh telanjangnya itu bergerak riang menuju ransel di meja. Ya Tuhan... kenapa dia nggak pake baju aja, sih? Nanti bisa-bisa my little jack... Oh, ternyata sudah. ‘Dia’ sudah ‘bangun’. “Nyokap gue selalu masukin ini ke tas gue. Nih!” Dia menjulurkan botol kuning kecil, dan ketika kuhirup, wanginya seperti minyak bayi. “Gue suka wanginya.”
Tapi aku nggak sepenuhnya mencium wangi minyak itu. Entah kenapa mataku justru fokus pada pusar Cazzo yang dihiasi rambut-rambut halus menjulur ke bagian selangkangannya... ya Tuhan... puting Cazzo hanya berada dua puluh senti dari mataku!
“Balurin aja ke punggung, Bro... sambil dipijit-pijit. Entar gue kasih tau,” lanjutnya sambil telungkup lagi. “Biasanya di rumah si Bibi yang sering mijitin gue Bro... sampe gue ketiduran.”
Mana mungkin aku bisa membuat seseorang tidur dengan pijatanku. In fact, ini pertama kalinya aku memijat seseorang! Memijat dengan serius. I mean, menggunakan minyak dan lain sebagainya. Terakhir aku memijat orang adalah... mungkin memijat Zaki! Tapi itupun di bagian yang “khusus”. Dan aku bercanda waktu bilang pijatanku bisa memperbesar alat kelaminnya.
Aku duduk di atas pantat Cazzo, agak keras, tapi hangat. Di hadapanku kini terhampar punggung Cazzo yang lebar. Yang menggeliat-geliat saat Cazzo menoleh ke belakang lalu tersenyum lebar padaku. Aku lalu membaluri punggung itu dengan minyak telon, mengusapnya ke seluruh penjuru, dan sedikit deg-degan kalau tanganku mulai mendekati tiga tempat: ketiaknya, bagian dekat puting susunya, dan pinggangnya.
Setelah aku membuat punggung itu berkilau dan wangi bayi, aku mulai menekan jari-jariku dari atas ke bawah, menyusuri tulang belakang Cazzo, lalu mulai mengusap-usapnya lagi dengan sedikit tekanan.
“Enak, Bro... Aaaahhh...” desah Cazzo. “Lumayan, lah. Bahunya bisa agak dipijit-pijit?”
Aku menuruti kemauan Cazzo dengan mulai memijat-mijat bahu lebar itu sebisaku. Saat jemariku menyentuh tulang belikatnya yang keras, dadaku kembali ser-seran. Apalagi saat aku memijat lengan Cazzo, meremas otot bisep dan trisepnya...
“Bro kalau disuruh milih,” kata Cazzo tiba-tiba, “milih Jupe milih Depe?”
“Hah?” Kenapa dia tiba-tiba membicarakan itu?
“Pilih mana, Jupe atau Depe?”
Aku memutar otak sambil asyik meremas-remas bahu Cazzo. “Aku pilih Jupe.”
“Karena toketnya lebih gede?”
“Karena lebih pinter.”
“Ah, bukan. Pasti karena toketnya gede.”
“Whatever.”
“Kalo girlband, Seven Icon atau Cherrybelle?”
Aku geleng-geleng kepala. “Cherrybelle,” jawabku—karena teringat Granny.
“Karena K-pop?”
“Karena inget Granny. Dia suka Cherrybelle.”
Cazzo mendengus. “Gue sih lebih suka Seven Icons, lebih seksi daripada Cherrybelle.”
“Selera orang kan beda-beda,” tukasku.
Aku lanjut membaluri punggung yang menggoda itu sambil tersenyum. Otakku sekarang terbagi antara ingin membalas pertanyaan Cazzo atau ingin berbaring di atas punggung berkilau ini.
“Kalo kamu, pilih Lady Gaga atau Beyonce?”
Cazzo tergelak mendengar pertanyaanku. “Gue pilih Gwyneth Paltrow.”
“Nggak ada di pilihan,” gerutuku.
“Gue pilih, ngng... Megan Fox!” Lalu tergelak lagi.
“Lo, pilih mana? Lady Gaga atau Beyonce?”
“Dianna Agron,” jawabku sambil tergelak.
“Siapa tuh?” Cazzo menoleh dan mengerutkan alisnya.
“Yang main di serial Glee.”
“Oh... gue nggak pernah nonton. Cantik nggak?”
“Absolutely. Kalo kata aku sih cantik. Yang jadi si Santana juga cantik, tapi aku lebih suka Quinn Fabray-nya.”
Ruangan kemudian hening, rupanya membicarakan Glee adalah sebuah turn-off. Buktinya tidak ada yang tergelak seperti tadi. Aku terus mengusap seluruh punggung Cazzo sambil menunggu obrolan apa lagi yang bakal dia lontarkan.
“Lo pilih mana, gue atau temen Jogja lo tadi?”
“Apa?” sahutku. “That can’t be a question!”
“Eeeh, pilih mana! Gue atau temen lo yang tadi sore?”
“Aku nggak mau jawab. Itu topik sensitif.”
“Kenapa sensitif? Nggak, kok!” Padahal dari nada bicaranya, dia terdengar sangat sensi.
“Karena aku udah bisa nebak ujungnya bakalan ke mana. Kalo aku jawab kamu, nanti kamu ngelarang aku ketemu dia lagi karena aku bilang pilih kamu. Kalo aku jawab dia, nanti kamu ngelarang juga aku ketemu dia karena kamu nggak suka. Nggak usah pura-pura.”
“Nggak, kok...” sahutnya tersinggung. Padahal dari gerak-geriknya aku bisa membaca, “Sebetulnya iya!”
“Ganti pertanyaan,” suruhku, “aku nggak mau jawab pertanyaan kayak begitu.”
“Lo pilih mana...” Cazzo memutar otak lagi. “Gue atau kakak boongan lo si Dicky itu?”
Deg.
Aku terkejut mendengar Cazzo menanyakan hal itu. Seumur-umur bahkan aku nggak pernah kepikiran untuk memilih satu di antara mereka. Entah kenapa jantungku berdebar keras dan pijatanku melemah.
“Pertanyaan itu nggak bisa dijawab karena parameternya beda. Kamu sama Bang Dicky tuh nggak sama. Jadi nggak bisa milih salah satu.”
“Buat gue sama.” Tiba-tiba Cazzo berbalik tapi tetap menahanku di tempat. Kini aku duduk di atas selangkangannya—SELANGKANGANNYA!—menghadap ke setengah tubuh Cazzo bagian atas yang telanjang. Lengkap dengan detail pusar, puting, dada, dan wajahnya itu. “Jadi kalo disuruh milih, mau pilih mana, gue atau Bang Dicky?”
Alis Cazzo mengerut. Dia serius. Masa sih dia sampe kepikiran buat nanyain hal itu? Apa dia cemburu juga sama Bang Dicky?
“Aku pilih Zaki!” jawabku akhirnya, berusaha netral.
“Zaki?” Cazzo memutar otak. “Yang suka bawa-bawa kayu itu?”
“Ya, yang itu! Sebab aku nggak mau jawab pertanyaan kamu—“
“Yang suka pamer badan berototnya itu?!” potong Cazzo.
“Dia nggak pamer badan,” belaku.
“Dia pamer badan!” Cazzo memalingkan muka. “Coba pikir, ngapain dia nggak pake baju pas nyetir mobil baknya?”
“Kali aja dia kegerahan,” jawabku. “Lagian kapan juga sih kamu ketemu Zaki? Perasaan cuma sekali dua kali. Itupun—“
“Sekarang pilih mana,” potong Cazzo tanpa ampun. “Gue, Bang Dicky, atau Zaki?”
Apa?! Kenapa sih Cazzo mesti menanyakan itu?
“Aku nggak mau jawab!” Aku turun dari tubuh Cazzo dan naik ke kasurku—kasur kami, karena sekarang posisinya kan menyatu.
“Kamu harus jawab!” Cazzo melipat tangan di depan dada, kelihatan sangat-sangat serius, seolah dia senior yang sedang memarahi juniornya.
“Kenapa aku harus jawab?”
“Karena...” Cazzo menelan ludah. “Karena gue nanya, jadi lo mesti jawab!”
“Itu bukan alesan!” Aku turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi.
“Bro!” panggil Cazzo. “Mau ke mana?”
“Gosok gigi!”
Untuk sesaat, tak ada balasan dari Cazzo. Yang terdengar dari kamar hanyalah suara teve dan getaran ponsel, entah punyaku entah punya Cazzo. Aku nggak ngerti kenapa dia bisa cemburu sama Bang Dicky dan Zaki juga, batinku sambil menggosok gigi. Kalau dia cemburu dengan Adam, itu wajar, karena Adam kan seumuran. Kalau iya dia—misalnya—jatuh cinta padaku dan merasa harapannya terancam karena Adam, aku bisa maklum. Tapi ini kan Bang Dicky, for God’s sake. Mestinya Bang Dicky nggak masuk hitungan.
“Eh, bentar,” aku salah tingkah, “Aku siap-siap dulu. Pake minyak?”
“Boleh, Bro... Pake minyak telon!”
Minyak telon?
“Aku nggak punya minyak telon.”
“Gue ada, Bro...” Cazzo bangkit lagi menuju ranselnya, dan aku nggak sanggup menatap tubuh telanjangnya itu bergerak riang menuju ransel di meja. Ya Tuhan... kenapa dia nggak pake baju aja, sih? Nanti bisa-bisa my little jack... Oh, ternyata sudah. ‘Dia’ sudah ‘bangun’. “Nyokap gue selalu masukin ini ke tas gue. Nih!” Dia menjulurkan botol kuning kecil, dan ketika kuhirup, wanginya seperti minyak bayi. “Gue suka wanginya.”
Tapi aku nggak sepenuhnya mencium wangi minyak itu. Entah kenapa mataku justru fokus pada pusar Cazzo yang dihiasi rambut-rambut halus menjulur ke bagian selangkangannya... ya Tuhan... puting Cazzo hanya berada dua puluh senti dari mataku!
“Balurin aja ke punggung, Bro... sambil dipijit-pijit. Entar gue kasih tau,” lanjutnya sambil telungkup lagi. “Biasanya di rumah si Bibi yang sering mijitin gue Bro... sampe gue ketiduran.”
Mana mungkin aku bisa membuat seseorang tidur dengan pijatanku. In fact, ini pertama kalinya aku memijat seseorang! Memijat dengan serius. I mean, menggunakan minyak dan lain sebagainya. Terakhir aku memijat orang adalah... mungkin memijat Zaki! Tapi itupun di bagian yang “khusus”. Dan aku bercanda waktu bilang pijatanku bisa memperbesar alat kelaminnya.
