Day

Dirgantara putra 13.59 |

New Day (1)



Chapter 1
Ҧ Fucking Goddess
Hanya ada tiga jenis cowok gay yang ada di dunia ini. Yang pertama adalah cowok gay yang menerima dirinya sendiri dengan apa adanya. Which is, aku banget—TGIF—Thanks Gawd I’m Fag! Yang kedua adalah cowok gay yang sok-sokan bilang kalau dia bukan gay dan malah menghina para gay lainnya di luar sana. Gay yang kayak begini sangat-sangat muna-fuck, muna-kontol, muna-pepek dan muna-bitch! Sebisa mungkin hindari gay yang seperti ini, karena biasanya cowok gay tipe kedua seperti ini pasti sangat malu-maluin. Pantat Babi EW! Sedangkan cowok gay yang ketiga adalah straight denial. Mereka pikir mereka straight dan lebih suka jilat lubang pepek ketimbang jilat kepala kontol. Yang denial seperti inilah yang harus segera disadarkan kalau dia itu punya bakat di bidang gay… or bisexsual.
Seperti cowok yang ada di depanku ini nih. Cowok ganteng dengan hidung mancung serta badan menggiurkan yang selalu bisa membuatku klepek-klepek kayak ikan kehilangan air. Kalau dia bicara pasti suara beratnya yang kayak Enrique Iglesias itu membuat sesuatu di dalam diriku berdesir. Tapi… wait a sec! Aku masih nggak ngeh sebenarnya dia itu ngomong soal apaan dari tadi? Oh, iya, dia sedang ngebicarain soal klub bola. Apaan ya tadi nama Klubnya? Hmm, Chelsea deh kayaknya. Tapi sayang, aku nggak tahu tuh Klub Chelsea itu yang mana. Yang aku tahu, Chelsea itu pemain sinetron dan temanku waktu pemotretan di Majalah Gaul edisi April Mop tahun lalu.
Tetapi biarlah cowok itu ngomong sesuka hatinya, toh kalau aku suruh berhenti juga dia bakal tetep ngomong lagi dan malah ngebahas soal Klub Bola yang lain. Gimme some sorry, aku nggak ngerti soal bola. Jadi daripada aku makin ter­-stuck sama obrolannya yang sangat membosankan itu—bahkan omongannya lebih membosankan daripada omongannya Mrs. Gina, salah satu Guru yang ada di homeroom Sejarah—aku membiarkan saja dia terus mengoceh tentang Chelsea. Yawn!
Aku bisa kenal dan pacaran sama… wait! Namanya siapa ya? Aduh, aku memang suka lupa mengingat nama orang lain, apalagi kalau yang sangat brick-boring-brick kayak orang yang ada di depanku ini. Hmm, namanya itu… Ferlo—bukan deh kayaknya! Oh, kayaknya Mazda deh—oh, bukan, itu sih merek mobil! Rrrr, siapa ya?! AHA! Robi. Namanya Robi—rombongan babi! Kok gitu aja aku bisa lupa sih, ck?! Tapi, biarlah, aku memang sangat lemah kalau harus mengingat nama orang yang sedang kupacari. Kadang namanya ada yang sama sih, dan ada juga yang sangat susah buat kusebut di lidahku.
Oh, back to the topic! Aku ketemu sama Robi sekitar dua minggu yang lalu. Pada saat aku menemani Revie di lapangan Futsal. Waktu itu malam minggu dan aku benar-benar nggak tahu mau pergi kemana karena masih jam setengah delapan malam. Ya iyalah, jam setengah delapan malam mana ada clubbing yang buka. Para Pelacur, Gigolo dan Banci aja masih dandan di rumah mereka masing-masing. Masa aku mau nontonin para Pelayan ngelap meja sih? Cuih! Mendingan aku berkumpul dengan sahabat-sahabatku.
Jadi… saat aku menghubungi flocksku, hanya Revie yang memungkinkan untuk kudatangi. Sid sedang makan malam di SoHo sama Adam—aku nggak mau ya jadi obat nyamuk! Wajahku elegan begini masa jadi obat nyamuk, aku maunya jadi obat kuat! Kalau And sama Vick juga lagi berduaan di suatu tempat—aku yakin sih bukan di tanahnya Suku Asmat! Sedangkan Tivo nggak bisa dihubungi, palingan dia lagi meeting—sama Peter. Eek, bowing! Jadinya aku malah ke lapangan Futsal dan nemenin Revie yang lagi nontonin Bagas. Sigh!
Aku terkadang masih nggak ngerti kenapa Revie selalu kuat nemenin Bagas di lapangan Futsal. Apa enaknya coba? Oke, they all look so manly and sweat—nyam-nyam. Tapi…
“Jadi Zav… Torres itu pemain yang paling hebat di Chelsea. Dari dulu aku ngefans banget sama tekhnik permainannya yang lincah dan fleksibel bang—“ Ya, ya, ya, silahkan terus berkicau wahai Robi—rombongan babi! Like I care about it. Kalau kita ngomongin Torres ternyata gay dan punya kontol besar sih aku mau nyahutin. Tapi ini malah ngomong soal Torres yang pintar saat tendangan samping—halah, whatever it is! Robi, my dear, I don’t give a damn! Ngomong sini sama lubang pantat!
Jadi intinya… aku ketemu sama Robi saat Bagas istirahat dan ngecek keadaan bayinya yang ada di perut Revie. Puhleaseeeee! Kalaupun ada bayi beneran di dalam perut Revie, nggak perlu dicek teruskan? Dikit-dikit Bagas nanya, anak kita lagi ngidam apa, Sayang? What the anjing is that? Sayang? SAYANG? Mana ember, mana ember, aku mau muntah. Entah kenapa aku sangat risih kalau ada yang menyebut pacarnya dengan kata sayang. Kenapa nggak yang lain aja, kayak Monyet atau Bajingan gitu? Well, never mind!
Nah, si Robi ini temennya Bagas di kampus, dan waktu itu aku nggak sengaja dudukkin tasnya. Hmm, sebenarnya sih sengaja, soalnya bangku tempat aku duduk agak keras, bisa ngebuat pantatku yang berisi ini jadi tepos! Makanya aku pakek-in alas waktu itu, yang ternyata adalah tasnya si Rombongan Babi ini. Yah, akhirnya kami kenalan dan termometer nafsu yang ada di dalam diriku ini menginginkan dia. Gimana enggak? Badannya hawt banget, suaranya itu buat bulu kontolku berdesir dan aroma keringat yang ada di dadanya pas dia buka baju buat lubang pantatku goyang dombret dan minta digaruk sama kontolnya.
