DIA DIA DIA

Dirgantara putra 14.49 |

Memilih dia

 
 
 
 
 
 
1BY :http://rendifebrian.wordpress.com


Buku harianku basah. Setitik air telah jatuh di atasnya. Aku adalah seorang cowok, kenapa harus menangis? Apa lagi untuk hal bodoh itu. Ku tutup buku harian itu dan ku buang keluar kamarku melalui jendela. Aku bersumpah tidak akan menulis buku harian lagi. Menulis buku harian juga seperti hal bodoh yang harus di lakukan seorang cowok. Bego!
“Pa, Epen mau keluar. Pulangnya agak malam.” Tegurku pada papa yang sedang menonton televisi.
“Iya, tapi jangan lewat jam sepuluh.”
“Kenapa nggak boleh? Tiap hari selalu melarang pulang jangan lewat dari jam sepuluh.”
“Mau dipatuhi atau uang jajan kamu selama setahun cari sendiri?” Ancamnya.
“Wisss, gila hukumannya.”
Begitulah papa yang kesehariannya melarangku pulang lebih dari jam sepuluh ketika aku ingin keluar. Baik itu bersama temanku atau pacarku, maksudku mantan pacarku. Ku keluarkan motorku dari bagasi rumah. Melihat motor ini lagi membuatku stress. Matic! Kemarin aku hanya minta motor Suzuki Satria tapi papa melarangku untuk itu. Alasannya sangat tidak rasional. Saat aku bilang papa bisa membelikannya untukku, papa berkata tidak punya uang. Padahal mobilnya ada empat buah dan semuanya mahal. Aku malah ditawarkan untuk mengambil salah satu dari miliknya, tapi aku tidak mau karena aku tidak suka pakai mobil. Aku malah balik beralasan yang tidak rasional juga. “Jalan sempit pa.” Padahal tiga truk bisa melewati jalan depan rumahku secara bersamaan. Dan sungguh naas nasibku ketika tahu juga papa membelikanku motor matic ini. Warnanya pink! Dan aku dilarang untuk mendiko motor ini. Kalo sampai motor ini berubah warna, maka akan diberikan pada tetangga sebelah rumahku. Huft! Apa maksud dari semua ini? Apa mungkin bentuk protes papa yang sebenarnya melarangku menggunakan motor? Tapi aku tidak mau kalah, aku tetap memakai motor sialan ini meski aku kelihatan seperti anak cewek.
Mungkin ini merupakan hari sialku karena papa seperti telah mengatur sebuah skenario ini. Semua helm hilang kecuali satu. Helm pink! Lengkap sudah penderitaanku saat ini. Tapi, EGP. Aku stres harus terus berkurung di rumah. Kustarter motorku dan melaju pergi dengan motor dan helm yang matching, PINK!

