Pengorbanan Seorang Sahabat
Memang, keadaanku dilihat dari fisik saat ini aku menjadi seorang yang cacat duduk di kursi berjalan yang bisa mengantarkanku kemana saja dengan cara memutarkan kedua roda yang berada disamping. Hati aku sangat sedih, karena aku tidak bisa melanjutkan kuliahku di London dan aku tidak bisa bertemu dengan sahabatku, maksudku mantan sahabatku yang dulu pernah menemani hari-hariku. Di hari saat matahari akan memberikan senyuman kepada semua orang yang akan beraktifitas, aku mulai memutarkan roda yang ada di pinggir kursi, sehingga aku dapat perge kemana saja ke tempat yang aku mau. Tiba-tiba hatiku menyuruhku untuk mengambil sebuah novel yang dulu pernah aku beli dengan mantan sahabatku di London. Aku mengambilnya di rak buku tepat di samping jendela yang terlihat pemandangan indah kota Jakarta. Kemudian aku menuju teras depan di lantai 3. Novel itu berjudul “My Best Friend” karangan Stephenie Meyer's yang mengarang novel terlaris dan filmnya pun menjadi film terfavorit anak muda yaitu Twilight. aku sudah membaca novel ini sebanyak 8 kali, novel ini sangat tebal dan dapat selesai membacanya hingga 1 minggu, itu pun jika terus-menerus membaca. Novel itu mulai aku buka dan ternyata ada foto aku bersama mantan sahabatku ketika di Tower of London. Mantan sahabatku bernama Oxford. Aku mengambil foto itu dan aku memandangnya, betapa kecewanya hatiku ku kepada dia. Memang, persahabatanku dengannya sangat dekat. Bahkan aku memanggapnya dia adalah kakakku karena dia selalu menasehatiku jika aku melakukan suatu kesalahan. Aku sangat mati ketakutan jika di marahi oleh Oxford karena saat dia marah wajahnya menyeramkan dan vocalnya seperti penyanyi rock yang bernyanyi di pinggir jalanan. Kedekatan kami selalu ada yang mengejeknya entah itu karna apa? Mereka berkata bahwa kami adalah pasangan seorang gay. Sumpah, berani taruhan aku dan Oxford bukanlah pasangan gay dan kami normal. Aku berani mengahajar orang-orang yang bertaka seperti itu sampai warna kulitnya menjadi warna biru seperti alien yang datang dari planet lain yang mencoba mengganggu kehidupan manusia yang damai. Namun, setiap aku akan melakukan hal itu Oxford selalu menghalanginya. Dia selalu menahanku untuk tidak melakukan perbuatan itu kepada orang-orang. Ga habis pikir kenapa Oxford melakuakn itu, tapi aku mengikutinya saja karna Oxford meminta seperti itu. Mengingat saat aku bersama melalui foto itu aku jadi memutar kembali memory yang dulu pernah aku coba untuk aku bakar hingga menjadi abu yang aku tiup hingga menghilang begitu saja. Akhirnya aku menganggap kepadanya bahwa dia adalah mantan sahabatku. Siang itu aku makan di kantin bersama pacarku, Cassidy. Aku memesan 2 burger dan minuman Blue Punch. Kedua Burger itu hanya untuk aku saja, aku memesan dua karena jika hanya memakan 1 burger ukuran besar itu kenyang hanya sekejap saja jadi aku memesan 2. Pacaraku, Cassidy, tidak ingin makan dan dia hanya melihatku makan seperti menonton bioskop dengan genre romance. “Why?” tanyaku kepada pacarku yang menatap dengan serius. “nothing.” Jawabnya dengan singkat bersama senyuman indah seperti bidadari siang yang menerangi hatiku. Aku melanjutkan makan siangku. Tiba-tiba aku mendapatkan sms yang berisi. “if you do not believe, now come to the school backyard..” Aku tidak tahu itu dari siapa karena yang mengirim sms itu tidak ada kontak nama di hpku. Dengan penuh penasaran aku langsung bergegas untuk menghentikan makan siangku meski saat itu aku sangant lapar dan aku langsung menuju belakang sekolah bersama Cassidy. “come on follow me!” ajakku kepada Cassidy yang heran melihatku. Dengan berat hati aku meninggalkan 1 ⅟2 burgerku yang aku pesan. Aku bersama Cassidy berjalan cepat menuju halaman belakang sekolah. “why should a brisk walk??” protes Cassidy. Aku tidak menjawab pertanyaan Cassidy karna aku juga