Lalu… Voodoo-na-na-na-Kaboom! Sedikit trik di sana sini—setelah dia putus dari ceweknya yang menyedihkan itu—kasihan deh lo—ups!—aku mendekatinya dan menggunakan aroma pemikatku untuk mendapatkan hatinya. Tidak susah kok, sekitar beberapa hari dia mulai resah karena merasa jatuh cinta sama laki-laki. Yes, Robi, my dear, kamu itu straight denial. Akhirnnya, ketika aku memberikan dia sebuah kecupan selamat datang di Klub Gay dan Biseksual, dia pun menjadi pacarku. Gimme applause my Lady Gaga! Thank you, thank you.
Tapi sekarang, aku sudah nggak pengen jadi pacarnya lagi. Karena manisnya dia sudah hilang. Menurutku, cowok itu kayak permen karet, kalau manisnya sudah hilang di mulut, harus segera dilepehin dan dibuang. Ya, kayak si Rombongan Babi ini. Manisnya dia sudah hilang, dan aku harus segera membuangnya di tempat yang seharusnya. Di J.Co ini! Tapi aku masih belum menemukan momen yang tepat untuk melakukan break-up padanya. Dia masih asyik dengan blah-blah-shitnya yang nggak penting itu.
“Kamu kok diem aja daritadi?” tanyanya, sambil mengangkat kaleng Red Bullsnya. Thanks, Mamayukero! Akhirnya dia berhenti bicara juga. “Kamu bosen kita di sini? Ya udah, yuk kita ke 21. Setengah jam lagi film dokumenter soal perjalanan Band Noah bakalan tayang.”
Noah? Major EW! “Nope! I’m still want to be here,” kataku cepat ketika si Rombongan Babi mulai bangkit dari posisi duduknya. Dia menatapku sejenak lalu mengangguk samar, dihempaskannya kembali pantatnya—yang sudah nggak manis lagi itu—ke atas sofa. “Robi, I want tell you sumthing. This is about our relationship.” Robi mengernyitkan dahinya, masih tidak mengerti arah pembicaraanku. Alright then, I will shoot it out! “Kita putus aja! Start seeing other people, stuff and shit di luar sana. And you can fuck another girls or… guys.”
Mulut Robi menganga lebar, reaksi yang sering muncul kalau baru saja diputusin. Mata cowok itu menatapku lekat-lekat, berharap kalau nanti aku akan bilang… aku bercanda kok. Which is, not gonna happen. “Kamu serius?” tanyanya dengan suara yang nggak seksi lagi. “Kita baru pacaran selama tiga hari, masa kita putus?” tanyanya tak percaya. “Emangnya aku punya salah apa sampe kamu mau mutusin aku sekarang? Apa alasannya kamu putusin aku?”
Oh, puh-lease deh! Dia nanya alasan kenapa aku mutusin dia. Baiklah, aku punya beberapa poin alasan untuknya. Satu: aku nggak suka cara dia minum, kalau dia minum pasti belepotan kayak orang tolol—tapi ini bukan alasan yang tepat buat mutusin dia. Dua: aku nggak suka cara dia ngedip, kayak orang kelilipan—tetap bukan alasan putus. Tiga: dia suka sama lagu dangdut, EW, big EW! Mendingan aku ditembak mati sama Hitler daripada ikut dia dangdutan di gang-gang kampung para Jelata—tapi masih sama, ini juga bukan alasan yang tepat buat mutusin dia. Empat: dia banyak omong, dan itu terbukti benar—bisa nggak ya yang ini dijadiin alasan buat putus? Oke, coba kita petik poin yang kelima.
Lima: aku sudah bosan sama dia. Ah, itu dia alasan yang tepat!
“Gue udah bosen sama lo,” kataku sangat jujur. “So, get a life Robi! Lo nonton film dokumenter Noah, gue nonton The Hunger Games: Catching Fire!” Aku meraih iPhone ku yang ada di atas meja dan memasukkannya ke dalam saku celana Levi’s ku. “I’m so jolly can to be with you, and be your boyfriend. But now, I’m so sorry, I have to go!” Aku baru saja ingin bangkit dari tempat dudukku saat Robi memegang pergelangan tanganku cukup kuat. Sepertinya cowok ini masih belum bisa menerima kenyataan kalau baru diputusin deh. Lihat saja wajahnya yang memelas kayak anak anjing kehilangan induknya itu. Pathetic losah!
“Itu bukan alasan yang tepat buat putus, Zav,” katanya pelan, mencoba menahan wajahnya agar tetap terlihat kewl. But, I’m sorry, your face is so überpathetic! “Aku sudah berusaha buat jaga hubungan kita supaya nggak ngebosenin. Bahkan aku selalu ngajak kamu ngomong soal ini-itu.” Yeah, rite! “Jadi… kalo misalnya kamu bosen, salahnya bukan di aku, tapi di kamu.” Robi menatapku intens, berharap kalau omongannya tadi bisa membenahi hubungan kami. “Aku bahkan selalu antar-jemput pas kamu ada jadwal pemotretan dan take iklan. Aku selalu ada buat kamu, jadi nggak mungkin itu jadi alasan buat kita putus.”
Cowok satu ini memang sangat-sangat menyedihkan. “Lemme tell ya! Pertama, lo selalu ngomong hal nggak penting, bukan ini-itu yang berguna. Bahkan lo nggak pernah nanya sama gue obrolan apa yang gue suka dan yang nggak gue suka. Kedua, gue nggak pernah minta lo antar-jemput gue. Yang ada lo sendiri yang dateng ke rumah gue atau ke studio. Jadi nggak usah ngomong soal hal yang nggak karuan, bahkan pas lo ngomong tadi gue dihampiri sama yang namanya Tuan Bosan. Just zip your mouth, ‘kay!”
“Tapi aku jadi kayak gini gara-gara kamu!” katanya agak keras, wajah yang tadi dia coba buat supaya kewl kini menghilang sempurna. “Kamu yang udah buat aku jadi homo kayak gini, dan kamu mau mutusin aku gitu aja? Kamu nggak mau tanggung jawab dengan apa yang udah kamu lakuin ke aku?”
“Tanggung jawab apa, Rob? Tanggung jawab karena lo sekarang hamil?” tanyaku pura-pura lugu. “Hun, lo inget nggak kalo yang nusuk itu siapa? Jadi nggak mungkin lo hamil!” Aku menatap wajahnya dengan pandangan bosan. Gosh! “Lagi pula, gue nggak pernah kok ngebuat lo jadi homo. Lo aja yang nggak sadar kalo lo itu sebenernya homo, dan gue sebagai gay hanya menyadarkan lo kalo di dalem diri lo itu ada darah homonya. Coba deh lo ke PMI dan donorin darah lo di sana. Pasti hasilnya bukan A, B, O, atau AB. Tapi hasil darah lo bakalan bertuliskan HOMO.” Aku menatapnya sengit, benar-benar makin bosan. “Face it!”
