KADANG CUPID TUH TOLOL CHAPTER 2

Dirgantara putra 15.56 |

KADANG CUPID TUH TOLOL CHAPTER 2


KADANG CUPID TUH TOLOL CHAPTER 2
PART 3
Kenapa hatiku cenat cenut setiap ada kamu...
Selalu peluhku menetes tiap dekat kamu...


Aku sudah jutaan kali bertemu orang idiot. Aku melihatnya di teve dan bahkan adik salah satu temanku di US juga idiot. Dari pengamatanku, mereka memiliki struktur wajah yang sama. Dan berapa pun usia mereka, cara berpikirnya tetap kekanak-kanakan. Nggak pernah dewasa. Tapi aku ragu jika harus memasukkan Bang Dicky ke dalam kategori ini. First, idiot nggak bisa masak seenak itu dan nggak akan bisa menyetir mobil. Second, wajahnya terlalu “menakjubkan” untuk disebut idiot. (Saking menakjubkannya, aku yakin aku rela menjadi idiot demi wajah attractive seperti Bang Dicky.)

“Naah! Itu yang namanya Morgan, Agas! Itu!” jerit Granny kegirangan. Dia melompat dari sofanya, menyebrangi meja rendah di hadapan kami dan berhenti tepat di depan teve. “Ganteng kan, Gas? Yang ini!”

Granny tetap menunjuk artis idolanya itu kemanapun gambar sang Morgan bergerak. Aku kagum pada boyband ini. Bukan karena kegantengan atau suaranya. Tapi karena berhasil membuat nenek-nenek tetap segar bugar dan rela melompat dari sofa demi melihatnya lebih dekat.

Yes, Granny, ganteng,” sahutku, pura-pura antusias.

Kalau bukan idiot, aku menduga dia autis. Tapi begitu aku cek di Wikipedia, satupun tak ada tanda-tanda autis yang cocok dengan Bang Dicky. Cowok itu sama sekali nggak punya masalah komunikasi. Dia bisa mengutarakan pendapatnya dengan jelas dan dapat mengerti semua maksud orang-orang di sekitarnya.

:hear music:You know me so well...
Girl I need you...
Girl I love you...
:hear music:

Girl I heart yooouuu!” turut Granny, ikut bernyanyi. Suaranya melengking dan nggak peduli nada. Aku bersyukur Granny tidak ikut menari seperti cowok-cowok itu. “Oh, nenek punya liriknya! Kamu mau lihat, Agas?”

Aku tidak sempat menjawab karena Granny sudah menghilang ke kamarnya. Dengan jelas dapat kudengar suara laci terbuka, suara Granny mengaduk-aduk laci, suara keluhan “Dimana sih bukunya?”, lalu kudengar suara pintu lemari baju dibuka.

Oke, balik lagi ke Bang Dicky. Mungkin sebetulnya dia punya masalah kepribadian. Entah apa itu, benar-benar misterius. Sampai detik ini, 3 jam setelah dia rela bertelanjang dada di depan umum, aku masih penasaran akan sosoknya. Pertama, di kehidupanku sebelumnya, maksudku sebelum aku pindah ke Amerika, aku belum pernah melihat Bang Dicky di rumah Granny. Jadi aku clueless mengenai sejarah dia bisa gabung di keluarga ini. Kedua, dia nggak menunjukkan tanda-tanda “uneducated”, karena dia bisa dengan mudahnya membaca tulisan dan bahkan paham newsticker salah satu stasiun teve Indonesia (yang ada gambar elangnya itu, lho... aku lupa lagi namanya apa) sewaktu kami membahasnya sore tadi. To make it amazing, dia up-to-date dengan berita politik terkini (which of course I didn’t).

Lalu kenapa dia memanggil namanya sendiri saat berbicara seolah dia anak sepuluh tahun yang sedang mencari perhatian?

“Pasti Jeng Nunuk yang ngambil!” seru Granny sambil keluar dari kamar dengan wajah kesal. Dia lalu melanjutkan pencariannya di buffet ruang tengah. “Kadang-kadang Jeng Nunuk itu suka ngutil, lho, Gas. Kamu harus hati-hati. Dia pernah pinjem talenan Nenek dan sampe sekarang belum balik-balik juga.”

He’s absolutely so sweet. Sewaktu dia merangkulku pulang ke rumah Granny, dia begitu cemas dengan basah kuyupku. Which is odd. Tapi saat itu jantungku berdebar kencang dan yang kupedulikan hanyalah betapa gagahnya dia, betapa helpful-nya dia, betapa erat rangkulannya... dan soal perut dia yang... yah, pokoknya “unbelievable”, sampe-sampe aku nggak sadar kalau hal tersebut weird.

Baru setelah aku mengganti bajuku, menatapnya sedang menatapku cemas, aku merasa janggal.

“Kamu lihat buku tulis Nenek nggak, Gas?” Granny masih sibuk mencari catatannya. Kali ini dia sudah nungging dan menggapai-gapai ke bawah buffet. “Warna merah, buku tulis biasa. Gambar depannya Morgan.”

Bahkan untuk memastikan, Granny berlari ke depan teve, menunjuk sang Morgan lagi, “Yang ini nih Morgan,” lalu kembali lagi mencari bukunya.

“Aku nggak lihat, Granny,” jawabku.
“Oooh... Nenek mesti tanya Jeng Nunuk sama Jeng Shinta. Mana hape Nenek?” Granny bergegas duduk di sampingku dan meraih ponselnya (which is “a” smartphone). Aku kira Granny mau menelepon kawan-kawannya itu. Ternyata dia men-twit-nya. “Kamu punya twitter, Gas? Follow Nenek, ya. Apostrophe Janis line down Allya.”

Apostrophe? Line down?
Aku meraih ponsel Granny dan mengecek exact spelling dari account tersebut. Ternyata:

@Janis_allea

“Ini bukan apostrophe, Granny,” kataku menjelaskan. “Ini ‘et’.”
“Jeng Nunuk bilang ini apostrophe!” Sekarang Granny kelihatan makin kesal. “Berarti dia itu sok tahu, ya Gas? Kapan itu dia pernah bilang kalo kiper timnas Indonesia Bambang Pamungkas. Untung si Dicky ngasih tau.”

:hear music:Tak ada yang bisa memisahkan cinta...
Waktu pun takkan tega...
Kau dan aku bersama...
Selamanya...
:hear music:

Video klip Sm*sh selesai tayang di teve. Dan satu-satunya nama yang terakhir melayang di ruang tengah adalah nama Dicky. Aku menggunakan kesempatan itu untuk mengetahui lebih jauh.

“Bang Dicky itu sebenernya siapa sih, Granny?” tanyaku.
“Dia itu kakak kamu, Gas. Kakak baru kamu. Eh tunggu bentar, Jeng Shinta nge-mention.” Granny mengangkat tangannya dan dengan kilat membaca balasan twitter di ponselnya. “Ternyata Jeng Shinta nggak tahu. Pasti pelakunya Jeng Nunuk!”

“Maksud aku tuh, sebenernya Bang Dicky dateng dari mana? Apa dia punya keluarga atau apa gitu?”

“Dicky juga yatim piatu, sama seperti kamu,” jawab Granny, yang kali ini sibuk menatap ponselnya, menunggu Jeng Nunuk membalas. “Tapi kayaknya sih... Cuma Nenek satu-satunya keluarga terdekatnya sekarang. Dan juga kamu, Sayang, adik barunya Dicky,” tambah Granny buru-buru.

Somehow, I don’t really like the idea of him being my brother. I mean, we’re stranger (and surely I like him), but it just... doesn’t... quite appropriate. I don’t even know his last name. How can I be his brother?

“Apa Bang Dicky punya pacar?” tanyaku.

Granny kelihatan agak terkejut ketika aku bertanya barusan. Entah dia terkejut karena mendengar suara-suara ganjil dari dapur, atau memang topik tersebut basically sensitive. Tangan Granny tiba-tiba sibuk merapikan tepian terusannya, dan kalau tidak salah, aku melihat Granny menelan ludah.

“Ada sih, pacar,” jawab Granny, lil bit salah tingkah. “Pernah.”
“Pernah?” ulangku. “Jadi maksud Granny sekarang dia lagi single?”
“Yaaa...” pikiran Granny melayang di langit-langit, “kayaknya sih dia lagi menikmati masa mudanya.”

Something is obviously hidden here.

“Kamu punya pacar, Agas?” tanya Granny, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku menggeleng. Dan menambahkan, “Seiyanya ada pun, orangnya pasti di Amrik, Granny. Dan aku bukan tipe-tipe yang suka long distance relationship. But no, I don’t have one.”

Tiba-tiba saja ruangan tengah menjadi hening.

“Oh, sini, masukin alamat twitter kamu!” seru Granny, kembali riang.

-XxX-

Tidur di atas ranjang pertama kali setelah melakukan more-than-24-hours-flight adalah tidur paling nikmat. Sampai malam tadi, sampai aku mengobrol dengan Granny hingga tengah malam, kepalaku pusing nggak keruan. Ini jet lag paling hebat yang pernah kurasakan. Karena ketika aku bangun esok harinya, jam sudah menunjukkan pukul satu siang.

Hal yang pertama kulakukan setelah sadar bahwa aku ini sudah bangun adalah mengecek twitter-ku. Sebagian adalah twit dari teman-temanku di Amrik, menanyakan bagaimana perjalananku kemaren dan sudah sampaikah di Indonesia dan apakah kamu nggak kena serangan teroris Al-Qaeda dan tolong kirim kain batik dari Bali yang aku pernah lihat di Discovery Channel, please... Aku membalas satu persatu twit itu, dan agak tergelak begitu membaca obrolan twit antara Granny dan Jeng Nunuk yang entah mengapa mesti me-mention namaku.

@Jamud_noe2k b3Lum jeng Nu2k, 4g4s b3Lum b4n9un. C4p3q m9kn d pRjLn4n. @gas_oQ 5 hrs ago via Mobile Twitter

@Janis_allea 1tu n4mZ-x “Jet-Lack” jeng 4LL34. Cu2Q kLw n4iQ p5wt sk4 j3t-l4ck! @gas_oQ
5 hrs ago via Twitter for BlackBerry®

Aku turun dari ranjang dan bergegas mandi. Setelah aku selesai berpakaian, mengenakan dark outfit, seperti: jins hitam, kemeja cotton hitam, dan sweter rajut gelap yang dibelikan Mom dari obral sampel di Saks, aku keluar dan menuju ruang makan. Bang Dicky kebetulan sedang menata beberapa hidangan makan siang di atas meja, dan celemek hitam kotak-kotaknya terlihat manis.

“Makan siang, Gas?” sapanya.
“He-eh,” jawabku. Dan aku cukup kaget melihat seringainya yang antusias.

Ketika Bang Dicky hilang ke dapur, Granny tampak cantik dengan terusan biru donker yang eye-catchy. Granny bahkan menyanggul rambutnya ke atas dan membiarkan sejumput rambut jatuh di pipinya... mirip anak muda jaman sekarang aja kayak gimana.

“Eh, bener kamu udah bangun, Sayang,” Granny tampak kaget. “Berarti bener kata si Dicky barusan. Yang mandi tuh kamu. Ayo lunch siang dulu. Udah ini kita ke pemakaman, oke?”

Saat makan siang, bertiga bersama Bang Dicky, aku dikenalkan dengan banyak menu baru.
“Ini namanya dorokdok,” ujar Bang Dicky, menawariku kerupuk keemasan yang rasanya gurih. Awalnya kupikir spelling-nya “tho-rogue-dog” sampai akhirnya Bang Dicky menjelaskan cara menulis namanya dan terbuat dari apa.

Yuck. Kalau saja aku kurang ajar, sudah kumuntahkan lagi dorokdok tersebut. For God sake, kulit sapi? Dibikin kerupuk?

Tapi yang membuatku enjoy dengan makan siang tersebut adalah betapa happy-nya Granny dan Bang Dicky. Aku seolah berada dalam keluargaku sendiri. I mean, belum 24 jam kami semua berkumpul tapi kami sudah akrab seperti ini.

Atau bisa jadi dua orang itu memang akrab keterlaluan sehingga aku merasa nyaman-nyaman aja.

Nah, satu hal yang membuatku cukup heran adalah ekspresi Bang Dicky saat Granny menyelesaikan makan siangnya dan mengangkat topik soal pemakaman. “Owh, berarti kita mesti ke Tamansari dulu nanti. Beli bunga buat ke pemakaman.” Bang Dicky tidak seriang tadi. Tidak semanis saat dia tersenyum lebar di atas celemek kotak-kotaknya yang cute. Ekspresinya langsung hilang. Ibarat lampu, dari asalnya turn on, tiba-tiba switch-nya diganti jadi off dan ruangan gelap seketika.

Alisnya agak turun mendekati mata. Sebisa mungkin Bang Dicky menahan kernyitan sehingga wajahnya kelihatan kayak yang depressed abis. Jika aku pembaca aura, aku pasti tahu bahwa aura bahagianya lenyap seketika. Mungkin dari ungu sukacita menjadi hitam pekat tak bernyawa.

Aku tak sempat bertanya ada apa gerangan dengan Bang Dicky karena Granny sudah mengajakku mengobrol hal lain. “Kamu punya buku Yassin-nya, Agas? Nenek punya. Nanti Nenek pinjemin deh, ya, kalo kamu nggak punya. Terus, oh, kamu tahu nggak Julia Perez, Sayang? Tadi pagi dia ada gosip baru! Bareng Dewi Perssik! Jadi gini ceritanya...”

Bang Dicky tidak menyimak gosip yang diberikan Granny. Well, basically, gosip itu memang untukku kok. Tapi aku heran kenapa dia langsung pergi ke dapur dengan ekspresi seperti itu?

Sampai saat kami naik mobil Granny pun, Bang Dicky tidak menunjukkan tanda-tanda ceria riang gembira seperti yang dia tunjukkan sepanjang makan siang tadi. Saat Granny berseru, “Nenek dulu ya yang nyetir!” Bang Dicky mengangguk dan mempersilahkan Granny mengambil alih kemudi. Aku di jok belakang, duduk manis dengan headset di kepalaku. Sementara itu, Bang Dicky menutup pagar sampai Granny berhasil membawa mobil keluar dan menepi di trotoar depan rumah.

Bang Dicky duduk di jok depan dengan kepala menunduk sewaktu mobil mulai bergerak. Granny mulai mengoceh lagi tentang Jeng Nunuk, but I practically didn’t listen. Mataku melirik ke arah Bang Dicky yang duduk agak membungkuk, merapatkan kakinya, dan menunduk.

“Nah, ini rumah Jeng Nunuk, Gas! Kemaren kan kamu nggak sempet lewat sini!” seru Granny riang. “Jeng Nunuuuk!”

Kebetulan (entah memang sengaja ada di situ), Jeng Nunuk ada di halaman depan rumahnya sedang menatap pohon belimbing yang tumbuh rendah di situ. Begitu Granny memanggilnya, dia langsung melambai riang. Ekspresinya dibuat-buat. Seolah-olah itu hanyalah skenario. (Atau memang iya skenario?)

“Kami semua d’Jandaz senang bercocok tanam lho, Gas. Semua halaman depan pasti penuh tanaman,” kata Granny sambil susah payah mengganti gear.
I see,” jawabku.

d’Jandaz adalah nama geng Granny—kumpulan cewek-cewek janda. Nama depan twitter Granny kan “Janis”, artinya “Janda Manis”. Ja- yang lain silahkan tebak sendiri.

Ketika mobil keluar dari gerbang utama komplek, Granny langsung menepi di pinggir jalan raya. Dia membuka sabuk pengamannya dan bersiap-siap keluar.

“Ayo, Dicky. Gantian. Barusan kan udah lewat rumah Jeng Nunuk, dia udah lihat Nenek nyetir. Sekarang kamu yang nyetir,” katanya.

Aku belum sempat berkomentar karena Granny maupun Bang Dicky sama-sama sudah keluar mobil dan tukar posisi. Bang Dicky kini duduk di depan jok kemudi (masih kelabu suasana hatinya) sementara Granny duduk di sampingku di jok belakang.

Is it okay, Granny?” tanyaku cemas. Maksudku, Bang Dicky, menyetir mobil, dalam kondisi macam begitu?
Okay kok, okay,” jawab Granny. “Dicky udah punya SIM. Barusan kan Nenek nyetir biar bisa dilihat sama Jeng Nunuk aja kalo Nenek yang nyetir mobil.”
“Bukan soal itu,” bisikku, memutar bola mata. “Bang Dicky kelihatan sakit.”

Granny menatap Bang Dicky dan menelitinya sebentar. “Ah, nggak kok Sayang. Dicky sehat.” Granny lalu mengaduk tasnya dan mulai merajut.

“Tapi dia kelihatan murung,” bisikku lagi. Hanya saja kali ini Granny nggak berkomentar.

-XxX-
PART 4
Sesampainya di pemakaman, Bang Dicky nggak mau turun dari mobil. Dan sialnya, dia bersikeras untuk parkir agak jauh dari pemakaman. Alasannya karena kalau masuk, nanti mobil susah memutar. Tapi yang membuatku heran adalah jemarinya bergetar dan wajahnya kelihatan cemas. Aku bahkan dapat mendengar kukunya terantuk-antuk di setir mobil.

“Beneran nih Bang Dicky nggak mau ikut?” tanyaku terakhir kalinya.
“Dicky di sini aja,” jawabnya pelan.

Kenapa sih, dia?
Phobia pemakaman, hah? Takut hantu, atau apa gitu?

Sepanjang menapaki jalan kecil berumput melewati banyak kuburan, aku mengeluarkan ponsel dan googling phobia pemakaman. Kebetulan sekali aku menemukannya. Namanya coimetrophobia. Tapi aku nggak sempat membaca definisinya karena Granny bilang kami sudah sampai di makam Mom and Dad.

Jujur saja, kunjungan ini tidak seperti yang aku bayangkan. Aku sempat berpikir bahwa "mungkin" aku akan menangis tersedu-sedu, menabur bunga sambil meratapi makam orangtuaku, dan mungkin akan mencengkeram nisannya kuat-kuat sambil pikiranku flashback ke kenangan-kenangan indah yang pernah kami bangun bertiga.

Tapi nggak. Aku sama sekali nggak melakukan itu. Ketika aku tiba, mataku melirik ke arah mobil Granny parkir dan yang ada di otakku hanyalah Bang Dicky, Bang Dicky, dan Bang Dicky. Saat Granny menawariku sekantung bunga untuk ditaburkan, aku tidak menaburkan bunga itu dengan perasaan sedih. Instead, aku bertanya-tanya, ini bunga jenis apa?

Saat aku menatap nisan batu kedua orangtuaku, aku tidak mencengkramnya dan membayangkan flashback apapun. Aku malah membandingkannya dengan kebanyakan Graveyard di Amerika, yang menurutku, di Amerika lebih bagus.

Granny membaca doa-doa. Tapi aku nggak hafal dan nggak ngerti sehingga aku hanya menatap makam Mom and Dad dengan pikiran melantur kemana-mana.

Apa Bang Dicky punya trauma dengan pemakaman? Kalau ya, kenapa dia tetap ikut ke sini? I mean, daripada menghabiskan waktu berada di tempat yang nggak disukai, aku lebih milih diam di rumah, malas-malasan atau apa gitu. Sampai sekarang, aku masih penasaran dengan sosok Bang Dicky. Di satu sisi aku ingin merengkuhnya dan memeluknya karena dia begitu manis, di sisi lain aku ingin membongkar apa saja yang ada dalam pikirannya.

Sesaat, tanpa sadar aku celingukan kanan kiri, mengawasi setiap kuburan yang ada di sekitarku. Aku yakin barusan ada yang sedang memperhatikanku.

“Aaaammiiinnnn...” seru Granny di akhir doa-doanya. “Nah, Agas, kamu mau Nenek tinggalin di sini sebentar? Kali aja kamu mau sendirian dulu bareng Ibu Bapak kamu?”

“Eh, nggak perlu,” jawabku buru-buru. “Aku nggak apa-apa kok, Granny. Yuk kita pulang.”

Aku nggak bisa membayangkan ditinggalkan di tengah-tengah pekuburan sendirian. Mana hari ini yang melayat dikit banget. Memang bukan musimnya melayat, kata Granny.

Kami berdua berjalan meninggalkan makam Mom and Dad, dan aku sesempat mungkin menggoogling lagi istilah tadi.

coimetrophobia, koimetrophobia
An excessive, or abnormal, fear of cemeteries. Those who fear cemeteries usually are also afraid of going to funerals, looking at tombstones or dead bodies, and just hearing about funerals. Some people will drive long distances out of their way to avoid going by a cemetery or walk on the other side of the street to avoid being close to one.

Jika benar Bang Dicky menderita coimetrophobia, apa gerangan yang menyebabkannya? Aku tidak yakin Bang Dicky takut hantu. I mean, rumah Granny adalah rumah paling cocok untuk syuting film horror karena segala-galanya sangatlah pas. Banyak langit-langit gelap, kurang pencahayaan, lembap, dinding-dinding yang dipenuhi foto-foto nenek moyang kami dalam pigura-pigura cantik, dan hobinya Granny memasang kain putih polos transparan sebagai tirai jendela. I mean, siapapun bisa menganggap kain itu sebagai kostumnya kuntilanak, bukan?

Nah, di rumah sehorror itu, Bang Dicky justru kelihatan cerah ceria. Layaknya saat makan siang tadi. Ketika mengungkit perihal pemakaman lah yang membuatnya menjadi mendung.

“Apa Bang Dicky takut sama kuburan?” tanyaku sambil lalu, berharap mendapat jawaban jelas dari Granny.

Agak lama Granny diam, nggak mau menjawab. Entah karena Granny sibuk memilih jalan setapak di antara kuburan atau memang merahasiakan sesuatu. “Emang kenapa mesti takut kuburan?” katanya.

Astaga, itu sih bukan jawaban.

“Aku nggak takut kuburan, Granny. Yang aku tanyain kan Bang Dicky. Kok dia kelihatan kayak yang takut...”
“Misalnya gimana, Sayang?”
“Misalnya, dia kan tadi nggak mau ikut turun dari mobil. Udah gitu wajahnya murung. Apa dia takut ngunjungin kuburan? Barusan aku ngecek di google sih, emang ada orang yang—“
“Tuh, si Dicky,” sela Granny.

Granny menunjuk seseorang yang sedang berdiri di dekat pohon kamboja besar di depan kami. Jaraknya hanya beberapa meter, tapi butuh waktu beberapa detik bagiku untuk memastikan bahwa itu Bang Dicky. Dia sedang berdiri membelakangi kami, menghadap salah satu kuburan, dan dari jauh dapat kupastikan tangannya gemetaran.

“Dicky..!!” panggil Granny.

Bang Dicky menoleh dan langsung menunduk. Dia tidak menghampiri kami—which is odd. Dia malah berlalu dan mendahului kami menuju mobil. Bang Dicky agak berlari. Kentara banget sama aku dan Granny yang jalan santai-santai seolah sedang menyusuri pantai. Tapi Granny tidak kelihatan terganggu. Seolah kejadian tersebut adalah hal yang lumrah yang selalu terjadi setiap saat.

Atau mungkin Granny menyembunyikan sesuatu?

Saat tiba di mobil, yang masih diparkir agak jauh dari pemakaman, Bang Dicky sudah duduk di jok kemudi, lengkap dengan seat belt dan posisi duduk tegak. Granny dengan riang menepuk pundak Bang Dicky yang kelihatan tegang (dan tangan yang “masih juga” gemetaran), sambil berkata, “Kita cari makan yuk, Sayang? Ke Cabe Rawit gimana? Sambil bahas tentang sekolah kamu minggu depan, Gas.”

Tring!
Seolah ada peri di sekitar kami, dan peri tersebut mengayunkan tongkatnya ke arah Bang Dicky, lalu Bang Dicky yang awalnya kelihatan murung, mendung, tegang, tiba-tiba terlihat rileks, santai, dan riang. Ya! Dalam sekejap, lho. Sampe-sampe mulutku pun menganga melihat perubahan mendadak itu! Bang Dicky tiba-tiba tersenyum lebar, dengan mata mengerut yang menunjukkan “saya benar-benar bahagia”, ditambah pundak yang turun dan jari-jari yang tidak gemetaran lagi. Benar-benar kentara dengan kondisi yang kulihat satu detik lalu. Hanya dengan satu tepukan di pundak sambil bilang, “Yuk cari makan!” dan semuanya berubah begitu saja.

Ataukah kata-kata Granny memang mantra yang diperlukan?

Ya Tuhan... Cowok ini bener-bener misterius.
Really. Literally!

-XxX-

Beberapa hal yang sudah pasti “questionable” dari rumah Granny adalah:

1. Banyaknya frames foto berukuran besar yang dihiasi foto-foto hitam putih zaman dulu (dimana si model mengenakan medieval costume dan menatap dingin ke arah kamera).
2. Adanya beberapa ruang terkunci yang agak “aneh”, dan setiap aku bertanya ke Granny, dia pasti mengalihkan pembicaraan.
3. Kain-kain putih itu! Ya. Setiap jendela di rumah Granny kelihatannya ditutupi kain putih transparan yang bahkan nggak mirip curtain sama sekali. Kalau jendela dibuka dan angin masuk, kadang-kadang kupikir aku melihat hantu melayang-layang.
4. Aku yakin aku mendengar suara deru mesin somewhere around here. Tapi hanya terjadi saat Bang Dicky menghilang dan tak kutemukan dia dimana-mana di rumah Granny.
5. Aku selalu merasa ada yang memperhatikan aku di beberapa sudut. Misalnya, saat sedang menonton teve, tiba-tiba aku melihat ke arah atas lemari. Semuanya mendadak, tanpa kurencanakan dan entah kenapa aku “tiba-tiba” menoleh ke situ. Saat aku mendadak menoleh ke sudut lampu ruang tengah, aku malah merasa ada yang memperhatikanku dari situ.
Bagian yang terakhir itu agak menakutkan. Pukul sembilan malam, saat aku memutuskan untuk tidur, aku sudah kesana kemari berkesimpulan bahwa mungkin saja ada hantu di rumah ini. Bahwa mungkin si hantu itulah yang membuatku menoleh ke beberapa sudut dan merasa sedang diperhatikan. Aku bahkan jadi nggak konsen main FSX-ku, dan setiap ruangan hening, aku selalu berpikir, bisa saja tiba-tiba muncul hantu di hadapanku, “HA!” mengagetkanku sampai mati atau lari terbirit-birit.

But, no. Sekalipun nggak ada hantu yang melakukan itu padaku.

“Met tidur, Sayang,” Granny mengecup keningku—membuatku merasa seperti bocah lima tahun. But then, Granny sudah begitu baiknya menerimaku di sini dan mau membiayai hidupku, apa salahnya dimanja macam begitu oleh nenek sendiri? “Besok kita jalan-jalan, em? Shopping-shopping, em?”

Em?

“Kalo ngunjungin sekolah baru aku, kapan Granny?”
“Lusa, Sayang. Besok kita beli-beli baju dulu, keliling Bandung. Nenek punya butik langganan. Kita beli kaus V-neck, em? Biar kayak Morgan. Kamu pasti ganteng pake baju itu! Nanti Nenek beli dua, deh. Satu buat kamu, satu buat Dicky.”

“Eh, Bang Dicky tuh masih ada di sini?”
“Nggak dong, jam sembilan pasti udah pulang. Tadi terakhir dia bantu Nenek ngebersihin karpet.”

Jika kalian juga penasaran, sama, aku juga penasaran. Sebetulnya “jabatan” Bang Dicky di rumah ini tuh apa?

“Mulai besok Agas panggilnya Abang aja. Kan Agas udah Dicky anggep adik sendiri. Oke, darling?”