Aku duduk di atas pantat Cazzo, agak keras, tapi hangat. Di hadapanku kini terhampar punggung Cazzo yang lebar. Yang menggeliat-geliat saat Cazzo menoleh ke belakang lalu tersenyum lebar padaku. Aku lalu membaluri punggung itu dengan minyak telon, mengusapnya ke seluruh penjuru, dan sedikit deg-degan kalau tanganku mulai mendekati tiga tempat: ketiaknya, bagian dekat puting susunya, dan pinggangnya.
Setelah aku membuat punggung itu berkilau dan wangi bayi, aku mulai menekan jari-jariku dari atas ke bawah, menyusuri tulang belakang Cazzo, lalu mulai mengusap-usapnya lagi dengan sedikit tekanan.
“Enak, Bro... Aaaahhh...” desah Cazzo. “Lumayan, lah. Bahunya bisa agak dipijit-pijit?”
Aku menuruti kemauan Cazzo dengan mulai memijat-mijat bahu lebar itu sebisaku. Saat jemariku menyentuh tulang belikatnya yang keras, dadaku kembali ser-seran. Apalagi saat aku memijat lengan Cazzo, meremas otot bisep dan trisepnya...
“Bro kalau disuruh milih,” kata Cazzo tiba-tiba, “milih Jupe milih Depe?”
“Hah?” Kenapa dia tiba-tiba membicarakan itu?
“Pilih mana, Jupe atau Depe?”
Aku memutar otak sambil asyik meremas-remas bahu Cazzo. “Aku pilih Jupe.”
“Karena toketnya lebih gede?”
“Karena lebih pinter.”
“Ah, bukan. Pasti karena toketnya gede.”
“Whatever.”
“Kalo girlband, Seven Icon atau Cherrybelle?”
Aku geleng-geleng kepala. “Cherrybelle,” jawabku—karena teringat Granny.
“Karena K-pop?”
“Karena inget Granny. Dia suka Cherrybelle.”
Cazzo mendengus. “Gue sih lebih suka Seven Icons, lebih seksi daripada Cherrybelle.”
“Selera orang kan beda-beda,” tukasku.
Aku lanjut membaluri punggung yang menggoda itu sambil tersenyum. Otakku sekarang terbagi antara ingin membalas pertanyaan Cazzo atau ingin berbaring di atas punggung berkilau ini.
“Kalo kamu, pilih Lady Gaga atau Beyonce?”
Cazzo tergelak mendengar pertanyaanku. “Gue pilih Gwyneth Paltrow.”
“Nggak ada di pilihan,” gerutuku.
“Gue pilih, ngng... Megan Fox!” Lalu tergelak lagi.
“Lo, pilih mana? Lady Gaga atau Beyonce?”
“Dianna Agron,” jawabku sambil tergelak.
“Siapa tuh?” Cazzo menoleh dan mengerutkan alisnya.
“Yang main di serial Glee.”
“Oh... gue nggak pernah nonton. Cantik nggak?”
“Absolutely. Kalo kata aku sih cantik. Yang jadi si Santana juga cantik, tapi aku lebih suka Quinn Fabray-nya.”
Ruangan kemudian hening, rupanya membicarakan Glee adalah sebuah turn-off. Buktinya tidak ada yang tergelak seperti tadi. Aku terus mengusap seluruh punggung Cazzo sambil menunggu obrolan apa lagi yang bakal dia lontarkan.
“Lo pilih mana, gue atau temen Jogja lo tadi?”
“Apa?” sahutku. “That can’t be a question!”
“Eeeh, pilih mana! Gue atau temen lo yang tadi sore?”
“Aku nggak mau jawab. Itu topik sensitif.”
“Kenapa sensitif? Nggak, kok!” Padahal dari nada bicaranya, dia terdengar sangat sensi.
“Karena aku udah bisa nebak ujungnya bakalan ke mana. Kalo aku jawab kamu, nanti kamu ngelarang aku ketemu dia lagi karena aku bilang pilih kamu. Kalo aku jawab dia, nanti kamu ngelarang juga aku ketemu dia karena kamu nggak suka. Nggak usah pura-pura.”
“Nggak, kok...” sahutnya tersinggung. Padahal dari gerak-geriknya aku bisa membaca, “Sebetulnya iya!”
“Ganti pertanyaan,” suruhku, “aku nggak mau jawab pertanyaan kayak begitu.”
“Lo pilih mana...” Cazzo memutar otak lagi. “Gue atau kakak boongan lo si Dicky itu?”
Deg.
Aku terkejut mendengar Cazzo menanyakan hal itu. Seumur-umur bahkan aku nggak pernah kepikiran untuk memilih satu di antara mereka. Entah kenapa jantungku berdebar keras dan pijatanku melemah.
“Pertanyaan itu nggak bisa dijawab karena parameternya beda. Kamu sama Bang Dicky tuh nggak sama. Jadi nggak bisa milih salah satu.”
“Buat gue sama.” Tiba-tiba Cazzo berbalik tapi tetap menahanku di tempat. Kini aku duduk di atas selangkangannya—SELANGKANGANNYA!—menghadap ke setengah tubuh Cazzo bagian atas yang telanjang. Lengkap dengan detail pusar, puting, dada, dan wajahnya itu. “Jadi kalo disuruh milih, mau pilih mana, gue atau Bang Dicky?”
Alis Cazzo mengerut. Dia serius. Masa sih dia sampe kepikiran buat nanyain hal itu? Apa dia cemburu juga sama Bang Dicky?
“Aku pilih Zaki!” jawabku akhirnya, berusaha netral.
“Zaki?” Cazzo memutar otak. “Yang suka bawa-bawa kayu itu?”
“Ya, yang itu! Sebab aku nggak mau jawab pertanyaan kamu—“
“Yang suka pamer badan berototnya itu?!” potong Cazzo.
“Dia nggak pamer badan,” belaku.
“Dia pamer badan!” Cazzo memalingkan muka. “Coba pikir, ngapain dia nggak pake baju pas nyetir mobil baknya?”
“Kali aja dia kegerahan,” jawabku. “Lagian kapan juga sih kamu ketemu Zaki? Perasaan cuma sekali dua kali. Itupun—“
“Sekarang pilih mana,” potong Cazzo tanpa ampun. “Gue, Bang Dicky, atau Zaki?”
Apa?! Kenapa sih Cazzo mesti menanyakan itu?
“Aku nggak mau jawab!” Aku turun dari tubuh Cazzo dan naik ke kasurku—kasur kami, karena sekarang posisinya kan menyatu.
“Kamu harus jawab!” Cazzo melipat tangan di depan dada, kelihatan sangat-sangat serius, seolah dia senior yang sedang memarahi juniornya.
“Kenapa aku harus jawab?”
“Karena...” Cazzo menelan ludah. “Karena gue nanya, jadi lo mesti jawab!”
“Itu bukan alesan!” Aku turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi.
“Bro!” panggil Cazzo. “Mau ke mana?”
“Gosok gigi!”
Untuk sesaat, tak ada balasan dari Cazzo. Yang terdengar dari kamar hanyalah suara teve dan getaran ponsel, entah punyaku entah punya Cazzo. Aku nggak ngerti kenapa dia bisa cemburu sama Bang Dicky dan Zaki juga, batinku sambil menggosok gigi. Kalau dia cemburu dengan Adam, itu wajar, karena Adam kan seumuran. Kalau iya dia—misalnya—jatuh cinta padaku dan merasa harapannya terancam karena Adam, aku bisa maklum. Tapi ini kan Bang Dicky, for God’s sake. Mestinya Bang Dicky nggak masuk hitungan.
Meski ya, kenyataannya, aku lebih menyukai Bang Dicky
daripada Cazzo. Aku lebih menyukai yang dewasa. Atau berusia dewasa. Aromanya
dewasa dan sebagainya dewasa. Cowok yang kulitnya udah nggak semulus anak enam
belas tahunan. Yang bakal memelukku dengan sayang dan melindungiku.
Bukan tipe-tipe remaja yang labil dan gampang cemburuan. Apalagi yang ini, kelihatannya dia sangat bergantung padaku. Sebagian besar pekerjaan rumahnya sekarang aku yang mengerjakan. Dan kalau sudah bimbang, dia pasti menghubungiku untuk minta pendapat. Seolah aku ini asistennya. Atau istrinya. Semacam itulah.
Nah, kan, dia tiba-tiba masuk.
Saat aku sedang asyik menyikat gigi gerahamku, Cazzo muncul di pintu kamar mandi dengan wajah cemberut. Dia pura-pura nyuekin aku, padahal aku bisa menangkap lirikan-lirikan matanya yang berharap “ayo ngomong duluan”. Cazzo berjalan melewatiku, membuka tutup toilet, dan mulai pipis.
“Ngapain?” dengusku—retoris.
“Pipis. Buta ya, nggak bisa lihat?”
“Kamu nggak sopan! Aku kan lagi gosok gigi.”
“Gue nggak pipis di wastafel, kok. Gue pipis di toilet! Kalo gue pipis di wastafel padahal lo lagi gosok gigi, baru nggak sopan.”
Aku memutar bola mata dan menoleh ke arah lain.
Pertama, aku sebel kalo Cazzo udah kayak begitu. Marah-marah nggak jelas dan bikin alasan-alasan nggak masuk akal. Memangnya dia nggak malu apa, pipis pas ada orang lagi gosok gigi?
Kedua, aku nggak mau melihat little jack-nya... atau aku semalaman bisa meriang. Face it, aku ini gay, penyuka cowok, dan mau dibikin alasan seekstrim apapun, kalau aku dihadapkan dengan alat kelamin cowok (apalagi dengan taraf kegantengan macam Cazzo), aku pasti K.O—pasti terangsang nggak ketulungan. Lihat nih, sekarang aja udah ada yang mengeras lagi di balik celanaku.
Cazzo menyelesaikan pipisnya dengan cepat tapi masih berdiri di depan toilet. Aku meliriknya sebentar... Huh, dia ternyata sedang melirikku juga! Dan untuk satu menit ke depan, kami masih berdiam diri di situ. Tak bergerak kemana pun. Diam tanpa suara.
Well, aku sih lagi gosok gigi. Nah, kalo dia ngapain berdiri di depan toilet?
Pencet flush, kek, biar bau pesingnya nggak menyebar di kamar mandi.
“Bisa tolong pencet flush?” kataku dengan mulut penuh sikat gigi.
Cazzo memencet flush dan mulai mematut dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi yang sangaaaat besar. Mirip cermin yang ada di toilet mall. Dia dengan salah tingkah mencoba membersihkan sesuatu (yang aku yakin sebetulnya nggak kotor) dari bahunya yang telanjang. Dia juga pura-pura merapikan celananya, dan kadang mengatur-atur rambutnya.