This is not fair!” serunya kencang dan desperado, membuatku dan beberapa pengunjung yang ada di J.Co tersentak kaget. “I love you, Zavan! Stay!” mohonnya dengan suara yang sangat menyedihkan. Membuatku makin mengernyit jijik. Tadi dia bilang apa? I love youGeez, that’s groos! Aku paling benci kalau sudah ada orang yang membahas soal cinta. Atau cin-TAI. Menjijikan. Retweet kata-kataku tadi. Menjijikan!
I’m sorry Robi. We’re over!” Bye-bye, au revoir, ay mi papito, annyeonghi kyeseyo!
Aku baru saja ingin berjalan menjauh darinya ketika tiba-tiba dia berseru kencang. Membuat semua mata yang ada di sini terarah ke arahku. “Lo bakalan bayar apa yang udah lo lakuin ke gue, Brengsek!” Ya Tuhan, apakah Kau telah membuat otak mantanku satu ini jadi lunatic seperti itu? Mengerikan. Cepat-cepat kulangkahkan kakiku, tidak ingin berurusan lagi dengan orang seperti dia. “Lihat aja nanti!” serunya sekali lagi sebelum aku keluar dari dalam J.Co.
Besok-besok kalau aku mau mutusin pacar jangan di tempat rame ah! Buat malu aja. Lebih baik sekarang aku pergi dari tempat ini dan melakukan tiga hal penting kalau baru saja putus. Satu: clubbing—yeah, I really miss my dancefloor so much. Dua: Marlboro Lights—menghisap rokok selalu menghilangkan stress yang ada di kepalaku. Tiga: ngumpul sama sahabat-sahabatku—Sid, And, Revie dan Tivo—tapi sayang, mereka semua sedang liburan.
Oh, shit! Buat jadi empat hal, cowok baru juga masuk hal yang penting saat ini!
***
“Jadi gimana? Acara mutusinnya lancar nggak?” tanya Belinda dengan mulut penuh kentang goreng. Aku mengangkat pandanganku dari fro-yo ukuran medium yang ada di tanganku. “Nggak ada dramanya kan?” tambah Belinda, dia menelan kentang goreng yang ada di mulutnya dengan gerakkan aneh. Aku tidak tahu kenapa Belinda sangat suka makan kentang goreng. Kalau Revie seorang es krim holic, sedangkan Belinda seorang kentang goreng holic. Apalagi kalau kentang gorengnya dicampur sama saus sambal ekstra pedas. Dia bisa menghabiskannya dalam beberapa menit tanpa minum.
Kutaruh fro-yoku di atas meja dan mendesah panjang. “Tentu aja ada dramanya!” ujarku jengkel. “Tuh cowok berubah jadi orang gila terus teriak-teriak nggak jelas di J.Co. Can you imagine it? Gue bener-bener malu!” Aku menghempaskan punggungku di sandaran kursi. Belinda cekikikan seperti Graus—Nenek Sihir yang ada di film Shrek. “Gue nggak mau punya pacar yang kayak gitu lagi. Gue kapok!” Aku melirik sekilas iPhone ku dan melihat ada satu pesan masuk. Saat aku membukanya ternyata dari Royzel—entah siapa itu, aku lupa.
“Yakin lo kapok?” tanya Belinda tak percaya. Dia menatap wajahku dengan pandangan agak mencela. Sialan! Kembaran biadab. “Menurut gue sih, mantan lo yang ini tuh memang nggak cocok sama lo. Entah kenapa ya, gue cuman ngerasa gitu aja.” Belinda mencolek-colek ujung kentang gorengnya di saus sambal yang ada di sebelah fro-yoku. “Tapi sudahlah, yang pentingkan lo sama dia udah putus. And that’s a nice step!” Belinda melihat sekeliling, matanya melirik ke sana-kemari. “Cowok yang itu menurut lo ganteng nggak Zav?”
Aku mengangkat pandangaku dan melihat cowok yang Belinda tunjuk menggunakan kentang gorengnya. “Biasa aja ah,” kataku saat sudah melihat cowok yang Belinda tunjuk. Cowok yang duduk di sofa abu-abu itu mengenakkan kemeja kotak-kotak—yang mengingatkanku sama penyanyi yang namanya jelata banget itu… siapa ya namanya? Oh, iya, Budi Doremi. “Cowok yang di deket jukebox itu baru ganteng!” ujarku sambil menunjuk seorang cowok yang sedang duduk sendirian di kursinya dengan daguku.
“Oh, my!” seru Belinda tertahan. “Rite, that hunk look gorgeous!” Mata Belinda berbinar-binar, lihat sebentar lagi, pasti dia akan mengucapkan kalimat itu. “Kalo dia pacaran sama lo pasti cocok banget deh. Lihat tuh mukanya… sayu banget. Ih, gue pengen deh dia jadi adik ipar gue. Seru aja kalo ntar kalian jalan berdua, unyu banget deh pasti! Nice couple.” Heh, sudah kuduga kalau dia akan ngomong begitu. Belinda itu fag hag, dia sangat suka dengan dunia gay. Makanya saat aku CO dulu, dia sangat girang dan rajin menjodohkanku.
“Sudah deh Bel,” sahutku malas. “Setiap cowok yang lo jodohin ke gue pasti nggak ada yang tahan lama. Karena lo selalu ngasih gue cowok-cowok tipe lo. Lo nggak sadar ya kalo gue sama lo itu beda tipe cowok. Kalo lo suka sama yang anak-anak mami gitu, gue lebih suka sama yang binal.” Aku mengaduk fro-yoku dengan gerakkan malas. “Lagian gue juga lagi nggak minat buat pacaran.” Belinda menatapku dengan pandangan makin mencela. “Untuk beberapa jam ke depan,” tambahku kemudian.
But, dahling, cowok itu cocok banget sama lo. Siapa tau cowok itu tipe lo Zav!” tuturnya menggebu-gebu. “Dan dari pengamatan mata gue, dan radar fag hag gue, cowok itu kayaknya gay deh. Atau nggak bisek.” Belinda membuka ikat rambutnya, membuat rambutnya yang panjang dan lurus tergerai sempurna. “Gue deketin ya dia, mau memastikan dia gay apa bukan. Kalo iya, ntar gue kasih nomor HP lo ke dia.” Aku ingin membantah kata-katanya, namun Belinda mencubit bibirku dengan jari-jarinya. “Papapapap! Taciturn your mouth!”
Belinda berdiri sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan membiarkan dia melakukan perjodohan nggak penting ini. Kalau dihitung-hitung sudah berapa kali ya aku dijodohin gini sama Belinda dan keluargaku? Hmm, tidak bisa kuhitung. Matthew—Daddyku—dan Anna—Mommyku—sangat suka menjodohkanku. Oh, mereka tahu kalau aku gay. Aku sudah CO ke mereka waktu umurku masih tiga belas tahun. Tahu apa reaksi mereka? Tidak seperti yang kubayangkan di kepalaku. Tidak ada dramanya sama sekali seperti yang ada di film Pray For Bobby atau seperti Revie.