Aku mengangkat alis dan mengedikkan kepala tanda “oke deh”. (Tapi lebih berharap memanggil Bang Dicky sebagai “my boo” dibandingkan “my bro”.)

Granny lalu keluar kamar dan mematikan lampu. Aku menarik selimut tebalku dan mencoba tidur. Hari ini lelah sekali. Jalan-jalan keliling Bandung, melihat kota yang begitu padat—khas Asia, mencicipi jajanan pinggir jalan yang justru jadi favorit banyak orang, dan kadang tanpa sengaja melirik-lirik cowok-cowok Bandung yang cute. Lumayan banyak juga yang worth it di sini.

Tapi sampai sepuluh menit kemudian, aku terjaga. Sama sekali nggak bisa tidur! Apa ini efek bangun terlalu siang? No. Aku yakin badanku lelah sekali. Dan aku yakin aku nggak kegerahan seperti waktu kapan itu liburan di Kolombia. Ruangan ini bersuhu normal. Nggak lebih dingin dari New Jersey tapi normal. Tapi tetep aja, mataku segar bugar dan setiap aku menutup mata, dalam tiga detik, mataku terbuka kembali.

Dan oh, lagi-lagi aku melirik ke salah satu sudut langit-langit. Di sudut itu nggak ada apa-apa, tapi aku terus saja menatap ke arah situ. Ada apa ya di situ? Ada energi apa? Aku selalu percaya, bahwa semua yang bergerak di dunia ini bermula dari energi. Aku sudah tamat baca buku Fengshui yang dipinjamkan Jessica, dan semua-muanya membahas energi. Sepertinya energi tuh—ASTAGA! Apa itu?!

Barusan aku melihat sebuah bayangan bergerak cepat di jendela. Seolah ada seseorang yang lewat di luar kamarku dan menciptakan siluet hitam yang tiba-tiba. Aku terkejut dan jantungku langsung berdegup kencang. Punggungku langsung basah oleh keringat dingin dan aku makin terjaga. Kali ini mataku jadi awas mengamati setiap sudut kamar, lebih-lebih ke arah jendela.

Deg. Deg. Deg. Deg.

Jantungku berdenyut bertalu-talu. Totally thrilling. Sebetulnya apa barusan yang lewat? Aku yakin banget, barusan ada yang lewat!

—bang, d rumah granny ada hantunya, ya? barusan aq lht ada yg lewat! Serem!—

Baiklah, entah kenapa aku tiba-tiba meraih ponsel di nakas dan meng-sms Bang Dicky. Tapi satu-satunya orang yang kupercaya saat ini hanyalah dia. Sebab kalau aku menghubungi Granny, aku yakin dia bakal langsung menertawakanku (or worse, menyembunyikan sesuatu). Jadi aku menghabiskan menit-menit menegangkan itu dengan mengetik pesan, menunggu balasan, dan berharap saat aku sedang mengetik tidak ada penampakan tiba-tiba yang membuat jantungku copot.

—Agas lihat si kunti?—

—siapa itu si kunti? Hantu, ya?—

—byk org bilang, rumah Nenek ada setannya. Tp Dicky blum prnah lihat. Agas beruntung. Tapi Agas gpp, kan?—


Beruntung? How am i considered this as “beruntung”?!

—aku takut, bang!—

Dan ya, aku benar-benar takut. Sekarang hantu tersebut ternyata punya nama. Yaitu si Kunti. Apa yang Bang Dicky maksud tuh Kuntilanak? Aku pernah nonton filmnya, direkomendasiin Adam, dan hantunya emang serem nggak ketulungan. Kakinya kaki kuda, kan? Dan rambutnya putih, pokoknya serem...

Astaga, kenapa aku jadi ngebayangin Kuntilanak itu, ya! Gimana kalau kuntilanak itulah yang barusan lewat?! Deg-deg-deg-deg. Jantungku kini berdetak makin cepat. Makin nggak keruan, malah. Dan tanpa sadar aku jadi mengecek, apakah ada kursi kosong yang menghadap ke sudut dinding? Film itu bilangnya, kan—

Kreettt...!

Suara pagar depan rumah Granny berdecit keras. Suasana komplek ini hening nggak ketulungan, sampai-sampai kalau kamu kentut, satu distrik bisa mendengarnya. Jadi ketika pagar rumah itu terbuka, aku dapat mendengar decitannya dengan jelas.

Eh, wait! Kenapa pagar depan rumah Granny terbuka, ya?

Kreeettt...! Tak!

Pagar depan rumah Granny berdecit lagi. Kali ini disertai hempasan, mungkin itu bunyi saat si pagar menutup lagi.

Siapa yang mengunjungi rumah Granny selarut ini? I mean, apa Granny yang barusan membuka pagar itu? Atau memang ada tamu jam segini? Perasaanku makin kacau. Aku masih berkeringat dingin dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku menarik selimutku, jaga-jaga. Tirai jendelaku entah kenapa berkibar-kibar, makin membuat suasana mencekam saja.

Dalam kondisi macam begitu, mendadak telingaku jadi bisa menangkap suara supersonic. Beragam bunyi kretek-kretek kecil, atau ketukan tuk-tuk-tuk, atau dengungan yang entah berasal dari mana, semua masuk ke telingaku. Dan juga otakku mendadak kreatif menciptakan beragam skenario. Bisa saja itu drakula, melayang melewati ruang tengah. Bisa saja itu pocong yang dibalut kain putih itu lho, yang melompat-lompat dan tiba-tiba muncul menjadi guling (sekilas, langsung cek guling!). Atau mungkin kuntilanak lah yang membuka dan menutup pagar barusan! (Meskipun ya, aku juga bingung tujuannya apa kuntilanak membuka-tutup pagar. I mean, dia bisa melayang, kan? Atau melompat, kek... kakinya kan kaki kuda.)
Aku mengecek lagi ponsel, berharap Bang Dicky sudah membalas. Tapi nggak. Ponselku mati nggak nerima pesan apapun. Padahal ini sudah... berjuta-juta menit lamanya sejak aku membalas sms Bang Dicky tadi. Apa sms-ku nggak terkirim?

Tok-tok-tok! Pintu kamarku diketuk.
“Agas?” Seseorang memanggilku dari luar kamar dan aku kenal suaranya. Tapi bukan suara Granny.

Dengan berani aku membalas. “Ya?”
“Agas nggak apa-apa? Ini Dicky.”

Bang Dicky?

Aku masih berbaring di kasur, nggak berani turun. Otakku masih trance, antara bingung dan ketakutan. Kenapa Bang Dicky ada di sini? Bukankah dia udah pulang dari tadi? Bukankah kami barusan sms-an?

“Buka aja pintunya, Sayang... nggak dikunci, kok!” Kudengar sayup-sayup suara Granny dari ruangan lain, diiringi dengan handle pintu kamarku terbuka. Dan di situ, memang benar, muncullah Bang Dicky.

“Agas nggak apa-apa?”
Kenapa dia di sini? batinku.

Bang Dicky masuk ke kamarku dan menutup pintu. Kulihat dia terengah-engah. Leher Bang Dicky mengkilat, penuh keringat. Dan matanya langsung awas menatap setiap sudut langit-langit di kamarku, seolah mencari sesuatu. Tak lama kemudian, dia menyalakan lampu kamar.

“Waktu Agas sms barusan, hhh... hhh... Dicky langsung lari ke sini,” ujarnya. Kali ini memeriksa sudut di belakang lemari.

Apa? Dia langsung berlari ke sini gara-gara aku bilang aku lagi ketakutan? Cowok macam apa dia? I mean, that’d be sooo sweet! Tapi masa sih, this kinda sweetness is even exist?

“Dicky nggak mau Agas kenapa-napa,” gumamnya—tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas.

“Aku nggak apa-apa, kok. Aku cuma... yaah, ketakutan,” jawabku. “I mean, barusan emang bener ada yang lewat di situ. Bisa jadi itu pencuri, kan?”
“Lewat dimana?”
“Itu, di jendela. Ada bayangan orang lewat di situ, cepet banget. Tapi jelas. Aku lihat dengan jelas.”

Bang Dicky merenung dan menatap jendela. Dia bahkan langsung memeriksa setiap bagiannya. Tirai, kusen, kunci, engsel, dan bahkan membukanya dan melongokkan kepala keluar jendela, celingak-celinguk kanan kiri mengecek apakah ada sesuatu yang mencurigakan.

Dari atas ranjang, aku malah menatap sosok Bang Dicky. Betapa manisnya ada cowok yang rela lari ke sini, malam-malam begini, hanya karena khawatir akan kondisiku. Selain itu dia juga tampak manis malam ini, mengenakan celana pendek selutut warna khaki, dipadu dengan sweter longgar warna abu yang membuatnya seksi. Aku ingin punya sweter itu! Dimana ya kira-kira belinya? Besok Granny bisa tunjukin tempatnya nggak ya?

“Tapi Agas nggak apa-apa, kan?” tanyanya. Dia menutup kembali jendela kamar.
“Nggak kok, nggak apa-apa. Kan udah aku bilang, aku cuma takut ngelihat bayangan,” jawabku. “Emangnya si Kunti itu siapa sih, Bang?”

Bang Dicky nggak langsung menjawab. Dia berjalan pelan dan duduk di ujung ranjangku. Untuk terakhir kalinya, dia mengamati setiap sudut langit-langit, berharap ada sesuatu yang bisa ditemukannya.

“Dicky juga nggak tahu,” katanya. “Dicky belum pernah lihat. Tapi orang-orang di sini kayaknya udah sering lihat si Kunti.”
“Si Kunti tuh kuntilanak, ya?”

Bang Dicky mengangguk mantap sambil mengangkat alisnya. “Jeng Nunuk bilang, si Kunti seneng duduk di pohon belimbing.”

Pohon belimbing?

Kami berdua terdiam untuk beberapa saat. Bang Dicky sudah bisa mengatur napasnya, sementara aku masih panas dingin karena gembira ada Bang Dicky di kamarku. Bukannya aku mengharapkan dia atau apa ya... hanya saja...

“Agas masih takut?” tanya Bang Dicky. Dia menatapku mataku dengan serius. “Kalau iya, Dicky nginep di sini aja deh. Nemenin Agas.”

Apa?

“Ngng...” Aku harus jawab apa?

Pertama, siapa yang menolak tidur ditemani cowok kayak Bang Dicky? I mean, okelah dia agak misterius dan somehow aneh (dengan datangnya ke sini pun buatku agak odd). Tapi dia kelihatan sangat manis. Bukan hanya karena sweter itu, tapi... maksudku... pasti hanya satu atau dua orang dari 6 milyar penduduk dunia yang rela berlari menyelamatkan adik bohong-bohongannya hanya karena sang adik ketakutan (atau mungkin saja berimajinasi melihat bayangan lewat di jendela—bisa saja, kan?)

Dan kedua, kalau iya aku mempersilahkannya menginap di sini, apa yang harus kulakukan? I mean... kamu juga tahu mungkin maksudku apa...

“T-terserah, sih...” jawabku, agak takut untuk menatap matanya. Takut dia membaca pikiranku atau apa gitu.

“Ya udah, Dicky bobo di sini aja,” jawabnya. “Tapi lampunya dinyalain, ya?”
Sebetulnya aku nggak terbiasa tidur dengan lampu menyala. Tapi kan kadang ada excuse yang nggak bisa dibantah lagi. Misalnya ya ada cowok cute yang mau tidur bareng...
“Terserah Bang Dicky aja,” jawabku.

“Ya udah. Tunggu bentar.”
Bang Dicky keluar dari kamar dan sayup-sayup kudengar dia mengunci pintu depan. Dia juga mendatangi kamar Granny, berbicara sesuatu yang nggak kedengaran jelas, dan tahu-tahu sudah muncul di kamarku, membawa sebuah bantal.

“Tapi emangnya nggak apa-apa Bang Dicky nginep di sini? Nggak ngerepotin?” tanyaku buru-buru. Karena somehow, aku jadi nggak enak.
“Nggak kok, Gas. Demi Agas mah nggak akan ngerepotin,” jawabnya. Dan kata-kata itu sedikit banyak membuatku ge-er. “Agas kan udah jadi adiknya Dicky, kata Nenek juga.”

Oh.
Alasannya memang masuk akal, meskipun rada awkward dan weird juga mendengarnya. Dia itu memang lugu atau childish atau apa, sih?

Bang Dicky nggak langsung melompat ke atas ranjang dan tidur bersamaku. Dia masih berjalan mengitari ruangan, mengecek di balik lemari dan kadang di bawah meja rias (Bukan punyaku, ya! Meja rias itu sudah ada di situ sejak aku datang!).

“Bang Dicky nyari apa?”
“Nyari si Kunti. Kali aja ngumpet di sini.”

Masih? batinku.

“Dicky sekalipun belum pernah lihat si Kunti. Jadi penasaran. Padahal si Belinda aja udah pernah lihat si Kunti di atap rumah Nenek. Kok Dicky belum, ya?”

Astaga. Jadi dia ke sini nggak 100% khawatir padaku? Tapi juga karena pengen lihat si Kunti? Tau gitu aku tadi bilangnya bayangan pencuri, deh.

Aku membiarkannya mencari-cari di dalam kamar sekitar sepuluh menitan. Dia tampak serius. Dan kalau sudah serius begitu mukanya jadi manis, alisnya bertaut. Aku, dari ranjangku, menatap sosok tubuhnya dan membayangkan lagi saat-saat aku dipeluk oleh badan setengah telanjangnya menuju rumah Granny. Aku masih ingat bagaimana dekatnya kulit mulus itu di mukaku. Dan aku masih ingat bagaimana bentuk putingnya yang kecoklatan. Lalu perutnya yang datar itu... oh, Tuhan. Mestinya aku jangan membayangkan hal itu lagi. Lihat efeknya! Belum apa-apa celana dalamku sudah sempit.
PART 5
“Kayaknya si Kunti ngumpet. Nggak berani muncul kalo ada Dicky,” ujarnya kemudian.

Kali ini aku no comment. Cowok, kalau sudah asyik macam begitu, bisa jadi gila.

Bang Dicky kemudian melorotkan celana pendek selututnya dan menaruhnya di atas kursi. Jantungku nyaris copot melihat aksi itu. I mean, kelihatannya seksi banget waktu Bang Dicky membungkuk, mengangkat satu kaki kirinya dan mengeluarkan tungkai bertulang besar itu dari celana warna khaki-nya. Dan ketika dia berdiri tegap, tersisalah celana boxer warna abu yang tipis yang bahkan panjangnya nggak sampe setengah pahanya.

“Dicky mau bobo aja lah,” ujarnya.
Dan dia pun membuka boxer-nya!

Deg-deg-deg-deg.
Aku terkejut dan salah tingkah. Kurang dari satu jam, jantungku sudah berdebar kencang 2 sesi. Kalau tadi berdebar karena ketakutan, sekarang karena kegirangan. Aku mencoba melempar pandanganku ke arah lain, tapi tetap saja ekor mataku dapat melihat dengan jelas bagaimana kaki Bang Dicky... hanya dibalut... celana dalam warna putih saja.

“Oh, maaf Gas,” dia tersenyum geli melihatku salah tingkah. “Dicky kalo bobo emang nggak pernah pake baju. Sebab kalo pake baju, nanti kusut. Nanti mesti nyetrika, deh.”
Astaga... alasan yang nggak masuk akal. Apa salahnya dengan nyetrika?
“Nggak apa-apa, kan?”

Dia belum tahu ya kalo aku gay?
Oh, belum. Satu-satunya orang yang tahu aku gay hanyalah Joseph, sobatku di US. Dan oh, Adam juga.
Dan tentunya semua orang yang kebetulan pernah melihatku di Manjam. Sisa 6 milyar penduduk dunia dikurangi mereka belum tahu kok kalo aku gay.

“Nggak apa-apa, sih. Tapi emangnya nggak dingin, gitu?”
“Nggak, kok,” katanya, sambil membuka sweternya!

Dug! Dug! Dug!
Jantungku bertalu-talu. Aku bahkan takut Bang Dicky bisa mendengar degup jantungku di antara suasana komplek yang hening macam begini. Aku benar-benar terkejut dan nggak bisa menguasai diri saat Bang Dicky mendadak menarik sweternya ke atas dan melepaskannya melewati kepalanya. Aku dapat melihat lengannya terangkat, dadanya mengempis, rambut-rambut di ketiaknya yang menempel dengan sempurna, dan bagaimana ekspresi lugunya saat sweter hangat itu lepas dari tubuhnya. Aku bahkan tidak menyadari bahwa di balik sweter itu, nggak ada satu baju pun yang menempel di badannya.

Aku menelan ludah, dan sebisa mungkin, tanpa kelihatan kentara, mengusap-usap “my little Jack” yang langsung berdenyut-denyut riang. Untung selimutku tebal. Untung aku pakai celana dalam. Jadi di bawah sana nggak ada bentuk “tenda” yang mencurigakan.

Bang Dicky menyampirkan sweternya di atas kursi, menumpuknya dengan yang lain. Dia berbalik, membungkuk, dan dengan jelas dapat kulihat belahan pantatnya tercetak di balik celana dalamnya. Dan oh, tato bergambar sulur-sulur dan seekor burung mungil terperangkap tercetak jelas di bawah tengkuknya. Inikah tato yang Granny bicarakan waktu aku di bandara lusa kemarin?

Dan sialnya, keberadaan tato itu malah bikin buruk suasana. Kenapa? Karena aku suka cowok bertato. Sehingga Bang Dicky benar-benar membuatku bergairah malam ini. Keringat hangat pun sudah mulai membasahi punggungku.

Bagaimana caranya agar Bang Dicky memakai sweternya lagi, ya? I mean, aku nggak mau menghabiskan malam ini dengan gundah gulana karena ada cowok telanjang (hanya dibalut celana dalam) tidur di sampingku. Aku nggak mau sekujur tubuhku gelisah. Ini demi ketenangan diriku, dan keamanan dia juga. Aku harus melakukan sesuatu.

“Sweternya padahal bagus,” kataku, “kenapa nggak di—“
“Agas mau?” selanya.
“Eh, bukan. Maksud aku tuh, kayaknya sweter itu anget gitu. Jadi kan mendingan di—“
“Iya sih, anget,” selanya lagi. Dia mengangkat sweternya, mengacungkannya, dan menatapnya dengan penasaran. “Tapi kalo Agas mau, silakan aja. Dicky masih punya dua di rumah.”
“Ih, bukan—“
“Ini Dicky gantung di sini, ya.” Dan sweter itu kini sudah menggantung ria di gantungan baju di belakang pintu.

Yaaah... makin parah!

Bang Dicky lalu menghampiri ranjangku dan sebisa mungkin aku nggak menatap tonjolan yang ada di balik celana dalamnya. Nggak! Mendingan aku... ngng... menatap bibirnya saja.

Astaga, lihat itu! Mungkin ada kali, ya, ‘itu’-nya segede kepalan tanganku?

“Jangan dimatiin, ya... Dicky mah suka parno kalo bobo gelap-gelapan.”

And yes, sekarang semua-muanya makin parah. Tidur dengan cowok tujuh per delapan telanjang dan lampu kamar menyala. Itu berarti aku bisa melihat dengan”JELAS” semua lekuk tubuhnya, kan? Semua detail mempesona itu dan bahkan bulu-bulu halusnya yang tersebar di sekujur tubuh!

“Padahal pake aja sweternya. Entar kedinginan.” Aku masih berusaha memaksa Bang Dicky mengenakan sesuatu, agar aku bisa tidur tenang.
“Nggak, ah. Itu kan udah dikasih ke Agas. Masa dipake lagi ama Dicky, sih? Kata Nenek itu namanya pabalik letah.”
“Nggak apa-apa, kok. Aku pinjemin, deh. Pake ya?”
“Entar kusut?”
“Aku yang nyetrika, deh!”

Bang Dicky mengangkat salah satu alisnya. Kelihatan nggak percaya. “Nenek bilang Agas nggak bisa nyetrika?”
Sialan, kenapa Granny bilang begitu ke orang-orang sih?! Aku pikir itu hanya rahasia di antara kami berdua aja.
“Aku pinjemin bajuku, deh! Yang udah kusut. Jadi kalo besok pagi kusut juga nggak apa-apa.”
“Ah, nanti baju Agas melar. Kan badan Dicky gede.”

Dan akhirnya... yaaah... aku harus bertahan malam itu dengan cowok menggiurkan yang tidur telanjang di sampingku.

Bang Dicky lalu naik ke atas ranjang dan menepuk-nepuk bantalnya sebelum menidurinya. Dia tersenyum lebar sebelum menutup matanya. Di jarak sedekat ini, kali ini aku bisa melihat kulitnya yang mulus, rambut-rambut ketiaknya itu saat dia langsung menyimpan tangan di bawah kepalanya... dan tentunya, sebesar apa tonjolannya dalam posisi horisontal macam begini. Dan bahkan cowok itu nggak curiga waktu aku menatap ke arah perutnya. Dia tetap tersenyum geli dan membuatku merinding.

“Met bobo, Gas,” katanya. “Nggak usah takut. Kalo si Kunti datang, Dicky ada di sini buat ngelindungin Agas.”

Yah, masalahnya, aku sama sekali nggak takut kalo sejuta Kunti datang ke kamar ini sekarang. Yang aku takutkan adalah malam yang terlalu menggairahkan ini.

Waktu Mom bilang bahwa perjuangan terberat dalam hidup adalah melawan diri sendiri, I think she’s right and I think I know now what was that all about. Aku sering mendapat petuah dari orang-orang bijak (yang kudapat dari google tentunya—yang itupun nggak sengaja ke-click) bahwa perang terbesar di dunia bukanlah World War I & World War II. Bukan juga perang Israel dan Palestina, maupun perang Korea Utara with the rest of the world. Perang paling besar adalah perang melawan diri sendiri. Perang melawan nafsu.

Aku sudah menyadari aku gay sejak aku kecil. Pada usia enam tahun, aku ngefans berat dengan Enrique Iglesias dan selalu stand-by di depan teve, menunggu video klip “Hero” ditayangkan di MTV. Bahkan, kalau dipikir-pikir, aku mirip Granny waktu itu. Aku bisa melompat dari lantai dua kalau Mom kebetulan mengganti channel dan lagu Hero muncul.

Yang aku suka dari Enrique Iglesias of course bukan lagunya—tapi orangnya. Buatku dia seksi. Dan kalau ada liputan di teve yang menayangkan Enrique shirtless (at least menunjukkan lengannya deh) aku bisa merinding geli dan pergi ke kamar, memeluk guling, lalu membayangkan yang bukan-bukan.

Dan berhubung internet sudah ada saat itu, (di tengah krisis curiosity tentang “kenapa aku seneng lihat cowok telanjang?”) akhirnya aku menyadari bahwa aku ini gay.

Masa-masa gay-ku nggak begitu dominan. Mungkin aku bukan tipe-tipe yang sex-addict. Aku lebih senang menghabiskan waktuku dengan melakukan beragam hobi dan agak-agak nerd soal dapetin cowok. Hanya saja, akhir-akhir ini, saat jerawat kadang muncul dan semua rambut-rambut di tubuhku sudah tumbuh, aku mulai tertarik lagi pada makhluk bernama “cowok”. Aku mulai hobi membuka filestube untuk mencari video porno dan sering mondar-mandir di manjam meskipun aku nggak pernah ketemuan. Aku chat dengan banyak gay around the world dan pernah satu kali sex-cam dengan orang India. But that’s it, my gay journey nggak pernah bertualang lebih jauh dari itu—meski aku ingin.

Semuanya keburu ditutup sama kematian Mom and Dad yang 100% mengalihkan perhatianku. Bahkan saat aku memutuskan pindah ke Indonesia, aku bertekad bahwa aku bakal berhenti jadi gay—even though I have no idea how to stop it. Aku bertekad akan menyelesaikan studiku, melupakan tetek bengek cinta monyet dan menjadi orang sukses di Indonesia.

Sayangnya, itu bukan perkara mudah.

Malam kedua aku ada di Indonesia, seorang cowok manis benar-benar menggoda imanku. Dia tidur bertelanjang dada—bukan, dia tidur nyaris telanjang, hanya ditutupi celana dalam saja, dan aku sudah “suka” dia dari hari pertama. Beban banget, kan?

Malam itu, seperti dugaanku, aku diserang insomnia. Apa yang dinyanyikan Craig David 100% bullshit. I can’t sleep till you’re next to me benar-benar kebalikan dari yang aku alami. Aku justru insomnia because you’re sleeping next to me!

Aku dapat mencium aroma tubuhnya yang hangat sepanjang malam. Jenis-jenis aroma tubuh yang dapat membuat little jack manapun berdiri tegak. Setiap kulitku tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya, badanku langsung merinding geli. Mirip saat pertama kali aku nonton video porno. Perutku mulas kegirangan dan makin dilawan makin ingin aku memeluknya.

Aku bolak balik membelakanginya beberapa kali, tapi kemudian terpaksa berbalik lagi dan “aroused” lagi. Untung saja Tuhan masih sayang padaku. Entah jam berapa, mungkin lewat tengah malam atau mendekati subuh, aku akhirnya tertidur pulas dan nggak memimpikan apapun. Sama sekali. Tahu-tahu aku terbangun, tirai terbuka, sinar mentari masuk ke dalam, dan Bang Dicky udah nggak ada di sampingku.

-XxX-

“Sekarang jam berapa, Granny?” Aku berjalan terseok-seok ke ruang tengah, sebagian besar nyawaku masih melayang-layang dan bahkan morning erection-ku belum berakhir. Aku mengucek-ngucek mata dan menemukan rambutku acak-acakan di depan cermin ruang tengah (yang memiliki frames paling indah yang pernah kulihat).

“Jaaammm...” Granny menoleh ke salah satu dinding, “jam sembilan sayank. Kamu breakfast pagi dulu, gih. Si Dicky spesial bikinin kamu corn cream soup. Ibu kamu bilang kamu suka corn cream soup, kan? Makan sendiri ya... Nenek tanggung nih. Lagi nonton Dahsyat.”

Ketika aku pergi ke ruang makan, tempat itu disulap bagai ruang makan kerajaan. Meja makan Granny ditutupi taplak putih besar dan tersedia beragam sajian dalam ceramic tableware yang putih bersih. Di tengah meja ada vas bunga... dengan bunga mencuat dari dalamnya... sebentar, aku cek dulu... astaga, bunga asli! Di meja makan!

Baiklah, mungkin bagi Bang Dicky, batas antara awesome dan berlebihan itu agak blur. I mean, this is seriously cool! Sendok dan garpu peraknya ditata dengan rapi. Tapi somehow, ini berlebihan juga. Ini kan hanya “breakfast”. Regular breakfast. Bukan sarapan kerajaan dengan folded napkin dan ada roti sobek nikmat dan... apa itu? Cranberry?

Jujur saja, aku belum pernah mendapat sarapan macam begini seumur hidup—kecuali waktu kapan itu aku menginap di Hilton.

Aku menyadari bahwa breakfast set ini belum tersentuh sedikit pun. Sudah dihidangkan dengan nikmat tapi tak satupun sudah menggunakan sendok-sendok perak itu atau mangkuk-mangkuk keramik yang indah itu. Aku akhirnya memutuskan mencari Bang Dicky ke sekeliling rumah. Kalau Granny asyik dengan acara paginya itu, mungkin aku bisa mengajak Bang Dicky sarapan bareng denganku.