Oh, Tuhan. Dia kelihatan ingin sekali bicara tapi malu untuk memulainya.
“Oke, aku pilih kamu,” kataku akhirnya sambil membuang busa di mulutku dan mencucinya dengan air keran.
“Apa, apa? Sekali lagi?” tanyanya dengan wajah memerah. (Dan dia masih malu-malu menatap wajahku... kali ini mungkin malu karena senang.)
Aku memastikan mulutku bersih dari busa dulu baru kemudian menjawab. “Kalau disuruh milih, aku pilih kamu. Puas?”
“Alasannya apa?” Cazzo berusaha keras menyembunyikan kegembiraannya, tapi dia gagal. Karena ujung bibirnya berkedut-kedut.
“Karena kamu orangnya lucu...” jawabku asal. “Dan menawan...”
Padahal aku pilih dia supaya dia nggak cemberut padaku semalaman. Aku benci kalo Cazzo sudah cemberut kayak begitu. Jawaban asliku sih tetap: Bang Dicky.
“Dan ganteng?” tanya Cazzo sambil mengusap-usap dagu di depan cermin.
“Dan ganteng,” kataku.
“Seksi? Atraktif?”
“Dan seksi, dan atraktif, apalagi?”
Cazzo memutar otak. “Pintar? Baik hati?”
IMPOSSIBLE! “Dan pintar, dan baik hati... masih ada lagi?”
“Gayanya keren, senyumnya manis, orangnya cool, macho, gagah perkasa...”
Astaga, hebat sekali dia memuji dirinya sendiri!
“Ya, ya... aku mau tidur,” kataku sambil membereskan peralatan menyikat gigi dan keluar dari kamar mandi.
“Gue juga mau tidur,” ujarnya sambil membuntutiku.
“Lampunya matiin? Pake lampu kecil, ya?” usulku.
“Siap, bos!”
-XxX-
Satu jam kemudian, lampu kamar sudah padam, teve sudah mati, dan yang terdengar hanyalah dengungan AC. Sayup sayup sih dapat kudengar Trio Macan di kamar sebelah sedang menjerit-jerit senang, kelihatannya habis belanja banyak atau mungkin ketemu artis Hollywood di Malioboro.
Aku di sini, sedang berusaha keras untuk tidur. Sulit sekali rasanya kalau tidur dengan kondisi seperti ini. Cazzo berada sangat dekat denganku, tertidur pulas, dan dia masih telanjang dada! Bayangkan itu. Hanya mengenakan celana pendek saja, celana yang bisa kupelorotkan tanpa membangunkannya, dan aku bisa bermain sesukaku dengan alat kelaminnya. Tapi bukan berarti aku bakal melakukannya. Kalau Esel sih mungkin-mungkin aja. Bahkan saat Cazzo masih bangun pun, dia bakal melakukannya. Yang barusan hanya pikiran selintas aja. Pikiran kotor yang langsung kulupakan begitu aja.
Tapi kira-kira “itunya” Cazzo kayak gimana, ya?
Bukannya aku masih berpikiran kotor atau apa. Wajar kan seorang teman ingin tahu gimana alat kelamin temannya. Hanya untuk research, misal membanding-bandingkannya denganku atau melihat apakah daerah sekitar little-jack-nya sudah ditumbuhi rambut?
Oh, sialan. Dia bergerak!
Aku melirik ke arah Cazzo, dalam kegelapan, dan melihat selimut yang tadi menutupinya sudah ditendangnya kesana kemari. Bahkan guling yang tadi dipeluknya sudah ada di ujung ranjang. Dan guling itu... ckckck... Cazzo langsung menendangnya! Tepat saat aku memikirkannya, dia menendangnya seolah aku nggak boleh memikirkan guling itu.
Eh, eh, mau ngapain kakinya?
Tiba-tiba saja kulihat kaki Cazzo menendang-nendang ke arahku. Setiap dia menyentuh kakiku, dia berhenti. Kemudian dia mencari-cari lagi, dan berhenti lagi setiap menyentuhku lagi. Sampai akhirnya... dia menemukan gulingku.
Dan dia menendangnya!
Awalnya gulingku nggak jatuh, hanya bergeser sedikit saja. Lalu dengan usaha yang berlebihan, dia menendang guling itu sampai jatuh dari ranjang.
Ngapain sih?
Lalu setelah puas semua guling di atas ranjang lenyap, dia berguling ke arahku. Terlalu kentara. Terlalu mencurigakan. Nggak mungkin dia mengidap paralysis. Dia bergerak mendekatiku, menggeser-geser bahunya, dan entah sengaja entah ngelantur, tangannya tiba-tiba jatuh di atas tubuhku. Tangan itu lalu menarikku. Dan entah sejak kapan tangannya yang lain menyusup ke bawah tengkukku, sama-sama menarikku mendekatinya.
Sehingga kesimpulannya, sekarang dia sedang memelukku seolah kami ini suami istri.
“Cazzo, ngapain kamu?” bisikku.
“Hmmmhhhh??” dengungnya sambil masih memejamkan mata.
“Aku bawain guling kamu, ya?”
“Hmmmhhhh...!” Dia mendengung agak marah.
“Ini aku, orang, bukan guling. Dan aku cowok.” Dan baru saja aku mau bilang, “Gimana kalo anak-anak CIS lihat ini, atau ada kamera di kamar ini dan merekam yang kamu lakukan lalu disebarkan di youtube,” Cazzo keburu mendengung lagi.
“Hmmmmhhh...”
Jelas sekali dia nggak peduli saat memelukku.
“Bentar, aku bawain dulu guling yang jatuh.”
Tapi Cazzo malah memelukku lebih erat, seolah aku nggak boleh pergi kemana-mana. Bahkan, kakinya sekarang menindih kakiku, menahanku turun dari ranjang. Dan dia masih tertidur, for God’s sake! Atau pura-pura tidur?
“Cazzo?”
“Lo aja yang jadi guling gue,” bisiknya kemudian. Lalu mendengkur.
-XxX-
Bukan tipe-tipe remaja yang labil dan gampang cemburuan. Apalagi yang ini, kelihatannya dia sangat bergantung padaku. Sebagian besar pekerjaan rumahnya sekarang aku yang mengerjakan. Dan kalau sudah bimbang, dia pasti menghubungiku untuk minta pendapat. Seolah aku ini asistennya. Atau istrinya. Semacam itulah.
Nah, kan, dia tiba-tiba masuk.
Saat aku sedang asyik menyikat gigi gerahamku, Cazzo muncul di pintu kamar mandi dengan wajah cemberut. Dia pura-pura nyuekin aku, padahal aku bisa menangkap lirikan-lirikan matanya yang berharap “ayo ngomong duluan”. Cazzo berjalan melewatiku, membuka tutup toilet, dan mulai pipis.
“Ngapain?” dengusku—retoris.
“Pipis. Buta ya, nggak bisa lihat?”
“Kamu nggak sopan! Aku kan lagi gosok gigi.”
“Gue nggak pipis di wastafel, kok. Gue pipis di toilet! Kalo gue pipis di wastafel padahal lo lagi gosok gigi, baru nggak sopan.”
Aku memutar bola mata dan menoleh ke arah lain.
Pertama, aku sebel kalo Cazzo udah kayak begitu. Marah-marah nggak jelas dan bikin alasan-alasan nggak masuk akal. Memangnya dia nggak malu apa, pipis pas ada orang lagi gosok gigi?
Kedua, aku nggak mau melihat little jack-nya... atau aku semalaman bisa meriang. Face it, aku ini gay, penyuka cowok, dan mau dibikin alasan seekstrim apapun, kalau aku dihadapkan dengan alat kelamin cowok (apalagi dengan taraf kegantengan macam Cazzo), aku pasti K.O—pasti terangsang nggak ketulungan. Lihat nih, sekarang aja udah ada yang mengeras lagi di balik celanaku.
Cazzo menyelesaikan pipisnya dengan cepat tapi masih berdiri di depan toilet. Aku meliriknya sebentar... Huh, dia ternyata sedang melirikku juga! Dan untuk satu menit ke depan, kami masih berdiam diri di situ. Tak bergerak kemana pun. Diam tanpa suara.
Well, aku sih lagi gosok gigi. Nah, kalo dia ngapain berdiri di depan toilet?
Pencet flush, kek, biar bau pesingnya nggak menyebar di kamar mandi.
“Bisa tolong pencet flush?” kataku dengan mulut penuh sikat gigi.
Cazzo memencet flush dan mulai mematut dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi yang sangaaaat besar. Mirip cermin yang ada di toilet mall. Dia dengan salah tingkah mencoba membersihkan sesuatu (yang aku yakin sebetulnya nggak kotor) dari bahunya yang telanjang. Dia juga pura-pura merapikan celananya, dan kadang mengatur-atur rambutnya.
Oh, Tuhan. Dia kelihatan ingin sekali bicara tapi malu untuk memulainya.
“Oke, aku pilih kamu,” kataku akhirnya sambil membuang busa di mulutku dan mencucinya dengan air keran.
“Apa, apa? Sekali lagi?” tanyanya dengan wajah memerah. (Dan dia masih malu-malu menatap wajahku... kali ini mungkin malu karena senang.)
Aku memastikan mulutku bersih dari busa dulu baru kemudian menjawab. “Kalau disuruh milih, aku pilih kamu. Puas?”
“Alasannya apa?” Cazzo berusaha keras menyembunyikan kegembiraannya, tapi dia gagal. Karena ujung bibirnya berkedut-kedut.
“Karena kamu orangnya lucu...” jawabku asal. “Dan menawan...”
Padahal aku pilih dia supaya dia nggak cemberut padaku semalaman. Aku benci kalo Cazzo sudah cemberut kayak begitu. Jawaban asliku sih tetap: Bang Dicky.
“Dan ganteng?” tanya Cazzo sambil mengusap-usap dagu di depan cermin.
“Dan ganteng,” kataku.
“Seksi? Atraktif?”
“Dan seksi, dan atraktif, apalagi?”
Cazzo memutar otak. “Pintar? Baik hati?”
IMPOSSIBLE! “Dan pintar, dan baik hati... masih ada lagi?”
“Gayanya keren, senyumnya manis, orangnya cool, macho, gagah perkasa...”
Astaga, hebat sekali dia memuji dirinya sendiri!
“Ya, ya... aku mau tidur,” kataku sambil membereskan peralatan menyikat gigi dan keluar dari kamar mandi.
“Gue juga mau tidur,” ujarnya sambil membuntutiku.
“Lampunya matiin? Pake lampu kecil, ya?” usulku.
“Siap, bos!”
-XxX-
Satu jam kemudian, lampu kamar sudah padam, teve sudah mati, dan yang terdengar hanyalah dengungan AC. Sayup sayup sih dapat kudengar Trio Macan di kamar sebelah sedang menjerit-jerit senang, kelihatannya habis belanja banyak atau mungkin ketemu artis Hollywood di Malioboro.