Waktu itu Belinda baru saja datang dari Indonesia, Matt dan Anna juga sedang libur untuk membuat film baru. Jadi kami berempat duduk melingkar di meja makan. Dan aku sudah memutuskan untuk memberitahu mereka kalau aku gay. Hanya saja ada di bagian diriku yang lain sangat takut untuk mengungkapkan hal itu. Namun aku tahu, jujur kepada keluarga sendiri adalah langkah yang tepat. Lebih baik dibenci karena menjadi diri sendiri, daripada dicintai tapi aku tidak menjadi diriku yang apa adanya. Aku sadar, hidupku singkat dan aku tidak mau menyia-nyiakannya untuk membahagiakan orang lain. Ini hidupku, dan aku akan bahagia di jalanku sendiri.
“Matt, Anna, Bel,” kataku perlahan memanggil mereka. Di keluargaku memang seperti ini, Matthew dan Annabelle tidak suka dipanggil Dad dan Mom, mereka merasa tua kalau aku dan Belinda panggil seperti itu, jadi mereka menyuruh kami untuk memanggil nama mereka. Biar akrab, katanya. “I want tell you something, but don’t angry!” Aku menatap Matt yang sedang menatapku dengan pandangan bingung. Sedangkan Anna yang ada di hadapanku hanya memasang senyuman penuh tanda tanya. Belinda—kembaran cewekku yang sangat mirip Matt—hanya terus mengaduk supnya dengan bosan.
Tell us about what?” tanya Anna lembut. Jika Belinda mirip Matt, yang berwajah tegas, kalau aku mirip Anna, yang mempunyai wajah lembut. “Just tell us, we won’t angry.” Anna meraih tanganku dan menggenggamnya, kubenahi letak kacamataku dengan gugup.
I’m…” Aku menghentikan ucapanku, dan melihat Belinda yang kini memberikanku sorot mata ingin tahu. “I’m…” Aku bisa merasakan detak jatungku yang makin berdebar kencang. Bisakah aku melakukan hal ini? Ya, aku bisa-aku bisa! “I’m… gay,” beritahuku pada mereka dengan suara yang agak sedikit tersedak. Aku mengangkat pandanganku dan melihat Anna serta Matt yang balas memandangku tidak mengerti. Bahkan Belinda makin menggeser kursinya agar makin dekat denganku.
You what?” tanya Matt, dahinya berkerut bingung. Aku menelan air liurku dengan susah payah. Berarti mereka tadi tidak mendengar apa yang kukatakan.
Sekali lagi aku mencoba, dan kali ini aku menggunakan nada yang cukup tegas. “I’m gay!” Setelah aku mengutarakan kalimat itu, aku langsung menundukkan kepalaku dalam-dalam. Keheningan yang ada di atas meja ini bisa membuatku menebak kalau Matt, Anna dan Belinda kaget. Aku tidak mau melihat raut kecewa mereka, aku tidak ingin melihat perubahan wajah mereka, lebih baik seperti ini. Tinggal tunggu waktu saat mereka akan mengatakan hal-hal yang kejam untukku. Dan aku sudah menyiapkan kesabaran yang sangat besar di dalam diriku untuk menerima kalimat hujatan mereka nanti.
You… gay?” tanya Anna, suaranya tidak bisa kutebak, apakah dia marah atau kecewa.
Perlahan, aku menganggukkan kepala. “I just wanna tell you about it. If you hate me, I will be okay. I don’t want you agree to disagree for what I told, I just wanna you know about myself. I am me. I am gay, and I love myself way out.” Akhirnya sebuah keberanian yang entah datang darimana, aku mengangkat kepalaku dan melihat wajah keluargaku satu persatu. Matt, Anna dan Belinda memasang wajah yang sangat sulit untuk kutebak. Aku memilin-milin jari tangan kanannku, berharap kalau salah satu dari mereka akan membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu. Apa saja!
Really?” tanya Matt, dia menelengkan kepalanya dan menatapku dengan mata sapphirenya yang mirip Belinda. Sedangkan mataku mirip Anna, hazel agak gelap. “You gay?” tanya Matt lagi, pelan-pelan aku mengangguk pasti. Matt terbelalak lebar, dan kini aku tahu kalau dia akan meledak. Siap-siap sebuah uca— “Kita punya anak gay!” kata Matt dalam bahasa Indonesia kepada Anna. Kami memang bisa berbahasa Indonesia. Matthew menghabiskan masa remajanya di Jakarta bersama Grandpop Edmund—papanya. Sedangkan Anna selalu menghabiskan liburan musim panasnya di Borneo bersama Grandpop Carlisle—seorang pembuat film dokumenter flora dan fauna. Grandpop Carlisle lah orang yang mempunyai stasiun TV Net Geographic Channel. Kalau Belinda memang bisa bahasa Indonesia, karena dia sudah tinggal di sana semenjak umur delapan tahun. Kalau aku baru bisa akhir-akhir ini.
“Ya, aku tau,” sahut Anna cepat. Dia menatap wajahku dalam-dalam. Kuhembuskan nafasku untuk menerima hal yang paling buruk yang akan terjadi. Aku sudah— “Oh, my God!” seru Anna dengan tawa yang tertahan. Nada suaranya terdengar ceria. Aku mengernyitkan wajahku bingung. “Kenapa baru ngasih tau kami sekarang?” tanya Anna antusias. “Kenapa kau tidak bilang dari kemarin-kemarin?” Anna melonjak-lonjak bahagia di kursinya. Kernyitan di dahiku makin dalam. “Ya, Tuhan! Kita harus merayakan ini! Matthew, honey, bisa kau ambilkan Sampanye kita di pantry?”
“Tentu, Sayang,” sahut Matt sama gembiranya kepada Anna.
“Lo gay dan baru ngasih tau gue sekarang!” seru Belinda di sebelahku. “Ya, ampun! Harusnya lo ngasih tau gue dong!” Aku melirik Belinda dengan pandangan aneh. Aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini, bukankah aku baru bilang kalau tadi aku gay ke mereka? Bukan karena aku mendapatkan juara satu se-London karena berhasil memenangkan olimpiade Fisika. “Kalo lo ngasih tau gue dari kemarin kan gue nggak perlu bingung dengan siapa gue harus bicarain cowok-cowok yang ada di majalah Vogue. Tapi nggak apa-apa, sekarang kita bisa bicarain soal cowok berdua. Yeay!”
Sumpah, aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. “Ini dia Sampanye nya!” seru Matt sembari menaruh satu botol besar Sampanye di atas meja. Anna cepat-cepat membuka tutupnya dan menuangkannya ke gelas kami masing-masing, meskipun di gelasku dan Belinda hanya ditaruh sedikit. “Untuk Zavan!” seru Matt sambil mengangkat gelasnya ke udara. “Untuk keberaniannya mengakui jati dirinya, untuk cinta kita padanya!”