Aku mengecek ke teras depan, nggak ada siapa-siapa. Dapur dan kamar mandi kosong. Lalu ruangan menyeramkan yang ada kursi goyang dan piano tua pun kosong melompong (at least ada hantunya deh). Kemudian aku teringat teras belakang. Aku baru ke sini beberapa kali, selewat saja, hanya untuk “tahu” bahwa Granny punya halaman belakang di sini. Tapi di sana juga nggak ada. Yang kulihat hanyalah kebun yang rimbun, dengan pepohonan tinggi dan pagar-pagar dibelit tanaman merambat (aku menduga itu anggur), dan kelihatannya masih ada halaman berumput jauh ke belakang, yang urung kuhampiri karena harus mengenakan sandal ke sana.

Ting-Tong!

Ada yang datang.

Dari teras belakang aku mendengar sayup-sayup Granny bicara dengan seseorang di pintu depan. Aku masuk lagi ke dalam untuk melihat siapa yang bertamu. Ketika aku berjalan menuju ruang depan, memang ada suara seorang cowok sedang berbicara akrab dengan Granny.

“Eeeeh... kalem, Nek! Nunggu jodoh dulu! Hehehe...” kata cowok itu diiringi gelak tawa.
“Ah, playboy macam kamu pasti lama kawinnya,” balas Granny, lalu tiba-tiba menyanyi, “Nggak, nggak, nggak kuat... nggak, nggak, nggak kuat...

???
Granny nyanyi apa?

“Mumpung masih muda, Nek.. bertualang dulu! Hahaha...” sambung si cowok.
“Kalo udah selesai bertualang, mampir-mampir yaa... Nenek single lho!”

Astaga.

Aku tiba di ruang depan... dan agak takjub, melihat Granny berbicara dengan seorang cowok yang masih muda. Kamu boleh bilang dia ganteng. Semua gay di dunia pasti setuju dia cute dan menggemaskan. Dia mirip... Shia LaBeouf... tentunya versi Indonesia.

Dia Shia LaBeouf dengan kulit putih Asia, dengan mata yang lebih sipit tapi tetap sayu dan mengundang. Potongan rambutnya pun pendek, mirip si Sam Witwicky di Transformer. (Atau jangan-jangan dia memang operasi plastik biar mirip Sam Witwicky?) Tingginya nggak beda jauh dariku. Dia mengenakan kaus sleeveless yang menunjukkan betapa kokoh dan berototnya lengan yang dia miliki. Bahunya lebar, tapi di bahu kiri kausnya menempel noda-noda berwarna coklat (serbuk kayu?).

“Oh, ini kenalin cucu Nenek yang dari Amerika!” seru Granny saat menyadari aku muncul. “Ini lho, Agas itu! Dia bisa bahasa Inggris! Agas sini!”
“Waah... mirip orang Indonesia ya Nek!” katanya sambil tersenyum lebar.

Astaga, situ pikir kalau aku tinggal di Amerika balik-balik ke Tanah Air aku bakal jadi caucasian? My parent is purely Indonesian, dude.

“Saya Zakila,” kata cowok itu, menjabat tanganku, “panggilnya Zaki aja, bos!”
“Aku Agas.”
“Wah, berarti saya bisa belajar bahasa Inggris sama Agas dong, Nek?” katanya ke Granny.
“Ya bisa dong, Ganteng... Apalagi cucu Nenek ini Inggrisnya British Amerika. Hebat, kan? Jeng Nunuk bilang, British Amerika itu paling susah.”
PART: 6
Zakila ternyata lebih ganteng dari dekat. Aku kagum dengan kulitnya yang mulus dan alisnya yang agak tebal. Dan keringat mengilat yang samar-samar kulihat dari lehernya itu membuat dia terlihat... seksi.

“Oh iya, si Dicky ada di workshop kok! Kamu ke sana aja, Zaki,” ujar Granny. “Kamu ajak Agas maen ke sana. Kamu belum ke workshop kan, Gas?”
Workshop apa Granny?”
Workshop tempat Bang Dicky bikin pigura. Ke sana, gih. Lihat-lihat. Bagus, lho!”

Aku baru tahu ternyata Bang Dicky ada di workshop. Eh, bukan. Aku baru tahu bahwa Bang Dicky bikin pigura.

“Tunggu bentar, saya ambil kayunya dulu.” Zaki pun berlalu dengan senyum manis dan gigi rata yang membuatku iri. (Kadang aku berharap senyumku bisa semanis itu.)
“Pake sandal Nenek, Gas. Tuh, yang itu aja. Yang ijo daun.”

Aku mengamati Zaki yang bergegas keluar halaman rumah Granny. Dia menuju sebuah minibus kap terbuka dengan tumpukan-tumpukan kayu berwarna coklat. Kayu-kayu tersebut sudah dipotong membentuk balok-balok panjang. Ketika Zaki kembali lagi ke teras depan dan memanggul balok-balok kayu tersebut di bahu kirinya, aku akhirnya tahu dari mana noda coklat itu berasal.

“Yuk, Gas!” katanya, tapi dia tidak masuk ke teras dan ke dalam rumah. Instead, dia berjalan mengitari rumah, melewati gang sempit di pinggir rumah yang penuh bunga-bunga ungu kecil, dan tembus di halaman belakang. Aku mengikutinya dengan penasaran.

Workshop? Pigura? Kayu-kayu?
Ini merupakan satu hal baru yang kuketahui dari Bang Dicky.

Aku membuntuti Zaki melewati halaman belakang. Kami melewati pepohonan besar itu, pagar-pagar dengan tanaman merambat, dan bahkan menapaki jalan setapak di antara halaman berumput yang teduh tertutup pohon besar. (Aku bahkan heran di komplek seperti ini masih ada kebun belakang macam begini.)

Di ujung jalan setapak, aku dapat melihat gubuk kayu yang cukup besar, yang kelihatan sangat-sangat tropis. Pintunya sangat besar... terbuka. Kulihat Bang Dicky sedang ada di dalamnya, mengukir sesuatu di atas frames besar yang tebal.

“Dick!” panggil Zaki. “Nih, stock baru.”
Bang Dicky menoleh dan kelihatan sedikit gembira.

Hatiku juga gembira, batinku. I mean, semalam aku tidur bersamanya, kan? Melihatnya begitu bersinar pagi ini, membuatku... kangen.

Bang Dicky mengenakan baju terusan tebal yang sering kita lihat di bengkel-bengkel. Terusan itu warna coklat keabu-abuan, mirip baju militer udara. Ritsleting yang memanjang dari leher ke selangkangan hanya tertutup setengahnya, membuatku dapat melihat kulit mulus Bang Dicky dari dada hingga diafragmanya.

Dia nggak pake T-shirt lagi ya di dalamnya?

“Simpen di sana aja, Ki!” suruh Bang Dicky menunjuk entah kemana di dalam workshop lalu mulai mengamatiku. “Agas udah sarapan belum?” tanyanya penuh perhatian.

Aku menggeleng. “Belum, Bang. Nggak ada temen.”
Bang Dicky mengernyit. “Padahal sendirian aja... nggak usah nungguin Dicky.”
“Nggak enak ah, makan sendirian.”

Telepon di dalam workshop berdering. Aku melirik dan melihat telepon tua (dengan nomor-nomor yang diputar—bukan ditekan) bertengger di salah satu meja kayu kecil. Bang Dicky dengan santai menghampirinya, mengangkat gagangnya dan berbicara dengan seseorang. Kedengarannya sih Granny.

“Bentar, Nek. Iya. Dicky ke sana.” Dia menutupnya dan bergegas ke arahku. “Dicky mau ke Nenek dulu. Agas kalo mau lihat-lihat, bareng Zaki aja.”

Bang Dicky pun menghilang ke dalam rumah sementara Zaki baru muncul setelah menyimpan kayu di tempat yang ditunjuk Bang Dicky tadi. Telapak tangannya ditepuk di bokongnya, membersihkan serbuk-serbuk kayu yang menempel.

“Ini workshop buat apa sih?” tanyaku, sambil berkeliling melihat-lihat.

Pandangan mata Zaki mengikutiku, dan dia kelihatan ingin membuatku terkesan. “Ini workshop buat bikin pigura. Si Dicky seneng bikin pigura, dan saya bertugas jadi kurirnya. Ngirim material sama ngirim hasil karyanya buat dijual. Yang ini namanya The Butterfly-butterfly. Artinya, kupu-kupu.”

Zaki menunjuk sebuah frames berukuran sedang, yang tepiannya dipahat banyak sekali bentuk kupu-kupu. Mulai dari besar, hingga kecil. Mulai dari bercorak, hingga polos. Di bawah frames ada sticker putih dengan tulisan, “The Butterflies.”

“Jadi pigura ini dijual?” tanyaku, penasaran harganya berapa.
“Oh, nggak. Kalo piguranya ada di sini, berarti nggak dijual. Yang dijual tuh yang nggak ada di sini. Nah, yang ini namanya The Virgo The Virgin.”

Astaga, padahal di situ ada tulisan “The Virgin Virgo” kenapa Zaki tetep sok tau, ya?

“Jadi ini tuh... semacam... produk gagal, ya? I mean, kalo yang di sini nggak dijual, berarti yang dijual lebih keren dari ini dong?”
Zaki mulai mengangkat dagunya dan kelihatan sok pintar. (In some case, lucu juga kalo cowok udah seperti itu. Seolah menguasai segala sesuatunya—padahal sok tau.)

“Justru yang dijual nggak lebih bagus dari ini. Dicky cuma ngejual pigura yang dia nggak suka. Sementara yang dia suka, dia simpan di workshop atau kalau Nenek minta, Dicky pasti langsung ngasih cuma-Cuma.”

Okay. So now it all answered the mystery of why Granny has million of frames.

Aku keliling workshop menatap karya-karya menakjubkan yang menggantung di sepanjang dinding. Benar-benar deh. Mestinya karya macam begini buatan mesin, bukan tangan. Too perfect. Lihat ini, pahatan batik di frames ini kelihatan detail!

“Agas sukanya yang mana?” tanya Zaki.

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Mundur beberapa langkah dan melakukan quick-scan. Ada satu pigura yang menarik perhatianku. Beberapa kali aku menoleh ke arah lain, tapi mataku selalu berakhir menoleh ke pigura yang satu ini.

“Aku suka yang ini!” sahutku sambil menunjuk The Cupid.
“Oh, yang ini namanya The Choo-Pit. Kesukaan si Dicky juga. Favorit, nih!”
“Masa?”

Pigura itu justru polos di pinggiran bawah, kanan, dan kirinya. Di atasnya ada banyak sekali awan-awan mungil yang detail dan menakjubkan, lalu di tengahnya ada pahatan bocah cupid yang imut. Bocah cupid itu, layaknya cupid dalam film kartun, hanya mengenakan kain yang membalut tubuh mungilnya. Ada sayap malaikat di belakangnya dan ia sedang memainkan harpa mungil. Aku suka ekspresi wajahnya. Begitu bahagia.

“Sebetulnya. Ini karya pertama si Dicky lho... Lihat nih, pinggirannya polos, kan? Sementara yang lain pada full ukiran,” ujar Zaki.

Kami lalu berjalan-jalan lagi di seluruh workshop dan akhirnya duduk di bangku taman di luar. Dedaunan rontok ke atas halaman berumput. Zaki membersihkan sebuah bangku dari beton yang ditutupi daun dan mempersilakanku duduk di situ.

Kulihat cowok itu gugup. Entah untuk alasan apa. Dari tadi padahal dia sok tau, seolah ingin membuatku terkesan. Kali ini dia sesekali melirikku... seperti... seperti ada yang mau ditanyakan tapi malu untuk menanyakannya.

“Jadi...” mulainya—nah, kan, benar dugaanku, “Agas tuh orang Amerika, ya?”
“Kemarin sih iya,” jawabku.
“Berarti bule dong?” tanyanya lagi.

???

Aku memilih untuk nggak menjawab. Geli juga melihat banyak orang Indonesia yang begitu memuja orang-orang luar negeri. I mean, we’re not that great, People. Aku masih orang Asia biasa yang kebetulan pernah tinggal di US, tapi bukan berarti aku levelnya lebih tinggi daripada orang Indonesia. Bahkan menurutku, Amerika dan Indonesia sama aja. Hanya beda lokasi dan warna kulit aja.

“Berarti Agas kanjutnya gede, dong? Kan orang Amerika mah kanjutnya gede-gede,” sahutnya kemudian, agak malu dan memerah.

Kanjut?
Apa itu kanjut?

Tapi karena aku juga gengsi, I mean, aku sudah dipuja-puja seperti itu, aku juga berlagak sok tau. Persis Zaki waktu di workshop barusan deh.

“Oh, iya dong. Kanjut aku gede!” jawabku, dengan nada bangga.

Nanti begitu Zaki pergi, aku bakal langsung ngetwit Adam, menanyakan kanjut tuh apa? Beberapa Bahasa Indonesia belum benar-benar kuketahui. Seperti kapan itu aku pikir Prikitiw adalah merek keripik kentang, ternyata hanya slang yang diciptakan komedian Indonesia—Adam waktu itu tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Zaki kelihatan terpukau. Matanya berbinar dan dengan kagum di melihat ke arah perutku, lalu ke wajahku.

“Gimana rasanya punya kanjut gede?”

Nah, lho. Aku mesti jawab apa?

“Asyik... Enak...” Otakku berputar lagi. “Hangat.”
Untuk sementara, aku anggap kanjut adalah... sweter. Mungkin karena foningnya dekat dengan kata “rajut”. (Bisa jadi kanjut adalah bahasa sundanya rajut—who knows. Aku kan nggak hafal bahasa daerah di sini.) Dan memang, di Amerika, sweter-nya besar-besar. Kadang aku rasa seksi banget kalo cowok pake sweter besar.

“Wah, jadi pengen juga nih,” kata Zaki sambil tertawa geli.
“Tinggal beli, kok,” jawabku. “Di Manhattan banyak yang bagus dan gede-gede.”

Zaki kelihatan agak bingung. Tapi kemudian dia terpukau lagi.

“Bisa dibikin gede ya di Amerika?”
“Ya bisa, dong. Why not?” I mean, kalo sempit kan nggak bisa dipake.
“Bisa ngegedein nggak?”
Of course!” Sweter mana sih yang setelah dipake justru mengecil?

Ini benar-benar sweter, kan? Atau aku harus stop pembicaraan di sini karena takutnya apa yang kami bicarakan ini beda objek?

Zaki menelan ludah. Dia geleng-geleng kepala tapi kelihatan terpukau. Tiga detik kemudian dia menoleh kanan-kiri, mengecek apakah ada orang yang melihat kami, lalu dengan hati-hati bertanya padaku.

“Bos...” katanya, gugup, tapi memberanikan diri, “Saya boleh lihat nggak kanjut bos?” Dia pun menunduk. Entah melihat selangkanganku entah malu sudah bertanya barusan. “Penasaran banget, bos! Dari dulu pengen lihat kanjutnya orang Amerika kayak gimana...”

Oke. Kayaknya aku mesti klarifikasi dulu, kanjut tuh sebenernya apa?
Kemungkinan besar kanjut bukan sweter.

“Boleh, tapi nanti, ya,” janjiku—sebab aku mau memastikan dulu definisi sebenarnya apa.

“Gas!” panggil Bang Dicky kemudian. Dia sudah muncul di teras belakang sambil membawa handuk, “Kata Nenek kita ke sekolah Agas hari ini aja, besok Nenek nggak bisa. Mau ke konferensi. Terus belanjanya entar malem aja, pulang dari supermarket. Dicky mandi dulu ya, entar udah Dicky mandi, kita berangkat bareng. Eh, Zaki! Kenapa masih di situ?”

-XxX-

Aku ragu.

Apakah harus menanyakan soal Kanjut tersebut pada Granny? At least pada Bang Dicky, deh? Sebab Adam belum membalas twit-ku soal kanjut. Dan yang jelas, aku nggak bisa membuka topik tersebut di dalam mobil karena ternyata si Zaki juga ikut ke sekolah baruku.

“Kita makan di Iga Bakar, yuk?” sahut Granny mengeluarkan ide—dari tadi kami memang sedang mencari ide di mana akan melakukan makan siang. “Kamu suka iga kan Gas?”

Iga? Tulang, kan?

“Yang depan Taman Pramuka, ya?” ujar Bang Dicky monolog.
“Wah, asyik nih!” sahut Zaki. “Iga Bakar makanan orang Amerika!”

Baiklah, aku nggak perlu menceritakan dengan detail soal sekolahku, kan? Intinya, nama sekolahku yang baru adalah Caralho International School. Sekolah khusus untuk expat, keturunan alumni dari sekolah tersebut, dan tentunya orang-orang yang sebelumnya sekolah di luar negeri lalu berencana sekolah di Indonesia. Aku nggak diterima di semua sekolah negeri dan swasta Indonesia karena kurikulumku yang sebelumnya nggak sesuai. Jadi akhirnya aku terdampar di CIS.

CIS tempatnya oke. Besar berlantai-lantai, dan awalnya aku pikir ini mall. Ada lift di dalam gedung (satu hal yang jarang kutemukan di sekolah-sekolah Amerika). Aku sudah berkeliling seharian dan menemukan tempat ini fully-facilitated. Sebagian siswanya caucasian, indian, chinese (dominan), dan kalo nggak salah ada beberapa orang Afrika di sana.

Aku hanya berkeliling dua jam saja di sana—Granny langsung mengajakku pulang dan makan siang. Dan selama berkeliling tersebut, si Zaki ternyata mengekor di belakangku dan kelihatan lebih takjub saat menemukan bahwa di kotanya sendiri ada sekolah macam begitu.

Begini, sebetulnya sex appeal Zaki lebih memancar. Kalau Bang Dicky dijejerkan dengan Zaki, dan kalian disuruh memilih salah satu, aku bertaruh kalian bakal memilih Zaki. Mata agak sipitnya yang sayu membuatnya kelihatan ganteng. Dan ngomong-ngomong soal badannya... wah, to die for, deh.

Hanya saja, Zaki berusaha terlalu keras untuk membuatku terkesan. Seolah dia ingin meyakinkanku bahwa dia worth it untuk menjadi BFF-ku, dan bahwa dia cool, dan mungkin berusaha mengajakku ke dunia “gaul”-nya di sini. Aku sih fine-fine aja. I mean, aku datang ke sini tanpa teman sedikit pun, kan? Kalau ada orang yang berusaha keras ingin menjadi temanku, kenapa aku harus menolaknya? Mungkin aku bisa melihat satu atau dua minggu ke depan, se-annoying apakah dia orangnya? (Atau se-hot apa—hihi.) Yang pasti, dia bener-bener ngefans sama apapun yang berlabel: Amerika.

“Nanti kita makan bakso ya, Gas!” katanya suatu kali, “Obama juga suka bakso!”

“Nah, udah nyampe, Gas! Yuk, turun,” kata Granny.

Iga Bakar ternyata bukan hanya nama makanannya, tetapi nama tempatnya juga. Lumayan cozy, sih. Kami kebagian meja di area yang agak private. Di sebuah ruangan mungil yang hanya terdiri dari dua set meja. Pilihan makanannya nggak begitu beragam, andalan mereka katanya Iga Bakar dan Iga Penyet. Aku pilih Iga Bakar (Zaki juga—karena mungkin dia pikir Iga Bakar adalah pilihan orang-orang Amerika) dan jus markisa (Zaki juga).

Sebetulnya aku pilih Iga Bakar karena aku nggak tahu Iga Penyet tuh apaan. I mean, what is “penyet” anyway? Harus mulai kucatat nih beberapa kosakata: kanjut, penyet, dan kalo nggak salah tadi Zaki bilang “ewean” waktu kami masih di rumah Granny.
PART: 7
                 
 “Nenek mau ke toilet dulu, ya!” sahut Granny sambil membereskan tasnya. “Ada yang mau ikut?”
“Dicky, Nek!” kata Bang Dicky sambil ikut berdiri.
“Agas nggak? Zaki nggak? Tunggu di sini, ya?” kata Granny. Dan mereka berdua pun menghilang ke toilet.

Zaki, yang asalnya duduk di seberangku, tiba-tiba pindah ke kursi di dekatku. Astaga, dia pasti mau membicarakan tentang Amerika lagi, ya?

“Agas suka fuck you-fuck you-an, kan?” tanyanya, agak berbisik dan celingak-celinguk, khawatir meja sebelah mendengarnya.
What?” balasku. Maksudnya apa?
“Ini nih!” katanya, lalu mengangkat telunjuk tangan kanannya, kemudian tangan kirinya membentuk O menggunakan telunjuk dan jempol, kemudian si telunjuk tangan kanan itu masuk ke lubang O, dan si telunjuk digerakkan maju mundur...

“Oh,” kataku, setelah paham. “Sex?”
“Nah, itu!” bisik Zaki agak berbinar. “Agas pernah?”

Aku menggeleng. “Belum dong. Aku kan masih kecil!”
“Tapi kan kanjutnya gede. Masa nggak dipake?”

Okay, sekarang aku dapat petunjuk baru. Si kanjut ini pasti berhubungan dengan seks.

“Orang-orang amerika, pasti seneng fuck you-fuck you-an, kan?” tanyanya.
Aku merenung. Setahuku, semua orang di dunia, di negara mana pun, pasti seneng “fuck you-fuck you”-an.
“Ngng... ya,” jawabku. Sebetulnya masih agak bingung, kemana dia mau membawa pembicaraan ini.

“Saya juga, bos!” serunya, bersemangat. “Bos mau lihat videonya?”
“Apa?”

Zaki dengan kilat merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Tipe N73 music edition yang kukira sudah punah. Cowok itu memastikan meja sebelah nggak mengintipnya memainkan ponsel dan dia juga celingak-celinguk, barangkali di ruangan ini ada CCTV atau apa gitu.

“Nih, bos!” katanya, memberiku ponselnya. “Ini sama si Lidya.”

Zaki menunjukkan sebuah video buram, di sebuah ruangan yang agak remang (entah memang kualitas kameranya jelek atau karena settingnya malam hari sehingga pencahayaan hanya dari lampu pijar kecil). Video itu berisi seorang cowok (which I assume as Zaki) dan cewek (si Lidya) yang sedang woo-hoo di atas kasur tipis.

“Si Lidya tuh cantik, bos! Susunya gede!” bisik Zaki, masih berhati-hati supaya meja sebelah nggak mendengarnya. “Kalau bos mau, entar saya bawain si Lidya buat bos! Dia suka yang kanjutnya gede-gede—yang saya mah kecil, dia bilang kayak cengek. Kurang ajar! Bos pasti mau lah sama dia...”

No thanks, batinku. Kalau harus milih salah satu orang di video ini, aku pasti pilih si cowoknya!

Video itu, mungkin karena buram, nggak bisa aku nikmati. Yang jelas Zaki dalam video itu sedang “fucking-offlittle jack-nya ke dalam Miss V-nya si Lidya. Tapi si little-jack-nya nggak kelihatan kok. Yang kelihatan cuma bagian pinggir tubuh Zaki, lekukan pantatnya, dan bagaimana tungkainya begitu kokoh menggerakkan selangkangannya maju mundur ke dalam tubuh Lidya.

But still, my little jack has aroused. Karena meski buram, tetap saja video ini seksi mengingat si bintang utamanya adalah Zaki, yang sex appeal-nya memancar nggak ketulungan. Bahkan, sebisa mungkin aku nggak membayangkan bahwa si Lidya ini adalah aku.

“Terus aku juga pernah sama si Neneng,” katanya, merebut ponselnya cepat-cepat dan mengganti video. Ketika dia memberikannya lagi padaku, kulihat Zaki kali ini hook up bersama cewek di dalam sebuah lavatory. “Dia mah masih keset, bos! Dia juga katanya suka yang kanjutnya gede.”

Aku nggak berkomentar. Aku malah asyik menonton video itu, berharap si Zaki melepaskan little-jack-nya lalu dengan sengaja menunjukkannya ke kamera. Tapi sejauh ini aku cukup puas, melihat badannya yang telanjang, otot-ototnya yang menggiurkan, dan lihat perutnya itu! Apa dia gabung di gym atau apa gitu?

Dalam beberapa menit berikutnya, Zaki telah menunjukkan sekitar enam (entah tujuh) videonya bersama cewek-cewek yang berbeda. (Dan satupun nggak ada yang meng-capture ‘itu’-nya si Zaki—too bad.) Aku menduga dia berusaha keras kelihatan keren di hadapanku. Mungkin dia mengira orang Amerika adalah dewanya seks.

“Kalau lihat video bokep, banyak banget video bokep orang Amerika. Terus di film juga banyak banget adegan fuck you-fuck you-annya. Asyik kayaknya tinggal di sana, bisa aha-aha setiap hari,” bisiknya, saat dia menunjukkan videonya bersama Tuti.

Aku nggak berkomentar. Jelas masih asyik menonton video si Zaki ini.

“Kadang saya mah penasaran, bos,” gumam Zaki lagi, “gimana sih rasanya dimasukin kanjut gede? Cewek-cewek ini téh meni ngareeep banget bisa dapet kanjut gede. Saya mah bener bos, penasaran!”

Astaga, lihat itu! Seksi banget perut si Zaki! Andai aku menjadi Tuti... atau Shinta—yang tadi videonya lagi hook-up dengan Zaki di bawah pohon jambu.

“Lagi lihat apa, Gas?”
Tiba-tiba Bang Dicky muncul di depan kami dan mengagetkan kami berdua. Zaki langsung merebut ponselnya dan menyembunyikannya.

“Ini Ki, ngng... foto-foto waktu kita ke Pangandaran bareng Nenek!” sahut Zaki, menyembunyikan the truth. “Ya kan Gas?”

Aku hanya tersenyum. Nggak mau ikut-ikutan membual. Lagi pula, kenapa mesti disembunyikan, ya? Memangnya Zaki nggak menunjukkan video itu sama Bang Dicky, hmh?

Bang Dicky mengernyit, kelihatan banget nggak percaya dengan kata-kata Zaki. Tapi dia belum sempat berkomentar karena Granny keburu datang. “Aduh, penuhnya itu WC. Eh, makanannya belum datang, ya?”

-XxX-

Sepanjang menyantap menu kami, Zaki sama sekali nggak menyinggung soal videonya lagi. Lagi pula, Granny telanjur bersemangat menceritakan sekolah baruku.

“Salah satu cucunya Jeng Nunuk ada yang sekolah di CIS juga, lho! Namanya Esel. Tadi dia ngesms Nenek, katanya mau mampir ke rumah jam empat sore. Kamu bisa temenan sama dia, Gas. Jadi best friend!”

“Yang sering colek-colek itu, ya?” kata Zaki. “Iiiihhh...”
“Esel suka sama Zaki, kali!” canda Bang Dicky sambil tergelak.
“Amit-amit!” Zaki bergidik. “Dia kan sukanya sama elu, Dick!”

Hush-hush-hush, udah, jangan ngejek-ngejek terus si Esel! Entar kalo Jeng Nunuk bisa telepati dan ngedengerin obrolan kalian, gimana, hayo?” Granny, meski agak geli, mencoba menutup mulut kedua cowok itu. “Ngomong-ngomong, kalian percaya nggak kalo Jeng Nunuk lagi belajar telepati?”

“Hipnotis kali, Nek?” sahut Zaki.
“Bukan, ah. Telepati. Dia lagi berguru sama guru telepati! Gurunya dari Namibia.”

“Jeng Nunuk kan suka lebay, Nek,” ujar Bang Dicky, sambil menyuapi mulutnya dengan potongan Iga Penyet, “Terakhir Jeng Nunuk bilang lagi belajar sulap kan ternyata dia—“

Tring-tring-tong!!

Ucapan Bang Dicky terpotong. Aku, dan yang lainnya, kaget. Sendok perak yang sedang dalam perjalanan menuju mulutnya tiba-tiba terjatuh dan mengeluarkan suara berisik logam-ketemu-keramik. Ekspresi Bang Dicky terlihat lebih shock dibandingkan kami bertiga. Matanya membelalak seolah melihat hantu. Dia menatap ke satu ruang, ke satu sudut... ke satu meja.
“Kenapa, Dicky?” tanya Granny. Dia langsung celingukan ke arah yang dilihat Bang Dicky dan penasaran apa yang sebenernya terjadi. “Ada siapa, sih?”

