KITA

Dirgantara putra 13.39 |

KITA

posted By :  http://rendifebrian.wordpress.com



“Hiduplah sesuai dengan jenis kelamin lo.” Rama berkata ambigu, lalu dia meninggalkanku di heningnya malam.
***
Figi’s POV
Kami berjalan ke arah kantin, sudah biasa jika kami menjadi pusat perhatian se-antero sekolah, menjadi buah bibir sekolah rasanya sudah sangat biasa untuk kami.
Hanya sekedar memberitahu. Kami adalah kelompok yang paling di takuti oleh para murid di sekolah ini, entah apa yang mereka takuti dari kami yang berisikan delapan orang ini, buatku tak ada yang sepesial selain ke kompakan kami.
“Kak Agus itu ganteng banget sumpah,” celetuk siswi kelas 2 tak jauh dari kami. Andri dan Elul mulai meledek Agus, aku tetap masih sibuk berkutat dengan iPadku. Mataku memang selalu terpaku ke iPad yang ku pegang tapi jangan kira aku itu skeptis, aku selalu memperhatikan!!! Walau kalian tak sadar, dan itu kelebihanku.
“Misi dong!” Dwi bicara dengan siswa yang terkenal dengan ulah buruknya di sekolah, matanya yang tajam melihat ke arah tempat duduk anak tersebut yang menandakan kami ingin duduk di tempat itu dan dia harus pergi.
“Iya.” Anak itu langsung pergi bersama ke empat temannya, sayup sayup terdengar anak itu membicarakan kami, sudah biasa.
“Tumben pilih tempat ini, biasanya di sana.” Aku membuka pertanyaan yang menyelidik.
“Gue ngak suka aja tuh liat mukanya sih Faris, sumpah senga, dan kelakuannya ituloh, pengen gue gibas aja dah!” Dwi bersungut sungut sambil menatap tajam Faris dan kawan kawanya yang harus merelakan tempatnya untuk kami. Rama dan Doni datang membawa makanan pesanan kami.
“Ada apasih elo sama dia Wi?” tanya Doni duduk di sampingku.
“Ituloh, dua hari yang lalu gue mergokin dia malakin ade kelas, dan pas gue tegor dia nyolot!” jelas Dwi sambil menyeruput es teh manisnya.
”Bego, kenapa kagak lu ributin di situ juga?” Huda ikut dalam percakapan setelah teleponan dengan pacar barunya. Playboy.
“Tadinya udah mau gue ributin, tapi dianya kabur terus ngoceh ngoceh gak jelas kayak banci!” Dwi mengeluarkan ekspresi marahnya.
“Udah nanti pulang lu abisin dah, kalo temennya macem macem urusan gue dah.” Elul menimpali sambil menyantap nasi gorengnya.
“HEEM!” Aku berdahem keras sambil memaruh iPad   yang aman lalu menyantap bakso-ku.
“Dia itu pantes Gi sekali kali dikasih pelajaran,” sangah Huda.
“Ya kalo gitu biar gue aja yang kasih pelajaran ke dia,” jawabku sambil mengunyah makananku.
”Lo ajarin dandan gitu?” ledek Rama.
Aku langsung menatap Rama dengan pandangan penuh kebencian.
“Sorry sayang,” guyon Rama sangat menjijikan, aku hanya memberikan ekspresi jijik yang kubisa.
Sedikit penjelasan saja. Rama itu siswa yang paling di takuti di sekolah ini, tapi dia bukan anak yang urakan dan bertingkah seenaknya. Aku sangat suka karakter Rama, rendah hati, kuat dan berpendirian. Dia tidak akan bermain fisik jika tidak orang lain yang mendahuluinya. Telah banyak peristiwa yang membuat Rama menjadi siswa yang di takuti di sekolah.