Aku di sini, sedang berusaha keras untuk tidur. Sulit sekali rasanya kalau tidur dengan kondisi seperti ini. Cazzo berada sangat dekat denganku, tertidur pulas, dan dia masih telanjang dada! Bayangkan itu. Hanya mengenakan celana pendek saja, celana yang bisa kupelorotkan tanpa membangunkannya, dan aku bisa bermain sesukaku dengan alat kelaminnya. Tapi bukan berarti aku bakal melakukannya. Kalau Esel sih mungkin-mungkin aja. Bahkan saat Cazzo masih bangun pun, dia bakal melakukannya. Yang barusan hanya pikiran selintas aja. Pikiran kotor yang langsung kulupakan begitu aja.
Tapi kira-kira “itunya” Cazzo kayak gimana, ya?
Bukannya aku masih berpikiran kotor atau apa. Wajar kan seorang teman ingin tahu gimana alat kelamin temannya. Hanya untuk research, misal membanding-bandingkannya denganku atau melihat apakah daerah sekitar little-jack-nya sudah ditumbuhi rambut?
Oh, sialan. Dia bergerak!
Aku melirik ke arah Cazzo, dalam kegelapan, dan melihat selimut yang tadi menutupinya sudah ditendangnya kesana kemari. Bahkan guling yang tadi dipeluknya sudah ada di ujung ranjang. Dan guling itu... ckckck... Cazzo langsung menendangnya! Tepat saat aku memikirkannya, dia menendangnya seolah aku nggak boleh memikirkan guling itu.
Eh, eh, mau ngapain kakinya?
Tiba-tiba saja kulihat kaki Cazzo menendang-nendang ke arahku. Setiap dia menyentuh kakiku, dia berhenti. Kemudian dia mencari-cari lagi, dan berhenti lagi setiap menyentuhku lagi. Sampai akhirnya... dia menemukan gulingku.
Dan dia menendangnya!
Awalnya gulingku nggak jatuh, hanya bergeser sedikit saja. Lalu dengan usaha yang berlebihan, dia menendang guling itu sampai jatuh dari ranjang.
Ngapain sih?
Lalu setelah puas semua guling di atas ranjang lenyap, dia berguling ke arahku. Terlalu kentara. Terlalu mencurigakan. Nggak mungkin dia mengidap paralysis. Dia bergerak mendekatiku, menggeser-geser bahunya, dan entah sengaja entah ngelantur, tangannya tiba-tiba jatuh di atas tubuhku. Tangan itu lalu menarikku. Dan entah sejak kapan tangannya yang lain menyusup ke bawah tengkukku, sama-sama menarikku mendekatinya.
Sehingga kesimpulannya, sekarang dia sedang memelukku seolah kami ini suami istri.
“Cazzo, ngapain kamu?” bisikku.
“Hmmmhhhh??” dengungnya sambil masih memejamkan mata.
“Aku bawain guling kamu, ya?”
“Hmmmhhhh...!” Dia mendengung agak marah.
“Ini aku, orang, bukan guling. Dan aku cowok.” Dan baru saja aku mau bilang, “Gimana kalo anak-anak CIS lihat ini, atau ada kamera di kamar ini dan merekam yang kamu lakukan lalu disebarkan di youtube,” Cazzo keburu mendengung lagi.
“Hmmmmhhh...”
Jelas sekali dia nggak peduli saat memelukku.
“Bentar, aku bawain dulu guling yang jatuh.”
Tapi Cazzo malah memelukku lebih erat, seolah aku nggak boleh pergi kemana-mana. Bahkan, kakinya sekarang menindih kakiku, menahanku turun dari ranjang. Dan dia masih tertidur, for God’s sake! Atau pura-pura tidur?
“Cazzo?”
“Lo aja yang jadi guling gue,” bisiknya kemudian. Lalu mendengkur.
-XxX-
By: Mario
Aku membuka mataku tepat pukul sembilan pagi.
Astaga, aku kesiangan. Baru sekarang aku bangun sesiang ini. Biasanya aku sudah
terbangun jam lima atau enam, menghirup udara segar depan rumah dan memainkan game di komputer. Tapi saat aku
membuka mataku, tirai jendela kamar sudah terbuka dan cahaya matahari menyeruak
masuk.
Tapi wajar, semalam aku nggak bisa tidur. Nyaris terjaga semalaman. Mungkin baru lewat jam dua atau tiga dini hari, aku bisa terlelap. Itupun setelah Cazzo akhirnya secara nggak sadar melepaskan pelukannya.
And yes, cowok itu semalaman memelukku! Bikin aku nggak keruan aja...
Aku melewati malam kemarin dengan jantung berdetak kencang dan badan merinding. Apalagi saat kulit tubuh Cazzo yang telanjang menyentuh tanganku, dan saat hembusan napasnya menggelitiki leherku, atau saat kakinya mengais-ngais di atas pahaku... rasanya... mendebarkan.
Tubuh Cazzo terasa hangat. Dan wangi minyak telon. Saat dengan sengaja aku memperhatikan wajahnya yang polos dalam kegelapan, wajahnya yang tertidur pulas dan tak berdaya, aku jadi merasa sayang padanya. Bukan berarti aku suka secara seksual sama dia ya, tapi lebih ke... ingin terus dekat dengannya karena dia menggemaskan. Itu aja. Apa sih yang waktu itu Adam pernah bilang waktu aku cerita soal Cazzo empat hari yang lalu?
Oh, unyu.
Aku menikmati memandang wajah Cazzo, meski dalam kegelapan, mengamati lekukan hidungnya, alisnya dalam jarak dekat, dan bagaimana dia menggesek-gesek pipinya di mukaku... atau saat dia menggeliat-geliat mencari kehangatan. Nggak heran aku terjaga semalaman. Malah, aku sekarang kangen sama dia.
Tunggu. Mana dia?
Aku terbangun dan menemukan Cazzo nggak ada di sebelahku. Teve belum menyala sih, tapi tirai sudah terbuka lebar, matahari sudah menyinari kamar ini sampai-sampai aku merasa silau. Di mana Cazzo?
“Udah bangun, Bro!” Tiba-tiba Cazzo muncul dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang saja. “Pasti pules banget bobonya semalem sampe-sampe bangun jam segini.”
On the contrary, idiot! Aku justru nggak bisa tidur makanya bangun kesiangan!
Dan kamu lagi, kenapa pas aku bangun masih telanjang juga? Cuma dibalut handuk doang?
Cazzo menghampiriku, duduk di pinggir ranjang dan nyengir sambil menatapku. Beberapa titik air masih menempel di badannya diiringi wangi sabun yang begitu segar. Jujur jantungku jadi berdetak kencang lagi, tapi kali ini aku bisa lebih menguasai diri.
“Sarapan?” tanyanya. Cazzo membungkuk, meraih sesuatu di atas nakas, tapi aku malah fokus ke rambut-rambut ketiaknya yang halus dan basah saat kedua tangannya terulur ke depan. Sialan, little jack mengeras lagi. Biarin, lah. Aku bisa beralasan kalo ini adalah Morning Erection.
Ketika Cazzo duduk tegak lagi, ternyata dia sudah membawa nampan! Nampan yang tidak kulihat dari tadi karena terlalu sibuk menatap Cazzo. Dan di atas nampan itu ada nasi goreng hangat, lengkap dengan telur mata sapi, jus jeruk, beberapa potongan buah, juga kerupuk.
Aku nggak bisa menahan diriku untuk nggak senyum malu-malu. Baru pertama kali ada yang membawakan sarapan untukku seperti ini. Seperti di film-film saja.
“Gue tadi ke bawah ngambilin ini buat lo,” ujarnya. “Si Sarah ama si Meisa tiba-tiba ngegedor pintu, ngajak sarapan bareng. Ya udah gue sarapan ama mereka sambil bawain ini buat lo.”
“Terus mereka ke mana?”
“Siap-siap kali, buat studi. Kan jam sepuluh ditungguin di lobby.”
Cazzo menggaruk-garuk belakang kepalanya sambil salah tingkah menatapku. Aku sendiri dengan grogi meletakkan nampan itu di atas pahaku, masih terduduk di atas kasur. Apa yang harus kulakukan? Ini terlalu... romantis.
“Makan dong, Bro! Udah capek-capek dibawain...”
“Iya-iya...” Aku tertawa kecil sambil meneguk jus jeruknya.
“Mau disuapin?” tawarnya.
“Nggak usah! Aku bisa—“
Tapi Cazzo keburu menyendok nasi goreng dan mengarahkannya padaku. Darahku malah ser-seran melihat Cazzo di hadapanku, setengah bugil, badannya masih basah, menyuapiku nasi goreng diiringi ekspresi wajahnya yang polos itu... untuk beberapa detik, aku nggak sanggup membuka mulutku... aku terpana menatap Cazzo di hadapanku... betapa perhatiannya dia...
“Bro? Buka dong... mau dimasukin lewat idung aja?”
-XxX-
Memulai hari dengan sesuatu yang menyenangkan, imbasnya adalah hal yang menyenangkan sepanjang hari. Atau mungkin aku yang membuatnya begitu, tapi sudahlah. Yang penting aku bersenang-senang.
Kami bersepuluh (yes, kelompok tiga juga entah dari mana ceritanya tiba-tiba punya objek studi yang sama dengan kelompok kami) mendatangi beberapa lokasi sepanjang hari Sabtu itu. Pertama-tama kami mengunjungi Monjali, Monumen Jogja Kembali. Kami mempelajari sejarah perjuangan di wilayah ini dan sekalian foto-foto untuk bukti dokumentasi tugas. Kecuali delapan anggota yang lain ya, mereka foto-foto untuk bukti dokumentasi facebook bahwa mereka sedang berfoto bersama Cazzo.
Aku membiarkan Cazzo dikelilingi penggemar-penggemarnya sementara aku asyik membaca setiap keterangan benda-benda sejarah, atau mengamati boneka-boneka diorama, atau bahkan terkagum-kagum dengan megahnya bagian tengah dari Monjali. Cazzo juga ternyata sibuk dengan fans-nya. Melihat hubungan kami yang sudah agak baikan, maksudku dia pagi tadi so sweet banget nyuapin aku sarapan, mood Cazzo membaik dan dia mau berbaur dengan fans-nya tanpa mesti membuntutiku ke mana-mana.
Dia kembali menjadi cowok narsis yang nyadar dirinya ganteng dan membiarkan cewek-cewek itu mengerubuninya seolah dia artis Hollywood.
Sudahlah, toh memang dari awal aku sudah tahu kejadiannya bakal begini.