Bang Dicky kelihatan gemetar. Gemetar yang sama seperti yang terjadi waktu kami tiba di pemakaman kemarin. Astaga, apa ada kuburan di sekitar sini?

“Heh, Dicky! Ada setan, ya? Si Kunti, ya?” tanya Zaki agak cemas. Tapi Bang Dicky nggak menjawab.

Aku mencoba memegang lengannya yang gemetaran dan mengelusnya, berusaha sebisa mungkin menenangkannya. Granny, yang kelihatannya lebih “tahu” soal Bang Dicky, akhirnya menemukan jawabannya. Setelah Granny celingukan sebentar, dia membuat kesimpulan.

“Dicky, kamu tunggu di mobil aja, ya?” kata Granny. “Sini Nenek antar. Agas sama Zaki tunggu di sini, oke?”

Granny lalu menarik Bang Dicky berdiri dan berusaha membawanya keluar restoran. Agak sulit juga kelihatannya. Karena makin sini rahang Bang Dicky makin mengeras. Ini bukan tipe gemetaran “ketakutan” yang kulihat kemarin ternyata. Ini tipe gemetaran “amarah”. Aku dapat melihat dengan jelas urat-urat lengannya. Juga alisnya yang bertaut tidak senang. Dan sorot matanya yang penuh... dendam.

Tapi Bang Dicky sudah berlalu keluar dari restoran. Meninggalkan aku dan Zaki yang masih celingukan. Beberapa detik kemudian, Zaki pun akhirnya tahu.

“Ooohhh... itu!” sahut Zaki, lega karena tahu. “Si Lita ternyata!”
“Lita?” tanyaku.
“Itu tuh yang itu!”

Zaki menunjuk sebuah meja yang penuh orang. Meja itu berisi sekitar delapan orang, lima cowok, tiga cewek. Yang cowok mengenakan setelan jas, dan yang cewek mengenakan blazer. Specifically, Zaki menunjuk cewek dengan blazer putih garis-garis hitam, yang kelihatan cantiiiik banget. Dengan rambut diikat kuncir kuda, tipe-tipe wajah Eropa-Asia, dan postur Beauty Queen.

“Si Lita tuh mantannya Dicky,” kata Zaki. “Sempet mau nikah, tapi dibatalin.”
“Lho, kenapa?”
Zaki mengangkat bahunya. “Nggak tahu, tuh. Tapi sejak mereka putus, si Dicky suka rada-rada kesetanan tiap ketemu si Lita di jalan. Kata Jeng Nunuk sih ini namanya trauma disorder. Entah trauma psikologis—saya lupa lagi. Yang pasti, Dicky suka berubah kalo dia ngelihat si Lita.”

Jadi... Bang Dicky pernah nyaris menikah dengan seorang perempuan?

“Nah, mumpung nggak ada orang,” kata Zaki kemudian, sambil mengeluarkan lagi ponselnya, “Mau lihat video saya sama si Neni nggak bos?”

Astaga, video lagi?

“Kirim aja deh, ke handphone aku. Entar aku tonton di rumah!”

Jadi ini sebabnya Bang Dicky kelihatan agak “berbeda” waktu aku membicarakan soal pacar dua hari yang lalu? Tapi masa sih segitunya? I mean, hubungan cinta kan nggak bisa diprediksi. Suatu hari bisa saja berakhir.

“Sini bos, hapenya!”
“Tunggu bentar.” Aku mengeluarkan ponsel, tapi sebelum menyerahkannya pada Zaki, aku mengecek dulu twitter-ku.

Kira-kira, Bang Dicky dan Lita putus gara-gara apa, ya? Kenapa bisa sampe “trauma” macam begitu? Apa si Lita ini jalang yang punya jutaan cowok di luar sana dan nipu Bang Dicky lalu bermaksud mengambil harta Bang—Oh, ada balesan dari Adam!

@gas_oQ jorok lu bahas2 kanjut d twitter! LOL! Kanjut tuh ini nih: <==8 got it? Lo mw tw jg artinya ngentot? Atau coli? 7 mins ago via UberSocial for BlackBerry

Pantas.

-XxX-

Efeknya ternyata dahsyat, lho!

Sepulang dari Iga Bakar, Bang Dicky kelihatan uneasy. Zaki yang menyetir mobil Granny (tentunya ketika lewat depan rumah Jeng Nunuk, gantian Granny yang menyetir). Tapi cowok kurir kayu itu langsung pamit pulang dan Bang Dicky bergegas menuju workshopnya untuk membuat frames lagi. Aku membuntutinya ke sana. Dan dalam tempo yang singkat, Bang Dicky memahat pinggiran frames membentuk duri-duri tajam yang mengerikan.

Aku benar-benar penasaran, mereka putus gara-gara apa sih sampe Bang Dicky gemetaran macam begitu?

“Agas, tuh Esel udah datang!” seru Granny memanggilku dari teras belakang. “Kalian ngobrol berdua aja, ya. Nenek mau ke supermarket bareng Jeng Nunuk.”

Aku dan Granny lalu bergegas ke ruang depan dan aku menemukan Jeng Nunuk (mengenakan T-shirt DKNY, celana jins, dan belt bergambar bendera Amerika) bersama seorang cowok kurus dengan kaus dan jins ketat yang memanjangkan rambutnya mirip orang-orang Korea.

“Gas... baju Kakak ini beli di Amerika, lho! Bagus, kan?” seru Jeng Nunuk pertama kali. “Oh, ini cucu Kakak, namanya Esel, dia juga sekolah di CIS. Ayo sana, darling. Main sama Agas.”

“Nenek ke supermarket dulu, ya!” kata Granny lalu menggiring Jeng Nunuk keluar. “Jeng masih punya mayones? Saya kayaknya mau beli Thousand Island sekarang.”

“Hai,” sapa Esel. “Good Afternoon!”

Dari tiga kata pertamanya, jelas sekali si Esel ini banci. Dia mengedikkan kepalanya seperti perempuan, seolah-olah dia punya poni paling panjang di dunia. Posturnya yang kurus dan cara berpakaiannya yang agak-agak girlie (kaus pink dengan gambar mahkota dan payet-payet berlian, lalu celana jins ketat, kardigan mungil yang sempat kukira bolero—saking kecilnya, dan apakah bibirnya itu dipoles lipgloss?) membuatnya kelihatan gaaaayyy banget.

“Sore juga.”

Aku mulai benci dengan orang-orang yang sok western. For God sake, I’m purely Indonesian! Use Indonesian please, and talk about Indonesia...

“Ke kamar aja yuk!” katanya, lalu berjalan mendahuluiku seperti supermodel. Dagunya diangkat ke atas, menunjukkan kesombongannya. “You pasti butuh info-info soal CIS, em? Aku punya list-nya.”

Tapi begitu kami berdua tiba di kamarku, dia tiba-tiba berubah. Seolah sudah memendam ini sejak lama, ingin mengatakan ini dari tadi. Esel langsung mengunci pintu dan mengecek, kalau-kalau pintunya berlubang atau seseorang sedang menempelkan kupingnya dari luar. Matanya pun awas menatap jendela, memastikan nggak ada yang nguping dari sana.

“Kamu anak manjam, kan?” tembaknya langsung. “I know!”

What?

“Tadi I lagi di kelas sosiologi—you know sosiologi, kan? I lihat you jali-jali di koridor. Bareng Nanny. Terus I jadi inget kalo you yang ada di manjam.”

“Maksudnya apa nih?”
“Maksudnya... kamu gay!” pekiknya. Kemudian menutup mulutnya, takut seseorang dari luar mendengarnya. “Kamu gay,” ulangnya lagi, berbisik.
PART:8
By Mario
Sumber: www.gayindonesiaforum.com
Esel lalu duduk di sampingku di atas ranjang, dan kali ini kelihatan lebih santai, meskipun binar-binar sombongnya nggak hilang. “Ternyata cucu Nanny gay juga, em? Aku udah lihat kamu dari duluuuu.”

Aku menyipitkan mata dan belum berani merespon apa-apa. Sebetulnya apa maksud dia? Eh, bukan. Gimana dia bisa menemukanku di manjam?

“Aku nggak ngerti maksud kamu,” kataku.
“Oooh, ya ampun, nggak usah pura-pura deh,” ujarnya sambil memutar mata dan menunjukkan ekspresi angkuh, “username kamu howiroll kan?”

Astaga, bagaimana dia bisa tahu?

“BFF aku, si Jarot, ngeceng you. Katanya dia nemu kamu di friendlist-nya friendlist temennya. Detseu lalu nunjukin profile kamu ke I, dan menurut I... lembayung sih,” wajahnya seolah malas-malasan waktu mengatakan ‘lembayung’ barusan, “tapi I inget banget muka you kayak gimana. Pas you tadi ada di CIS buat jali-jali, I langsung inget you! I langsung buka manjam dan searching profile you. Dan malahan, baju kamu tuh sama dengan yang kamu pake di manjam! Ha!”

Betul juga. Di foto profile-ku, aku mengenakan kaus ungu Thai Airways (hadiah waktu jalan-jalan ke Bangkok tahun lalu) dan aku mengenakannya lagi tadi, meski sudah kututup kemeja kotak-kotak warna ungu-putih. In fact, aku masih mengenakannya sekarang.

Agak lama aku nggak berkomentar. Aku menatap wajahnya, meneliti maksud dia dari membongkar identitas manjamku itu apa. Apa dia mau mengenalkanku pada si Jarot-nya? Atau blackmailing aku?

“Terus?” tanyaku akhirnya.

“Berarti kita bisa jadi bestfriend!” serunya bahagia. Dia lalu turun dari ranjang dan mulai memeriksa meja riasku. “Kamu punya lipgloss? Bibir aku kering. Aku bawa sih. Tapi kali aja kamu bawa yang asli dari Maybeline New York.”

“Aku nggak pake lipgloss.”
“Ah, that’s impossible,” katanya, mengaduk-aduk laci meja rias. “Kok kosong, ya? Oh, mungkin masih di koper kamu, ya? Kamu punya blush Covergirl, kan?”

Aku mengernyit menatapnya. “Aku nggak pake blush on.” For God sake, is gay required to have a blush or a lipgloss?!

“Masa sih?” Dia mengernyit heran. “Payah.”

Esel lalu mengitari ruangan dan meneliti satu persatu koperku. “Terus meja rias itu buat apa?” tanyanya.

“Itu udah ada di sana sejak aku datang. Bukan aku yang minta.”

“Kenapa sweter Bang Dicky ada di sini?!” serunya, tiba-tiba mencabut sweter itu dari gantungan dan mengacungkannya padaku, seolah dia baru saja menemukan kumpulan barang-barang hasil curianku dan mengacungkannya padaku dengan marah.

“Oh...” Aku harus bilang apa? “Semalem Bang Dicky ke sini dan nyimpen sweter itu di situ.”
“Dan kamu nggak ngembaliin ini ke Bang Dicky?!”
“Kenapa kamu marah-marah, sih?”

Esel memutar bola mata seolah aku ini tolol atau apa. “Ya ampuuun... Bang Dicky tuh cinta sejatiku! Kamu nggak boleh ngerebut dia!”

Apa?

“Kamu pacarnya Bang Dicky?” tanyaku.
“YA!” pekiknya. Lalu buru-buru meralat. “Nyaris... Hampir... Ya pokoknya, di dunia gay, dia itu milik aku. Dan kamu mesti tahu hal tersebut. Okelah, untuk kali ini aku maklum, karena kamu belum tahu. Tapi lain kali jangan, ya?”

“Aku nggak ada perasaan apa-apa sama Bang Dicky,” bualku.
“Bagus, deh!”

Oke, kurasa orang ini bener-bener annoying.

“Dan si Zaki juga jangan diganggu, oke? Dia my prince charming!” Esel lalu keluar dari kamar. “Aku haus, mau ngambil minum dulu.”

Kesimpulan awalku tentang Esel: dia orang yang nyebelin. Aku yakin kalian juga setuju. Ini bukan soal dia jatuh cinta dengan Bang Dicky ya—itu haknya dia. Tapi dengan berteriak-teriak macam begitu, atau membicarakan soal manjamku, rasanya dia udah kelewat batas. I mean, gara-gara sweter aja dia langsung sewot begitu?

Huh. Capek deh.

Aku bergegas keluar dari kamar menuju kamar mandi. Tapi begitu sampai di lorong terakhir sebelum kamar mandi, kulihat sekelebat sosok bergerak cepat menuju kamar mandi. Siapa itu? Ketika aku tiba, pintu itu baru saja ditutup. Ceklek. Ditutup rapat. Lalu ada suara air mengalir dan...

Mungkin Esel sedang pipis.

Aku menunggu di depan pintu kamar mandi sambil meneliti kukuku. Sebetulnya aku masih penasaran, gimana caranya Esel bisa “mengingat” wajahku di manjam dan tahu bahwa akulah si orang tersebut di dunia maya? I mean, aku sudah jutaan kali melihat profil banyak orang di manjam, tapi satupun nggak ada yang kuingat. Kecuali Adam, of course. Dan cowok cute dari Philippines itu, yang waktu itu pernah YM-an denganku. Tapi sisanya kan hanya kuingat tiga detik saja... tiga detik setelah aku pergi dari profile-nya.

Tapi lucu juga ya, ternyata Esel jatuh cinta sama Bang Dicky. Malah menjadikan Zaki prince charming-nya. Kalau aku bilang ke dia bahwa Bang Dicky itu kakakku sekarang, dia bakal bereaksi gimana ya? Apa marah? Apa senang karena dia pikir saingannya berkurang? Well, sebetulnya, aku juga bakal—

“Ngapain kamu di sini?” Esel tiba-tiba mengagetkanku dengan menepuk pundakku dari belakang.

Aku terkejut. Nyaris melompat dan menabrak salah satu guci antik dekat kamar mandi. Kulihat Esel sedang berdiri penasaran di depanku, tangan kirinya menggenggam segelas air putih.

“Kamu aneh, ya,” ujarnya. “Cakep-cakep tapi aneh.”

Tunggu. Kalau Esel ada di depanku, lalu siapa yang ada di dalam kamar mandi?

Aku mendekati pintu dan udah nggak mendengar suara air mengalir lagi. Bahkan untuk memastikan, aku memutar kenop pintu, dan... ceklek! Nggak terkunci. Sekarang aku bimbang, pintunya dibuka jangan, ya? Bisa jadi Bang Dicky sedang buang air besar dan lupa mengunci, dan tiba-tiba aku membuka pintu, membuatnya malu...

“Kamu kenapa sih? Ada siapa di kamar mandi?” tanyanya.

“Halo? Ada orang di dalem?” seruku ke kamar mandi. Tapi nggak ada jawaban. “Halo?”

Karena nggak sabar, Esel lalu mendorong pintu kamar mandi dan menggebraknya hingga terbuka lebar. Dan ternyata di dalamnya... kosong. Betul-betul kosong. Aku bahkan melihat langit-langit kamar mandi, semuanya kosong (aku sempat berpikir bahwa mungkin saja Bang Dicky sedang menempel di langit-langit layaknya Spiderman).

“Kamu cari siapa sih?” tanya Esel.

Impossible! Aku yakin banget tadi ada sesosok orang masuk ke kamar mandi, menutup pintu dengan rapat, mengeluarkan suara air mengalir... lalu...

Astaga. Jadi dari tadi aku menunggu siapa di depan kamar mandi?
Si Kunti?
No matter where you live, I’m sure you're gonna love the weekend.

Ini adalah weekend keduaku di Indonesia. So far, semua berjalan lancar. Aku sudah lima hari bersekolah di CIS dan semua berlangsung tertib. I mean, bullying kelihatannya nggak begitu “hidup” di sini. Kecuali kalau aku menganggap kehadiran Esel sebagai bullying batin.

You lihat tadi Cazzo main futsal? Seksi kan? Seleraku bagus, kan?”

Hari Jumat di CIS sudah berakhir. Aku sedang menunggu dijemput Bang Dicky di sekolah. Esel dari tadi terus membuntutiku dan merecokiku tentang kejadiannya hari ini termasuk mengomentari kejadianku hari ini meski aku sama sekali nggak cerita.

I lihat you tadi makan burger di kantin. It’s so alay, girl,” katanya.
“Gimana caranya makan burger bisa jadi alay?” Aku memutar bola mata dan mencuci tanganku di wastafel.
“Karena si Joni, yang kampungan dan alay itu, suka makan burger. Jadi pasti semua yang makan burger is alay.”

Kami berdua sedang ada di WC siswa. Aku sih barusan pipis, kalau Esel sedang merapikan maskaranya. (Dia percaya, kalau bulu matanya lentik ke atas, dia bakal kelihatan so-middle-east.) Tapi entah kenapa kami malah menghabiskan waktu di WC bersih ini (sebersih WC hotel berbintang—dengan aroma jeruk dimana-mana, disemprot oleh sebuah kotak putih di langit-langit) mengobrol ngalor ngidul meski jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.

“Aku makan burger karena aku kangen junkfood,” tukasku.

Esel merenung sebentar. Dia menelan ludah. Kelihatannya, untuk beberapa hal, dia mesti setuju. “Well, sebetulnya, Cazzo juga pernah makan burger. Jadi mungkin... kadang-kadang... makan burger tuh nggak alay.”

Ini lagi, Cazzo. Kelihatannya semua cowok keren di Bandung adalah milik Esel dan aku sebisa mungkin didoktrin untuk nggak jatuh cinta sama semua cowok itu, tapi setiap menit dia terus membicarakannya.

Burger bisa bikin otot. Kamu lihat otot Cazzo, kan? Keren, kan?” lanjutnya kemudian, kontra dengan semenit sebelumnya waktu dia bilang burger tuh alay.

Cazzo adalah salah satu cowok populer di CIS. Of course, cowok itu sadar kalau dia populer, sehingga dia akhirnya jadi sok ganteng. Cazzo blasteran Indonesia-Italia. Dia punya kulit mediterania yang eksotis dan tubuh kurus berotot yang menakjubkan. Bulu matanya pun lentik, mirip orang Arab, mungkin pengaruh benua tetangganya yang middle-east. Kegantengannya udah nggak diragukan lagi.

“Kamu mau kemana, Agas?” Esel membuntutiku. Lagi.
“Ke perpustakaan.”
“Ngapain?” tanyanya, dengan nada meremehkan seperti biasa. “Bukannya di sana ada penyakit menular... semacam... kutu?” Esel memutar otak. “Kutubuku,” lanjutnya.

Better, lah. Daripada nunggu dijemput di WC. Di situ kan banyak bakteri E.coli.”
“Tapi kalo kita nunggu di WC, mungkin ada satu dua cowok CIS ganteng yang pipis dan kita bisa ngintip, gitu?”
“Aku nggak larang kok kamu nunggu di sana. Kenapa mesti ngikutin, hayo?”

Esel mendengus kesal.

Aku nggak ngerti. Mestinya aku ini orang yang nyebelin buat dia (sama seperti dia yang nyebelin buatku). Tapi Esel begitu gigihnya menjadi “best-friend”-ku. Sudah total... delapan hari dia kemana-mana berdua denganku, berlagak menjadi sahabat terbaik. Padahal seringnya kami beda pendapat.

“Terus entar ngapain di perpus?” tanya Esel. “I belum pernah ke sana.”
“Ngng... baca buku?”
Boring.” Esel memutar otak. “Di perpus ada yang jual milkshake, nggak?”

Sebetulnya, Esel sudah punya “kawan bermain” sendiri, kok, sebelum datangnya aku. Namanya The Jelitaz. Isinya empat orang banci-banci kampung yang hobi tubruk-tubruk aksesoris demi dapet perhatian. Nggak percaya? Hari ini aja, Esel pake gelang-gelang hippies dari pergelangan sampe sikut, dan kalungnya itu lho, menjuntai sampai selangkangan. Rambut mereka sama semua. Lurus, smoothing, poni berayun-ayun mirip artis Korea, dan ada anting gemerlap satu butir di telinga kiri mereka.

Tapi jangan kira mereka ini superstar, ya. I mean, superstar sih, tapi bukan dalam artian “banyak penggemar”. Orang-orang pasti muter bola mata tiap The Jelitaz jalan di koridor berjejer. Belum lagi kalo ada cowok-cowok ganteng, mereka semua menjerit-jerit.

Nah, semenjak kedatanganku, Esel tiba-tiba jauh dari The Jelitaz. (Di sekolah, maksudnya. Kalo udah pulang ke rumah, keempat banci itu kumpul lagi dan nyalon bareng.) Aku masih belum tahu hidden agenda-nya si Esel sampe-sampe ngedeketin aku mulu. Aku yakin, dia mau backstab atau apa gitu—mungkin nempel ketenaran, which is questionable juga mengingat aku kan new kid on the block. Atau mungkin mau dianggap straight biar para Mahobia itu mau ngobrol dengannya.

Di mata CIS, of course, nggak ada yang nyangka aku gay. Cewek-cewek malah bilang aku cool dan hari kedua udah ada yang ngajak date. Sebetulnya, aku diem kan bukan karena cool. Tapi karena asing dengan lingkungan ini. Nah, kayaknya Esel memanfaatkan aku yang straight-looking ini buat memperbaiki image dirinya. Di CIS, ada kelompok Mahobia (pembenci gay) yang anti banget sama The Jelitaz. Unfortunately, Cazzo, satu-satunya cinta monyet Esel (di sekolah), adalah anggota Mahobia tersebut. Dan gara-gara kapan itu aku sempet ngobrol sama salah satu anggota Mahobia (itupun karena kami sekelompok di pelajaran Sejarah Indonesia), Esel jadi hiperaktif nempel di sampingku.

“Aku perlu pelembap nggak, buat masuk ke perpus?” tanya Esel. “Kulit I nggak bakal kering, kan?”
Dunno. Buka sepatunya.”

Kami berdua pun masuk ke dalam perpus yang berkarpet Pakistan. Perpusnya canggih, dengan suasana “bijaksana”... misalnya, rak-rak kebijaksanaan, kursi-kursi kebijaksanaan, lampu-lampu kebijaksanaan... dispenser air kebijaksanaan... semuanya terasa bijaksana. Banyak kayu jati dan penerangan secukupnya yang bikin kamu ngerasa lagi di Hogwarts. Aku ngambil novel sastra sembarangan di raknya sementara Esel menghampiri penjaga perpustakaan.

“Di sini ada Cosmopolitan?” tanyanya. Penjaga perpustakaan menggeleng. “Harpers Bazaar, deh?” Penjaga perpustakaan mengerutkan alis. “Jadi kalian nggak punya majalah-majalah itu?! Bahkan untuk majalah macam... Rolling Stone?”

Esel lalu berlari ke arahku dan membelalakkan matanya. “Can you believe that? Di sini nggak ada majalah fashion!”

“Baca aja majalah yang ada. Perpusnya tutup jam setengah tujuh. Jadi isi waktu aja di sini,” kataku.

Esel mengambil majalah Mangle yang ada di dekatnya. Lalu membuka-buka halamannya dengan cepat dan berisik. “Ih, majalah apa ini? Gambarnya sedikit. Menyalahi peraturan nih! Kita mesti lapor ke KPI!”

Komisi Penyiaran Indonesia? tanyaku dalam hati.

Dua puluh detik kemudian, ada telepon masuk ke ponselnya Esel. Banci itu sama sekali nggak menunjukkan tanda-tanda menyingkir keluar untuk menerima telepon—I mean, this is library, lady... Dia malah berdiri dan duduk di atas meja. “Hello? Tutut?”

Oh, salah satu anggota The Jelitaz.
PART:9
By: Mario
“NAV? Sekarang? Oke. Éke dijemput, kan? Pung! Éke tunggu di gerbang, em? Yuk mari.” Kemudian Esel menyibakkan poninya di depan mukaku dan berbinar. “The Jelitaz mau karaokean! Ikut, yuk?”

“Nggak, ah. Capek nih. Tadi ada pelajaran olahraga.”
“Iih, gapapa. Nanti di tempat karokean kita bisa... karokean!”
I know, Idiot!
“Aku pulang aja. Kalian pergi aja. Lagian kan Granny mau jemput.”

Esel memutar bola mata dengan kesal. “Kamu payah, ya. Mestinya orang Amerika suka karokean. I duluan, deh. Cuuuusss...”

Esel pun akhirnya menghilang dari hadapanku dan entah mengapa aku merasa sangat lega. Lagipula, bukannya aku nggak friendly atau apa ya, aku nggak ngerasa enak hati aja buat jalan-jalan. Seolah... hatiku ini sekuat tenaga bilang bahwa mendingan pulang. Takut terjadi sesuatu.

-XxX-

Bang Dicky udah ngejemput di depan gerbang. Aku pun lagi bersiap-siap di depan perpustakaan, mengenakan kembali sneakers-ku. Di kejauhan, aku ngelihat anak-anak Mahobia sedang bersenda gurau. Astaga, mereka belum pulang ya jam segini? Aku pikir anak-anak bandel macam mereka benci sekolah.

Ketika aku berjalan melewati WC siswa, aku mendengar suara tangisan dan minta tolong.

“Huhuhuhu...” Suaranya mendengung dan bikin ngilu. “Tolooonngg... huhuhuhu...” Mirip kuntilanak. Versi... macho.

Hal pertama yang kulakukan, yang pasti nggak akan kalian lakukan, adalah geleng-geleng kepala. I swear, Dude. Padahal ini jam enam sore, langit gelap, sekolah udah sepi, lalu waktu lewat toilet ada suara tangisan, aku bertaruh kalian pasti lari ketakutan. Tapi aku nggak. Aku berhenti dan berkacak pinggang, memutar bola mata persis Esel kalo lagi kesal, dan geleng-geleng kepala.

Karena apa?

Karena bisa-bisanya Si Kunti ngebuntutin aku sampe ke CIS!

Well, sampe hari ini, aku belum pernah melihat sosok si Kunti secara utuh. Sejak kejadian bersama Esel di kamar mandi rumah Granny, aku sering melihat penampakan-penampakan dari si Kunti. Nyaris setiap hari. Tapi satupun nggak ada yang full-sight. Misalnya dia merangkak keluar dari teve atau menempel di langit-langit, kek... But no... aku hanya melihat dia lewat sana-sini selintas (mungkin satu atau... setengah detik!), atau mengeluarkan bunyi-bunyian... kapan itu dia pernah main-mainin pintu kamarku.

Dan saking seringnya, aku jadi terbiasa! Gile ya, bisa-bisanya aku enteng-enteng aja ngadepin makhluk halus. Pagi tadi aku yakin si Kunti terbang di ruang makan, aku lihat pantulannya di sendok perak yang ada di meja makan.

“Huhuhuhu... plis! Tolong bukain! Huhuhuhu...”
Oke, yang barusan kayaknya bukan suara si Kunti, deh.

Sebetulnya malah, aku belum pernah dengar “suara” si Kunti.

“Toloonng...” Duk! Duk! Duk!

Suara itu melolong lebih keras. Lama-lama aku yakin itu bukan suara makhluk halus. I mean, suaranya jelas dan terdengar memilukan. Sumbernya dari WC cowok.

Aku memutuskan untuk memeriksa sebentar sumber suara itu. Kemungkinan terburuk sih bisa jadi itu memang si Kunti, atau makhluk halus lain, yang tiba-tiba melayang menakutiku. Aku nggak perlu panik, kan? I mean, dimana sih ada berita kematian yang disebabkan makhluk halus? Kecuali dalam film horror tentunya.