***
“Gue heran sama gank begajulan lo itu yang super duper sok alim,” Deni teman satu gank Faris mulai mencemoohku di toilet.
Aku hanya melempar pandanganku sebentar lalu mencuci tangan di wastafel.
“Kenapa elo yang lemah ini bisa di rekrut sama mereka?” tambah si Deni sialan ini memancing emosiku.
Sedikit penjelasan saja. Aku memang paling lemah diantara sahabat sahabatku, aku juga tak suka bermain fisik seperti sahabat-sahabatku, dan aku bukan pengadu, apapun yang terjadi padaku selalu ku pendam sendiri, dan aku GAY.
Seperti sekarang ini, mereka sering sekali membullyku, tentu jika aku sendiri, mana berani mereka jika aku sendang bersama sahabatku, bahkan jika aku bersama satu orang sahabatku dan mereka lengkap pun mereka tak berani sedikit pun mengusikku, menurutku, mereka itu jauh lebih lemah dibandingkan aku.
Setelah selesai mencuci tangan aku hendak keluar toilet, belum sampai pintu Faris dan tiga teman lainya masuk dan langsung menutup pintu keluar toilet.
”Aaaaaaargh!!!”
Doni’s POV
“Don, gue duluan ya” Rama pergi menjemput pacarnya setelah mereka bertelepon ria.
Lama lama aku mulai bosan menunggu Figi di depan sekolah, sebetulnya sangat enggan masuk lagi ke sekolah tapi daripada harus nunggu Figi di sini sampai lumutan mending aku susul, lagi pula bukan ukuran yang wajar jika Figi hanya pamit untuk buang air kecil tapi selama ini.
***
“Woi, bukain dong, please!” Terdengar suara Figi dari dalam toilet.
”Figi, lo di dalem?” kata ku sedikit berteriak.
”Iya Don, lama banget sih lu.”
”Lah, kenapa gue yang dibilang lama?”
”Yaudah deh cepatan bukain.”
“Dikunci nih pintunya,” jawabku bodoh.
“Kalo kagak dikunci gue bisa keluar dari tadi bego!” Suara Figi terdengar melemah.
“Gue cari kuncinya dulu ye.” Aku sudah seperti berbicara dengan pintu toilet saat ini.
“Ya ampun, dobrak aja, keburu mati di dalem nih gue!” Suara Figi benar-benar melemah, untuk mendengar suaranya saja aku harus berkonsentrasi, dan itu membuatku cemas. Bajingan mana yang berani mengerjai sahabatku satu ini, takkan selamat jika sampai aku temukan orang itu.
“Mundur Gi, gue dobrak nih.” Figi tak lagi menjawab, ku tunggu beberapa detik sampai aku yakin Figi tidak berada di belakang pintu.