***

Desiran ombak di pantai ini sungguh menenangkan hati. Tidak terlalu deras dengan air yang tenang pada bagian agak jauhnya. Beberapa kepiting kecil bermain-main di atas pasir ini karena pantai hari ini sepi. Aku duduk di atas pasir ini jauh dari orang-orang sekitar yang juga menikmati keindahan pantai ini. Suasana sore hari yang teduh menambah indahnya tempat ini. Angin berhembus dan menggerakkan rambutku yang agak panjang ini karena sudah lama aku belum merapikannya. Suasana ini yang sangat aku inginkan. Tenang dengan suara angin dan ombak. Kupejamkan kedua mataku. Sesaat aku berpikir kenapa aku memejamkan kedua mataku ini, hal yang bodoh dan baru ini ku lakukan. Seperti yang sering dilakukan pada adegan film-film romantis. Tapi entah angin mana yang membuatku melakukan hal itu, mungkin angin laut. Sekitar lima menit aku menutup mata, seseorang dari belakang menutup mataku dengan telapak tangannya. Aku berontak namun orang itu malah makin keras memegang kepalaku. Akhirnya aku menyerah dan tidak melawan. Kuraba tangannya yang hangat. Apa ini Ana? Tapi tidak mungkin, tangannya terlalu besar dan cengkramannya sangat kuat. Lagian aku juga tidak pacaran lagi dengannya. Ataukah ini Rendi? Tapi tidak mungkin, kemarin aku habis bertengkar dengannya.
“Pa lepas!”
“Yah, anak yang cerdas.” Papa memelukku dari belakang dan menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Pa, lepasin! Tingkah papa ini membuat orang sekitar akan berpikiran buruk. Lagian aku bukan anak kecil lagi!” Kulepaskan tangan papa yang melingkar di tubuhku.
“Oh, sudah besar toh? Kalau begitu sudah dewasa dong, kalau begitu sudah bisa cari uang sendiri dong. Berarti jatah uang jajan kamu papa yang ambil alih. Besok tidak ada uang jajan lagi.” Papa kemudian duduk di sampingku.
“Lah pa. Kok gitu? Epen kan tidak bilang kalau Epen bisa cari uang sendiri. Lagian papa kenapa kemari?”
“Nyusul kamu sayang.” Papa mencubit pipiku.
“Ah, apa-apaan ini? Aku bukan anak kecil lagi pa. Dulu papa bisa melakukan ini sepuas papa, tapi sekarang tidak!”
“Lihat muka dan tingkah kamu seperti ini, papa jadi ingat sama yang melahirkan kamu.”
“Apa tidak ada kata-kata yang lain pa? Epen bosan mendengar itu!” Tanyaku ketus.
“Ini yang membuat papa sangat sayang sama kamu. Selain kamu anak papa, kamu selalu mengingatkan papa pada mama kamu sayang.”
“Dasar jablay. Makanya kawin sana, supaya bisa buat adik untuk Epen.”
“Jablay? Sudah berani ya anak jaman sekarang ejek bapaknya?” Papa menjitak kepalaku. “Steven sayang, cari mama yang baik dan cocok untuk kamu itu susah. Kemarin saja papa lagi jalan dengan teman papa langsung kamu siram muka teman papa itu.”
“Itu karena dia bukan wanita yang baik-baik.”
“Kamukan belum kenal siapa dia dan bagaimana dia yang sebenarnya.”
“Aku tahu dia siapa pa. Makanya kemarin Epen siram mukanya. Dia bukan orang yang baik untuk jadi istri papa dan bukan mama yang tebaik buat Epen.”
“Begitu ya?”
“…” Aku tak hanya diam tak membalas perkataan papa. Aku bosan dengan tingkah laku papa yang kadang seperti anak-anak atau memperlakukan aku seperti anak-anak. Tepatnya anak cewek.
“Papa pulang dengan kamu ya. Soalnya papa tidak membawa kendaraan.”
“Terus tadi papa ke sini naik apa?”
“Ojek.”
“Helm?”
“Tuh di samping helm kamu.” Papa dan aku menoleh kearah motorku di belakang.
“Pink? Apa papa ini punya kelainan? Ish pink!”
“Hehe, Mungkin. Kamu tuh yang kelainan, motor kok warna Pink. Kayak banci!”
“Maksud papa apa? Yang beli motor itu siapa? Najis pakai itu motor!” Balasku jutek. Tidak lama kemudian seseorang memarkirkan motornya yang besar di sebelah motorku. Kalau diibaratkan manusia, kedua motor ini seperti bapak dan anak perempuannya yang masih kecil. Orang itu membuka helmnya. Reaksi pertama saat melihat dia adalah terkejut. Seorang wanita cantik dengan dandanan pria yang mengendarai motor besar. Cantik sekali. Tidak lama kemudian wanita cantik itu mendekati kami.