WC-nya gelap. Aku menyalakan lampu, lalu pijar TL yang keemasan langsung menyeruak di seluruh WC. Astaga, bener-bener deh. Ini sih WC hotel bintang lima. Aku masih nggak percaya di WC sebuah sekolah ada sofa merah untuk duduk-duduk. Dan ada majalah!

Suara lolongan tadi berubah keras. Mungkin dia gembira karena ada seseorang menyalakan lampu. “Siapa itu? Tolong buka! Tolong! Gue di sini!”

Salah satu bilik toilet yang ada di WC itu tertutup rapat. Sumber lolongan minta tolong itu pun berasal dari bilik tersebut. Bilik yang, astaga, dikunci dari luar dengan mengikat tali tambang di kenop dan disambungkan ke kaki bilik sebelahnya! Ada seseorang yang sengaja dikunci di situ.

Aku buru-buru membuka ikatan tali tambang di kenop (dan jujur saja, agak mati simpulnya). Lagipula, bilik toilet ini kan bukan sebuah kubus yang tertutup rapat. Mestinya siapapun yang terkurung di situ bisa lebih cerdik lagi dengan merangkak di ventilasi bawah bilik, atau kalau perlu memanjat ke atas bilik. Tapi cowok ini malah memukul-mukul bilik dan tetap meraung minta tolong.

“Ampuuun, gue takut!” lolongnya. “Plis, bukaaa...”
Cowok itu menangis. Aku bisa merasakan kegetirannya.

Aku berusaha membuka ikatan itu, tapi sia-sia. Sambil berkeliling, aku mencoba mencari cara untuk membuka ikatan tali tambang tipis itu. Atau mungkin memutuskannya. Oh, aku bisa pinjam gunting di perpustakaan! Aku berlari keluar dari WC menuju perpus. Tapi sayangnya, perpus sudah gelap, si penjaganya sudah lenyap. Astaga.

Akhirnya aku kembali ke dalam dan berjuang untuk membuka ikatan yang disimpul erat-erat. Butuh sekitar... sepuluh menit. Dan si cowok di dalam bilik masih meraung-raung minta tolong. Tapi akhirnya aku berhasil membukanya. Yah, meskipun jariku jadi perih dan kalau nggak salah jari tengahku agak tergores kenop bilik.

Begitu berhasil kulepaskan tali itu, aku pun membuka pintu bilik. Di dalamnya kutemukan...
“Cazzo?”

-XxX-

“Bang?” kataku ke Bang Dicky. “Aku bareng temen, nih. Dia pengen numpang pulang. Bang Dicky mau nganterin, nggak?”

Bang Dicky agak kaget melihatku muncul tiba-tiba. Dia sedang asyik memainkan ponselnya di jok depan. Ponsel tersebut nyaris jatuh ke dashboard waktu aku mengetuk kaca jendela mobil barusan.

“Eh, Agas. Nganterin siapa? Esel?”
“Oh, bukan. Temen aku yang lain. Boleh?”
“Rumahnya di mana?”
“Kota Baru. Eh, Kota Baru kan?”

Aku menoleh ke arah Cazzo yang tertunduk di belakangku. Cowok itu mengangguk. Sambil membisikkan, “Parahyangan.”

“Oh, Kota Baru Parahyangan,” tambahku.

Bang Dicky mengerutkan alis, berpikir. Setelah dia menemukan “di mana” tempat tersebut, akhirnya Bang Dicky mengangguk. “Masuk deh,” katanya.
Thank you, kakaaakk...” sahutku, sebisa mungkin memuji atau apa gitu karena telah merepotkannya. Kulihat wajah Bang Dicky bersemu merah waktu aku bilang kakak barusan. Tapi aku nggak mau berpikir yang bukan-bukan. Mungkin dia mau bersin atau apa gitu. Esel bilang, menyerukan “kakak” lagi nge-trend di negeri ini. Nyontek gayanya SPG di mall-mall Indonesia. “Tapi aku duduk di belakang, ya.”

Aku dan Cazzo duduk di jok belakang. Kubantu dia mengangkat ranselnya ke dalam. Well, cowok ini kacau banget. Kalau Esel lihat Cazzo dalam kondisi ini, dia pasti bakal ilfeel.

Eh, nggak kayaknya.
Dia pasti bakal horny.
“Biasanya emang pulang ama siapa gitu?” tanya Bang Dicky, saat kami meninggalkan pelataran parkir CIS menuju pintu tol terdekat.
“Dia bawa motor sih. Tapi tadi dijahilin temen-temennya, motornya dicuri businya, bannya dikempesin. Sial deh pokoknya. Motornya akhirnya dititipin ke penjaga sekolah. Jadi pengen numpang.”

Cazzo masih menunduk dan gemetar di joknya. Wajahnya masih sama pucatnya waktu aku temukan dia di bilik WC tadi. Dan bau pesing itu... well, aku nggak perlu nyerita sama Bang Dicky kan kalo cowok ini ngompol? I mean, udah kering kok. Nggak akan nempel di jok mobil ini.

Ketika kutemukan cowok pujaan Esel ini, dia terlihat amat sangat berantakan. Cazzo meringkuk di atas toilet, memeluk lututnya sendiri. Rambutnya berantakan dan pipi beserta hidungnya basah karena menangis. Melihat wajahnya yang pucat, kuhampiri dia dan kubantu untuk berdiri. Saat itulah kusadari bahwa cowok ini ngompol. Jenis ngompol karena ketakutan, bukan karena tolol dan kekanak-kanakan. He surely needs help.

Nah, saat berdiri tersebut, dia langsung memelukku. But wait, bukan pelukan romantis yang mungkin diidam-idamkan Esel. Tapi pelukan ketakutan. Dia langsung mencengkeram punggungku dan nggak mau melepaskannya. Kepalanya disembunyikan di pundakku dan badannya gemetar hebat. Aku bisa mendengar jantungnya berdetak. Dan keringat dinginnya itu benar-benar pertanda bahwa dia “serius” lagi ketakutan.

Aku membimbingnya keluar dan menanyakan gimana dia biasanya pulang. Sengaja aku nggak nanya “Kenapa?” karena itu pasti bakal nyebelin banget. (At least, aku sih begitu. Kalau aku sedang bersedih, aku nggak mau ada orang yang menghampiriku, menanyakan kenapa, dan berlagak seolah dia orang paling bijak di dunia dan bisa membantuku mengatasi masalahku.) Lagipula, Cazzo nggak mengucapkan apa-apa soal alasan dia terkunci di bilik itu, jadi aku anggap, dia memang nggak mau nyerita apa-apa. Begitu kami tahu motor kesayangannya dalam kondisi buruk, langsung deh aku inisiatif buat mengantarkannya pulang.

Mobil sudah melaju di gelapnya tol kota Bandung dan aku masih belum mendengar Cazzo membicarakan alasan dia dikunci barusan. Kami duduk dalam hening sejak meninggalkan CIS. Bahkan aku dan Bang Dicky nggak ngobrol apa-apa.

“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyaku akhirnya, break the ice.
Cazzo masih duduk menunduk, merapatkan kakinya, dan mengepalkan tangannya. Lama-lama dia mirip Bang Dicky sewaktu kami mengunjungi pemakaman minggu lalu. Tapi kali ini lebih lively. Karena meski ketakutan, Cazzo berhasil mengangkat dagunya dan menatapku.

“Gue takut,” bisiknya.
Tangannya tiba-tiba meraih lenganku dan menggenggamnya dengan erat.

Aku nggak keberatan sih sebenernya. Hanya saja...
Astaga, dia ganteng ya dari dekat begini? Bener kata Esel! Darahku berdesir waktu menatap wajah lugunya yang ketakutan.

It’s okay. Kamu aman kok di sini,” kataku. “Dan kalo nggak mau nyerita pun, nggak apa-apa.”
“Gue takut hantu,” katanya.
“Semua orang takut hantu—“
“Dan gue bukan homo.”

Bang Dicky melirik melalui kaca spion dalam mobil. Aku agak terkejut dengan kata-katanya yang tiba-tiba nyambung ke situ. Well, berhubung kamu gabung di Mahobia, I’m sure you’re not a gay, batinku.

“Gue cuma kedinginan. Gue bukan homo,” katanya lagi.
“Dingin?” ulangku. Aku mengambil sweter Granny yang tertinggal di mobil dan berniat untuk menyelimuti tubuh Cazzo dengan sweter wangi stroberi itu. (Yes, Granny pakai parfum wangi stroberi, bukan balsem.)
“Bukan dingin itu,” erangnya. Cazzo menyingkirkan sweter itu bahkan sebelum aku meraihnya. “Gue berdiri karena gue kedinginan.”

Berdiri?

Aku menatapnya atas bawah. Buatku sih... dia sedang duduk di sini. Duduk di atas jok mobil Granny. Apakah aku yang tidak tahu bahwa duduk di jok disebut “berdiri” di Indonesia, atau memang dia agak gila setelah dikunci barusan?

“Gue benci kontes,” lanjutnya kemudian.

Kontes? Kontes apa? Miss Universe?

“Dan si Derry tuh belagu, lah. Mentang-mentang yang paling panjang!” ujarnya kemudian.

Oke, mungkin sebetulnya cowok ini lagi monolog, lagi berbicara sendiri dalam dunianya yang sepi dan tak ada manusia yang bisa mengerti dirinya. Mestinya dari tadi aku berhenti mencerna kata-katanya. I mean, antara satu kalimat dengan kalimat lain kelihatan nggak ada korelasi buatku, dan melihat tubuhnya yang kacau ini bisa jadi dia memang sakit jiwa.

Cazzo menoleh ke arahku. Cengkeraman tangannya makin kuat. Tapi kulihat dia tersenyum di balik matanya yang agak sembap. “Thanks ya udah nolongin gue.”

Aku balas tersenyum. Ragu untuk menjawab, masih bimbang antara dia memang “sudah” bicara padaku atau masih monolog dalam dunianya sendiri.

“Oh, nggak apa-apa, kok,” kataku akhirnya.
“Nama lo tuh siapa?”
“Agas.”
“Gue Cazzo.” Dia tersenyum lebih lebar. “Gue utang nyawa ama lo.”

-XxX-

Kalau mau tahu isi hatiku, jujur saja Cazzo itu memang ganteng dan manis. Untuk ukuran anak SMA, dia bisa jadi cinta monyet siapapun. Literally, cewek, gay, atau lumba-lumba, bisa jatuh cinta dengan mudahnya. Dari dekat aku bisa melihat bulu matanya yang lentik dan betapa sempurnanya hidung yang menempel di wajah itu. Alisnya membuat dia kelihatan macho dan perawakannya yang bandel bikin deg-degan.

Tapi kalau kamu nanya apakah aku jatuh cinta sama Cazzo? No. Aku nggak merasakan percikan-percikan kimiawi ketika dia duduk di sampingku—seganteng apapun wajah yang dia tawarkan. Dia mirip perasaanku pada... Zaki. Both of them are hot, dan aku nggak bakal berkilah bahwa sekali dua kali aku memang membayangkan hook up dengan mereka. Tapi untuk berpacaran? Nein. Aku lebih senang cowok yang sekarang menyetiri mobil ini yang jadi pacarku.

“Emang dia kenapa sih, Gas?” tanya Bang Dicky dalam perjalanan pulang.
Aku mengangkat bahu. “Nggak tahu, Bang. Aku nemu dia di WC cowok, kayaknya abis di-bully. Dia juga belum cerita alesan dia dikunci di toilet, atau at least, gimana caranya dia bisa sampe kekunci begitu.”

“Temen kelas Agas?”
“Di pelajaran sosial sih sekelas, Bang. Di eksak, nggak. Aku juga seumur-umur baru ngobrol sama dia barusan.”

Bang Dicky tetap jadi cowok yang manis di balik kemisteriusannya. Kebetulan, selama seminggu terakhir, nggak ada kejadian-kejadian aneh yang menimpa dirinya. Setiap hari Bang Dicky selalu ada di rumah Granny, membantu Granny membereskan rumah, menyiapkan makan, mengantar Granny kemana-mana, dan tentunya membuat bingkai kayu. Sekilas jadi mirip asisten pribadinya Granny. Tapi setiap aku nanya posisinya di keluarga ini, Granny bersikeras bahwa Bang Dicky adalah kakak baruku. (Bahkan setiap aku memancingnya, “Kok seorang kakak tuh malah kerja keras di sini, kayak pembantu?”, Granny malah membalikkannya padaku, “Karena cuma dia yang bisa kerja keras. Agas mau masak emangnya?”)
PART:10
Sayangnya, sejak aku sibuk sekolah, aku jarang berinteraksi dengan Bang Dicky. Kami mengobrol kalau dia sedang menjemput atau mengantarku, dan kalau dia memang masih di rumah Granny sewaktu aku pulang sekolah. Aku pun nggak merepotinya lagi setiap si Kunti mulai membayang-bayangiku, sehingga kejadian “dia menginap bertelanjang dada di atas ranjangku gara-gara pengen ngelihat si Kunti” kayaknya hanya terjadi sekali saja.

Dan oh, soal kejadian di Iga Bakar kemarin, sampai sekarang masih misteri. No ones talked about it. Waktu aku nanya Granny pun, dia malah salah tingkah. “Itu urusan cinta orang dewasa, Sayang. Kita nggak perlu ikut campur. Agas mau Es Kelapa Muda?”

Aku nyerah, deh. Mungkin aku mesti nunggu sang waktu menjawabnya.

“Oh iya, di rumah ada Jeng Nunuk sama Zaki,” kata Bang Dicky kemudian. “Mereka mau nginep.”
“Hah? Ngapain? Ada acara apa emangnya?”

Weekend, Gas. Kadang-kadang Nenek sama Jeng Nunuk emang sering nginep bareng, terus sering ngajak Zaki, buat penghibur.”

Aku tergelak dan geleng-geleng kepala. Untuk ukuran nenek-nenek, selera mereka memang tinggi.

“Bang Dicky nginep?” tanyaku.
“Pengennya sih, gitu. Tapi nggak bisa. Dicky udah ada janji. Kayaknya lama. Jadi Dicky bakal langsung pulang ke rumah aja. Entar pagi-pagi Dicky pasti ke rumah Nenek, kok.”

Kemudian kami terdiam dalam hening.

“Agas mau langsung pulang?” tanya Bang Dicky sepuluh menit kemudian.
“Iya lah. Emang mau kemana lagi?”

Bang Dicky menarik napas. “Tadinya Dicky mau ngajak Agas main ke Cartil. Temenin Dicky. Tapi ini mah bukan janjian Dicky yang tadi, kok. Cuma acara jalan-jalan aja, ngelihat kota Bandung dari atas. Dicky sering main ke sini kalo lagi suntuk.”

Aku berpikir sejenak. “Boleh-boleh. Lagian belum malem, kan?”
“Bener nih, Agas mau ikut?” Bang Dicky kelihatan berbinar. Kedua alisnya terangkat dan wajahnya menjadi cerah.

“Iya. Nggak apa-apa. Lagipula weekend ini, kok. Nothing to worry.”

Sungguh, meski dalam kondisi gelap, bisa kulihat mukanya memerah gembira.

-XxX-

Baiklah, kelihatannya ini bukan jalan-jalan biasa ke kota seperti yang kulakukan dua minggu terakhir bersama Granny. Aku pikir ketika Bang Dicky bilang sightseeing maksudnya adalah menaiki menara tertinggi di kota ini, mungkin semacam restoran berputar atau Menara Eiffel bohong-bohongan (kalo nggak salah beberapa orang bilang kota ini adalah Parijs van Java), tapi ternyata aku dibawa ke sebuah bukit-bukit gelap, melewati desa-desa sepi dan jalanan menanjak yang curam.

Perjalanan yang mendebarkan. Selain karena trip ini hanya dilakoni aku dan si manis Bang Dicky (which I consider as a date), yang membuatku deg-degan karena girang, jalan beraspal menanjak yang dilalui pun membuat deg-degan. Aku pikir kami sedang menanjaki tembok, saking curamnya.

Tapi kami tiba di sebuah pondok di puncak bukit yang tinggi ini, di dekat sebuah pohon besar menyeramkan yang Bang Dicky bilang namanya pohon Caringin. Pondok itu sepi, hanya diisi beberapa muda-mudi yang sedang pacaran. Mobil Granny diparkir di pinggir jalan, dekat tebing curam dan sepanjang berada di sana aku khawatir mobil itu terjungkal atau apa gitu.

“Bagus nggak, Gas?” tanya Bang Dicky. Dia menunjuk hamparan titik-titik kuning yang membentang di hadapan kami, yang merupakan jutaan lampu yang menghiasi malam kota Bandung. “Kalo gunung itu nggak ada di sana,kita bisa lihat rumah Nenek.”

This is great,” gumamku. “Kenapa nggak dari kemarin abang bawa aku ke sini?”
“Dicky takut Agas nggak suka dibawa ke tempat kayak begini.”
“Aku suka, kok,” sahutku. “Semua pemandangan alam aku suka.”

Kami berada tinggi sekali di atas kota Bandung. Aku nyaris bisa melihat seluruh kota yang gemerlap itu, lengkap dengan titik-titik kuning yang bergerak lambat, yang kuasumsikan sebagai mobil.

Tentunya, selain menatap pemandangan indah di hadapanku, aku juga sebisa mungkin menatap pemandangan indah di sampingku. Bang Dicky tampak menawan malam ini. Dia mengenakan kaus V-neck yang dibelikan Granny (dan aku juga punya kaus yang sama), yang katanya mirip dengan kausnya Morgan Sm*sh. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya, dan rambutnya berkibar-kibar tertiup angin.

Kadang aku bisa mencium wanginya yang khas, yang membuatku ingin melangkah menghampiri dan memeluknya. Kulitnya yang mulus itu menggodaku untuk merabanya. Dan bibirnya yang merekah, membuat bibirku gatal—sebisa mungkin aku nggak manyun-manyun karena desperate ingin melumatnya. Kelihatannya sosok itu... hangat. Begitu besar dan... hangat.

Andai aku bisa membelai rahangnya yang—ASTAGA, dia menoleh!

“Kenapa, Gas?” tanyanya.
“Eh, nggak apa-apa, kok.”

Bang Dicky tetap menatapku. Aku melemparkan pandangan ke arah lain, tapi ekor mataku tetap dapat mendeteksi bahwa Bang Dicky masih menatapku. Dengan salah tingkah aku memasukkan tangan ke dalam saku dan mencoba memainkan tanah di bawah sepatuku. Sial. Di bawah sana gelap. Non-sense kalo aku main-main tanah.

“Agas kedinginan?” tanyanya lagi.

Are you kidding? I was living in New Jersey for years... suhu terdingin di sana berjuta-juta kali lebih dingin dibandingkan di kota ini. Aku bahkan punya koleksi sweter dan leg warmer. But instead of saying no, aku malah dengan tololnya mengangguk. “Iya, ya. Dingin.” Maksud aku, daerahnya memang dingin. Buat aku sih nggak. Mungkin buat orang Arab ini pasti dingin.

“Dicky pinjemin jaket deh, ya?”
“Eh, nggak usah—“
Tapi jaket itu sudah tersampir di bahuku.

Astaga. Bagaimana bisa dia dengan cepatnya melepas jaket itu dan menyampirkannya di bahuku? Dan kenapa dia mesti “maksa” kalo udah giliran ngasih barang-barang padaku. I mean, sweter pemberiannya masih menggantung di pintu, nggak kupakai sekalipun—karena kalau kupakai dan Esel kebetulan melihatnya, aku bisa dihukum pancung.

“Pake aja jaketnya. Entar masuk angin,” katanya. Dia nyengir dan aku nggak bisa berkutik.

Sialan. Sekarang wangi khasnya itu terasa begitu dekat. Terasa menusuk. Celana dalamku otomatis sempit.

Dicky masih menatapku—mungkin berharap aku mau minta sesuatu dan dia bakal melakukannya. Tapi yang ada malah aku jadi salah tingkah. Jantungku berdegup nggak keruan dan darahku berdesir makin deras tiap kusadari bahwa sepasang mata itu terus menerus menelanjangiku.

“Masih kedinginan, ya?” tanyanya. “Kok gemetaran?”

Aku nggak gemet—oh, aku gemetaran ternyata. Tapi yang pasti ini bukan efek kedinginan. Nggak mungkin. Mungkin aku... merinding, atau...

Bang Dicky berjalan ke belakang tubuhku dan membentangkan tangannya. Kupikir dia mau menggeliat, menguap, tapi ternyata dia memelukku dari belakang.

Deg.
Lengan-lengan besar itu tiba-tiba menjulur dari atas bahuku. Satu tangan langsung menyusup ke bawah lenganku dan tubuh Bang Dicky yang besar langsung menempel di punggungku. Kurasakan kedua tangan itu menarikku ke tubuhnya, dan dengan amat sangat terasa ada dagu halus yang bertopang di ubun-ubunku. Bang Dicky memelukku dengan erat.

“Masih dingin?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan. Sangat pelan. Sampai-sampai kupikir mungkin aku belum menggeleng.

Perut Bang Dicky yang berisi menempel di pinggangku dan rasanya menggelitik. Sekarang celana dalamku sudah bukan sempit lagi... tapi sobek. Kedua tangan Bang Dicky saling menggenggam di depan perutku—yang juga menggelitik selangkanganku. Hembusan napasnya di atas rambutku rasanya...

“Waktu kecil Dicky suka dipeluk Mama dari belakang,” katanya kemudian.

Aku nggak bisa melihat ekspresinya karena aku nggak mau mengacaukan dagu yang sedang asyik bertengger di atas kepalaku.

“Dicky suka kalo dipeluk kayak begini,” lanjutnya. “Kalo punggung Dicky disentuh orang tuh... rasanya... menakjubkan.”

Ember, batinku—meminjam istilah Esel. Ini sih bukan menakjubkan lagi... ini sih udah... priceless pleasure. Berduaan di puncak bukit yang tinggi, menatap kota yang sibuk di hadapanku, yang terdiri dari jutaan titik-titik kuning di bawah langit yang gelap bertabur bintang, lalu seseorang memelukku dari belakang, menghangatkan tubuhku, menggelitik punggungku... aku rela menukar apapun demi momen macam ini selama-lamanya.

“Nggak apa-apa, kan Gas?” tanyanya—tiba-tiba membenamkan wajahnya di kepalaku.

Bercanda, ya? Bagian mananya dari momen ini yang “apa-apa”?

“Dicky sayang Agas,” bisiknya kemudian. “Makasih udah mau jadi adiknya Dicky.”

-XxX-

Rumah Granny bisa dibilang “ramai”. Untuk ukuran komplek horor rumah-rumah belanda macam ini, kalau ada tiga orang berkumpul malam-malam, rasanya seperti Avril Lavigne sedang konser akbar di sini.

Beberapa meter dari rumah Granny, aku sudah mendengar suara ribut dari dalam. Ketika mobil memasuki carport, ribut-ributnya makin jelas. Ada yang memutar lagu berirama dangdut dari ruang tengah.

:hear music:... ku hamil duluan, sudah tiga bulan
Gara-gara pacaran tidurnya berduaan...
Ku hamil duluan, sudah tiga bulan
Gara-gara pacaran suka gelap-gelapan...
:hear music:

Ketika aku masuk, kulihat Granny dan Jeng Nunuk sedang duduk berdempetan di atas sofa. Di depan mereka, di atas meja kaca yang kecil, ada sebuah laptop terbuka dan dengan jelas dapat kulihat laptop itu sedang merekam Granny dan Jeng Nunuk melalui webcam-nya. Zaki berada di belakang laptop, mengacungkan karton putih besar bertuliskan lirik lagu dangdut yang sedang diputar tersebut, sambil tertawa terbahak-bahak.

Astaga.

Granny dan Jeng Nunuk centil-centilan di depan kamera. Mereka berdua lipsync! Kadang salah satu di antara mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil mengacungkan telunjuk, atau kadang menggeret leher mereka sendiri seperti bunuh diri. Lalu mereka menggoyang-goyangkan kepala dan mengibaskan rambut. Dan kalau nggak salah barusan Jeng Nunuk memutar-mutar telunjuknya di samping pelipis, seolah mau bilang “tolol”.

Astaga. Granny bahkan memasukkan salah satu bantal sofa kami ke dalam bajunya.

“Ngapain sih mereka?” aku memutar bola mata sambil membuka sepatuku.
Bang Dicky tertawa geli melihat Granny dan Jeng Nunuk. Tapi dia cukup kuat untuk menjelaskannya padaku sambil terbahak.
“Itu namanya sindrom Sinjo,” ujarnya. “Nenek sama Jeng Nunuk emang paling kompak kalo udah ngikutin Sinta dan Jojo.”

Aku juga tertawa geli melihatnya—sebagian besar karena melihat Bang Dicky tertawa geli, bukan karena melihat Granny.

“Emang buat apa?”
“Buat dipasang di Youtube!”
“Youtube?” ulangku nggak percaya. Saat aku menganga, mungkin rahangku sudah jatuh ke lantai—saking lebarnya menganga. “Ngapain sih?”

“Lagi trend!” sahut Bang Dicky. “Yuk! Mau makan dulu? Dicky panasin Sop Buntut tadi siang, ya?”

Ketika aku menghampiri mereka bertiga, kebetulan lagu sudah selesai. Granny berpelukan dengan Jeng Nunuk, merasa begitu bahagia telah berhasil men-shoot dirinya yang centil-centilan di depan kamera.

“Agas!” panggil Granny. “Gimana tadi lipsing-nya? Bagus, kan?”
“Sinta Jojo pasti kalah,” sahut Jeng Nunuk. “Sebetulnya kakak ini lebih berbakat dari si Jojo, lho Gas. Cuma kebetulan, kakak sibuk, jadi nggak bisa se-famous Jojo.”
“Padahal bajunya bagusan kita, em?”

Granny mengenakan atasan chic warna ungu yang “jelas” nggak cocok dipake malam hari—aku bahkan nggak ngerti jenis atasan tersebut untuk occasion macam apa. Jeng Nunuk mengenakan tanktop yang ditutupi bolero emas rumbai-rumbai. Mirip penyanyi dangdut yang pernah kulihat di acara tujuh belasan KBRI di U.S beberapa tahun lalu.

“Terus entar videonya dikemanain?” tanyaku, seolah belum pernah menanyakan hal yang sama pada Bang Dicky barusan.

“Youtube, sayang. Jeng Nunuk punya account-nya! Kita udah masukin tujuh belas video. Apa sih nama account-nya, Jeng?”
“GadisGirang,” jawab Jeng Nunuk. “Add ya account Youtube kakak, Gas.”

Aku geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli. Setengah dari diriku nggak habis pikir kenapa nenek-nenek ini begitu muda jiwanya. Setengah lagi bersyukur karena at least aku nggak mesti memiliki nenek tua renta yang sulit mondar-mandir ke sana kemari.

You know what, punya nenek yang centil ternyata menguntungkan. Aku bisa terhibur setiap hari.

“Oh, iya. Jeng Nunuk sama Zaki mau nginep lho malem ini,” ujar Granny riang. “Kita berempat bisa sleepover party!”
“Saya udah bawa kuteks lho Jeng Allya,” pekik Jeng Nunuk. “Kita juga bisa ngecat kuku kaki.”

“Iiih, nggak mau ah saya mah,” seru Zaki.
“Aah, kamu nih kurang gaul ya, Zaki,” sahut Jeng Nunuk. “Eh, pizza yang tadi dipesen udah dateng belum?”