Selain Monjali, kami juga mengunjungi candi prambanan dan gedung SMA 11 Yogyakarta (entah apa yang bisa kami cari di sini, tapi menurut brosur, gedung ini adalah salah satu cagar budaya). Tak lupa kami berkunjung ke Kotagede, melihat hasil karya kerajinan perak di sana. Atau tepatnya, aku yang melihat dan melakukan studi, sementara yang lain belanja kalung dan oleh-oleh perak lainnya. Sarah malah membeli miniatur kapal laut yang dihargai jutaan rupiah.
Menjelang sore, kami mengunjungi komplek perumahan Teletubbies dan kampung kota Kaliurang. Hanya foto-foto saja, mengagumi bentuk-bentuk rumah iglo berwarna putih itu dan jalan-jalan di perkampungan yang rumahnya saling bertumpuk satu sama lain yang berada tepat di samping sebuah sungai.
Seumur hidup aku nggak mau tinggal di sini. Gimana kalo ada banjir besar?
Tapi wajar, semalam aku nggak bisa tidur. Nyaris terjaga semalaman. Mungkin baru lewat jam dua atau tiga dini hari, aku bisa terlelap. Itupun setelah Cazzo akhirnya secara nggak sadar melepaskan pelukannya.
And yes, cowok itu semalaman memelukku! Bikin aku nggak keruan aja...
Aku melewati malam kemarin dengan jantung berdetak kencang dan badan merinding. Apalagi saat kulit tubuh Cazzo yang telanjang menyentuh tanganku, dan saat hembusan napasnya menggelitiki leherku, atau saat kakinya mengais-ngais di atas pahaku... rasanya... mendebarkan.
Tubuh Cazzo terasa hangat. Dan wangi minyak telon. Saat dengan sengaja aku memperhatikan wajahnya yang polos dalam kegelapan, wajahnya yang tertidur pulas dan tak berdaya, aku jadi merasa sayang padanya. Bukan berarti aku suka secara seksual sama dia ya, tapi lebih ke... ingin terus dekat dengannya karena dia menggemaskan. Itu aja. Apa sih yang waktu itu Adam pernah bilang waktu aku cerita soal Cazzo empat hari yang lalu?
Oh, unyu.
Aku menikmati memandang wajah Cazzo, meski dalam kegelapan, mengamati lekukan hidungnya, alisnya dalam jarak dekat, dan bagaimana dia menggesek-gesek pipinya di mukaku... atau saat dia menggeliat-geliat mencari kehangatan. Nggak heran aku terjaga semalaman. Malah, aku sekarang kangen sama dia.
Tunggu. Mana dia?
Aku terbangun dan menemukan Cazzo nggak ada di sebelahku. Teve belum menyala sih, tapi tirai sudah terbuka lebar, matahari sudah menyinari kamar ini sampai-sampai aku merasa silau. Di mana Cazzo?
“Udah bangun, Bro!” Tiba-tiba Cazzo muncul dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang saja. “Pasti pules banget bobonya semalem sampe-sampe bangun jam segini.”
On the contrary, idiot! Aku justru nggak bisa tidur makanya bangun kesiangan!
Dan kamu lagi, kenapa pas aku bangun masih telanjang juga? Cuma dibalut handuk doang?
Cazzo menghampiriku, duduk di pinggir ranjang dan nyengir sambil menatapku. Beberapa titik air masih menempel di badannya diiringi wangi sabun yang begitu segar. Jujur jantungku jadi berdetak kencang lagi, tapi kali ini aku bisa lebih menguasai diri.
“Sarapan?” tanyanya. Cazzo membungkuk, meraih sesuatu di atas nakas, tapi aku malah fokus ke rambut-rambut ketiaknya yang halus dan basah saat kedua tangannya terulur ke depan. Sialan, little jack mengeras lagi. Biarin, lah. Aku bisa beralasan kalo ini adalah Morning Erection.
Ketika Cazzo duduk tegak lagi, ternyata dia sudah membawa nampan! Nampan yang tidak kulihat dari tadi karena terlalu sibuk menatap Cazzo. Dan di atas nampan itu ada nasi goreng hangat, lengkap dengan telur mata sapi, jus jeruk, beberapa potongan buah, juga kerupuk.
Aku nggak bisa menahan diriku untuk nggak senyum malu-malu. Baru pertama kali ada yang membawakan sarapan untukku seperti ini. Seperti di film-film saja.
“Gue tadi ke bawah ngambilin ini buat lo,” ujarnya. “Si Sarah ama si Meisa tiba-tiba ngegedor pintu, ngajak sarapan bareng. Ya udah gue sarapan ama mereka sambil bawain ini buat lo.”
“Terus mereka ke mana?”
“Siap-siap kali, buat studi. Kan jam sepuluh ditungguin di lobby.”
Cazzo menggaruk-garuk belakang kepalanya sambil salah tingkah menatapku. Aku sendiri dengan grogi meletakkan nampan itu di atas pahaku, masih terduduk di atas kasur. Apa yang harus kulakukan? Ini terlalu... romantis.
“Makan dong, Bro! Udah capek-capek dibawain...”
“Iya-iya...” Aku tertawa kecil sambil meneguk jus jeruknya.
“Mau disuapin?” tawarnya.
“Nggak usah! Aku bisa—“
Tapi Cazzo keburu menyendok nasi goreng dan mengarahkannya padaku. Darahku malah ser-seran melihat Cazzo di hadapanku, setengah bugil, badannya masih basah, menyuapiku nasi goreng diiringi ekspresi wajahnya yang polos itu... untuk beberapa detik, aku nggak sanggup membuka mulutku... aku terpana menatap Cazzo di hadapanku... betapa perhatiannya dia...
“Bro? Buka dong... mau dimasukin lewat idung aja?”
-XxX-
Memulai hari dengan sesuatu yang menyenangkan, imbasnya adalah hal yang menyenangkan sepanjang hari. Atau mungkin aku yang membuatnya begitu, tapi sudahlah. Yang penting aku bersenang-senang.
Kami bersepuluh (yes, kelompok tiga juga entah dari mana ceritanya tiba-tiba punya objek studi yang sama dengan kelompok kami) mendatangi beberapa lokasi sepanjang hari Sabtu itu. Pertama-tama kami mengunjungi Monjali, Monumen Jogja Kembali. Kami mempelajari sejarah perjuangan di wilayah ini dan sekalian foto-foto untuk bukti dokumentasi tugas. Kecuali delapan anggota yang lain ya, mereka foto-foto untuk bukti dokumentasi facebook bahwa mereka sedang berfoto bersama Cazzo.
Aku membiarkan Cazzo dikelilingi penggemar-penggemarnya sementara aku asyik membaca setiap keterangan benda-benda sejarah, atau mengamati boneka-boneka diorama, atau bahkan terkagum-kagum dengan megahnya bagian tengah dari Monjali. Cazzo juga ternyata sibuk dengan fans-nya. Melihat hubungan kami yang sudah agak baikan, maksudku dia pagi tadi so sweet banget nyuapin aku sarapan, mood Cazzo membaik dan dia mau berbaur dengan fans-nya tanpa mesti membuntutiku ke mana-mana.
Dia kembali menjadi cowok narsis yang nyadar dirinya ganteng dan membiarkan cewek-cewek itu mengerubuninya seolah dia artis Hollywood.
Sudahlah, toh memang dari awal aku sudah tahu kejadiannya bakal begini.
Selain Monjali, kami juga mengunjungi candi prambanan dan gedung SMA 11 Yogyakarta (entah apa yang bisa kami cari di sini, tapi menurut brosur, gedung ini adalah salah satu cagar budaya). Tak lupa kami berkunjung ke Kotagede, melihat hasil karya kerajinan perak di sana. Atau tepatnya, aku yang melihat dan melakukan studi, sementara yang lain belanja kalung dan oleh-oleh perak lainnya. Sarah malah membeli miniatur kapal laut yang dihargai jutaan rupiah.
Menjelang sore, kami mengunjungi komplek perumahan Teletubbies dan kampung kota Kaliurang. Hanya foto-foto saja, mengagumi bentuk-bentuk rumah iglo berwarna putih itu dan jalan-jalan di perkampungan yang rumahnya saling bertumpuk satu sama lain yang berada tepat di samping sebuah sungai.
Seumur hidup aku nggak mau tinggal di sini. Gimana kalo ada banjir besar?
Acara studi itu diakhiri dengan mengunjungi
Taman Sari, tempat mandi Puteri Keraton. Inilah tempat yang awalnya mau
kukunjungi bersama Adam hari ini. Tapi mengingat semua anggota kelompok yang
lain nggak peduli ke mana kami bakal melakukan studi, ya sudah aku bawa saja
mereka ke sini, sebab aku penasaran dengan tempat ini. Aku hanya tinggal bilang
ke sopir mobil sewaan kami tempat yang mau dikunjungi, dan dia sudah hafal ke
mana harus pergi.
Sekarang sudah pukul empat sore. Kami sudah puas mengelilingi tempat mandi puteri keraton dan sedang beristirahat sambil jajan rujak. Baru pada saat itulah akhirnya Cazzo mendekatiku secara khusus. I mean, dia seharian bersama penggemarnya. Akhirnya sekarang dia menghampiriku dan menyeretku ke tempat yang jauh dari teman yang lain. Dan entah kenapa kebetulan nggak ada Esel—dia lagi ke WC mungkin.
“Kita nggak ke mana-mana lagi?” tanyanya basa basi. Tangannya dimasukkan ke dalam saku dan matanya melirik ke arahku sekilas-sekilas. Jelas sekali dia punya maksud terselubung.
“Masih ada Keraton Yogyakarta sama Rumah Affandi, museum pelukis terkenal itu,” jawabku.
Cazzo kelihatan kecewa. Dia bahkan berdecak sekali dan melemparkan pandangannya ke arah lain.
“Tapi itu besok, sebelum kita ke airport, kita mampir dulu di sana.”
“Oh?” Wajahnya berubah riang. “Bukan hari ini?”
“Ya nggak lah.. ini udah sore. Kita kan besok pulang jam dua. Masih ada waktu buat ke sana dulu sebelum pergi ke airport. Emang kenapa?”
“Oh, gue mau ngajak lo jalan-jalan sekarang!” sahutnya riang. Belum juga aku bilang iya, Cazzo sudah menarik tanganku keluar dari pintu gerbang Tamansari.
“Bentar, aku kasih tahu dulu yang—“
Sial, aku sudah keburu keluar dari Tamansari.
-XxX-
Setengah jam kemudian, kami berdua sudah ada di sebuah Avanza sewaan dan dalam perjalanan menuju pantai Perang Meningitis... Sintetis... semacam itulah, barusan Cazzo menyebutkannya terlalu cepat jadi aku nggak mendengarnya dengan jelas.