“Matt, Anna, Bel, aku baru saja memberitahu kalian kalau aku gay,” kataku dalam bahasa Indonesia yang sangat payah. Aksenku terdengar seperti orang Irlandia saat bicara dalam bahasa Inggris. “Apa kalian tidak marah padaku soal itu?” tanyaku sambil memperhatikan mereka satu-persatu. Matt dan Anna menurunkan gelas mereka dan menatapku dengan pandangan bingung. “Aku gay, apakah kalian baik-baik saja soal itu? Kalau tidak, katakan tidak, kalau iya, katakan iya. Aku akan baik-baik saja kalau kalian marah padaku.”
“Kau ingin kami marah padamu?” tanya Anna cepat. Aku menggigit bibir bawahku, itu benar. Kenapa aku ingin mereka marah padaku? “Tidak apa-apa, Sayang. Kami tidak akan marah padamu. Kau tau tidak bagaimana cara aku dan Matthew bertemu?” Anna bertanya tiba-tiba. Aku menggelengkan kepalaku tanda aku tidak mengetahuinya sama sekali. “Aku dan Matthew bertemu saat acara pertemuan pembela kaum LBGT.” Aku terperanjat kaget di kursiku. Benarkah? “Aku suka dunia LGBT, aku suka para gay, aku sayang sahabat lesbianku, aku disebut Fag Hag karena hal itu. Dan Matthew waktu itu ada di acara tersebut.”
“Itu karena aku sangat sayang sahabat gayku,” kata Matt sambil tersenyum. “Kau tau Halim kan? Itu sahabatku, dan dia gay. Aku dan dia bersahabat dari kecil, dan aku tau kalau dia gay. Aku pernah melihatnya berciuman dengan laki-laki. Tetapi rasa sayangku sebagai sahabatnya menghilangkan rasa tidak sukaku pada orientasinya. Jadi, siapapun dia, apapun yang ada di dalam dirinya… dia tetap orang yang sama. Sahabatku.” Matt meminum sedikit Sampanye nya. “Jadi, ketika aku membuat film pertamaku, aku membuat film tentang dunia gay. Semenjak saat itulah aku suka dengan cara para gay berinteraksi, mereka terlihat natural, apa adanya. Selalu tersenyum, membuatku tertawa. Sebut saja aku Fag Stag. Jadi ketika ada acara pembela kaum LGBT waktu itu, aku datang ke sana. Lalu bertemu dengan Annabelle.”
“Kemudian kami bicara banyak soal LGBT,” tutur Anna. “Tentang Film, gambar-gambar, sahabat-sahabat gay yang kami punya. Semuanya. Setelah itu aku dan Matthew suka jalan berdua untuk membicarakan hal-hal itu. Dan entah bagaimana…” Anna tersenyum penuh kasih sayang ke arah Matt. “Aku dan dia jatuh cinta. Dan sampai sekarang, aku tetap selalu jatuh cinta pada lelaki ini. Matthew.”
Matt tersenyum manis. “Aku juga mencintaimu.” Lalu mereka mulai berciuman! Yikes!
Aku dan Belinda langsung membuang pandangan ke arah lain. “Jadi, ketika kalian berdua lahir, kami sudah berjanji akan ikut gembira dengan apa yang anak kami sukai. Kau gay, dan kami tidak mempermasalahkannya. Malah aku sudah menyiapkan banyak rencana di kepalaku saat ini.” Anna memajukan sedikit badannya ke arahku. “Jadi… menurutmu kau ini di role bagian apa? Top atau Bot?”
Itu dia kisah CO ku. Matt adalah lelaki straight yang sangat suka dunia gay, dan Anna adalah perempuan yang sangat suka segala hal tentang dunia LGBT. Bahkan aku tahu istilah Top dan Bot dari Anna. Dia menceritakanku segala hal tentang gay. Bagaimana cara menggunakan radar dan memilih lelaki yang tepat. Sedangkan bersama Matt, kami suka menghabiskan waktu berjam-jam untuk nonton film Gay. Matt sangat suka film gay yang judulnya Beautiful Thing. Katanya, film tersebut sangat alami dan indah. Kalau bersama Belinda, dia biasanya akan mengirimkan gambar cowok yang sedang dia dekati dan bertanya pendapatku. Kami juga sering telponan dan membahas soal cowok.
Yeah, itu dia keluargaku! Selamat datang di keluargaku yang aneh! Apalagi saat Matt dan Anna memberitahu kedua Grandpop dan Grandmama ku soal orientasi seksualku. Kedua Grandpop ku malah memberikanku hadiah. Sedangkan kedua Grandmama ku membuat pesta BBQ di belakang rumah untuk merayakan hal itu. Keluargaku makin aneh, kan?
Well, meskipun mereka aneh, aku sangat mencintai mereka. Aku sangat bersyukur karena mereka mau menerimaku apa adanya. The best damn thing in my life is my family. Tanpa mereka, aku tidak akan tahu hidupku akan seperti apa. Walaupun Matt dan Anna sangat sibuk dengan urusan pembuatan film mereka, tetapi mereka selalu meluangkan waktu mereka untuk menelponku dan Belinda meskipun hanya beberapa menit saja. Aku dan mereka belum bertemu selama delapan bulan, Matt sedang sibuk membuat film Transformer dan Anna sedang sibuk membuat film dari novel Nicholas Sparks. Aku merindukan mereka, tetapi aku tahu, mereka sibuk seperti itu juga untukku dan Belinda.
Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin sekarang aku bisa mengenakkan pakaian Alexander McQueen yang harganya mahal ini? Bagaimana mungkin aku bisa duduk dengan santai di Starbucks sambil menjilati sendok fro-yoku kalau bukan karena uang dari Matt dan Anna? Jadi aku tidak mempermasalahkan mereka jarang ada di rumah. Walaupun aku memang sangat suka kesepian. Aku mungkin punya banyak teman, sahabat dan keluarga yang sayang padaku, namun aku benar-benar merasa sendirian di dunia ini. Bahkan slogan: lebih baik dibenci karena menjadi diri sendiri, daripada dicintai tapi aku tidak menjadi diriku yang apa adanya, tidak ada dalam diriku lagi.
Aku yang sekarang, bukan aku yang apa adanya! Aku sedang menipu diriku sendiri!
His gay!” ujar Belinda di sebelahku, membuat lamunanku buyar seketika. Aku menengadah dan melihat wajah Belinda yang berseri-seri. Dia berjalan cepat ke sofanya dan duduk dengan nyaman di sana. “Nama cowok itu Troy—bukan Thor. Dia pemilik distro Rip Curls yang ada di lantai tiga, dia single dan dia Top.” Belinda menopang dagunya dengan tangan dan tersenyum lebar ke arahku. Kebiasaannya kalau senang jika bisa menjodohkanku dengan lelaki yang menurutnya baik untukku. “Dan gue udah kasih nomor HP lo ke dia.”