Dalam satu jam kemudian, aku tiba-tiba larut dalam kegaduhan rumah Granny malam itu. Kami bagai keluarga bahagia. Keluarga yang biasa berkumpul malam hari, memesan pizza, memutar-mutar video yang sama (dalam kasus ini: video lipsync-nya Granny dan Jeng Nunuk—yang sambil dilihat sambil di-upload ke Youtube juga ternyata), dan membicarakan tante sebelah. Aku bahkan nggak habis pikir, kenapa aku bisa begitu mudahnya terlibat dengan tiga orang ini. I mean, aku sekarang sudah terbiasa memanggil nenek tua bernama Nunuk itu dengan sebutan “kakak”. Mengerikan, bukan?

Aku senang lho melihat Granny banyak tersenyum di rumah ini. Aku pikir, kehilangan seorang anak, ditinggalkan semua anak-anaknya karena menikah, tinggal sendiri di rumah Belanda yang ada si Kuntinya, bakal bikin nenek-nenek manapun kesepian dan stres. Mungkin sebentar lagi kena demensia dan seorang pun nggak bakal ada yang menyadarinya.
PART:11
Tapi melihat betapa akrabnya Granny dengan Jeng Nunuk, bahkan dengan Zaki si kurir kayu itu, membuatku tersadar bahwa Granny bisa move on dan membentuk keluarga baru. Lembaran buku yang ditulis di atas perkamen menggunakan pena memang terus melaju ke halaman-halaman berikutnya yang kosong, kita tidak bisa kembali ke halaman sebelumnya dan menghapus kejadian-kejadian yang pernah kita tulis. Hal ini membuatku sadar bahwa aku harus berhenti larut dalam kesedihan karena “keluarga bahagia”-ku direnggut Tuhan tiga bulan lalu sampai-sampai aku menjadi orang lain—tahu nggak, kalau aku akhir-akhir ini jadi pendiem? Aku bisa lebih annoying dari Esel lho, I just choose not to. Aku bisa bersaing mendapatkan Cazzo, dan mungkin kesempatan luar biasa yang kualami petang tadi bakal kugunakan untuk merebut Cazzo dariku—sephobia apapun dia terhadap homosexual.

Dia tadi sudah minta nomor teleponku, lho. Tapi aku nggak ngasih. Of course, dia akhirnya maksa. Maksud aku kan, kalau aku ngasih nomor telepon aku, lalu kami SMS-an, lalu kami teman baik, aku bisa dianggap back-stabbing sama Esel karena dikira mau merebut cowok itu. Cazzo pun udah nawarin buat masuk dulu ke rumahnya (besar dan modern—impossible ada spesies Kunti di rumah ini). Dia bilang, ada spageti buatan Ibunya yang dimasak dengan cita rasa khas Italia. Tapi aku menolak juga, karena kalau aku ikut dinner di situ, aku bisa terlalu dekat dengan cowok ini, dan aku nggak bisa membayangkan berteman dengan seorang homophobia. Akhirnya sih aku kasih nomor hape aku supaya dia tutup mulut.

“Dicky pergi dulu, ya?” sahut cowok itu menginterupsi sesi makan pizza kami. “Pulangnya nggak akan ke sini. Langsung ke rumah Dicky.”

“Ooh, hati-hati, Sayang,” balas Granny sambil membawakan salah satu irisan pizza, “Ini bawa satu pizza-nya, biar nggak masuk angin.”
“Jangan lupa beli oleh-oleh buat Kakak, ya!” seru Jeng Nunuk seperti orang teler.
“Dicky cuma ke Cimahi, Kakak. Nggak bisa beli oleh-oleh.”

Begitu Bang Dicky lenyap di pintu depan, aku akhirnya bertanya. “Bang Dicky mau kemana sih, malem-malem begini?” Aku melirik jam dinding. Ini sudah hampir pukul sepuluh malam.

“Nggak tahu, Sayang,” jawab Granny. “Dicky juga nggak bilang. Mungkin dia ada konferensi pengrajin bingkai.”

Lho? Ada ya konferensi macam begitu?

Setelah Dicky lenyap kira-kira lima menit, Zaki mulai beraksi. Awalnya aku nggak nyadar bahwa ini adalah “aksinya”, sampai akhirnya dia pindah tempat duduk ke sampingku, memastikan Granny dan Jeng Nunuk asyik mengobrol, lalu tiba-tiba berbisik padaku. “Saya bobonya di kamar Bos, okeh?”

Aku mengerutkan alis. Aku pikir kami di sini bakal tidur di sofa atau dimana gitu, karena mestinya sleepover kan tidur bareng.

“Kok di kamar aku?” tanyaku.
“Karena Jeng Nunuk bobo bareng Granny—mereka mau kuteks-an bareng,” jawab Zaki ngeri. Tapi aku yakin bukan itu alasan dia ingin tidur bersamaku.

Aku mengangguk pelan. “Boleh aja,” jawabku. I mean, aku nggak punya excuse lain, kan? Nggak salah juga kan kalo dia tidur di kamarku? Paling dia pengen nunjukin sex-tape-nya dengan cewek-cewek Bandung yang dia deskripsikan putih, “bohay”, dan “sekseh”. Atau parah-parahnya membicarakan tentang Barack Obama, karena dia pikir orang Amerika cuma pengen ngobrol soal Obama.

“Tapi jangan bilang-bilang si Dicky, ya, kalo saya bobo bareng Bos,” bisik Zaki lagi.

Hah?

-XxX-

Tengah malam tepat. Kami sudah kembali ke kamar masing-masing. Aku dan Zaki sudah berkumpul di kamarku, dan cowok itu asyik melihat koleksi Oprah Magazine yang beberapa memang sengaja kubawa karena ada gambar artis-artis favoritku. Zaki langsung membaca dengan gembira. “Ini bacaan orang cerdas,” kata Zaki, “sebab tulisannya pake bahasa Inggris.”

Terserah deh, batinku.

Aku melompat ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut besarku. Aku sudah mengganti setelanku dengan kaus kebesaran milik Dad (yang mati-matian nggak akan kubuang dan bakal terus kupakai saat tidur karena ini kenangan yang kumiliki tentang Dad) disertai boxer setengah paha tanpa celana dalam. Sementara, Zaki masih mengenakan kaus warna biru dan celana jins gelap, yang di bagian pahanya ada tumpahan saus sambal dari pizza tadi. Posisi tumpahan saus itu—Astaga, aku nggak lagi membayangkan bagian “itu”-nya Zaki, kan?

For God sake. Aku mesti cari penghiburan lain, nih.

“Bang Dicky tuh sebenernya kemana?” tanyaku (lagi), at least aku membuka obrolan, daripada diam mendengarkan Zaki membolak-balik halaman majalah dengan berisik.

Zaki mengangkat bahu. Sedikit pun nggak menoleh ke arahku. Dia benar-benar asyik dengan majalah luar negeri—berbahasa inggris dengan Ads yang tentunya dari Amerika.

“Apa Bang Dicky tuh suka punya acara sendiri macam begitu?” tanyaku lagi.
Zaki masih mengangkat bahu tanpa menoleh.

Hmh. Nyebelin, deh. Untuk apa sleepover kalo satu orang malah asyik buka-buka majalah? Ngobrol, kek. Bicarain tentang Bang Dicky, kek. Misalnya, masa kecil Bang Dicky atau apa gitu?

Aku berusaha keras mencari cara agar Zaki menoleh dan meninggalkan O-magazines-ku. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang antusias, atau posisi duduknya yang seolah-olah nggak akan beranjak dari situ untuk sejuta tahun lamanya, aku nyaris menyerah. Sampai akhirnya aku teringat bahasan favorit dia—yang aku yakin lebih worth it dibandingkan apapun berbau Amerika.

“Bang,” panggilku—seminggu ini aku memang mulai memanggilnya Abang, “Bang tahu kan cara orang Amerika ngegedein kanjut?”

Tap!
Majalah yang dipegang langsung tertutup. See? Ngobrolin soal sex memang selalu manjur. Zaki lalu menoleh ke arahku dengan (lebih) antusias, ekspresinya hati-hati, antara ingin tahu lebih lanjut dan gengsi yang terlalu tinggi.

“Ada caranya ya, Bos?” tanyanya, mati-matian nggak terdengar terlalu bersemangat.
“Ada,” bualku, sambil mulai mengarang-ngarang cara memperbesar penis yang masuk akal.
“Gimana, Bos?” Kali ini Zaki pindah duduk menjadi di atas tempat tidurku.
“Diurut-urut, dipijat-pijat... ngng, dari atas ke bawah... pake, ngng...” Aku memutar otak. “Buah Anggur,” kataku percaya diri, lalu buru-buru menambahkan, “Yang baru dipetik.”

Zaki merasa takjub. Matanya langsung menerawang ke langit-langit. Mungkin langsung membayangkan bahwa semua pria Amerika kerjaan sehari-harinya adalah memijat penisnya sendiri menggunakan buah anggur yang baru dipetik.

“Pantas, Bos,” kata Zaki mengangguk-angguk. “Di film-film Amerika, mereka sering bilang minum Anggur. Mungkin maksudnya ngurut-ngurut kanjut ya Bos?”
“Nah, itu!” sahutku, meski agak bersalah juga sudah menipunya seperti itu. “Kurang lebih, lah,” tambahku.

Zaki mengangguk-angguk lagi, menerawang, dan makin terpukau dengan kanjut Amerika. Tapi tiba-tiba dia menoleh ke arahku dengan serius. Mukanya memerah, dan ujung bibirnya berkedut-kedut, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu untuk mengatakannya.

“Apa?” tanyaku.
Zaki menelan ludah, menggaruk-garuk kepalanya, lalu tersenyum lebar, menyatakan bahwa apapun yang akan dia katakan mudah-mudahan aku nggak tersinggung. “Anu, bos.. pengen lihat, dong!”

“Lihat apa?”
“Lihat kanjut,” bisiknya, menoleh ke arah pintu sebentar. “Kan Bos udah janji waktu minggu kemaren, waktu di workshop, mau lihatin kanjut bos.”

Astaga, aku lupa pernah membuat janji seperti itu. Tapi kan, aku mengiyakan karena aku nggak tahu kanjut itu apa. Mestinya itu nggak termasuk janji dong.
“Masa malem-malem begini?” kilahku.
“Jadi Bos maunya siang-siang?”
“Bukan gitu.” Aduh, gimana, ya? “Lain kali aja, gimana?”
“Sekarang aja, Bos. Mumpung sepi, nggak ada orang. Bentar aja, Bos!”

Aku deg-degan. I mean, menunjukkan alat kelamin di depan orang lain rasanya bukan ide yang begitu bagus, kecuali orang tersebut memang kita cintai. Tapi posisiku sulit. Lihat aja cowok ini, dia begitu hot! Gimana kalau terjadi semacam “ketegangan” waktu Zaki melihat little-jack-ku?

“Masa cuma Abang aja yang lihat kanjutnya aku? Terus aku gimana?”
“Bos pengen lihat kanjut saya?”
“Ah, nggak tertarik,” dustaku. Meski dalam hati, inginnya setinggi langit. “Nggak adil.”
“Bos pengen lihat memek cewek-cewek saya?”

Nah, kalo yang ini aku beneran nggak tertarik, batinku. “Ngapain, ih? Udah, ah, malu.”

Zaki geleng-geleng kepala sambil berdecak. “Yeee, Bos, yang malu mah mestinya saya atuh. Kanjut saya mah kecil!”

Tanpa malu lagi, Zaki tiba-tiba membuka celananya. “Tuh!” serunya, menyembulkan little-jack yang bener-bener little dari balik celana jins-nya. Aku terpukau karena akhirnya melihat pusaka cowok gagah dan seksi ini.

Aku menelan ludah. “Iya ya, kecil,” kataku. Meski jujur saja, I don’t care. Bahkan aku yakin, kalian pun pasti nggak peduli sekecil apapun pusaka tersebut kalau pemiliknya adalah cowok seganteng Zaki.

“Yang bos mana?” tagihnya.
Astaga. Gimana nih? Mesti dikeluarin? Little jack-ku sekarang sedang perlahan-lahan bangkit dari kubur. Aku khawatir ketika aku mengeluarkannya, tiba-tiba “Tuing!” dia berdiri tegak dan keras seperti beton. Sebisa mungkin aku menutupinya dengan selimut sekarang.

“Yang aku ada,” kataku. “Tapi kalau mau lihat, Abang mesti mau ngabulin dua permintaanku!” seruku. Lalu buru-buru meralat, “Tiga permintaanku!”

Mata Zaki memutar ke kiri, mempertimbangkan tawaranku. “Oke,” dengan mudahnya, “asal Bos jangan minta koleksi botol mirasku, ya?”

For God sake, untuk apa aku minta koleksi botol miras, hmh? I don’t even know he collects that!

“Permintaan pertama,” kataku, masih agak deg-degan mengutarakannya. “Aku pengen Abang telanjang nggak pake apapun.”
“Hah? Kenapa, Bos?” Dia mengerutkan alis.
“Sebab... sebab aku pengen lihat bentuk badan Abang yang bagus sebagai inspirasi. Aku pengeeen punya badan kayak Abang, ada otot-ototnya, ada tonjolannya, semua-muanya, deh. Aku rencananya mau fitnes, dan aku butuh inspirasi. Badan Bang Dicky kan nggak seberotot badannya Abang, jadi mesti Abang objeknya. I mean, kalo Abang aja pengen lihat kanjut aku sebagai inspirasi, berarti aku boleh dong lihat badan Abang keseluruhan sebagai inspirasi?”

Zaki menggelengkan kepala dan berdecak. Kupikir dia mau menganggapku gila atau apa, ternyata dia malah gembira. “Yeeee... bilang dong dari tadi, Bos!” serunya sambil berbinar. Dia langsung membuka kausnya, lalu celananya, dan terakhir... you know, lah. “Sebetulnya tadi saya téh pengen buka baju, sebab kalo bobo saya biasa nggak pake baju—baju saya dikit Bos, jadi dihemat-hemat. Tapi saya takut Bos risih sama cowok telanjang.”

Sampai sejuta tahun pun, aku nggak bakal risih lihat cowok telanjang.
Kecuali cowoknya itu kakek-kakek.
Atau menderita penyakit kulit.

“Nggak apa-apa gitu Abang telanjang?” tanyaku, sambil menelan ludah saat melihat Zaki benar-benar telanjang bulat di hadapanku. Dia melemparkan semua pakaiannya ke atas meja. “Itu”-nya berayun-ayun, meski kecil, dan aku nggak bisa melepaskan pandanganku dari situ.

“Ya nggak apa-apa dong, kan sama-sama laki-laki,” sahutnya. Aku yakin jawabannya nggak bakal sama kalau dia tahu aku gay.

Zaki mulai berdiri di pinggir ranjang, berkacak pinggang, dan entah kenapa dengan bangganya memamerkan badannya.

Astaga, semudah itukah permintaan pertama? Aku pikir dia bakal keberatan, lho. “Tapi eits, permintaan pertama belum selesai,” kataku, tiba-tiba mendapat ide. “Abang mesti telanjang setiap masuk kamar ini. Sebab inspirasi kan nggak datang dalam semalem, Bang. Orang Amerika butuh inspirasi. Aku juga butuh inspirasi... misalnya... bagian-bagian mana yang mau aku latih dulu di tempat fitnes, gitu...”

“Boleh,” jawabnya dengan enteng. “Permintaan kedua, apa?”

Ya Tuhan. Yang kedua ini harus manjur. Harus yang dia nggak bisa mengabulkan dengan mudah.

“Aku pengen tahu semua tentang Bang Dicky. Tentang pacarnya, lah. Tentang masa kecilnya, lah. Atau arti tato di punggungnya.”

Ha! Dia pasti nggak bisa ngabulin! I mean, tato di punggung pasti nggak ada artinya, kan?

Zaki kelihatan menimbang-nimbang. Selama dia menerawang menatap langit-langit, aku memperhatikan little-mini-jack-nya yang mengkerut di balik jembutnya yang lebat.

“Oke!” katanya. “Kapan? Bos mau tahu sekarang?”
Apa? Memangnya tatonya ada artinya, ya?
“Nggak juga, sih...” kataku.

“Kapan-kapan aja atuh, Bos, gimana? Saya janji deh, saya bakal nyerita. Sebab ceritanya panjang. Saya kan deket banget ama si Dicky, Bos. Sampe-sampe saya tahu warna favoritnya apa.”

Aku tergoda untuk menanyakan warna favoritnya Bang Dicky. Tapi pikiranku terganggu dengan pemandangan menakjubkan di depan mataku.

“Yang ketiga apa, Bos?” tantangnya.

Sialan. Aku belum menentukan permintaan ketiga.
“Permintaan ketiga, ngng...” Aku memutar otak. “Permintaan ketiga nyusul. Mungkin aku kasih besok aja. Gimana?”

“Terserah, Bos,” jawabnya. Sekarang pandangannya sudah tertuju ke arah selangkanganku. “Terus kanjut Bos-nya gimana?”

Dengan jantung deg-degan, akhirnya aku keluar dari selimutku. Sekarang little jack-ku (atau yang Adam bilang “kontol” waktu kapan itu di Twitter), sudah berdiri tegak membentuk tenda dari balik celana boxer-ku. Tahu begini aku pake celana dalem, deh. Aku sama sekali nggak kebayang bahwa sleepover ini bakal berakhir seperti ini.

“Lagi ngaceng, ya Bos?” seru Zaki terpukau.

Tanpa komentar, aku lalu berlutut di atas kasur, berdiri menghadap Zaki dan melorotkan celana boxer-ku. Kontol itu memang langsung melesak keluar dan berdiri tegak seperti menara pencakar langit. Warnanya agak merah, mungkin terlalu banyak darah yang mengalir di dalamnya saking aku “girang”-nya menatap cowok seksi telanjang di hadapanku.

Tapi ternyata yang lebih terpukau adalah Zaki.

Anjiss! Badag, euy!” serunya. Kemudian terkikik geli dan berkali-kali terpukau menatap kontolku. “Edan, Bos! The best éper lah!”

Aku bukan jenis orang yang membangga-banggakan kontolku. Tapi memang sudah dari sananya seukuran ini, kok. Kalau dibaringkan di atas perut, ujung kepalanya menyentuh pusarku. Do you think that was big enough?

“Gila, Bos... si Zaenab pasti suka!” serunya. Zaki menatap lebih teliti ke arah kontolku, seolah pusakaku itu sedang diteliti oleh dokter di sebuah laboratorium. Pandangannya menusuk. Tusukan yang membuat sang kontol makin mengeras dan linu.

“Bos kok gampang ngaceng?” tanyanya.

Nah, ini dia pertanyaan yang kukhawatirkan dari tadi. Aku takut dia menganggapku gay gara-gara aku sudah ngaceng duluan, bahkan tanpa kehadiran wanita di sekitar sini.

“Kanjutku lincah, Bang,” bualku. “Kalo dilihat orang, dia langsung ngelihat balik. Langsung berdiri. Cuma bermaksud sopan...”
“Wah... keren, euy,” katanya. “Berarti kalo si Zaenab melototin kanjut ini, dia langsung bangun, gitu?”

Technically, no, but I’m not gonna say that. “Kira-kira begitu, lah.”

Lama kelamaan, setelah puas menatap kontolku, Zaki langsung mengulurkan tangannya. “Boleh dipegang, kan Bos?”

“B-boleh.”
Astaga, memangnya dia mau ngapain?

Kurasakan jemari Zaki menyentuh kulit kontolku dan entah kenapa kontol itu langsung bereaksi—berdenyut-denyut riang. Rasanya geli sekali. Lebih geli lagi melihat ekspresi penasaran Zaki. Tangan Zaki bermain di batang kontolku, membelai halus dan merasakan desiran hangat yang keluar dari balik kulitnya. Dia juga memegang kepala kontolku dan membolak-baliknya, mencari sesuatu, lalu dengan perlahan mengusap bagian leher kontolku.

“Geli nggak, Bos?”
“Ya iyalah, geli.”

Tiba-tiba dia mendekat, menempelkan hidungnya di kontolku, sempat kupikir dia mau melahapnya atau apa, tapi dia malah mengendusnya. Astaga, untuk apa juga dia mencium baunya?

“Jadi gini ya bau kanjut?” gumamnya. “Beda sama bau memek.”

Aku menutup mukaku dengan tangan. Deg-degan. Baru pertama kali ini ada orang yang begitu seriusnya memeriksa alat kelaminku sendiri. Dan orang tersebut terlalu hot untuk sekedar “memeriksa”. Oh, Tuhan. Andai aku ini Zaenab, mungkin aku nggak bakal kebingungan seperti ini. Seperti yang pernah kubilang, aku nggak punya banyak pengalaman dalam berhubungan seks. Kehidupan penuh gairahku baru dimulai akhir-akhir ini, dalam satu atau dua tahun ke belakang, sehingga aku belum punya pengalaman apa-apa. Apa yang harus kulakukan? Semua film porno yang pernah kutonton satupun nggak ada yang memulai plotnya dari seorang cowok straight seksi yang penasaran akan kanjut gede. Mungkin aku mesti—astaga, apa itu! Kenapa kontolku terasa hangat dan nyaman?

Aku membuka tanganku dan menoleh ke bawah. Pemandangan yang mengejutkan! Zaki sedang mengulum kontolku!

Apa yang dia lakukan?!

Aku nggak bisa berkutik meresponnya. Yang kulakukan hanyalah diam, menatap tak percaya pada Zaki yang dengan asyik bersusah payah memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Apa Zaki itu gay? Atau hanya tolol semata?

“Wah, nggak masuk ternyata!” katanya setelah berkali-kali mencoba menelan kontolku dan nyaris tersedak. “Kegedean...”

Oke. Mungkin dia hanya tolol semata.

“Kenapa Abang masukin ke mulut?” tanyaku. Dalam hati aku menjerit, KENAPA BERHENTI??!!

“Saya penasaran, Bos!” ujarnya. Lalu berdiri di hadapanku dan berkacak pinggang lagi. “Cewek-cewek saya sering ngagelom kanjut saya, rasanya enak banget. Tapi saya penasaran, sebenernya enak nggak sih ngagelom kanjut téh?”

“Terus gimana? Enak?” tanyaku hati-hati.
Zaki menggeleng mantap. “Nggak enak, ah. Kegedean kali punyanya, Bos. Rasanya kayak yang mau keselek.”

“Masa sih?” Jujur saja, aku pun belum pernah nyoba “ngagelom” kanjut manapun.
“Iya, bos. Bos mau nyobain punya saya?”

Deg-deg.
Kata-kata macam begitu tuh yang bikin jantungku copot. Kenapa dia bisa dengan entengnya menawarkan, sih? Apa dia nggak tahu, bahwa tanpa ditawari pun aku pasti mau melakukannya?

“B-boleh. A-aku juga penasaran.” Aku menelan ludah.
Ya Tuhan ya Tuhan ya Tuhan.

“Tapi si Ucok masih bobo, Bos!” katanya, menatap kontolnya sendiri dan memainkannya. “Harus dikocok dulu. Bos mau ngocokin?”

“Ngapain, ih?” kataku gengsi. Kemudian rada-rada menyesalinya. “Kalo dipijit ala Amerika biar bisa ngegedein sih, boleh-boleh aja.”
“Wah? Bos bisa, ya?” Mata Zaki kelihatan berbinar. “Pijitin dong, Bos!”

Nah, sekarang aku ragu. Haruskah aku memijatnya? I mean, dipijat macam gimana?

“Sebenernya, pijatnya biasa aja, sih. Ngng... naik turun...” Aku mencoba meraih kontol Zaki dan menggenggamnya. Hmh. Kenyal, ya. Dan geli. Ini kontol orang lain, dan aku memegangnya! “Lalu, ngng... digoyang kanan kiri...” Aku memilin dan menggerakkannya kanan kiri. Ehmagod, this is a real dick! Somebody’s dick!

“Enak ternyata ya Bos, ya?” kata Zaki sambil nyengir. Aku nggak ngerti maksudnya apa.

“Udah gitu tarik-tarik.” Aku menarik kulit kontol yang disunat itu hingga mau melewati kepalanya, lalu Zaki mendesah, “Aaahh,” dengan pelan, tapi aku bisa mendengarnya. Aku tarik lagi. Zaki mendesah pelan lagi. Lalu aku tarik lagi.

“Aaahhh...” Kali ini dia nggak malu-malu untuk mendesah.
“Abang kenapa?”
“Enak, bos!” Dia nyengir. “Lanjutin.”

“Lalu... ngng... masih tarik-tarik sih sebenernya.” Aku tarik lagi, dan dia mendesah lagi. Ehmagod, I love it! I found it cute waktu kontolnya yang mungil amat sangat ini ditarik-tarik ke depan. Satu jempol dan telunjukku mengepit batangnya yang kenyal dan layu, lalu dengan agak kuat menarik-nariknya ke depan, berusaha menarik kulit batangnya melewati si kepala. Tubuh Zaki juga agak-agak maju. Dan desahan-desahan itu nggak berhenti.

“Baru kali ini lho Bos, kontol saya dipijit dengan cara ini. Aaahhh...” gumamnya.

Memang baru kali ini kok ada kontol dipijit dengan cara ini, batinku.

Kemudian, karena aku takut dia curiga atau apa, aku mulai memilinnya. “Lalu diputer macam begini,” kataku, tapi nggak ada reaksi.

Mungkin aku mesti kembali menarik-nariknya seperti tadi.

Lama kelamaan kurasakan kontol itu mulai mengeras. Yes! Dan ketika kulihat ke atas, rupanya Zaki sedang menikmatinya.
“Nggak apa-apa kan Bos, kalo ngaceng? Masih bisa dipijitin?” tanyanya.
“Masih kok. Boleh.”

Nggak butuh waktu lama buat kontol itu berdiri tegak. Memang benar apa kata Zaki, benar-benar minimalis kontolnya. Mungkin hanya seukuran... jempolku saja? Lebih besar dikit, deh. Dalam hati aku menyadari, bahwa Tuhan Maha Adil. Cowok yang perfect body dan face-nya ini nggak punya kontol yang menawan. Semua kelebihan dan kekurangan sudah dibagi rata.

Setelah kontol itu mengeras dan berdiri tegak, aku mulai mengocoknya. Zaki rupanya heran—sambil menikmati. “B-bos, aahhh... dikocok juga ya Bos?”
“Iya. Ini salah satu teknik pemijatannya,” bualku. “Namanya... shake and boom-boom!”
“Oh.”

Dan tahu-tahu, aku jadi ingin mengulumnya. Astaga, lihat itu kontolnya Zaki! Begitu imut, dan cute, dan... adorable! Rasanya seperti sedang menggenggam... paprika mungil.

Baiklah, mengingat Zaki pun tiba-tiba mengulum kontolku tadi, jadi boleh dong aku langsung mengulum kontolnya sekarang? Aku melirik ke atas dan Zaki sedang mendongak menatap langit-langit. Aku bahkan dapat melihat matanya tertutup, mencoba menikmati kocokan, eh pijatan, dariku.

Tanpa basa-basi, aku pun mengulum kontol itu. Hmmh... rasanya... aneh. Tapi mendebarkan. Dan of course, aku menyukainya. Aku langsung melahap kontol mungil itu, menyesaknya sampai hidungku terbenam dalam jembutnya, dan menggelitiki batang bawah kontol itu menggunakan lidahku. Sesekali aku menghisapnya, merasakan efek yang terjadi (Zaki merespon dengan mendesah). Lalu kukeluarkan lagi kontol itu dari mulutku. Kumasukkan. Kulakukan hal yang persis macam tadi, dan—

“Aaaahhhh...” Zaki mendesah lebih hebat.
Badannya menggelinjang. Kontol itu tiba-tiba melesak masuk dengan sendirinya, menusuk-nusuk rahang mulutku dan membuat air liurku jatuh kemana-mana.
“Aahh, aahh, aahhh...” Desahannya berulang. Makin terasa keras.