Matahari sore yang membuat langit berwarna oranye mengubah mood-ku yang asalnya kesal, karena Cazzo tiba-tiba menculikku di luar rencana, menjadi lebih baik lagi. Bagaimana nggak kesal, aku dibawanya ke sebuah tempat penyewaan mobil menggunakan taksi, lalu Cazzo menanyakan mobil pesanannya, dan berikutnya yang kutahu aku sudah dalam mobil menuju pantai tis tis tersebut.
“Aku udah sms yang lain, ngebilangin kalo kita lagi jalan-jalan di Malioboro dan suruh sopir nganterin mereka ke sana aja.” Aku mendengus sambil menjatuhkan ponsel ke atas pahaku.
“Jangan cemberut dong, Bro! Smile!” Cazzo nyengir sambil tersenyum lebar ke arahku. “Gue udah biasa nyewa mobil di situ bareng keluarga gue kalo liburan ke Jogja. Udah langganan lah...”
“Ini bukan soal langganan mobil, for God’s sake! Tapi soal bikin rencana ngedadak macam begini. Rangkaian acara hari ini kan belum selesai, belum kita tutup bareng-bareng. Gimana kalo mereka panik nyari-nyari kita?!”
“Ah, santai aja,” decak Cazzo. “Gue ke WC aja mereka udah panik. Kabur dari mereka nggak akan ada bedanya.”
“Lagian tujuan kamu tuh apa sih nyulik aku ke pantai segala?”
“Gue pengen beduaan aja ama lo. Sumpek ama mereka, berisik mulu.”
“Ah, bullshit,” gumamku. “Seharian ini kamu asyik banget dikerubunin mereka.”
“Jadi lo cemburu?” tanyanya girang.
“Aku nggak cemburu!”
“Lo cemburu, Bro! Gue bisa lihat nada-nada lo itu nada cemburu!” Cazzo tergelak senang.
Astaga, sejak kapan aku cemburu?! Seharian ini aku justru bahagia karena nggak didempet Cazzo melulu. Seharian ini aku gembira karena bisa melakukan studi tanpa ada yang Bra Bro Bra Bro atau menarik-narik tanganku untuk kabur dari penggemarnya. Di bagian mananya aku terdengar cemburu?
“Suka-suka kamu, deh...” sahutku.
“Lo cemburu!” simpulnya.
Aku nggak mendebat lagi kata-kata Cazzo, sebab kalau aku balas, bisa panjang urusannya. Kalau apa yang terjadi ternyata nggak sesuai harapan dia, dia bakal cemberut dan maksa-maksa. Bete kan kalo udah gitu? Jadi mending iyain aja. Lagipula—Oh, Parang Tritis! Tadi aku baca nama pantainya di petunjuk jalan. Lagipula, Cazzo tuh orangnya keras kepala dan gengsinya tinggi. Kasihan dia kalo dibikin bete terus sama aku gara-gara kami beda pendapat.
Setengah jam kemudian, kami sudah tiba di pantai Parang Tritis. Banyak sekali anak muda di sini, mungkin karena faktor malam minggu. Tapi aku tetap senang karena langit kelihatannya sangat bersahabat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Nyaris setengah enam. Cazzo memarkirkan Avanza sewaannya di tempat parkir penuh pasir padat yang juga dipenuhi mobil lain dan motor-motor. Kami berdua lalu berjalan sambil menjinjing sepatu kami, melangkah di atas pasir lembut yang masuk ke sela-sela kaki.
Ya Tuhan, kapan ya terakhir kali aku pergi ke pantai? Rasanya mendebarkan.
Ombak di pantai ini terhitung besar. Deburannya memecah bibir pantai dengan suara yang menggelegar. Aku berjalan sambil menghirup angin pantai yang kencang, sambil menatap langit luas yang mulai berwarna oranye gelap dan menendang-nendang pasir yang kulewati. Cazzo berjalan di sampingku, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menikmati pantai berangin kencang ini.
“Makasih ya Bro, udah mijitin gue semalem,” ujar Cazzo kemudian. Kami berdua menyusuri pantai melewati segerombolan anak muda yang sedang hura-hura. Menuju ujung pantai entah di mana itu, menginjak-injak pasir kecoklatan yang membuat telapak kakiku geli.
“Aku nggak pinter mijitin. Nggak usah say thanks,” balasku.
“Gue nggak peduli soal pijetannya,” kata Cazzo. “Yang penting lo yang mijitin udah oke.”
“Kenapa gara-gara aku yang mijitin jadinya oke?”
“Karena gue pengennya dipijitin ama lo.”
Apa sih dia ini? Menggodaku, ya?
Sekarang mukaku jadi merah karena malu. Dan nggak biasanya aku seperti ini.
“Makasih juga...” lanjutnya, “karena udah milih gue.” Cazzo memalingkan mukanya ke arah lain, malu saat aku menoleh ke arahnya. Kulihat semburat merah muncul di pipinya, dan dia nyengir sambil menekan gigi-giginya. Dia salah tingkah.
Dan dia begitu imut saat salah tingkah barusan.
“Oh,” aku bingung harus menjawab apa, “yaa... sama-sama.”
“Gue emang bukan cowok paling perfect,” tambahnya lagi, masih malu menatap wajahku. “Gue perfect sih, tapi kadang ada kekurangannya... dikit lah kekurangannya. Tapi gue seneng kalo lo milih gue meskipun gue, yaahh... ada masalah ini itu, lah...”
“Masalah apa...”
“Yaa... lo tau, lah... kekurangan-kekurangan gue”—kemudian tiba-tiba membekap mulutku—“tapi nggak perlu disebutin. Pokoknya ‘itu’ aja!”
“Iya-iya,” sahutku sambil melepaskan tangan bertulang besar itu dari mulutku.
Kami berdua terdiam, menikmati lagi suasana pantai yang alami dan menyaksikan detik-detik saat matahari mulai menghilang ditelan bumi. Kebetulan sekali, kami berjalan ke arah matahari tersebut akan tenggelam. Semuanya benar-benar sempurna. Awan-awan menggantung yang kini berubah merah muda. Pendar-pendar keemasan dari sinar matahari. Angin dingin membalut kulit kami... aku nggak akan mau menukar momen ini dengan apapun. Aku masih ingin ada di sini, dengan kondisi seperti ini, untuk bermenit-menit ke depan... atau berjam-jam.
Sekarang sudah pukul empat sore. Kami sudah puas mengelilingi tempat mandi puteri keraton dan sedang beristirahat sambil jajan rujak. Baru pada saat itulah akhirnya Cazzo mendekatiku secara khusus. I mean, dia seharian bersama penggemarnya. Akhirnya sekarang dia menghampiriku dan menyeretku ke tempat yang jauh dari teman yang lain. Dan entah kenapa kebetulan nggak ada Esel—dia lagi ke WC mungkin.
“Kita nggak ke mana-mana lagi?” tanyanya basa basi. Tangannya dimasukkan ke dalam saku dan matanya melirik ke arahku sekilas-sekilas. Jelas sekali dia punya maksud terselubung.
“Masih ada Keraton Yogyakarta sama Rumah Affandi, museum pelukis terkenal itu,” jawabku.
Cazzo kelihatan kecewa. Dia bahkan berdecak sekali dan melemparkan pandangannya ke arah lain.
“Tapi itu besok, sebelum kita ke airport, kita mampir dulu di sana.”
“Oh?” Wajahnya berubah riang. “Bukan hari ini?”
“Ya nggak lah.. ini udah sore. Kita kan besok pulang jam dua. Masih ada waktu buat ke sana dulu sebelum pergi ke airport. Emang kenapa?”
“Oh, gue mau ngajak lo jalan-jalan sekarang!” sahutnya riang. Belum juga aku bilang iya, Cazzo sudah menarik tanganku keluar dari pintu gerbang Tamansari.
“Bentar, aku kasih tahu dulu yang—“
Sial, aku sudah keburu keluar dari Tamansari.
-XxX-
Setengah jam kemudian, kami berdua sudah ada di sebuah Avanza sewaan dan dalam perjalanan menuju pantai Perang Meningitis... Sintetis... semacam itulah, barusan Cazzo menyebutkannya terlalu cepat jadi aku nggak mendengarnya dengan jelas.
Matahari sore yang membuat langit berwarna oranye mengubah mood-ku yang asalnya kesal, karena Cazzo tiba-tiba menculikku di luar rencana, menjadi lebih baik lagi. Bagaimana nggak kesal, aku dibawanya ke sebuah tempat penyewaan mobil menggunakan taksi, lalu Cazzo menanyakan mobil pesanannya, dan berikutnya yang kutahu aku sudah dalam mobil menuju pantai tis tis tersebut.
“Aku udah sms yang lain, ngebilangin kalo kita lagi jalan-jalan di Malioboro dan suruh sopir nganterin mereka ke sana aja.” Aku mendengus sambil menjatuhkan ponsel ke atas pahaku.
“Jangan cemberut dong, Bro! Smile!” Cazzo nyengir sambil tersenyum lebar ke arahku. “Gue udah biasa nyewa mobil di situ bareng keluarga gue kalo liburan ke Jogja. Udah langganan lah...”
“Ini bukan soal langganan mobil, for God’s sake! Tapi soal bikin rencana ngedadak macam begini. Rangkaian acara hari ini kan belum selesai, belum kita tutup bareng-bareng. Gimana kalo mereka panik nyari-nyari kita?!”
“Ah, santai aja,” decak Cazzo. “Gue ke WC aja mereka udah panik. Kabur dari mereka nggak akan ada bedanya.”
“Lagian tujuan kamu tuh apa sih nyulik aku ke pantai segala?”
“Gue pengen beduaan aja ama lo. Sumpek ama mereka, berisik mulu.”
“Ah, bullshit,” gumamku. “Seharian ini kamu asyik banget dikerubunin mereka.”
“Jadi lo cemburu?” tanyanya girang.
“Aku nggak cemburu!”
“Lo cemburu, Bro! Gue bisa lihat nada-nada lo itu nada cemburu!” Cazzo tergelak senang.
Astaga, sejak kapan aku cemburu?! Seharian ini aku justru bahagia karena nggak didempet Cazzo melulu. Seharian ini aku gembira karena bisa melakukan studi tanpa ada yang Bra Bro Bra Bro atau menarik-narik tanganku untuk kabur dari penggemarnya. Di bagian mananya aku terdengar cemburu?
“Suka-suka kamu, deh...” sahutku.
“Lo cemburu!” simpulnya.
Aku nggak mendebat lagi kata-kata Cazzo, sebab kalau aku balas, bisa panjang urusannya. Kalau apa yang terjadi ternyata nggak sesuai harapan dia, dia bakal cemberut dan maksa-maksa. Bete kan kalo udah gitu? Jadi mending iyain aja. Lagipula—Oh, Parang Tritis! Tadi aku baca nama pantainya di petunjuk jalan. Lagipula, Cazzo tuh orangnya keras kepala dan gengsinya tinggi. Kasihan dia kalo dibikin bete terus sama aku gara-gara kami beda pendapat.