“Najis kok dipakai?” Jawab papa seolah-olah balik bertanya.
“Hei.” Sapa wanita itu.
“Hei, ayo sini gabung.” Balas papa padanya.
Aku baru tahu ternyata dia adalah teman papa. Tepatnya junior papa waktu masih menjabat predikat mahasiswa. Kami sempat berkenalan dan dia berbagi cerita mengenai dirinya. Aku juga baru tahu kalau ternyata dia adalah mantan pacar papa waktu masih kuliah dulu. Tapi sempat kandas di tengah jalan karena orang tua papa tidak setuju dengan wanita cantik ini. Katanya beda keyakinan.
“Ini anak kamu ya Dit? Tadi aku kira adiknya. Soalnya mirip banget dan tidak kelihatan seperti anak dan bapaknya.” Wanita cantik itu kemudian mengacak-acak rambutku.
“Jelas dong, aku kan masih muda dan keren. Gaul lagi, hehe.” Jawab papa padanya.
“Muda? Tiga puluh lima tahun dibilang masih muda?” Tanyaku seolah-olah meremehkan papa.
“Yah masih mudalah bego! Orang kamu papa buat waktu masih berumur sembilan belas tahun. Hebatkan papa?”
“Hebat apanya? Itu menandakan kalau papa saat masih muda lalu sangat nakal. Sampai-sampai belum berumur kepala dua sudah punya anak.”
“Makanya kamu juga. Kalo bisa besok sudah bisa hamilin anak gadis orang. Seorang remaja enam belas tahun menghamili gadis di bawah umur. Pasti masuk dalam koran bagian covernya. Hahahaha.” Papa menertawakanku. “Oh iya, pacar kamu mana?”
“Edan! Pacar yang mana?” Tanyaku pura-pura seperti tidak pernah pacaran.
“Itu si Ana. Kamu jangan bohong sama papa. Papa tahu segalanya tentang kamu oon.” Lagi-lagi papa menjitak kepalaku.
“Papa tahu dari mana namanya Ana?”
“Papa sudah bilang kalo papa tahu segalanya tentang kamu oon. Papa juga tahu kalau kamu sudah putus sama Ana.”
“Sial, papa tahu dari mana?” Gumamku dalam hati. “…” Aku hanya diam tak menggubris apa yang papa katakan padaku.
“Trus cowok kamu mana?” Tanya papa lagi.
“Cowok? Maksudnya?” Sekarang aku benar-benar bingung.
“Itu si Rendi. Siapa lagi kalau bukan dia?”
“Ah, nggak usah bahas dia!” Jawabku Jutek.
“Hmmm, anak papa putus juga sama pacar cowoknya. Hahaha…” Lagi-lagi papa menertawakanku.
“Ah, papa bercandanya nggak lucu. Papa tahu semua itu karena baca diariku kan?”
“Makanya, diari jangan buang sembarangan. Diari kamu menimpa wajah manis papamu tercinta ini, BEGO!” Untuk kesekian kalinya aku dijitak lagi.
“SETAN. Sakit tahu!”
“Apa kamu bilang? Berani-beraninya kamu sama papa kamu ya?” Papa menjitakku lagi, tapi kali ini banyak kali dan agak keras.
“Ampun pa, ampun.”
“Jangan gitu dong Dit sama anaknya, kasian dia. Anak secakep ini tidak pantas untuk dijadikan tempat jitak.” Wanita cantik ini mengelus kepalaku. “Nanti, kalau aku jadi mamanya aku akan membalaskan dendamnya pada papa yang jelek ini.” Wanita itu mengepalkan tangannya kearah papa.
“Eits, itu kalau Epen setuju kamu jadi mamanya. Kemarin saja Maria kena siram sama anak nakal ini.”
“Aku juga kalau di situ bakalan menyiram mukanya dengan air seember. Perempuan nakal itu tidak cocok untukmu.” Balas wanita cantik itu pada papa.
Aku mendekati wanita cantik itu dan memeluknya. “Lagian kalau kak Ima jadi mamaku aku tidak akan dijajah lagi oleh papa. Motornya juga bagus, bisa dipinjamkan kak?”
“Tentu saja untuk calon anakku ini” Balas wanita cantik ini memelukku.
“Eits, kamu berani-beraninya mendahului papa memeluk calon mama ya?”
Hari itu berakhir dengan bahagia. Mungkin karena kak Ima yang telah mengisi hari itu. Aku suka padanya, maksudku suka padanya karena aku akan memiliki seorang mama yang cantik. Selain cantik, masih muda, gaul, dan gayanya yang keren. Sekilas aku membayangkan kami bertiga menjadi sebuah keluarga yang bahagia. Tapi ketika membayangkan wajah mereka disandingkan dengan wajahku agak terasa sangat aneh. Aku dan mereka berdua akan terlihat aneh di mata orang awam. Kebanyakan orang pasti mengira aku dan papa adalah kakak beradik dan kak Ima pasti dianggap istri kakakku bukan sebagai mamaku. Kenapa semua harus terpaut dekat umur denganku?