Aku melihat Zaki masih mendongak. Kali ini selain terpejam, hidungnya mengernyit dan alisnya bertaut. Mulutnya bahkan menganga. Apakah dia—

Crot! Crot! Crot!

Astaga. Benar saja. Dia orgasme!

“Aaarrghh!!” erangnya. Lalu buru-buru mengeluarkan kontolnya dari mulutku. Tapi terlambat, sebagian dari sperma yang dia semprotkan sudah bersarang di mulutku. Aku langsung memuntahkannya ke lantai.

Sementara itu, Zaki bersusah payah memijat-mijat kontolnya, mengeluarkan sisa-sisa sperma yang belum melompat keluar. Badannya membungkuk, perutnya mengkerut ke belakang. Dia bahkan masih menutup matanya. Beberapa saat kemudian, saat dia rasa sudah selesai proses pemuntahan mani-mani itu, dia menatapku. Seluruh tubuhnya berkeringat. Dan dia... deg-degan.

Aku terduduk di atas ranjang. Sama-sama salah tingkah. Tapi kulihat muka Zaki memerah. Dengan cepat dia langsung berlutut di depan ranjang. Masih kelihatan panik, malu, dan... aku nggak punya kata-kata lagi untuk mendeskripsikannya.

“B-bos...” katanya. Agak-agak ketakutan. “Bos. Maaf bos! Ini salah saya, Bos! Maafin saya bos!”

Dari nada suaranya dia benar-benar tulus.

“Saya kelewatan!” serunya. Mata Zaki nggak berani menatap mataku. Dia menutupi kontolnya dengan malu. Bukan malu karena memperlihatkannya, malu karena kontol tersebut telah melakukan hal kurang ajar padaku. (Meski aku menyukai hal kurang ajar tersebut.) “Saya bener-bener minta maaf, Bos! Mestinya saya... saya bilang dari awal...”

“Bilang apa?” tanyaku.

Bilang bahwa dia adalah gay?

“Bahwa saya tuh... saya tuh sebenernya...” Dia ragu untuk mengatakannya. Setiap matanya bertemu pandang denganku, mukanya langsung merah. Dan tentu saja dia langsung mengalihkannya ke arah lain. Malu.

Astaga. Bilang apa sih? Pasti Zaki ini gay, yah?

“Saya tuh sebenernya...” Dia menelan ludah. “Udah tiga bulan nggak ML ama cewek-cewek saya, Bos! Maaf, bos. Dan udah dua minggu saya nggak coli gara-gara sibuk, Bos. Jadi barusan saya kelewatan, Bos. Mestinya saya bisa nahan diri. Maaf, Bos. Maaaafff...” Dia menunduk ke arahku, benar-benar merasa bersalah. “Please jangan bilang siapa-siapa, Bos. Apalagi Dicky, Bos. Dia bisa marah besar nih. Saya yang salah, Bos. Tadi keenakan. Tapi itu juga salah saya Bos, pake nikmatin sepongan bos segala. Please, Bos. Maafin. Saya tambah deh permintaannya! Jadi... tujuh permintaan!”

Astaga. Makin seru aja kehidupan seksualku!
PART:12
-XxX-

Aku terbangun esok paginya dengan perasaan bingung. Seolah aku baru bangun dari jet lag hebat. Badanku terasa pegal, terutama bagian perut. Ketika aku membuka mata, aku agak terkejut melihat Zaki sedang tidur telanjang di sampingku. Otakku langsung berputar keras mengingat kejadian-kejadian yang terjadi semalam, seolah aku baru saja hangover dan nyaris hilang ingatan.

Singkatnya, atau yang aku ingat, aku menunjukkan little jack-ku pada Zaki dan dia terpukau. Kebetulan saat itu “dia”-ku sudah berdiri tegak dan ukurannya memang keterlaluan dibandingkan ukuran “dia”-nya Zaki. Di tengah-tengah kekagumannya, Zaki tiba-tiba meraba “milikku”, memainkan-“nya”, mengendus-“nya”, dan tahu-tahu dia sudah mengulum-“nya”. Semua dengan alasan, “Saya penasaran dengan kanjut ukuran gede, Bos.”

Meskipun aku agak bingung juga. Sepenasaran itukah? Sampe-sampe diendus, dikulum?
Aku bangun dan duduk di atas ranjang. Sambil menjernihkan kepala, mengumpulkan nyawa, aku menatap Zaki yang sedang tertidur lelap di sampingku. Dia tidur telanjang. Dan karena selimut sudah ditendang kemana-mana, dia benar-benar telanjang di atas ranjang. Little jack-nya sedang “bangun pagi”. Untuk sesaat, aku mengagumi setiap detail dan lekuk-lekuk tubuhnya yang begitu menawan. Lalu teringat malam kemarin saat dia memohon-mohon untuk nggak mengatakan ini pada siapapun.

Sungguh, deh. Aku pikir aku yang bakal memohon-mohon untuk nggak bilang siapapun, apalagi ke Granny, ya. Jangan sampe Granny sedih dua kali karena anaknya meninggal dan cucunya ternyata homosexual.

Kenapa sih bisa sampe kayak gitu?
Oh, iya. Semua berawal dari Zaki yang menawari “itu”-nya untuk kukulum. Aku melakukan siasat macam-macam sampai aku bisa memijat, mengocok, membuat “itu”-nya bangun, dan bahkan mengulumnya. Dan, astaga, aku baru ingat. Kalau nggak salah, baru sepuluh detik aku mengulumnya, Zaki langsung “cumming up”. Kalian tahu maksudku, kan?

Nah, dari situ, dia malah memohon-mohon untuk nggak bilang siapapun. Dia malah mengaku kalau dia udah lama nggak orgasme sehingga dengan mudahnya dapat ku-“kendur”-kan pertahanannya. Alasan yang masuk akal, meskipun agak aneh juga kedengarannya. Yang pasti sih, karena dia panik dan ketakutan, dia malah menawariku tujuh permintaan tambahan.

Tentu saja aku nggak langsung menyebutkannya. Aku menyimpannya untuk masa depan. Mungkin aku membutuhkan jasanya lagi atau apa, gitu?

“Zaenab...” Zaki mengigau di sampingku. “Abang punya kanjut gede, Darling...”

Tangan Zaki tiba-tiba meraba ke samping, ke daerah aku tidur semalam. Matanya masih terpejam dan dia kelihatan masih tertidur pulas. Masih bermimpi. Tapi tangan tersebut terus menepuk-nepuk bagian ranjang di sampingnya, meraba-raba, mencari sesuatu... lalu ketika dia menemukan punggungku, meraba-raba tubuhku, menemukan my little jack, mulutnya tersenyum lebar.

“Naaah! Zaenab! Ini kanjut Abang! Gede, kan?”

-XxX-

Baiklah, aku penasaran amat sangat dengan video yang di-upload Jeng Nunuk di Youtube. Dugaanku sih, mungkin sudah ada empat atau lima hits di situ, itupun mungkin teman-teman mereka sendiri yang menonton. Tapi begitu aku search tag-line video mereka semalam, ternyata video itu ada di list paling atas. Dan bahkan video Sinta Jojo yang mereka ceritakan ada di urutan ketiga dalam daftar pencarian.

Hits-nya sudah... 1,778! Astaga... Follower-ku di twitter bahkan nggak nyampe 200 orang! Kenapa video yang baru di-upload semalam bisa dapat hits sampai 1700 kali penayangan? I mean, ini bukan video Britney Spears single terbaru, kan?

Aku mengklik mouse dan tidak sabar menunggu loading selesai. Beneran, deh. Internet di Indonesia keterlaluan.

“Zaenab... I Miss you...” Zaki masih mengigau di belakangku. Ya, dia masih tidur. Padahal ini sudah jam... sepuluh pagi.

Oh, loadingnya selesai.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek komentar yang muncul. Aku terkejut, karena ternyata satupun komentar nggak ada yang berhubungan dengan perfomance Jeng Nunuk dan Granny. (Videonya baru berjalan sekitar... dua detik! Aku harus ganti modem dan provider, nih!)

Gileee, kuntinya kelihatan banget! Jadi pengen maen ke rumahnya.
Jurighirohunter 2 menit yang lalu

Beneran gtu Si Kunti? Hoax bukan seech? Tp mustahil ya klo scepet itu.
cintakudikocokkocok 5 menit yang lalu

kayaknya asli deh. Ini pake webcam, ya? lihat tuh dead pixelnya. Susah lho ngedit video low quality. CMIIW.
SamiRose17 6 menit yang lalu

Kunti?
Dengan tidak sabar aku langsung men-download video tersebut menggunakan IDM yang sudah kupasang di browser. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk mendownload-nya. Aku bolak balik di kamarku dan terkadang membaca semua komentar dengan tidak sabar. Intinya, ada Si Kunti lewat dengan cepat di belakang sofa tempat Jeng Nunuk dan Granny sedang lipsync. Tepatnya di 2:22. (Beberapa bahkan yakin bahwa di menit 1:38 ada bayangan Kunti di dekat jendela—tapi banyak komentar langsung menepisnya dan mengatakan bahwa itu adalah tirai jendela.) Salah satu hal yang membuatku terkejut adalah, ini bukan pertama kalinya Granny terkenal di Youtube. Orang-orang yang menonton dan berkomentar ini pada dasarnya memang sudah tahu siapa itu Granny, tinggal dimana, dan mitos tentang Si Kunti di sekitar rumah ini.

“Zaenab... Uh... Oh...” Sekarang Zaki sedang melakukan hubungan seksual dengan gulingku. Ya. Meski dia masih tidur, pantatnya cukup lincah untuk mengentot gulingku sambil mendesah-desah.

Nah, sudah selesai loadingnya!

Aku memutar video itu dan langsung lompat ke menit 2:22. Benar saja, ada sekilas bayangan sesosok makhluk lewat di belakang Jeng Nunuk dan Granny. Dia bergerak cepat sekali. Kurang dari satu detik. Tapi meski begitu, sosoknya terlihat jelas. Mengenakan gaun panjang berwarna putih... melayang... rambutnya berwarna putih...

Trrrrt!
Astaga! Ponselku bergetar dan nyaris membuatku terjatuh dari kursiku.

—hey, ini CZ. Gw bru ngmbil motor dr skolah, skrg lg diderek k bengkel. Tp skrg gw lg d depan komplek rumah lo. K depan dong. Gw tngguin. Thx!—

Cazzo?

-XxX-

Ketika aku tiba di depan komplek perumahan, aku melihat sesosok cowok cute yang diidam-idamkan Esel sedang duduk di atas motor matic. Cazzo mengenakan celana pendek army, memamerkan bulu-bulu kakinya yang lebat. Dia mengenakan sandal yang casual dan T-shirt hijau yang agak ngepas badan. Di kepalanya bertengger topi yang dia putar ke belakang, dan dia sedang asyik memainkan ponselnya.

Ketika aku datang, dia nggak kelihatan ramah. Seolah dia jijik melihatku.

“Hey,” katanya. Ragu untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan.
“Hey juga,” jawabku, mencoba berbasa-basi. “Ada apa nih?”

“Ngng...” Dia mengumpulkan kekuatan untuk mengutarakan maksudnya. “Gue cuma... ini nih. Gue pengen bales budi.”
“Bales budi buat apa? Buat semalem? Nggak usah, kok.”

“Udahlah, terima aja. Dari pada tidur gue nggak tenang. Gue tuh orangnya selalu nepatin janji!” katanya dengan bangga.
“Oh... ya udah.”

Cazzo memberiku sebuah bungkusan.
“Apa ini?” tanyaku.
“Buka aja.”

Aku menarik keluar apa yang ada di dalamnya. Ternyata isinya... cokelat. Sekotak besar cokelat lezat yang kelihatan menggiurkan. Lalu aku merogoh lagi dan menemukan... apa ini? Selembar foto Cazzo berukuran 4R, sedang berada di pinggir pantai, shirtless, memamerkan tubuh kurus tapi berototnya, disertai tanda tangan dirinya sendiri di bagian bawah foto.

“Apaan nih?” Aku mengerutkan alis.
“Itu foto gue. Plus tanda tangan. Buat lo. Gue tau lo pasti suka.”
Aku masih menatapnya dengan bingung. Entah aku yang tolol atau dia yang kepedean.

Cazzo menangkap kebingunganku. “Kok bingung? Lo pasti pengen punya ini, kan?”
“Nggak, tuh,” jawabku pasti. For God sake, kapaaaaaannn pula aku pengen punya “ini”?

“Lo anggota The Jelitaz, kan?” tanyanya.
Aku menatapnya sedetik sampai kemudian tergelak dengan nada tersinggung.

“Kamu jauh-jauh ke sini cuma buat ngasih ini dan nganggap aku The Jelitaz?” kataku. “Forgive me, Mr. I think I’m Handsome. Tapi aku sama sekali bukan anggota The Jelitaz dan seumur-umur aku nggak pernah minta foto plus tanda tangan macam begini.”
“Tapi kalian The Jelitaz pernah ngirim message di facebook, pengen foto ini!”
“Tapi aku bukan anggota The Jelitaz!”
“Kenapa marah, sih? Udah dikasih juga... Apa karena gue belum masukin cap bibir gue di foto itu, hmh?

Aku memutar bola mata.

“Sumpahnya, deh. Silakan ambil ini kembali, Mas. Udah aku bilangin, aku bukan anggota The Jelitaz!”
“Tapi lo gue lihat sering jalan sama si Esel!”
“Itu karena dia cucunya temen nenekku! Was that a mistake to have him on my friend list?”

“Oh.” Cazzo menggaruk kepalanya. Sekarang giliran dia yang bingung. “Jadi kamu bukan The Jelitaz?”
“Seratus persen bukan,” kataku. “Seribu persen.”

Mimpi pun aku nggak sudi masuk geng banci-banci itu.

“Dan kamu nggak butuh ini?” Dia mengacungkan fotonya.
“Sejuta persen nggak butuh!”

Dia kelihatan berbinar. “Berarti kamu bukan homo, dong?”
“Eh...” Nah, aku harus bilang apa? “Bukan, kok. Emang kalo aku temenan ama Esel, aku juga homo?”
“Bagus, deh. Berarti kamu bisa gabung di Mahobia.”

Nah, lho.

“Gue pengen maen dong ke rumah lo!” serunya kemudian. Dia bangkit dari duduknya, melepaskan standar matic-nya dan duduk dalam posisi mengemudi. “Naik tuh!”
“Mau ke mana, nih?”
“Ke rumah lo, lah. Suguhin gue minum, kek?”

Aku bukan kakek-kakek, ya... batinku.

Karena aku memang sedang berusaha ramah dengan semua orang di kota ini, akupun mengiyakan ajakan Cazzo tersebut. I mean, kalau aku saja bisa berteman dan mengobrol dengan Esel yang menyebalkan, kenapa nggak dengan Cazzo? Aku duduk di jok belakang dan agak bingung mesti berpegangan ke mana. Di Amerika sana, aku nggak pernah naik motor. Malah sebetulnya aku nggak pernah lihat motor berseliweran dengan bebas kayak di sini.

“Ini tuh komplek yang pernah masuk Ardan itu, ya?” tanya Cazzo. Aku sama sekali nggak ngerti.
“Aku baru datang dari Amerika. Aku nggak tahu apa-apa,” kataku jujur.
“Oh.”

Cazzo manggut-manggut lalu belok ke arah yang kutunjukkan. “Di Bandung tuh ada acara radio yang nayangin cerita-cerita hantu! Hiii... gue sih nggak pernah denger tuh program. Bikin stres! Mana tayangnya malam Jumat, pula. Salah satu ceritanya, tentang komplek perumahan ini. Katanya ada salah satu rumah, yang di atas gentengnya, suka ada Kunti lagi duduk-duduk. Hiiii... Serem pisan, lah. Katanya dia sering dipanggil Si Kunti.”

Aku memutar bola mata.
Cazzo ganteng, rumah tersebut adalah rumahku sekarang, Baby.

Tapi somehow, aku terkejut juga lho mendengar ternyata rumah Granny begitu “terkenal”. Setelah hits di Youtube itu... lalu cerita dari Cazzo... Sebetulnya, ada apa sih di rumah Granny?

Kami tiba di rumahku. Motor Cazzo diparkir di depan rumah Granny. Aku melompat turun dan mengajaknya ke carport.

“Rumah lo serem juga, ya! Mirip sama yang diceritain temen gue tentang rumah Si Kunti. Ada pohon kumis kucingnya di situ. Dan ada pohon belimbing. Dan ada...”

Sekarang wajah Cazzo terlihat pucat. Kelihatannya dia baru menyadari sesuatu.

By the way, nama yang punya rumah ini siapa?” tanyanya. Setengah ketakutan.

“Granny aku?” tanyaku balik. “Namanya Alia. Kenapa? Kamu kenal?”

Dan Cazzo pun jatuh pingsan.

Aku kaget saat bola mata Cazzo tiba-tiba berputar ke atas, menghilang di bawah alisnya. Badannya langsung lemas dan wajahnya pucat. Cazzo tersungkur di atas carport. Tergeletak seperti baru saja ditembak dari jauh.

Ehmagod... kenapa sih ama nih cowok?

Aku berusaha membangunkannya, tapi dia benar-benar pingsan. Aku memukul-mukul pipinya, tapi dia bergeming. Dengan susah payah, aku berusaha menariknya ke teras, mencoba menaikkannya ke atas kursi. Tapi susah.

“ABAAAANNGG!!” panggilku pada Zaki yang setahuku masih tidur waktu kutinggalkan tadi.

Aku mencoba merangkulnya dari belakang, menyusupkan tanganku di bawah ketiaknya, dan mencoba mengangkat tubuhnya. Tapi tubuhnya berat. Aku kesulitan untuk mengangkatnya.

Seolah Tuhan memang sengaja memberikan mimpi buruk semacam cowok pingsan di carport rumahku ini, Dia juga jahil dengan menambahkan mimpi buruk lain. Di depan pagar, kulihat Esel sedang berdiri menatapku. Tatapannya tak percaya. Dan dia menjatuhkan apapun dalam kantong plastik yang sedang dia pegang dari tadi.

Oh, sial. Aku bisa dibantai.
PART:13
Pikiran seseorang memang nggak pernah bisa ditebak. Aku bahkan ragu telepati itu ada. Seiyanya ada, telepati pun nggak akan pernah bisa memprediksikan apa yang bakal seseorang lakukan. I mean, lihat itu wajah Esel ketika dia berdiri di depan pagar. Rahangnya mengeras dan matanya menyipit. Persis istri pemarah yang baru memergoki suaminya selingkuh dan yang ada di pikirannya hanyalah membunuh si jalang penggoda suami tersebut.

Waktu kulihat tatapan Esel tersebut, kupikir hanya tinggal menunggu waktu sampai dia menemukan pisau dapur terdekat dan menghunuskannya padaku. Tapi nyatanya tidak. Esel malah berlari menghampiriku dengan perasaan cemas.

“Kenapa ini? Ada apa?” serunya panik. “Dia kehabisan Oksigen? Keracunan udara? Oh, darling, bertahanlah...”

Esel bergerak secepat kilat. Dia langsung menghalau tanganku dan menarik Cazzo ke pelukannya. Tungkainya dilipat di bawah paha dan dibaringkannya kepala Cazzo di atas pahanya. Lagaknya sok pentiiiing banget. Mungkin dia pikir dia ini Baywatch berbikini merah atau apa gitu.

“Tadi dia tiba-tiba pingsan,” jelasku, kemudian berusaha mengipasi wajahnya dengan tangan.
Tapi Esel rupanya nggak senang aku begitu. Dia langsung menahan tanganku dan menghentikannya. “Jangan digitu-gituin, nanti dia makin pingsan.”

“Kita bawa masuk ke dalem, yuk?”
“Ya iyalah! Emangnya kita mau ngebiarin dia di sini kepanasan?!” seru Esel marah-marah. “Tahan ya Sayank...”

Esel mengelus-elus pipi Cazzo dengan gemas, dan bahkan membenamkan hidungnya di kepala cowok itu. “Hmh. Wangi Head and Shoulders,” gumamnya.

Aku membungkuk untuk meraih Cazzo dan menggendongnya. Satu tanganku kususupkan di bawah tengkuk Cazzo dan tangan yang lain di bawah lututnya. Namun rupanya, Esel nggak setuju. “Eit-eit-eit! Ngapain you? Itu angkat kakinya aja!”

“Kakinya gimana? Dia bukan mayat, Esel. Dia mesti digendong dari pinggir.”
Esel nggak mau kalah. “Tetep aja, seiyanya mesti begitu, I yang berhak gendong dia. Minggir-minggir!”

Aku mundur beberapa langkah dan menatap Esel yang kesusahan menggendong Cazzo. Mungkin emang banci nggak ditakdirkan jadi lifeguard kali, ya. Untuk mengangkat kepala Cazzo dari bawah tengkuknya saja, Esel mati-matian mengangkatnya. Kalo cowok itu lagi tidur, mungkin dia sudah bangun dari tadi karena terguncang-guncang. Setelah lima detik, Esel akhirnya menyerah.

You kok cuma ngelihatin aja sih? Bantuin dong!” serunya.
“Kan tadi disuruh minggir!” balasku.
You pikir Cazzo ini ringan, hah? Dia tuh berat... banyak otot! Macho... jadi nggak mungkin I gendong sendirian.”

Astaga. Kalau Esel jadi aku semalam, mungkin itu bisa mengubah perspektifnya soal Cazzo yang macho.

“Udahlah, sama aku aja!” seruku.
“Tapi awas, jangan deket-deket mukanya!” Esel merengut. “Entar kalo dia bangun, terus lihat muka you, bisa-bisa dia pingsan lagi karena lihat muka you.”

Aku nggak mendengarkan kata-kata Esel yang terakhir. Buru-buru aku menggendong Cazzo dalam posisi seperti tadi. Cowok ini memang berat, tapi nggak seberat yang digambarkan Esel. Aku sanggup kok kalau hanya membopongnya dari carport ke ruang tamu dengan jarak lima meter saja.

“Awas kepalanya kena tembok!” pekik Esel sok sibuk.

Astaga... tembok terdekat dari kepala Cazzo jaraknya jutaan kilometer! Kenapa sih Esel malah membuat segalanya makin sulit?!

-XxX-

Cazzo kini berbaring dengan nyaman di sofa tua Granny. Kepalanya ditopang bantal kecil yang empuk. Esel duduk tepat di samping wajah Cazzo, di tangannya terdapat kipas angin besar yang sejak tadi berputar mengangini wajah Cazzo.

“Sebenernya, you apain dia sih, tadi?” tanyanya cemas.
“Nggak ngapa-ngapain. Dia tiba-tiba aja pingsan di situ.”
“Nggak you cium dia atau apa, kan? You kan tau, Gas, dia itu Mahobia. You nggak bisa sembarangan nyium cowok anggota Mahobia. Mereka bisa pingsan. Kayak begini nih.” Esel lalu memandang Cazzo dengan wajah prihatin, lalu membisiki sesuatu, “You’re safe now, Darling.” Kemudian mengecup kening Cazzo.

Aku memutar bola mata dan bangkit dari sofaku. “Aku ambil minum dulu, deh. Kali aja dia bentar lagi bangun.”
“Oh, bagus!” Esel mengibas-ngibaskan tangan, menyuruhku pergi. “I minta orange juice, ya. Yang banyak gulanya. Yang so sweet.”

“Ambil aja sendiri,” sahutku sambil berjalan ke arah dapur.
Astaga-naga-dragon! I kan lagi jagain Cazzie, tinta mungkra bisa ambil orange juice sendiri. You tuh orangnya kurang pengertian, ya?”

Suit yourself, deh.

Ketika aku tiba di dapur, kurasakan rumah ini agak sepi. Of course, dengan kehadiran Esel, suasana terasa ramai. Tapi dari tadi aku belum melihat Bang Dicky, Granny, Jeng Nu—Oh, ada note di pintu kulkas.

The Jandaz joging dulu. Mungkin sekalian belanja. Jaga rumah, yaa...
—Janda Maniz—


Mereka semua pergi? tanyaku dalam hati. Aku belum pernah melihat Granny jogging dalam dua minggu terakhir. Aku pikir esensi dari sleepover adalah bangun sesiang mungkin esok harinya. At least, begitulah yang kami lakukan di Amerika.

Sebelum kembali ke ruang tamu, aku menyempatkan diri berjalan ke belakang rumah, mengintip workshop Bang Dicky... yang ternyata sepi. Pintu besar workshop itu tertutup dan digembok dari luar. Dengan perasaan kecewa, aku kembali ke dalam rumah dan membawa segelas air putih untuk Cazzo.

“Mana orange juice-nya?” berondong Esel, bahkan sebelum aku tiba di sofaku.
“Bikin sendiri, ah. Kan udah gede.”
You emangnya nggak lihat I lagi apa?”
“Lagi megang kipas angin, kan?”

“Tapi ini kipas angin untuk Cazzie. Nggak boleh sembarang orang yang megang. Mesti I. Udah sana, bawa orange juice-nya!”
No way!” Aku melotot.
“Ih! Nyebelin!” Rahang Esel mengeras, tatapannya makin nggak ramah. “Payah!”

Cowry ya Cazzie Darling,” bisik Esel, membelai pipi Cazzo sambil mendelik sesekali ke arahku. “Kadang orang yang pernah tinggal di Amerika tuh TOLOL!”

Aku memutar bola mata.
Sampai lima menit kemudian, si ganteng blasteran Italia ini masih terkapar tak bergerak. Esel memanfaatkan waktu tersebut untuk membelai-belai Cazzo, mungkin hanya inilah kesempatan dia bisa menyentuh cinta monyetnya itu. Jemari Esel menelusuri bibir Cazzo, membelai lekukan dagunya, dan tak lupa berkali-kali mengusap rambutnya. Esel pun nggak pernah absen memberitahuku lagi detail soal Cazzo, seolah aku belum pernah dengar hal tersebut darinya. “Cazzo ini blasteran Italia, lho. Jadi bulu mata lentik mereka ini alami. You jangan anggap ini hasil maskara, ya? Keterlaluan kalo gitu...”

Siapa juga yang nganggap itu hasil maskara?! batinku.

“Dia ke sini sebenernya mau apa, sih?” tanya Esel, “Pasti mau cari I, ya? Oh, Gosh... andai I semalem nggak ke NAV, andai I ikut sleepover bareng The Jandaz, mungkin kejadiannya nggak bakal kayak begini.”

“Dia mau cari aku, kok!” kataku.
Esel menoleh dan menatapku dengan pandangan meneliti. Alisnya berkerut. Dan bibirnya lama-lama berkedut. Kemudian, seperti dugaanku, dia tergelak menyindir. “You? Hahaha... Baby, I tahu kalo orang mesti bermimpi setinggi langit. Tapi you barusan mimpinya terlalu tinggi... Ngapain dia mau ketemu anak baru macam you? Hahaha...”

Haruskah aku ceritakan soal tragedi semalam?

“Dia pasti mau ketemu I, darling... Pasti gara-gara message FB yang terus I kirim buat dia. Mungkin dia berubah pikiran atau apa gitu... atau sadar kalo selama ini dia udah ignore truly love-nya dia...” kata Esel, matanya menerawang seolah sedang mengingat sebuah kenangan. “Mungkin akhirnya Tuhan nunjukin jalan...”

For God’s sake....

“Dia mau cari aku, darling,” ujarku lagi, nggak mau kalah. “Kalau dia mau nyari kamu, ngapain dia datang ke sini, hmh?”
“Karena dia pasti tahu aku ada di sini!” tukas Esel kesal, sambil matanya melirik kesana kemari, mencari alasan. “Well, I kan udah ngetwit kalo I mau ke rumah Jeng Alia. Mungkin dia baca twit itu dan buru-buru datang ke sini.”