Setengah jam kemudian, kami sudah tiba di pantai Parang Tritis. Banyak sekali anak muda di sini, mungkin karena faktor malam minggu. Tapi aku tetap senang karena langit kelihatannya sangat bersahabat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Nyaris setengah enam. Cazzo memarkirkan Avanza sewaannya di tempat parkir penuh pasir padat yang juga dipenuhi mobil lain dan motor-motor. Kami berdua lalu berjalan sambil menjinjing sepatu kami, melangkah di atas pasir lembut yang masuk ke sela-sela kaki.
Ya Tuhan, kapan ya terakhir kali aku pergi ke pantai? Rasanya mendebarkan.
Ombak di pantai ini terhitung besar. Deburannya memecah bibir pantai dengan suara yang menggelegar. Aku berjalan sambil menghirup angin pantai yang kencang, sambil menatap langit luas yang mulai berwarna oranye gelap dan menendang-nendang pasir yang kulewati. Cazzo berjalan di sampingku, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menikmati pantai berangin kencang ini.
“Makasih ya Bro, udah mijitin gue semalem,” ujar Cazzo kemudian. Kami berdua menyusuri pantai melewati segerombolan anak muda yang sedang hura-hura. Menuju ujung pantai entah di mana itu, menginjak-injak pasir kecoklatan yang membuat telapak kakiku geli.
“Aku nggak pinter mijitin. Nggak usah say thanks,” balasku.
“Gue nggak peduli soal pijetannya,” kata Cazzo. “Yang penting lo yang mijitin udah oke.”
“Kenapa gara-gara aku yang mijitin jadinya oke?”
“Karena gue pengennya dipijitin ama lo.”
Apa sih dia ini? Menggodaku, ya?
Sekarang mukaku jadi merah karena malu. Dan nggak biasanya aku seperti ini.
“Makasih juga...” lanjutnya, “karena udah milih gue.” Cazzo memalingkan mukanya ke arah lain, malu saat aku menoleh ke arahnya. Kulihat semburat merah muncul di pipinya, dan dia nyengir sambil menekan gigi-giginya. Dia salah tingkah.
Dan dia begitu imut saat salah tingkah barusan.
“Oh,” aku bingung harus menjawab apa, “yaa... sama-sama.”
“Gue emang bukan cowok paling perfect,” tambahnya lagi, masih malu menatap wajahku. “Gue perfect sih, tapi kadang ada kekurangannya... dikit lah kekurangannya. Tapi gue seneng kalo lo milih gue meskipun gue, yaahh... ada masalah ini itu, lah...”
“Masalah apa...”
“Yaa... lo tau, lah... kekurangan-kekurangan gue”—kemudian tiba-tiba membekap mulutku—“tapi nggak perlu disebutin. Pokoknya ‘itu’ aja!”
“Iya-iya,” sahutku sambil melepaskan tangan bertulang besar itu dari mulutku.
Kami berdua terdiam, menikmati lagi suasana pantai yang alami dan menyaksikan detik-detik saat matahari mulai menghilang ditelan bumi. Kebetulan sekali, kami berjalan ke arah matahari tersebut akan tenggelam. Semuanya benar-benar sempurna. Awan-awan menggantung yang kini berubah merah muda. Pendar-pendar keemasan dari sinar matahari. Angin dingin membalut kulit kami... aku nggak akan mau menukar momen ini dengan apapun. Aku masih ingin ada di sini, dengan kondisi seperti ini, untuk bermenit-menit ke depan... atau berjam-jam.
Saat aku menyadari, ternyata kami sudah berada
di wilayah dimana jarang sekali orang sedang nongkrong. Hanya ada beberapa
pasangan muda yang sedang bermadu kasih, itupun mereka sedang asyik menikmati
matahari terbenam, sibuk dengan dunia mereka sendiri. Aku tersenyum melihatnya.
Apa kami juga seperti sepasang kekasih? Apa kami kelihatan mesra seperti cowok
cewek yang duduk di atas motor itu?
“Gue seneng ama lo,” kata Cazzo kemudian. “Thank you ya udah mau jadi temen gue selama ini.”
Aku tergelak. “Sama-sama. Thank you juga karena mau jadi temen aku. I mean, aku kan newbie. Jarang-jarang anak baru bisa langsung dapet temen yang nempeeel terus kayak kamu.”
“Gue sih pengennya ada di samping lo terus, Bro! Sebab gue nyaman banget kalo udah ama lo...”
Tiba-tiba tangan Cazzo meraih tanganku. Kali ini dengan lembut. Dia menarik pergelangan tanganku, menyusupkan jemarinya di antara jemariku. Menggenggamnya... dan memberikan kehangatan luar biasa di tubuhku. Darahku mengalir nggak keruan lagi. Dan jantungku berdetak kencang.
Saat aku menoleh ke arahnya, melihat apa maksudnya menggenggam tanganku seperti ini, kulihat dia sedang tersenyum menatap matahari terbenam. Siluet wajahnya diterpa cahaya keemasan. Wajahnya terlihat berkilau dan menawan. Kalau aku tidak menahan diri, mungkin aku sudah menciumnya sekarang juga.
Kami berjalan dalam diam, menjejak pasir-pasir dalam keheningan. Sesekali Cazzo meremas tanganku dengan gemas, dan setiap kulit lengannya bersentuhan dengan kulit lenganku, aku merasakan debaran-debaran yang menjalar di sekujur tubuhku, membuatku merinding sekaligus senang.
Kami tiba di bibir pantai, berhenti di bagian paling ujung tempat ini. Masih ada beberapa orang di sekitar kami, tapi kami tak peduli. Aku dan Cazzo berdiri sambil membiarkan ombak-ombak yang bergulung kecil menerpa kaki-kaki kami, memberikan sensasi seolah sedang dihisap bumi.
Cazzo melepaskan tangannya, meregangkannya ke atas, dan menguap. Tapi kemudian dia meraih bahuku! Merangkul bahuku dan menarikku mendekatinya. Sekarang tubuhku menempel dengan tubuhnya, dapat kurasakan hangat tubuhnya dan wangi parfumnya yang mahal. Aku juga merasakan tangan Cazzo di bahuku mulai mengelus-elus sayang. Dan tanpa sadar... aku meletakkan kepalaku di bahu Cazzo... dan Cazzo meletakkan kepalanya di kepalaku.
Puncaknya... saat matahari benar-benar tenggelam dan yang tersisa adalah semburat oranye yang megah, Cazzo mengecup keningku. Membisikkan sesuatu yang membuatku bahagia.
“Gue sayang lo...”
-XxX-
Pukul delapan malam, kami baru pulang. Kami menghabiskan sepanjang petang di pantai, menyantap ikan bakar dan mengobrol bersama sekumpulan backpacker yang juga sedang liburan. Cazzo membelikanku gelang persahabatan yang terbuat dari kayu, dengan motif batik yang dilukis cantik. Kami bahkan bermain-main dulu di bibir pantai, berjalan sejauh air menutupi lutut kami dan membasahi celana kami dengan air asin.
Rasanya indah sekali. Rasanya ingin seperti ini terus.
“Kenapa kita nggak seminggu aja di sini?” tanya Cazzo sambil menyusul sebuah truk di depan kami.
“Karena Senin-nya kita sekolah, jadi kita mesti ada di Bandung lagi besok.”
“Gue masih pengen jalan-jalan ama lo.”
Aku juga, batinku.
Langit sudah sangat gelap. Cazzo menyetir mobil ini dengan santai, kembali ke kota Yogyakarta, melawan arus anak-anak muda yang kebanyakan justru sedang menuju pantai. Aku senang sekali sore ini. Kenangan yang indah. Tanpa Cazzo yang cemberut... tanpa tugas studi... tanpa masalah-masalah yang terjadi di Bandung... more important sih tanpa Esel... rasanya aku bisa menikmati kebebasan walau hanya sepetang saja.
Dan mungkin aku harus mulai menerima Cazzo, maksudku rasa sayangnya. Dia sudah begitu manis mau sayang padaku dan kelihatannya rela melakukan apapun asal aku ada di sampingnya. Berapa banyak cowok yang mampu melakukan itu, coba? I mean, untuk ukuran cowok yang pernah gabung di Mahobia, ini jelas-jelas ajaib.
“Lo denger ada yang ketawa, Bro?” tanya Cazzo kemudian, saat kami melewati perkampungan sepi di mana mobil pun bahkan jarang berpapasan dengan kami.
“Nggak aku nggak denger,” jawabku.
“Suara jendela kali, ya? Decit-decit gitu,” ujar Cazzo.
Tapi sedetik kemudian, aku mendengarnya. “Hihihihihi...” suaranya jauh sekali. Seperti ada orang yang tertawa keras dari dalam hutan sana dan yang kudengar adalah tawa sayup-sayupnya.
“Kamu denger ada yang ketawa, Cazz?” tanyaku.
Cazzo mengangguk-angguk. “Tadi sih iya, tapi kurang jelas. Suara jendela kayaknya.” Cazzo menengok ke kaca spion di sampingnya, tapi tak menemukan apa-apa.
“Kayak ada orang cekikikan, tapi suaranya jauh.”
“Iya, sama.”
Kami lalu terdiam, bergelut dengan pikiran masing-masing. Awalnya aku nggak mau memikirkan tawa itu, mungkin hanya suara angin atau memang decit karet jendela. Tapi lama-lama aku jadi terobsesi. Sebab tawa itu terdengar familier. Tawanya seperti... ngng... seperti...
Oh! Suara Bello kalo lagi jadi kuntilanak!
“Hihihihihi...”
Nah, terdengar lagi. Masih sama jauhnya, tapi sayup-sayupnya dapat kudengar dengan jelas.
“Lo denger lagi, Bro?”
“Barusan denger,” kataku, tapi karena nggak mau mengatakan kata kuntilanak di depan Cazzo, akupun mencari alasan, “tapi kayaknya sih suara angin.”
“Oh, itu! Mungkin suara angin!”
Meskipun sebetulnya—ASTAGA!!!
Hoh... hoh... hoh...
Jantungku nyaris copot!! Sialan!
Ternyata ada Bello di jok belakang! Aku melihatnya dari kaca spion di bagian tengah, dan dia duduk manis dengan wujud kuntilanaknya seperti biasa. Agak beda sih, biasanya rambutnya putih, tapi kali ini rambutnya hitam. Dan wajah pucatnya yang penuh darah menyeringai dengan menyeramkan.
Dasar Bello sialan! Kenapa dia mengagetkanku seperti itu sih?!