***

“Siapa yang berani ngerjain lo sampe kayak gini sih Gi!?” cecarku geram, aku mulai menghujani Figi pertanyaan setelah kurasa kondisinya telah pulih.
“Gak tau,” jawabnya singkat.
“Serius Gi?” Aku masih terus menekannya.
“Iya gak tau, pas gue sadar ada yang mau kunciin gue, gue lari eh kepeleset, jadi drop gini.” Figi mengelak, aku yakin memar di kaki dan tangannya bukan karena luka jatuh.
Aku benci ketika Figi selalu menutupi kejadian apa yang menimpa dirinya.
Dan akhirnya kegiatanku sampai petang hanyalah tidur-tiduran dikasur si Figi sambil menahan kesal karena dia tak mau jujur dan satu lagi, dia itu selalu memelukku jika kami sedang berdua saja, untung tidak di tempat umum mau ditaruh di mana mukaku seorang Doni Ardansyahputra karateka pemegang sabuk hitam dipeluk peluk oleh lelaki.
***
Figi tertidur dengan nyenyaknya setelah makan siang, kedua tangannya masih memeluki ku. Aku taruh iPad di meja dekat tempat tidur Figi, lelah sekali bermain iPad padahal hanya beberapa jam tapi anehnya Figi tidak pernah lelah memegangi iPad nya selama waktu longarnya.
Aku tatap wajahnya begitu damai, tenang, terlihat seperti bayi yang terlelap, tak salah banyak wanita yang menganggapnya imut.
Kulepaskan pelukannya, “Don,” panggil Figi lembut.
“Eh, lo udah bangun Gi?” tanyaku balik. Entah perasaan apa yang kurasakan sekarang terasa amat malu saat Figi terbangun dan aku sedang ingin meninggalkannya.
“Biar gue anter ya pulangnya,” Figi beringsut sambil mengusap wajahnya.
“Gak usah Gi.” Aku berjalan mundur sambil menatap wajahnya masih ada perasaan yang salah dan belum aku ketahui perasaan apa itu.
***
“Bohong kalo lo jatoh, ini luka pukulan, siapa sih Gi? Jujur napah!” Rama memberondong Figi dengan pertanyaan pertanyaannya.
Figi masih tetap mengaku bahwa dia hanya terjatuh, padahal jelas itu luka pukulan sampai aku tak habis fikir kenapa dia tak mau bercerita.
“Ram, itu sih Dwi ribut sama ganknya Faris tuh diparkiran belakang.” Ratna masuk ke kelas setengah tergesa, saat ini pelajaran bahasa Indonesia dan sang guru hanya memberikan tugas menyatat, kami bebas!!!
Rama dan Elul langsung berlari cepat ke parkiran belakang sekolah, ketika aku berlari menyusul suara Figi memanggilku, padahal aku menyarankan agar dia tetap di kelas lagi pula kakinya masih memar tapi bukan Figi kalau tidak ngeyel.
Aku menepuki Huda setelah turun kelantai dua, agar dia ikut bersama kami, seperti biasa dia sedang mencari mangsa baru, ya adik kelas yang tidak tahu belangnya biasanya menjadi sasaran utama Huda.
***
Sialan, gara-gara Faris dan gank gak jelasnya itu sekarang aku harus membersihkan seluruh toilet siswa dan guru laki-laki, sebanyak enam toilet dan sendirian awas saja mereka akan ku buat mereka kapok berurusan dengan kami.
“Gi, tadi di hukum apaan?” tanya ku setelah kami selesai mengerjakan hukuman sisa jam pelajaran kami habiskan untuk menjalani hukuman akibat perkelahian.
“Ngebersihin parkiran belakang barengan Huda sama Agus.” Figi tersenyum sambil menunjuk mereka berdua.
“Lo disuruh apa Don? Kusut amat,” selidik Figi kali ini dihiasi dengan tawa, menjengkelkan.
“Bersihin kamar mandi cowo,” dengusku kesal.
“Haduh panas banget gila!” Rama datang berpeluh ria.
“Gimana enak gak dijemur di lapangan barengan bandit bandit?” celetuk Figi sengaja meledek Rama, Andri dan Elul.
“Mendingan gue disuruh ributin mereka semuah dah daripada kudu dijemur kayak tadi, item dah, gak ganteng lagi nih beb.” Rama berkata kepada Figi, aku kira Rama berlebihan, aku tak suka ada orang yang memperlakukan Figi seperti itu.
Tidak, tidak, maksudku Figi itu cowok jangan diperlakukan seperti cewek bohay yang digoda sana sini, entahlah.
“Tadi diapain aja Wi di ruang BP?” Agus langsung bertanya setelah Dwi keluar dari ruang BP.
“Untung anak yang dipalak belain gue, jadi gue gak dihukum apa apa,” jawabnya sambil memegangi luka di wajahnya, beberapa di perban.
Tak lama berselang Faris dan teman temannya yang dungu keluar dari ruang BP melewati kami di pinggir lapangan.
“Mati lo semuah diluar, liat nanti,” celetuk Deni sangat amat menjengkelkan, kalau tak ada guru yang memperhatikan kami sudah kulumat habis mereka.
I can’t wait poor!” Elul membalas tantangan mereka.
Setelah Faris dan komplotan dungunya kini giliran kami dapat pencerahan dari staff konseling BP, beberapa kali kulihat Elul dan Figi membantah perkatan guru BP, sangat beralasan jelas Dwi membela anak yang dipalak gank begajulan si Faris atau sering di sebut FD4, dan kami membantu Dwi yang dikeroyok.
Setelah selesai diceramahi di ruang BP, kini Figi yang menasehati kami, aaah sangat membosankan Figi lebih banyak khawatir dengan ancaman Deni, buatku mereka bukan suatu masalah besar.
***
Bell berbunyi tanda sekolah usai, para siswa berhamburan keluar. Figi tak henti-hentinya meminta agar kami tak meladeni tantangan Deni.
Kami menunggu Faris beserta komplotan dungunya di sisi kiri luar sekolah, karena ini jalan pulang mereka. Tak berapa lama kemudian Figi menegang disampingku, tangannya mencengkram pangkal lenganku erat dan tangannya bergetar.

0 komentar:

Posting Komentar