tidak tahu apa yang terjadi, hanya perasaan tidak enak saja yang terus menerus berteriak di hatiku. Ketika sampai di halaman belakang sungguh hatiku kini bukan berteriak tetapi menjerit histerys seperti sedang berada di Roller Coaster. Pemandang tidak enak bahkan membuatku ingin memuntahkan seluruh isi yang ada di tubuhku. Apa yang aku liat pasti semua orang tidak akan pernah percaya, sahabatku, Oxford sedang beradu bibir dengan Jeremy teman satu jurusannya. Cassidy pun langsung berlari meninggalkan aku sendiri tetapi aku tidak memperdulikannya karena ada yang lebih penting untuk di bicarakan. “What are doing?” Teriak ku kepada Oxford dan Jeremy. Mereka berdua langsung melepaskan apa yang diadukannya. Oxford sangat terkejut begitu juga dengan Jeremy yang terlihat dari wajahnya yang pucat seperti mayat. Oxford langsung menghampiriku. “Sorry, I… I….” Jawab Oxford dengan gugup dan merasa takut. “ok! I do not need an explanation! Now I understand why people always insult us when we are together. It turned out that what people say is true! you're gay!” Aku memotong perkataan Oxford. “ok.. ok… I'm sorry… I admit, I am like what you see.. Of course, I'm gay but I'm not monster is love my best friend.!” Oxford mengakuinya. Aku ga peduli dengan penjelasannya dan aku langsung pergi meninggalakan sahabat aku yang telah menjadi mantan sahabat aku. Setelah kejadian itu, aku serasa tidak kenal dengan Oxford dan aku dan Oxford lost contect. Hingga aku pulang ke Indonesia. Jujur saja aku masih memikirkan Oxford teganya dia lakukan itu padaku. Aku ceritakan semua kepada Ayah dan Ibuku, tentu saja mereka terkejut. Aku pulang ke Indonesia hanya karna aku rindu keluarga ku. Setelah satu minggu di Indonesia aku kembali ke London. Setalah sampai di Londong aku menaiki taxi yang sudah menjadi langgananku. Namun, di tengah perjalanan aku mengalami kecelakaan yang sangat tragis yang membuatku koma selama satu tahun. Tiba-tiba aku terkejut dan aku tersadar dari lamunanku yang terjadi satu tahun silam. “Milo, kamu sedang apa?” Tanya ibu ku yang tiba-tiba muncul di belakangku. “oh eh… ini bu, aku sedang mengingat masa-masa saat bersama Oxford di London.” Jawabku. “Kira-kira Oxford kemana ya bu?” lajutku bertanya. Tiba-tiba ibuku mengeluarkan air mata dari matanya yang indah. Air mata itu membuat mata ibuku menjadi bersinar seperti diamond. Namun, itu terlihat seperti kesedihan bukan kebahagiaan. “mungkin kini saatnya kamu tahu apa yang terjadi!” Ibuku langsung mengambil kursi dan duduk di sebelahku. “Kenapa bu?” tanyaku heran dan mulai muncul perasaan yang tidak enak. “dulu ketika kamu kecelakaan, Oxford dan Cassidy membawa kamu ke Indonesia. Kamu dalam keadaan kritis. Kita semua di kejutkan bahwa semakin hari jantung kamu semakin lemah, dan kamu membutuhkan jantung yang baru.” Ibuku berhenti sejenak untuk menghapus air matanya yang mulai menetes terus menerus. Aku terdiam dan akupun mulai mengeluarkan air mataku juga. Perasaan tidak enak itu mulai munusuk-nusuk hatiku agar aku mengeluarkan air mataku secepat mungkin. “kamu tahu? Siapa yang menggati jantung kamu itu? Dia adalah Oxford. awalnya Dokter menolaknya, karena yang bisa mendonorkan jatung hanyalah orang-orang yang kritis seperti kamu saat itu. Tetapi Oxford memaksa hingga iia rela menabrakkan dirinya sendiri demi memberikan jantungnya itu kepada kamu.” Lanjut ibuku. Air mataku mulai menetes dengan cepat dan saling balap membalap antara mata kanan dan mata kiriku. “Oxford memang sudah tiada tetapi sesungguhnya dia ada disini, tentunya ada dalam dirimu..” cerita ibuku. Aku baru sadar bahwa sahabat itu tidak hanya dilihat dari luarnya saja tetapi dilihat dari pengorbanan apa yang dilakukan sahabat. Penyeselan memang ada di akhir tetapi kita bisa memperbaiki penyesalan itu dengan cara melakukan yang lebih baik lagi.
0 komentar:
Posting Komentar