Susah kalau punya kembaran yang suka dunia gay seperti ini! “Alrite, thanksie!” Kuberikan Belinda senyuman terima kasihku. Ya sudahlah! Lagi pula cowok yang namanya Troy itu lumayan ganteng. Apalagi saat dia memberikanku sebuah senyuman saat aku menoleh ke arahnya. Kukerjapkan mataku beberapa kali, terkejut karena senyuman itu bisa membuat hormon nakal yang ada di dalam tubuhku bergejolak. Dengan sangat elegan, aku membalas senyumannya. Kuberikan dia senyuman mautku. Yeah, makan senyuman mematikanku ini!
iPhone ku kembali bergetar. Aku membuka slide lock nya dan menemukan nomor baru di iMessage ku. Isinya tentu saja dari cowok itu. Ucapan basa-basi yang tidak penting sama sekali. Tetapi biarlah, berarti ini awal yang sangat baik. Yang pentingkan sudah dua jam setelah aku putus dari Robi—rombongan babi. Cari pacar baru kan nggak dosa? Iya, kan? Siapa tau kontol cowok itu bentuknya kayak kartun favoritku: Doraemon. Pasti unyu deh, aku bakalan mainin kepala kontolnya dengan lidahku terus menjilati batangnya lama-lama. Hmm, fucking delicious bitch! Lebih enak daripada fro-yo yang ada di tanganku ini.
“Umurnya dua puluh empat tahun,” beritahuku pada Belinda yang sedang sibuk telponan dengan Bams—tetangga depan rumah kami dan pacarnya. “Dia udah CO ke orang tuanya dan dia openly gay,” tambahku lagi. “Berarti kalo gue pacaran sama dia nggak akan ada drama lebay kayak drama-drama Korea yang sering lo tonton itu.” Belinda menjulurkan lidahnya sebal kepadaku. “Dan semoga cowok ini nggak ngebosenin kayak pacar-pacar gue yang sebelumnya. Jangan sampe si Troy ini mirip: Lukas, Javier, William, hmm, siapa lagi ya… Oh, Dran sama Robi. EW! Amit-amit jabang pelacur berpepek lebar! Semua cowok itu sangat membosankan, saking ngeboseninnya gue inget nama mereka!”
“Troy lumayan asyik kok tadi pas gue ajak bicara,” kata Belinda sambil mematikan HPnya.
“Yang menurut lo asyikkan belum tentu asyik menurut gue,” hardikku malas. “Masih inget sama cowok yang pernah gue rebut dari lo itu nggak? Si Javier? Pas dia pacaran sama lo, lo bilang anaknya asyik banget. Tapi pas gue pacaran sama dia… eek, bahkan dia lebih membosankan daripada novel Pride and Prejudice.” Belinda mengangguk-anggukkan kepalnya. Mengerti dengan ucapan yang baru saja kulontarkan padanya. “Dan sekarang gue bosen ada di sini. Go somewhere, yuk! Kemana gitu.”
Belinda mengangkat pandangannya dari iPhone nya. “Gue sih ada di text nih sama Chloe. Dia sama Floque nya mau pergi ke party nya Griffin. Party buat kaum LGBT. Lo mau dateng nggak?” Belinda mengambil kentang goreng terakhir yang ada di atas piring dan melahap kentang itu dalam sekali gigit. “Kalo gue sih mau dateng, soalnya Bams masih ada urusan di Semarang sama Bokapnya. Ngurus perusahaan gitu deh. Daripada gue bosen di rumah sambil nonton drama Korea yang lo bilang lebay itu—brengsek lo—mendingan gue ikutan Chloe.”
“Ya udah, gue ikut deh. Flocks gue lagi pada liburan semua—ninggalin germonya sendirian di Jakarta.” Iya tuh, aku ditinggal sendirian, dan mereka berempat sedang asyik-asyiknya bulan madu dengan pacar mereka masing-masing. I’m so envy like a devil in bitch body! “Yuk, cabs gerak!” Aku menepuk Levi’s ku lalu bangkit. Troy sudah tidak ada di kursinya lagi, terkahir text nya masuk sih, dia bilang mau kembali mengawasi distronya. Whatsoeva!
Yang penting aku ke clubbing party malam ini! Permisi, Pelacur satu ini mau lewat, anjing!
***
FYI, teman-teman Belinda yang dari Jubilee International School itu sangat unik-unik. Aku nggak bercanda lho! Mari kuperkenalkan satu-satu. Cewek dengan wajah jutek yang sedang menyesap Orange Squash itu namanya Amanda. Cewek straight. Sangat suka mengkritik segala hal. Namun saat kritikkannya dibalas, dia malah marah-marah. Tetapi Sid pernah skak mat cewek itu, dan dia langsung terdiam. Yeah, kalau nggak punya sembilan nyawa kayak kucing mendingan nggak usah lawan omongan Sid deh! Sedangkan kembaran beda Mamanya itu namanya Dave. Agak-agak nerdy seperti Revie, dia ngomong aja halus banget kayak tukang sapu yang ada di pinggir jalan. Tapi Dave bukan tukang sapu kok. Dia gay dan punya pacar yang tampan.
Nah, cewek yang agak maskulin di depanku ini namanya Cassie. Biseksual. Tetapi lebih condong suka ke cewek. Dan pacarnya itu teman modelku. Namanya Elaine. Cantik banget, wajahnya agak-agak mirip Revie, tetapi dalam bentuk tubuh cewek. Kalau Revie dan Elaine disandingkan berdua, mereka sudah seperti Tuan dan Nyonya Barbie. Tapi sayang, Revie gay dan Elaine lesbian. Dunia itu adil, babe, yang ganteng gay yang cantik lesbian. Nobody perfect! Sedangkan cewek yang sedang duduk manis sambil memegang Mocktailnya itu namanya Chloe. Dia cantik juga kayak Elaine. Tapi… Chloe itu Transgender. Nama sebelum dia jadi cewek adalah Charlie. Aku pernah lihat fotonya saat dia masih jadi cowok, lumayan cute like a bunny in the hole. Tapi… dia lebih memilih jadi cewek daripada jadi cowok.
Pacarnya Chloe juga sangat tampan. Benar-benar cocok bersanding dengannya. Dan cowoknya Chloe itu juga Transgender. Iya, bener banget. Pacarnya Chloe itu awalnya cewek tapi mengubah kelamin jadi cowok. Dan… Chloe dengan dia pacaran sekarang. Damn! Mereka berdua itu sangat serasi. Sama-sama Transgender dan sama-sama saling mengisi kegembiraan. Yah, apapun namanya, aku nggak peduli-peduli amat sih!
Karena aku lebih mementingkan party Griffin yang lumayan rame ini. Aku mengangkat pandanganku ke arah dancefloor. Hmm, banyak kloningan MJ sama Britney Spears! EW!