Aku menyipitkan mata dengan kesal ke kaca spion tepat ke sosok kuntilanak yang duduk di jok belakang. Oh, jadi sekarang Bello punya kostum baru, ya? Jarang-jarang dia pakai gaun putih renda-renda penuh darah dan di bagian livernya ada bekas tusukan. Sosoknya yang ini terlalu berlebihan.
Andai aku aku bisa mengirim telepati, aku pasti bilang, “NGAPAIN KAMU DI SINI?! Ngerusak suasana romantis aja!”
Aku menggeser kaca spion tengah supaya Cazzo nggak melihat lewat situ dan menemukan Bello dengan wujud kuntilanak sedang duduk asyik di sana. Kaca spion itu kuarahkan menghadap wajahku, jadi yang bisa melihatnya hanya aku. Berkali-kali aku menunjukkan wajah kesal pada Bello di belakang sana. Tapi dia malah balik menyeringai. Melotot dan kadang menjulurkan lidahnya yang penuh bintik-bintik... dan kadang tertawa “hihihi...” dengan suara yang kecil sekali.
“Kok gue merinding ya, Bro?” ujar Cazzo sambil mengusap-usap tengkuknya. “Lo merinding nggak?”
“I-itu bukan merinding! Itu kedinginan,” jawabku—lalu menoleh ke arah Bello sambil tanpa suara bilang “Pergi! Pergi! Pergi! Cazzo nggak suka kuntilanak!”
“Lo kenapa, Bro? Ada apa di belakang?” Baru saja Cazzo mau menoleh ke belakang, aku langsung menahan wajahnya supaya tetap mengarah ke depan.
“Eit-eit-eit! Nyetir nggak boleh lihat ke belakang! Lihatnya ke depan!”
Pergi Bello! Pergi!
Tapi sosok kuntilanak itu malah asyik duduk di situ. Sepertinya dia menantang, ya? Atau pamer? Akhir-akhir ini kan Bello suka pamer wujud-wujud hantunya yang baru. Kapan itu dia menunjukkan wujud pocong, dengan keliman renda-renda di bagian ujung ikatan kepalanya.
“Gue seneng ama lo,” kata Cazzo kemudian. “Thank you ya udah mau jadi temen gue selama ini.”
Aku tergelak. “Sama-sama. Thank you juga karena mau jadi temen aku. I mean, aku kan newbie. Jarang-jarang anak baru bisa langsung dapet temen yang nempeeel terus kayak kamu.”
“Gue sih pengennya ada di samping lo terus, Bro! Sebab gue nyaman banget kalo udah ama lo...”
Tiba-tiba tangan Cazzo meraih tanganku. Kali ini dengan lembut. Dia menarik pergelangan tanganku, menyusupkan jemarinya di antara jemariku. Menggenggamnya... dan memberikan kehangatan luar biasa di tubuhku. Darahku mengalir nggak keruan lagi. Dan jantungku berdetak kencang.
Saat aku menoleh ke arahnya, melihat apa maksudnya menggenggam tanganku seperti ini, kulihat dia sedang tersenyum menatap matahari terbenam. Siluet wajahnya diterpa cahaya keemasan. Wajahnya terlihat berkilau dan menawan. Kalau aku tidak menahan diri, mungkin aku sudah menciumnya sekarang juga.
Kami berjalan dalam diam, menjejak pasir-pasir dalam keheningan. Sesekali Cazzo meremas tanganku dengan gemas, dan setiap kulit lengannya bersentuhan dengan kulit lenganku, aku merasakan debaran-debaran yang menjalar di sekujur tubuhku, membuatku merinding sekaligus senang.
Kami tiba di bibir pantai, berhenti di bagian paling ujung tempat ini. Masih ada beberapa orang di sekitar kami, tapi kami tak peduli. Aku dan Cazzo berdiri sambil membiarkan ombak-ombak yang bergulung kecil menerpa kaki-kaki kami, memberikan sensasi seolah sedang dihisap bumi.
Cazzo melepaskan tangannya, meregangkannya ke atas, dan menguap. Tapi kemudian dia meraih bahuku! Merangkul bahuku dan menarikku mendekatinya. Sekarang tubuhku menempel dengan tubuhnya, dapat kurasakan hangat tubuhnya dan wangi parfumnya yang mahal. Aku juga merasakan tangan Cazzo di bahuku mulai mengelus-elus sayang. Dan tanpa sadar... aku meletakkan kepalaku di bahu Cazzo... dan Cazzo meletakkan kepalanya di kepalaku.
Puncaknya... saat matahari benar-benar tenggelam dan yang tersisa adalah semburat oranye yang megah, Cazzo mengecup keningku. Membisikkan sesuatu yang membuatku bahagia.
“Gue sayang lo...”
-XxX-
Pukul delapan malam, kami baru pulang. Kami menghabiskan sepanjang petang di pantai, menyantap ikan bakar dan mengobrol bersama sekumpulan backpacker yang juga sedang liburan. Cazzo membelikanku gelang persahabatan yang terbuat dari kayu, dengan motif batik yang dilukis cantik. Kami bahkan bermain-main dulu di bibir pantai, berjalan sejauh air menutupi lutut kami dan membasahi celana kami dengan air asin.
Rasanya indah sekali. Rasanya ingin seperti ini terus.
“Kenapa kita nggak seminggu aja di sini?” tanya Cazzo sambil menyusul sebuah truk di depan kami.
“Karena Senin-nya kita sekolah, jadi kita mesti ada di Bandung lagi besok.”
“Gue masih pengen jalan-jalan ama lo.”
Aku juga, batinku.
Langit sudah sangat gelap. Cazzo menyetir mobil ini dengan santai, kembali ke kota Yogyakarta, melawan arus anak-anak muda yang kebanyakan justru sedang menuju pantai. Aku senang sekali sore ini. Kenangan yang indah. Tanpa Cazzo yang cemberut... tanpa tugas studi... tanpa masalah-masalah yang terjadi di Bandung... more important sih tanpa Esel... rasanya aku bisa menikmati kebebasan walau hanya sepetang saja.
Dan mungkin aku harus mulai menerima Cazzo, maksudku rasa sayangnya. Dia sudah begitu manis mau sayang padaku dan kelihatannya rela melakukan apapun asal aku ada di sampingnya. Berapa banyak cowok yang mampu melakukan itu, coba? I mean, untuk ukuran cowok yang pernah gabung di Mahobia, ini jelas-jelas ajaib.
“Lo denger ada yang ketawa, Bro?” tanya Cazzo kemudian, saat kami melewati perkampungan sepi di mana mobil pun bahkan jarang berpapasan dengan kami.
“Nggak aku nggak denger,” jawabku.
“Suara jendela kali, ya? Decit-decit gitu,” ujar Cazzo.
Tapi sedetik kemudian, aku mendengarnya. “Hihihihihi...” suaranya jauh sekali. Seperti ada orang yang tertawa keras dari dalam hutan sana dan yang kudengar adalah tawa sayup-sayupnya.
“Kamu denger ada yang ketawa, Cazz?” tanyaku.
Cazzo mengangguk-angguk. “Tadi sih iya, tapi kurang jelas. Suara jendela kayaknya.” Cazzo menengok ke kaca spion di sampingnya, tapi tak menemukan apa-apa.
“Kayak ada orang cekikikan, tapi suaranya jauh.”
“Iya, sama.”
Kami lalu terdiam, bergelut dengan pikiran masing-masing. Awalnya aku nggak mau memikirkan tawa itu, mungkin hanya suara angin atau memang decit karet jendela. Tapi lama-lama aku jadi terobsesi. Sebab tawa itu terdengar familier. Tawanya seperti... ngng... seperti...
Oh! Suara Bello kalo lagi jadi kuntilanak!
“Hihihihihi...”
Nah, terdengar lagi. Masih sama jauhnya, tapi sayup-sayupnya dapat kudengar dengan jelas.
“Lo denger lagi, Bro?”
“Barusan denger,” kataku, tapi karena nggak mau mengatakan kata kuntilanak di depan Cazzo, akupun mencari alasan, “tapi kayaknya sih suara angin.”
“Oh, itu! Mungkin suara angin!”
Meskipun sebetulnya—ASTAGA!!!
Hoh... hoh... hoh...
Jantungku nyaris copot!! Sialan!
Ternyata ada Bello di jok belakang! Aku melihatnya dari kaca spion di bagian tengah, dan dia duduk manis dengan wujud kuntilanaknya seperti biasa. Agak beda sih, biasanya rambutnya putih, tapi kali ini rambutnya hitam. Dan wajah pucatnya yang penuh darah menyeringai dengan menyeramkan.
Dasar Bello sialan! Kenapa dia mengagetkanku seperti itu sih?!
Aku menyipitkan mata dengan kesal ke kaca spion tepat ke sosok kuntilanak yang duduk di jok belakang. Oh, jadi sekarang Bello punya kostum baru, ya? Jarang-jarang dia pakai gaun putih renda-renda penuh darah dan di bagian livernya ada bekas tusukan. Sosoknya yang ini terlalu berlebihan.
Andai aku aku bisa mengirim telepati, aku pasti bilang, “NGAPAIN KAMU DI SINI?! Ngerusak suasana romantis aja!”
Aku menggeser kaca spion tengah supaya Cazzo nggak melihat lewat situ dan menemukan Bello dengan wujud kuntilanak sedang duduk asyik di sana. Kaca spion itu kuarahkan menghadap wajahku, jadi yang bisa melihatnya hanya aku. Berkali-kali aku menunjukkan wajah kesal pada Bello di belakang sana. Tapi dia malah balik menyeringai. Melotot dan kadang menjulurkan lidahnya yang penuh bintik-bintik... dan kadang tertawa “hihihi...” dengan suara yang kecil sekali.
“Kok gue merinding ya, Bro?” ujar Cazzo sambil mengusap-usap tengkuknya. “Lo merinding nggak?”
“I-itu bukan merinding! Itu kedinginan,” jawabku—lalu menoleh ke arah Bello sambil tanpa suara bilang “Pergi! Pergi! Pergi! Cazzo nggak suka kuntilanak!”
“Lo kenapa, Bro? Ada apa di belakang?” Baru saja Cazzo mau menoleh ke belakang, aku langsung menahan wajahnya supaya tetap mengarah ke depan.
“Eit-eit-eit! Nyetir nggak boleh lihat ke belakang! Lihatnya ke depan!”
Pergi Bello! Pergi!
Tapi sosok kuntilanak itu malah asyik duduk di situ. Sepertinya dia menantang, ya? Atau pamer? Akhir-akhir ini kan Bello suka pamer wujud-wujud hantunya yang baru. Kapan itu dia menunjukkan wujud pocong, dengan keliman renda-renda di bagian ujung ikatan kepalanya.
0 komentar:
Posting Komentar