***
Setelah kemarin melanggar peraturan papa yang harus pulang sebelum jam sepuluh, hari ini aku mendapatkan hukumannya. Bukan dari papa, tapi hukuman dari diri sendiri yang terlambat bangun dan terlambat sekolah. Aku bangun jam sembilan lewat beberapa menit. Alhasil, aku cepat-cepat ke kamar mandi dan bersiap-siap sekolah. Meski aku tahu kalau aku tidak akan masuk pada jam pertama jadwal pelajaran, aku tetap akan ke sekolah. Aku lebih suka berada di sekolah dari pada harus berada di rumah sendirian karena papa akan pergi bekerja. Ada rasa sedikit kesal karena papa tidak membangunkan aku hari ini. Gosok gigi dengan wajah cemberut membuatku wajahku sangat jelek terlihat di cermin. Aku merapikan diriku serapi-rapinya dan memastikan tidak ada yang bau pada diriku. Aku tidak mandi karena terburu-buru harus ke sekolah.
“Pa, dari pada tidak ada kerjaan yang bisa papa lakukan selain menonton. Lebih baik papa antar Epen kesekolah sekalian papa pergi ke kantor urus semua urusan papa yang belum kelar!” Tegurku agak jutek.
“Tumben kamu nasehati papa untuk itu. Biasanya juga kamu larang papa untuk pergi ke kantor papa. Papa daritadi tunggu kamu sayang. Ini papa sudah rapi dari tadi.”
“Sudah rapi dari tadi tapi kenapa tidak membangunkan Epen?”
“Kamu butuh istirahat yang cukup dulu. Semalamkan, eh maksud papa tadi subuh kita baru pulang jalan-jalan sama motor pinky kamu itu. Tadinya papa sudah mau berangkat. Tapi pas intip kamar kamu, papa tunggu kamu di sini. Papa tahu kalau kamu mau pergi ke sekolah.”
Papa mengantarku ke sekolah. Dalam perjalanan tak ada percakapan dari kami sampai aku tiba di sekolah. Tapi bukan dari pintu gerbang sekolah, aku memanjat tembok belakang sekolah dan itu dibantu oleh papa. Papa adalah contoh papa yang tidak baik untuk anaknya.
Aku berjalan menuju ke kelas, kelas fisika. Setelah pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran fisika. Dan beruntungnya aku hari ini karena masih ada sisa istirahat walau hanya sekitar sepuluh menitan. Aku singgah di kantin terlebih dahulu, membeli beberapa roti dan minuman karena aku belum sarapan.
Beberapa langkah keluar dari kantin setelah belanja, Ana dan Rendi datang mendekatiku. Ana memegang tangan kiriku dan Rendi memegang tangan kananku. Aku diseret menuju halaman belakang sekolah.
“Apa maksud semua ini?” Tanyaku pada mereka. Mereka tak menjawab, melainkan saling memandang satu sama lain.
“Aku minta maaf.” Keduanya kompak mengucapkan padaku.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku beranjak pergi dari tempat itu. Tidak ingin aku beranjak, Rendi menghadangku di hadapannya dan Ana memegang tangan kiriku.
“Minggir dan lepas. Atau aku akan bertindak kasar!” Kataku pada mereka dengan ketus.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kamu memaafkan aku dan Ana.”
Karena tangan kananku tidak ada beban sama sekali, kukepalkan dan kuarahkan ke pipi mulus Rendi yang agak lebam kebiruan karena kemarin di tempat itu juga aku mendaratkan pukulanku. Kali ini pukulanku lebih keras dari yang kemarin hingga pinggiran bibirnya berdarah.
“AYO MINGGIR!” Teriakku padanya namun tak diindahkan, Rendi tetap kokoh berdiri di hadapanku. “Oke, sekarang aku minta tolong padamu. Tolong beri jalan untukku dan untuk kamu Ana, tolong lepaskan tanganku. Aku ingin masuk dalam pelajaran sekarang!” Ana melepaskan pegangannya padaku, namun tidak dengan Rendi yang terus berdiri di hadapanku tak ingin membiarkan aku pergi. Karena dia yang tak mau pergi, aku yang putar haluan.
Namun Rendi malah mencegahku dan memegang kedua lengan atasku. “Aku tidak ingin melepaskanmu sebelum kata memaafkan itu keluar dari mulutmu.”
Aku yang tidak terima senang dengan perlakuannya langsung menendang perutnya menggunakan lutut kananku. Alhasil dia jatuh ketanah sambil memegang perutnya.
“Minta maaf itu tidak perlu memaksa orang lain!” Kataku padanya dan berlalu menuju kelas.