Lame banget sih nih party! Aku kira bakalan heboh kayak party nya Jojo waktu itu! Orange Squash nya juga nggak enak! Ick!” Amanda mulai mengkritik lagi, sebisa mungkin aku mengabaikan cewek itu. Aku tidak pintar dalam memberi balasan sarkas seperti Sid. Jadi daripada aku kena kritik Amanda—stupid pepek girl—mendingan aku silencio mulutku. “Kalo tau gini aku di rumah aja tadi. Masih seruan nonton film Horor di rumah daripada party ini! Lagu-lagu yang disetel sama DJ nya juga nggak asyik! Bored!” Ck! Ini nih alasan kenapa aku jarang suka sama cewek straight. Mulutnya ada enam, kayak pepek robek!
Blue Eve ku enak nih. Kamu mau nyoba?” ujar Dave sambil menyorongkan minumannya ke arah Amanda. Katanya Chloe sih, Amanda hanya bisa dijinakkan oleh Dave kalau mulutnya mulai mengkritik segala hal. Bagus deh, daripada lama-lama aku dorong dia dari lantai dua!
Belinda berdeham di sebelahku, dia tersenyum ke arah dua orang cowok yang lagi making out di sofa yang ada di sebelah kami. “Mereka imut ya, gayanya ciuman bener-bener menarik.” Ya, Tuhan! Kenapa sih aku punya saudara kembar yang sangat suka dengan dunia para gay seperti ini? Bukan berarti aku tidak bersyukur, hanya saja terkadang sifat Belinda yang sangat suka dunia LGBT seperti Anna itu cukup mengganggu. Aku saja yang gay begini tidak begitu tertarik dengan segala jenis pemandangan gay yang ada di depan mataku.
“Nggak ah, biasa aja tuh!” kritik Amanda lagi. Fucking Goddess! Si Amanda ini benar-benar annoying. Aku jadi rindu flocksku. Kami sangat jarang mengkritik hal apapun. Kami lebih suka langsung bertindak daripada banyak omong. I hate this girl! Andai saja nyantet orang itu nggak dosa! Mungkin sekarang aku sudah ada di rumah Ki Joko Bodo dan nyuruh orang itu buat nyantet Amanda. Santet yang biasa aja deh, keluar enam ratus paku dari dalam puting teteknya. Mampus, you stupid hoe!
Aku mengeluarkan iPhoneku, lalu mencari nama Sid di buku telpon. “Gue ke sana dulu ya!” kataku, menunjuk ke arah balkon. Lama-lama aku di sini bisa kulumat tuh cewek bernama Amanda. Belinda dan yang lain langsung mengangguk. Aku melangkah cepat sambil mendorong beberapa tubuh yang menghalangi jalanku. “Halo, Sid? Sid?” Sial! Ternyata suara operator yang menjawab. Pasti dia sedang ada di pesawat untuk pulang ke Indo saat ini. Aku mencari nama flocksku yang lain di buku telpon dan yang menjawab tetap para operator. Where the fuck are they? Aku benar-benar kesepian sekarang! I miss my flocks!
OTF?” tanya sebuah suara di belakangku. Aku memasukkan iPhone ku dan melihat cowok dengan rambut rapi namun cambang dan jenggotnya baru setengah tercukur. Agak hawt sih, mirip Jason Mraz. Dari aksennya tadi sih kayaknya nih cowok turunan Milan. Agak gotik. “OTF?” tanyanya lagi, kali ini dengan uluran tangan. Well, well, well, kalau aku tolak ajakannya sama aja kayak aku nolak tawaran jadi model untuk desainer sekelas Marc Jacob.
Why not? I love on the floor!” kataku sambil memasang senyuman terbaikku. Kuraih uluran tangannya, dan bersama-sama kami ke lantai dansa. Lagu Glad You Came yang diremix dengan lagu Starships-nya Nicki Minaj cukup seru untuk dijadikan pengiring gerakkan hebohku malam ini. So, let’s do it! Minggir semua kalian para Pelacur abal-abal! Watch my step and dance, you gonna lurve it! “You can start first!” ucapku pada cowok itu, lalu dengan gerakkan kecil dan cukup menghibur, dia mulai menggerakkan tubuhnya. Aku tersenyum dan bergelanyutan di atas pundaknya. Mataku tertumbuk ke arah bibirnya yang agak basah karena minuman yang dia minum tadi. Entah minuman apa!
Aku berbalik dan mulai menggoyangkan bokongku di bagian tonjolannya. Awalnya aku hanya merasakan sebuah tonjolan lembek, lama-lama tonjolan itu mengeras dan menghentak-hentak bokongku. Hmm, sepertinya kontol cowok ini besar deh. Thanks Aphrodite!
Ketika aku sudah puas dengan tonjolannya yang menghentak-hentak bokongku, aku berbalik dan mulai mencium bibirnya yang basah. Hmm, bibirnya manis seperti cocktail. Aku mengeluarkan lidahku dan menjilat bibirnya. Kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya saat dia meremas bokongku. Tetapi saat aku melingkarkan lidahku di lidahnya, dia tidak membalasnya. Hanya ada satu kata untuk cowok ini. Payah! Ciumannya payah! Aku menarik kepalaku menjauh. “I’m thirsty, will be back soon,” bohongku. Cowok kloningan Jason Mraz menatapku sejenak dan bertanya namaku. “Zavan,” kataku. Dan dia memberitahuku namanya yang ternyata adalah Jero. Pantas saja ciumannya payah. Namanya Jero—Zero­—NOL!
“Darimana aja?” tanya Belinda, dia berdiri dari tempat duduknya. Kutenggak Brandy Salvo ku banyak-banyak. “Gue daritadi nyari lo buat ngajak lo ke dancefloor.” Belinda mengikat rambut panjangnya dengan gaya ekor kuda. “Yuk, kita OTF, Donatella!” Aku mengangguk lalu berbalik ke arah dancefloor lagi. Chloe dan Elaine sudah berjalan duluan ke arah sana. Aku menghirup nafas panjang-panjang! Kalau Amanda bilang party ini lame, aku akan membuatnya heboh. Watch and learn, dasar anak Pelacur!
“Yang punya Pepek minggir, gue hanya tersedia buat Kontol!” teriakku kencang, membuat semua mata yang ada di sini terarah ke arahku. Aku berlari kencang dan mulai menggerakkan badanku dengan heboh. Semua orang bersorak dan lagu makin menggema luar bisa keras. Aku mengedarkan pandanganku dan melihat seorang cowok hawt dengan rambut bergaya spike dan keringat yang mengalir di tengkuknya sedang menari sendirian di belakangku. Aku menariknya bersamaku dan mulai mencium bibirnya dalam-dalam. Hmm, ciumannya lebih baik daripada si Nol tadi. Tetapi sudahlah, besok aku harus Sekolah, no sex for tonite. “Adios, thanks for dah kiss!” Aku menepuk pipinya dan berlalu, menghampiri Belinda yang lagi bergerak anggun bersama Chloe dan Elaine.