***

“Kamu diskorsing dua hari, besok datang pagi-pagi jam enam di ruangan ini dengan orang tuamu. Kamu tetap sekolah, tapi di ruangan ini dan membersihkan ruangan ini saat jam sekolah selama dua hari. Paham?” Tegasnya padaku. “Satu lagi, kamu jangan berbuat macam-macam lagi. Skormu sudah delapan puluh. Tinggal dua puluh lagi, kamu akan dikeluarkan dari sekolah. Paham?” Tambahnya.
“…” Aku hanya diam.
“Paham?”
“Paham nyonya!”
“PAHAM?!” Katanya sambil melotot padaku.
“Iya, iya bu. Paham.”
“Bagus! Silahkan pulang dan kamu tidak usah masuk proses kegiatan belajar mengajar hari ini!” Katanya padaku.
Haris sial menimpaku saat ini. Sudah datang terlambat dengan manjat halaman belakang sekolah, tidak sarapan, diusir dari sekolah dan besok akan mendapatkan hukuman. Ini semua karena si Rendi yang kurang ajar itu. Dia tidak mau membiarkanku lewat saat itu. Karena emosi, aku menendangnya dan dia pingsan. Memang dasar fisiknya yang lemah. Baru kena lututku di perutnya dia sudah pingsan. Tapi aku akui keras kepalanya. Selama aku mengenal orang, dialah yang paling keras kepala.
Aku berjalan menuju gerbang karena aku disuruh pulang oleh guru BK. Aku sempat melewati UKS dan melihat Rendi terbaring di atas tempat tidur didampingi Ana. Mereka sukses membuat hatiku hancur lebur. Tapi aku tak perdulikan semua itu. Setelah pacarku dan sahabatku, maksudku mantan pacar dan mantan sahabatku menghianatiku. Beberapa hari yang lalu mereka sengaja berciuman di hadapanku. Aku saja yang mantan pacarnya Ana, saat itu sampai sekarang tidak pernah bersentuhan bibir dengan bibir. Tapi mantan sahabatku mendahuluiku untuk itu. Aku yang tak ingin melihat itu semua langsung lari dari tempat kejadian perkara. Dan saat itu merupakan hal yang paling bodoh kulakukan seumur hidupku. Aku menangis hanya untuk sahabat brengsek dan pacar sialan itu. Sekarang mereka berdua sedang berduaan di UKS. Aku mempercepat langkahku menuju pintu gerbang karena tak kuat melihat itu semua. Aku menahan ojek yang lewat saat itu juga ketika aku baru keluar dari gerbang.
“Bang, Tulip nomor 115.” Kuberi tahu tempat tujuanku.
“Oke. Ini pake helm dulu.” Tukang ojek ini kemudian memberikan sebuah helm padaku.
“Kok pink? Bau bunga lagi.” Aku mencium helm itu.
“Pake aja mas, dari pada ditilang?”
Aku memakai helm itu dan kami menuju kerumahku.