Elaine langsung menarik pundakku saat aku berdiri di hadapannya. Payudaranya yang kencang menabrak-nabrak dadaku. Chloe memeluk tubuhku dari belakang, tangannya yang lembut memegang pinggangku. This party never be lame if I’m goin’ in, Biatch! Belinda tersenyum lebar ke arahku, dia menunjuk cowok tampan yang ada di sebelahnya. Menyuruhku untuk menghampiri cowok itu. Maaf kembaran, my dear, nanti saja! Aku masih asyik dengan gerakanku yang sekarang. “I’m so Mary Jane Holland tonite, bitch!” seru Chloe sambil mengangkat gelas Mocktailnya ke udara.
Belinda mengapit tubuhku, tawanya yang seperti Graus itu menenggelamkan lagu I Love It dari Icona Pop yang dibuat dengan nada-nada memekakkan telinga. “Look at my ass!” seru Belinda, dia menggoyang-goyangkan bokongnya dengan heboh. Aku dan Chloe tertawa melihat ini. Segerombolan cewek yang ada di belakang tubuhku menatap bokong Belinda dengan pandangan kagum. Maaf, teman-teman lesbianku, Belinda cewek straight. “Oh, My!” teriak Belinda keras. “Pepek gue terbakar api, dahling!”
“Yeah, kipas-kipas!” kataku sambil mengipas-ngipasi selangkangannya. Belinda tertawa keras. Aku menaruh tanganku di pundaknya yang basah karena keringat. Punya saudara sepertinya memang menyenangkan. “We are the binal twins!” teriakku sambil melonjak-lonjak di udara bersama Belinda. Kami berdua tertawa. Untuk sesaat aku bisa menghilangkan rasa rinduku kepada sahabat-sahabatku. Tetapi entah mengapa, ada sesuatu di dalam diriku yang begitu kesepian. Meskipun aku tertawa di keramaian seperti ini, aku masih saja merasa sendiri. Orang-orang yang ada di masa laluku, merekalah yang selama ini menghantui hidupku. Hermione…—Sudahlah! Aku tidak perlu memikirkannya terus.
My life must go on! Aku sudah tinggal di Indonesia sekarang, jauh dari mereka! Aku seharusnya bahagia sekarang! Meskipun aku bahagia tidak menjadi seperti aku yang dulu!
Lebih baik aku pulang sekarang! Besok adalah hari pertama Sekolah. Aku akan bertemu dengan flocksku. Lagi pula party ini sudah tidak lame lagi seperti awal aku masuk. Well, mungkin akan lame lagi saat aku sudah tidak ada di sini. That’s rite, people, dunia akan terasa begitu menyedihkan jika tanpa aku di dalamnya. Catat namaku: Zavan McKnight!
***
Kontol Kucing! Ini nih nggak enaknya kalau datang kepagian. Masih nggak ada orang di sekolah. Tapi, apa boleh buat. Karena aku benar-benar bosan di rumah karena bangun terlalu subuh, jadi terpaksa deh aku pergi sekarang. Sekalian ngambil jadwal pelajaran untuk semester dua ini. Bukan berarti aku rajin or sumthing ya, tapi karena memang pengen ngambil aja. Daripada ngantri lagi di ruang akademis. Iya kalau ngantrinya sama anak-anak RR, kalau sama anak-anak RG gimana? Sudah jelata, kadang sok-sok-an lagi! Triple ew!
Selama liburan dua minggu kemarin aku nggak ada pergi kemana-mana. Sid dan Adam pergi ke Rio de Jeneiro. And dan Vick pergi jalan-jalan ke Sabang—pasangan kurang kerjaan! Revie dan Bagas pergi ke Puncak—ew, pasangan sok romantis! Sedangkan Tivo dan Peter pergi ke Singapura—that bitch is so cruel to me, masa pergi jalan-jalan nggak ngajak-ngajak sih?! Jadinya selama liburan ini aku hanya di rumah, sambil kencan sama beberapa kontol cowok yang rasanya selalu sama saja di mulutku. Bleh! Tapi, sudahlah! Penderitaanku akhirnya berakhir, karena liburan telah selesai! Hore! Kalau Tasya bilang: libur telah tiba, hore-hore—anak kecil songong—itu nggak ngebuat aku gembira dan hore sama sekali. Pas masuk sekolah kayak gini baru aku bisa berseru hore! Yeay!
Kukeraskan volume iPodku, lagu Hard Out Here dari Lily Allen memenuhi telingaku. Sambil menunggu sahabat-sahabatku datang aku membuka majalah AmazTeen. Mau mengecek beberapa hal, karena satu minggu yang lalu aku digosipin pacaran sama Cinta Laura. Bitch, puh-lease! Nanti kalau aku pacaran beneran sama Cinta Laura, yang ada kami hanya saling ngomong: mana hujan, nggak ada ojek, becek! Fucking ew! Nggak elegan banget, makanya aku mau ngecek lagi. Apakah aku masih digosipin soal itu?! Coba saja waktu itu aku nggak nyetujuin ajakkan Cinta pas dia ngajak aku ke Sushi Tei setelah sesi take iklan Sony Xperia Z1. Pasti nggak akan ada gosip itu! My-Gaga-ladadidadi-willy-willy-golly!
Aku membaca daftar isi yang ada di majalah AmazTeen dengan mata menyipit. Daftar isinya sangat membosankan. 1. Dua Puluh Cara Mendapatkan Hati Cewek IdamanEW, nggak butuh. Dan nggak akan pernah butuh! Nggak doyan ngentot pepek! 2. Robert Pattinson In Skinny Jeans—maaf, aku nggak ngefans sama Robert a.k.a Edward Cullen itu! Mau seseksi apapun bentuk badannya—yang ternyata nggak seksi-seksi amat kok. 3. Love or—Oh, my fucking goddess! Siapa cowok ganteng super hawt yang lewat di depan mataku ini? Murid baru kayaknya deh! Soalnya aku nggak pernah lihat. Damn, badannya buat aku horny aja!
“Hei!” sapaku ke arahnya, kulepas earphoneku dan mendekatinya. “Murid baru ya?” tanyaku sambil tersenyum penuh godaan. Senyuman yang selalu bisa membuat cewek ataupun cowok luluh ke dalam pelukanku—yeah, thanks to Mother Monster. “Kok gue baru lihat lo di sini?” Cowok yang ada di hadapanku ini kulitnya cokelat eksotis dengan bentuk tubuh proposional dan bentuk mata agak lonjong dan sangat mententramkan jiwaku—ooh la la. Tetapi kalau dilihat-lihat, aku kayak kenal deh sama orang ini. Atau cuman perkiraanku aja ya?
“Kamu kenal aku kok,” katanya gugup. Aku mengernyitkan dahiku dan berujar oh, ya dan siapa ya padanya. Dia pun menjawab dengan hati-hati. “Aku… Ozayn.”
WHAT??? ANJING!!!

–Bersambung to Chapter 2,

0 komentar:

Posting Komentar