***

“Aku melakukan semua ini karena aku cinta sama kamu.”
Sumpah demi alam dan semesta. Pernyataan itu membuatku menjadi lemas. Kakiku seakan ingin runtuh mendengarnya dan jantungku berdetak dengan kencang. Suasana kemudian menjadi hening saat kalimat itu terucap dari bibirnya. Ana yang dari tadi diam ekspresinya tidak berubah sama sekali. Apakah dia sudah tahu lebih dulu dari pada aku tentang perasaan Rendi padaku?
“Apa maksud semua ini?” Tanyaku pada Rendi.
Dia kemudian menjelaskan kenapa kejadian saat Rendi mencium Ana. Katanya semua sudah diatur olehnya. Ini dilakukannya agar aku mau putus sama Ana. Rendi cemburu melihatku berpacaran dengan Ana.
“Aku ingin minta penjelasan dari Ana!” Pintaku agak ketus pada Ana.
Bukannya menjawab pintaku, tapi Ana mengarahkan pandangannya pada Rendi. “Aku minta maaf sebelumnya. Terutama pada kamu Rendi. Maaf aku telah mengambil orang yang telah Rendi cintai selama ini. Saat itu aku tidak tahu kalau Rendi telah lebih dulu memiliki perasaan ini pada Steven. Aku juga suka dan sayang padanya. Setelah aku berpacaran dengan Steven, aku tidak pernah melihat ada senyum lagi pada wajah tampan itu. Malah semakin lama, Rendi semakin cuek padaku. Aku lantas meminta Rendi menjelaskan semua padaku. Dan sekarang aku telah tahu apa yang sebenarnya tejadi.” Pandangnya pada Rendi namun seolah-olah berbicara padaku. “Kejadian kemarin juga aku yang atur skenarionya. Aku lebih memilih Rendi tetap menjadi sahabatku daripada harus memilih Steven menjadi pacarku.”
“Tapi kenapa harus melakukan semua itu? Kan semuanya bisa dibicarakan dengan baik-baik.” Isak tangisku membumbuhi kalimat-kalimatku.
“Aku minta maaf karena tidak pernah jujur padamu.” Jawab Rendi.
“Bodoh!” Aku memeluk Rendi dan menghapus air mataku. “Maafkan aku. Kamu boleh memukulku sekeras mungkin sebagai balasan kemarin.”
“Tentu.” Jawab Rendi.
“Kamu serius?”
“Iya, tenang saja. Pukulanku tidak akan sepelan yang kamu kira. Mungkin kamu akan keluar dari rumah sakit dengan sembilan belas jahitan di kepalamu.”
“Okelah terserah kamu. Padahal aku tadi hanya basa-basi. Tapi kamu patut membalasnya padaku. Nih, pukul aku pakai helm Pink ini.” Kusodorkan helm Pink yang ada di dekatku waktu itu.
“Pink? Pink adalah tanda cinta. Ketika kamu menyodorkan pada seseorang, berarti kamu membiarkan hatimu dimiliki orang yang kamu sodorkan itu. Apakah setelah kamu mengetahui semua perasaanku padamu kamu akan menjauh?”
“Bego!” Kupukulkan secara pelan helm pink itu di kepala Rendi. “Bagaimana kalau kalian tukar posisi? Maksudku itu bukan dalam makna yang sebenarnya.”
“Maksudmu?” Tanya Ana.
“Iya, maksud kamu apa?” Rendi menimpali.
“Maksud aku adalah ini.” Aku memeluk salah satu di antara mereka berempat. Kak Ima datang berdampingan dengan papa.
“Perkenalkan, ini adalah mama baruku. Maksudku calon mamaku. Cantikkan?” Pamerku pada kedua orang yang sempat membuatku dilema tentang perasaan yang sesungguhnya ini.

0 komentar:

Posting Komentar