“Dan kamu pikir Cazzo tahu dimana ‘rumah Jeng Alia’ tersebut?”
“Y-ya!” Esel memutar otak. “Twitter I ada foursquare-nya. Ada alamatnya. You tahu kan foursquare itu apaan?”

Bener-bener, deh.

“Eh, itu apa sih yang you bawa dari tadi?” Mata Esel mendelik ke arah kantong plastik berisi cokelat dan foto narsisnya Cazzo. Dari tadi aku memang menentengnya di tangan kiri, hanya saja pingsannya Cazzo lebih heboh, sehingga aku nggak begitu ngeh dengan apa yang kutenteng terus-terusan. (Aku bahkan baru sadar, mungkin aku membawanya ke dapur juga barusan.)

“Ini hadiah,” jawabku, dan sebelum aku meneruskan “buatku”, Esel sudah memotong kalimatku.
For me?” tanyanya dengan berbinar. Tanpa basa-basi lagi dia langsung merebutnya dari tanganku dan nyaris merobek kantong plastiknya. “Tuh, kan! Semuanya makin jelas! Dia emang mau ketemu I. Not you! Hadiah ini menandakan—Oh my God! Lihat ini!” Esel mengeluarkan kotak cokelat dari dalam kantong plastik, dan matanya berbinar seolah baru mendapat uang 1 milyar. “My favorite chocolate...”

“Sebetulnya—“
“Dan lihat ini! Argh!” Esel berdiri sambil melompat-lompat kecil. Di tangannya sekarang sudah ada foto Cazzo shirtless di pinggir pantai. Lengkap dengan tandatangan. Esel terlihat gembira sekali. Persis peserta kuis yang baru saja memenangkan babak terakhir dan masuk ke babak bonus. “I knew it! I knew it!

Ya Tuhan...

See?” tatap Esel kemudian, kali ini dengan pandangan meremehkan. “Dia ke sini mau ketemu I. Face it, Baby! I yang sering message dia di FB, I yang minta dibeliin cokelat sama dia dan dikirimin foto dia lagi di pantai! Jadi JELAS dia mau ketemu I.” Esel mengibas-ngibaskan foto itu di depan mukaku. “Lain kali dengerin aja apa yang I bilang, em? Cup-cup-cup. Kira-kira dimana ya Cazzie Darling ngasih cap bibirnya di foto ini?”

Belum pernah aku ketemu orang sepercayadiri dan seoptimis ini. Pikiran manusia memang nggak pernah bisa ditebak.

Esel buru-buru mengumpulkan hadiah dari Cazzo tersebut, takut aku akan menyentuhnya dan menyebarkan penyakit menular atau apa gitu. “Kalau you mau lihat foto ini, later yaa... mau I scan dulu, disucikan dulu... biar aman.”

Aku geleng-geleng kepala dan memilih merebahkan tubuhku di sandaran sofa. Lama-lama aku bisa gila. Cowok centil ini benar-benar tahu cara membuat orang lain meninggal dunia tanpa benar-benar menyentuhnya. Waktu aku bilang “aku bisa dibantai”, aku serius. Hanya saja caranya bukan dengan pisau atau senjata lain. Tapi dengan membuatku depresi melihat tingkahnya.

“Nah, sekarang, ambilin I orange juice! Go-go-go!” serunya.

Eerrghh...” Tiba-tiba Cazzo mengerang pelan. Tangan kirinya mengangkat dan langsung memijat pelipisnya. Kulihat alisnya mengkerut, berusaha keras membuka mata dan mengumpulkan informasi mengenai apa yang sedang terjadi terhadapnya.

“Oh-my-Goat, dia bangun!” pekik Esel dengan suara tertahan. “Siniin kipas anginnya! Kasih dia oksigen!”
“Kasih dia ruang, Esel. Jangan dikerubunin kayak begitu!”
“Jangan sok tahu, deh!” Esel memutar bola matanya sambil meraih kipas angin. “Kalo ada orang pingsan, mesti kita kasih oksigen! Ayo, Baby... hirup anginnya.”

Astaga... jadi kamu pikir angin yang dihembuskan kipas angin tuh Oksigen, hah?!

Aku beranjak dari sofa dan berdiri di ujung kaki Cazzo. Kulihat rambut cowok itu bergerak-gerak dikibas angin. Banci yang satu ini “benar-benar” mengarahkan kipas angin ke hidung Cazzo, berpikir bahwa oksigen bakalan datang dari kipas tersebut.

Cazzo berusaha mengangkat tubuhnya. Matanya perlahan-lahan membuka, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang masuk melewati pupilnya.

“Jangan dipaksain, Baby,” bisik Esel lembut, “Istirahat aja... Buka matanya pelan-pelan... kamu aman di sini!”

Cazzo mengerjap-ngerjapkan matanya sekarang, mulai ngeh ada suara-suara di sampingnya. Tapi begitu dia dapat melihat dengan jelas, menoleh ke arah Esel, meneliti wajah banci itu... kedua bola mata Cazzo memutar lagi ke atas, menghilang ke bawah alisnya, dan kepalanya terjatuh lagi ke atas bantal.

Dia pingsan lagi.

“Oh-my-Get!” seru Esel panik. “Dia pingsan lagi! Mungkin oksigennya kebanyakan! Agas! Cepet cabut listriknya! Bahaya nih, bahaya!”

Apa?

“Dia tuh kaget karena—“
“Cepet cabut listriknya!” pekik Esel panik.
“Matiin aja kipas anginnya dari situ, Sel...”
“Matiin apa?! Oh...” Esel akhirnya sadar bahwa kipas angin juga bisa dimatikan lewat tombol-tombol yang ada di penyangganya. “Sekarang coba you minggir dulu... takutnya dia engap karena dikerubunin. Kasih dia ruang!”
PART:14
Aku memutar bola mata dan pergi juga dari situ. Aku udah nggak kuat lagi. Esel dikasih makan apa sih sampe bisa kayak begitu? Sambil menggerutu, akhirnya aku memilih untuk pergi dari ruang tamu dan masuk ke kamarku sendiri. Zaki sudah bangun ternyata. Dia sedang membaca O-magazine.

“Udah bangun?” tanyaku, sambil agak cemberut.
“Udah,” jawabnya, membalik halaman dan terpukau dengan gambar Kim Kardashian di halaman tersebut. “Dari tadi sih sebenernya. Tapi berhubung tadi denger suara si Esel, iiihhh... mending diem di sini dulu, deh. Nunggu sampe dia pergi.”
“Ih, curang.”

Tapi tiba-tiba aku mendapat ide.
“Eh, Bang. Aku kan masih punya lima permintaan, betul?”

Zaki menoleh dan mukanya kelihatan agak cemas.
“Ya?” katanya.
“Nah, sekarang aku mau nyebutin permintaan yang ketiga.”

-XxX-

Berhasil.
Awalnya aku kira rencana dadakan ini bakal berantakan (seperti yang kubilang, pikiran manusia nggak pernah ada yang bisa nebak), tapi ternyata bisa berjalan mulus sesuai target. Oke sih, memang agak susah meyakinkan Esel untuk membiarkan urusan Cazzo padaku, tapi Zaki benar-benar membantu. Andai Zaki benar-benar gay, langsung kucium dia saat itu juga. French kiss, deh.

Aku buru-buru merebahkan tubuh Cazzo yang pingsan untuk kedua kalinya di atas ranjangku. Dengan lebih manusiawi, aku mengibas-ngibaskan karton bekas membungkus oleh-oleh dari New Jersey kemarin ke arah dada Cazzo. Aku percaya angin yang benar untuk orang pingsan adalah angin yang nggak berlebihan.

Karena masih cemas, bisa saja Esel kabur dari tangan Zaki dan berlari ke sini, aku buru-buru mengunci pintu dan melemparkan kuncinya ke meja rias. Huh. Pagi ini benar-benar melelahkan. Aku baru sadar punggungku berkeringat sejak tadi. Mungkin ini setara dengan jogging yang dilakukan Granny.

Aku duduk di samping ranjang dan melanjutkan mengipasi Cazzo. Bukannya aku mau egois merebut Cazzo untukku sendiri ya, tapi ini demi kebaikannya. Aku sama sekali nggak tertarik pada Cazzo dan bisa saja aku tinggalkan dia berdua bareng Esel di ruang tamu. But no. Aku nggak sekejam itu. Aku nggak mau image-ku jadi buruk gara-gara aku membiarkan tamu macam Cazzo berduaan dengan cewek jadi-jadian macam Esel. Nggak bisa dibayangin deh apa yang bakal Cazzo ceritain ke temen-temennya tentang aku. Bisa-bisa semua orang di CIS menganggap aku anggota The Jelitaz. Dan oh, hal yang satu ini perlu diluruskan! Begitu Cazzo bangun aku harus langsung menyerbunya dengan pernyataan bahwa “aku nggak ada urusan apapun dengan The Jelitaz!”

Trrrt! Ponselku bergetar. Aku meraih benda itu dari atas meja rias dan menemukan Zaki meng-sms dengan nada panik.

—bos! Gmn nih?????—

—abang bawa aja Esel kmanapun, deh! Pliiisss... demi perdamaian dunia! Ntar ongkosnya aq ganti & abang blh ambil O-magz aku..—

—sama gmbar Kim Qadarsih nya gaa?—


Qadarsih?

—iya, sma gmbar itu. Klo abang mau poster Miley Cirus jg ambil aja..—

Aku meletakkan ponsel di atas ranjang dan mendesah lega. Ada untungnya ternyata memperalat cowok macam Zaki. Bukan maksudku berbuat nggak baik, ya. Tapi kasus ini adalah kasus urgent. Nyawa Cazzo ada di tanganku. Jadi mestinya Zaki mengerti.

Jadi begini, barusan aku meminta Zaki untuk membawa Esel kemanapun dia mau supaya aku bisa nolong temenku Cazzo. Of course, Zaki menolak mentah-mentah—hal terakhir yang ingin dia lakukan di dunia ini adalah ketemu Esel. Bahkan dia pun sebisa mungkin nggak ngalamin hal terakhir tersebut. Tapi mengingat dia udah janji padaku, dan dia bilang dia adalah cowok sejati yang menepati janjinya, dengan terpaksa dia keluar kamar dan merayu Esel untuk pergi.

Awalnya agak sulit, sesuai dugaanku. Melihat ada dua cowok favoritnya dalam satu ruangan, Esel jadi panas dingin saking kegirangan. Dia sibuk menjaga Cazzo sekaligus melayani Zaki. Beberapa kali aku menyikut Zaki untuk segera membawa kabur Esel kemanapun banci itu mau. Beberapa kali pun Zaki mengerang dan kelihatan memelas padaku untuk nggak menyuruhnya melakukan itu. Tapi akhirnya Zaki bersikap heroik juga, sih. Zaki mengajak Esel jalan-jalan keluar (dan meski Esel sempat mati kebingungan, harus memilih antara Cazzo atau Zaki, akhirnya banci itu milih Zaki—mungkin karena Zaki lebih alive dibandingkan Cazzo).

Tentunya, begitu Esel bergelayutan di tangan Zaki, bersiap untuk jalan-jalan weekend bareng cowok itu, Esel mendelik waspada ke arahku.

“Awas ya, Gas... I trust you now. Ini di luar kebiasaan I mercayain orang baru kayak you buat jagain my prince charming. Kalo ada goresan sedikit aja di badannya Cazzie Darling, I bakalan—“
“Mau jalan nggak nih?!” Kebetulan saat itu Zaki memotongnya sambil mengerutkan alis dengan kesal.
“Oh, honey baby. Of course! Yuk yuk!”

Well, sekarang aku berharap Zaki bisa bertahan dengan Esel atau menemukan trik jitu lain untuk menyingkirkannya. Kehadiran Esel benar-benar gangguan. Aku heran bisa ada orang yang sanggup temenan sama dia. Lagi ngapain ya mereka sekarang?

Tit-tiiiitt! Tiiiitt!
Suara klakson mobil nyaris membuat jantungku copot. Seperti kubilang, suara sekecil apapun di sini, bisa kedengaran dua kali lipat lebih kencang. Bahkan di siang hari macam begini. Aku menoleh ke arah Cazzo, memastikan dia masih pingsan, lalu berjalan ke jendela, mengecek dari mana suara klakson mobil tersebut berasal.

Ternyata mobil Granny.

Aku melihat Bang Dicky turun dari mobil tersebut, tertatih-tatih membuka pagar dan menyeretnya ke pinggir. Astaga, kenapa Bang Dicky jalannya seperti itu? Sambil memicingkan mata aku juga melihat bahwa tangan kiri Bang Dicky menekan keras pelipis kirinya. Pasti ada yang nggak beres.

Dengan perasaan cemas aku mengambil kunci dan mencoba membuka pintu. Tapi anehnya, kunci itu nggak bisa diputar! Ya Tuhan... kenapa ini? Aku menekan pintu, menduga mungkin kuncinya terjepit atau apa gitu, tapi tetap tidak bisa diputar. Bahkan ketika kutarik pintu ke arahku, aku masih belum bisa memutar kunci. Aku coba memutar ke arah lain... nihil.

Aku berlari lagi ke arah jendela, bermaksud memanggil Bang Dicky. Cowok itu sekarang sedang bersusah payah memindahkan motor matic Cazzo ke pinggir, agar mobil Granny bisa masuk. Yang membuat aku miris, motor matic itu nyaris terjungkal barengan dengan yang mendorongnya—apalagi Bang Dicky hanya mendorong dengan satu tangannya saja. Kenapa sih emangnya? Ada apa dengan—wait, itu bukan darah, kan?

Sambil mencoba tetap tenang, aku kembali ke pintu kamarku dan memutar kuncinya lebih keras. Masih belum bisa diputar juga. Aku tarik-tarik kenopnya, sampai kupikir bautnya mungkin sebentar lagi lepas, tapi pintu itu bergeming. Ketika aku berlari lagi ke arah jendela, Bang Dicky sedang memasukkan mobil Granny ke carport.

Hmmh... masa sih aku mesti lompat dari jendela?
“Bang Dicky!” panggilku.
Cowok itu masih mengemudikan mobil Granny tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Aku mengulurkan tangan dari jendela, melambai-lambai ke arahnya, tapi dia sama sekali nggak menangkap sosokku.

Aku berbalik lagi, memastikan Cazzo masih pingsan dan sekali lagi mencoba membuka pintu kamarku. Ya Tuhan... masa sih aku terkunci di kamarku sendiri? Dengan kunci yang ada di tanganku?

Suara mobil Granny sudah mati. Dengan suara agak sayup, kudengar langkah kaki Bang Dicky diseret-seret di atas teras. Aku bahkan mendengar suara debuman kecil, mungkin Bang Dicky menabrak pintu atau tembok, lalu kemudian berjalan lagi.

“Nenek?” panggil Bang Dicky.
“Bang Dicky!” panggilku membalas.
“Nenek?”
“Bang Dicky, aku kekunci di kamar! Pintunya nggak bisa dibuka?”

Aku menepuk-nepuk pintu dua kali, lalu tiba-tiba, “Ceklek!” Pintu itu terbuka dengan sendirinya.
Apa? Tapi, kan... barusan, kan... kenapa tadi... padahal aku udah...

Astaga. Rumah ini makin aneh aja.

Aku membuka pintu itu lebar-lebar dan bergegas keluar. Kutemukan Bang Dicky sedang bersandar di buffet tua Granny sambil memegangi dahinya. Darah mengalir dari sela-sela jarinya. Beberapa tetesan darah sudah mengering di atas kausnya.

Aku langsung nggak enak perut. Lutut rasanya lemas. Dari awal, aku emang nggak bersahabat dengan darah. Dan melihat darah mengering macam begitu, aku jadi teringat darah di baju Mom tiga bulan yang... Ah, sudahlah. Nggak perlu diingat-ingat lagi.

“Bang Dicky kenapa?” tanyaku panik. Dalam otakku langsung muncul beragam skenario yang mungkin saja terjadi. Bisa jadi Bang Dicky kecelakaan—meski aku yakin mobil Granny tadi baik-baik saja, atau bisa jadi Bang Dicky dirampok—dan aku nggak sanggup ngebayangin Bang Dicky berantem membela dirinya sendiri...

“Nenek mana?” tanyanya, tanpa berani menatap mataku. Bang Dicky bahkan mengacungkan tangannya ke arahku, memberi isyarat supaya aku jangan mendekat.

“Granny jogging. Bang Dicky kenapa?”
“Pulang jam?”
Aku mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Bang Dicky kenapa sih? Aku ambilin lap basah, ya?”

Bang Dicky mengacungkan lagi tangannya, mengisyaratkan agar aku jangan bergerak kemana-mana. Kulihat ekspresi Bang Dicky kesakitan. Alisnya bertaut sangaaat dalam. Dan hidungnya mengernyit seolah sedang melipat mukanya ke dalam.

“Di... Dicky...” ujarnya, terbata-bata. Matanya melirik sesekali ke arahku, agak ketakutan. “Dicky tunggu Nenek aja.”

“Tunggu Granny apaan?” Aku memutar bola mata dengan kesal. “Kalo darah-darah itu nggak buru-buru dibersihin, bisa infeksi! Aku telepon ambulans, ya?”
“JANGAN!” sentak Bang Dicky ketakutan. Matanya agak merah sekarang. “J-jangan... jangan telepon ambulans... Dicky tunggu... Nenek aja..”

“Keburu abis dong darahnya!” sahutku. “Aku ambil lap sama air anget dulu!”
“Nggak usah, Gas..”

Tapi aku sudah berjalan ke dapur dan mencari mangkuk besar di antara tumpukan alat masak milik Granny. Aku memencet-mencet termos, mengeluarkan air panas, lalu mencampurnya dengan air dingin sampai suhu airnya pas. Lalu setelah meletakkan air di atas meja di depan Bang Dicky, aku mengaduk-aduk kotak First Aid yang menggantung di ruang makan untuk mencari antiseptik.

“Udah Gas... nggak usah...” rintih Bang Dicky dari seberang ruangan.
“Ah, diem!” sahutku. “I can’t just watching someone’s bleeding and doing nothing.”

Mana pula antiseptiknya, hmh? Semua peralatan medis di sini berbeda jauh dengan isi kotak First Aid-ku di New Jersey. Maksudku, dari segi merk ya, bukan dari isinya. Kasa maupun plester bentuknya masih sama aja. Setelah setengah menit menelusuri setiap benda yang ada di dalam first aid box, aku memutuskan untuk mengambil kasa, gulungan perban, plester, apa ini? Oh, betadine... kapas... lalu stetoskop—entah kenapa benda ini bisa ada di first aid box, tapi aku rencananya mau main-main dengan stetoskop ini begitu selesai mengobati Bang Dicky—dan juga masker tissue warna hijau—siapa tahu dibutuhkan untuk... untuk... yah, terlihat seperti ahli medis, lah...

Bang Dicky sudah berbaring di atas sofa. Dia masih memegang dahinya yang berdarah dan aku buru-buru membasahi lap sambil memerasnya. Bang Dicky agak rewel waktu aku mencoba menutul luka di dahinya, dia menepis tanganku berkali-kali dan mengacungkan tangan, menahan agar aku nggak membersihkan lukanya.

“Iiiihhh... buka tangannya Bang Dicky!”
“Udah, Agas... nggak usah... Dicky baik-baik aja...”

Tapi aku nggak menyerah. Seperti yang kubilang, aku bukan orang yang bersahabat dengan darah, tapi kalau ada orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan kita, mau gimana lagi? Mungkin aku bisa memejamkan mata kalau terpaksa melihat “luka” yang mengucurkan darah sebanyak itu, atau aku bisa membayangkan darah itu sebagai... sirup stroberi?

Ew.
Nggak jadi, deh. Aku memejamkan mata aja.

“Ayo Bang, buka dong tangannya. Bersihin dulu...”
“Nggak usah, Agas... Dicky nggak apa-apa...”

Aku mencubit perut Bang Dicky sampai cowok itu mengerang karena kaget. Tapi dia masih belum mau melepaskan tangannya. Lama-lama aku malah membersihkan darah-darah yang mengucur keluar dari jemari atau mengalir di atas pipinya, juga yang telah mengering di lehernya, meski Bang Dicky juga agak-agak menepis tanganku kalau lapnya sudah dekat dengan pelipis.

“Beneran, Agas... Dicky baik-baik aja... Ini cuma... Kecelakaan kecil.”
“Kecelakaan kecil aja begini, kecelakaan gede nya gimana? Buka, ya?” Aku menarik tangan Bang Dicky lagi... dan dia tetap bergeming.
“Kenapa sih Agas keukeuh pengen bersihin luka Dicky?” tanyanya, tapi dengan tatapan malu-malu.

“Karena aku sayang abang,” jawabku spontan. “Jadi buka, ya?”
“Sayang?”
Aku mengangguk mantap, menunjukkan ekspresi paling meyakinkan—meski lama-lama jadi kelihatan terlalu antusias. “Sayaaaannnggg... banget. Jadi tangan Bang Dicky mesti disingkirin... Sini tangannya.”

Bang Dicky melunak. Kali ini tangannya bisa kusingkirkan dengan mudah, meskipun dia masih waspada. Aku lega dan buru-buru membersihkan luka di—astaga... oke, aku tutup mata aja!!

Sambil sedikit-sedikit memejamkan mata, tapi sebisa mungkin melotot juga, biar Bang Dicky percaya aku bisa mengobati lukanya, aku pun menutul-nutul luka di dahi dan pelipis Bang Dicky tersebut dengan sembarang. Aku mengusapnya dengan lembut. Mengganti lipatan lap berkali-kali. Sesering mungkin berbalik dan memeras lap ke dalam mangkuk besar. Dan setiap mau mengelap lagi, aku fokus pada bibir Bang Dicky.

Anehnya, cowok itu justru nggak mengerang kesakitan sama sekali. Kontras dengan waktu aku mencubit perutnya tadi. Bang Dicky malah menatapku dengan serius, tepat menatap ke bola mataku, dengan tatapan yang sangaaat intim, seolah kami ini mau berciuman atau apa gitu. Aku jadi ge-er karena ditatap terus.
Part:15
“Apa sih lihat-lihat?”

Bang Dicky mengerutkan alisnya tapi masih menatapku dengan intim. “Terus harus lihat ke mana, dong? Yang ada di depan Dicky cuma Agas.”

“Pejemin mata, kek... teriak-teriak, kek, karena sakit.”
“Tapi nggak sakit,” katanya. Dia diam sebentar. Aku meninggalkan lap di atas mangkuk dan langsung membuka botol betadine. “Jadi Agas ngobatin Dicky karena sayang sama Dicky?”

Ya Tuhan, dia ngebahas itu lagi.

“Iya, kakaaakk... Adek sayang sama kakak...” godaku. Aku membasahi kapas dengan betadine dan bersiap membersihkan luka Bang Dicky.
“Hanya karena itu?” tanyanya lagi.
“Iya. Emangnya apa lagi?”

Well, sebetulnya sih lebih karena “aku benci lihat orang berdarah”. Rasanya seperti... sakit. Rasanya seperti “memilukan” melihat cairan yang mesti ada di dalam tubuh manusia tiba-tiba merangsek keluar merobek bagian kulit dan menciptakan perih yang amat sangat. Uek. Perutku mual lagi nih.

Tapi kan aku juga sayang Bang Dicky, betul? Jadi aku nggak sepenuhnya berbohong.

“Bukan karena Agas benci lihat orang berdarah?” tanyanya kembali.

Hey... dia nggak baca pikiranku barusan, kan? “Ya nggak, lah!” sanggahku. “Kalo aku benci lihat orang berdarah, aku nggak bakal duduk di sini dan ngobatin Bang Dicky. Sini kepalanya naik, nggak kelihatan nih.”

Bang Dicky menaikkan kepalanya dan menunjukkan luka besar yang...

“Eh, rebahin aja kepalanya. Kelihatan kok dari sini,” ralatku buru-buru.

Aku mengompres luka itu dengan kapas yang telah diberi betadine. Jujur saja aku nggak tahu proper procedure buat first aid—khususnya untuk luka berdarah dengan sobek sebesar itu dan kita nggak tahu penyebabnya apa. Seumur-umur, this first aid is actually my “first” first aid. Yang ada dalam benakku adalah sebisa mungkin mencegah timbulnya infeksi karena bakteri, atau terlihat tolol karena diam saja dan lari terbirit-birit melihat darah. At least, I’m doing something, right? Lagipula aku pernah lihat temanku Walter jatuh dari sepeda, kakinya terseret-seret di atas aspal, lalu ada luka besar menganga dan berdarah banyak, dan kebetulan aku ada di sana dan diminta ikut ke Emergency Unit rumah sakit terdekat, dan aku lihat seorang suster hanya membersihkan bagian di sekitar luka, mengoles dengan antiseptik, dan menutupnya dengan perban. Simpel, kan? Mestinya prosedur yang kulakukan untuk Bang Dicky juga benar.

Kecuali Bang Dicky luka karena ditembak dengan senapan dan ada peluru bersarang di dalamnya dan aku mestinya melakukan operasi pengangkatan peluru instead of randomly dabbed the wound.

Seperti yang kuingat di Emergency Unit itu, aku melakukan prosedur yang sama. Dengan mudahnya aku mengolesi antiseptik, menutup luka dengan kasa, lalu menutupnya lagi dengan perban, dan terakhir merekatkannya dengan plester. Semuanya berjalan lancar dan malah aku kagum dengan hasil karyaku. Mungkin aku berbakat jadi first-aider. Mungkin suatu hari nanti aku mesti jadi suster di unit gawat darurat. Of course, hanya untuk pasien-pasien dengan luka begini ya, bukan luka bakar atau kecelakaan pesawat.

“Nah! Udah... sekarang lukanya aman!” sahutku bangga, tanpa sadar meneliti bagian tubuh Bang Dicky yang lain, mungkin saja masih ada luka yang menganga dan aku bisa memasang perban lagi...?

“Makasih, Agas...” kata Bang Dicky sambil mencoba bangkit. “Biasanya Nenek yang sering bantuin Dicky.”
“Biasanya?” ulangku heran. “Emangnya sesering apa kejadian kayak begini terjadi?”

Tapi setelah dipikir-pikir, betul juga. First aid box Granny bisa dibilang lengkap untuk ukuran first aid box rumahan. Kasanya banyak, perbannya banyak, plesternya banyak. I mean, stetoskop bahkan ada di dalamnya. Dan melihat kondisi botol betadine yang tinggal setengah, aku indikasikan bahwa kejadian macam begini memang sering terjadi.

“Ah, nggak sering-sering amat, kok,” kata Bang Dicky.

Bang Dicky kini duduk di sampingku, memegangi kepalanya dan mencoba menghalau rasa pusing yang dideritanya. Pasti mual banget kehilangan darah kayak begitu. Terakhir aku terluka, gara-gara jatuh dari tangga dan entah kenapa kakiku berdarah, aku masih ingat rasa mual dan pusing karena kehilangan darah.

“Jadi by the way, ini tuh gara-gara apa, sih?” selidikku.
Bang Dicky agak ragu untuk menjawab. Aku melihat dengan jelas saat Bang Dicky melirikku sejenak, memastikan aku bisa dibohongi... dan yah, akhirnya aku dibohongi juga. “Gara-gara kecelakaan kecil... Dicky... Dicky nabrak tembok.”

Aku yakin banget itu bullshit.

“Lagi nyetir mobil, terus nabrak tembok?” tanyaku.
“Bukan. Lagi jalan kaki.”
“Lagi jalan kaki, trus nabrak tembok?” Aku mengerutkan alis dan memutar-mutar mataku, mencoba menemukan bagian mana dari jalan kaki lalu nabrak tembok yang menghasilkan luka seheboh ini. “Kecepatan berapa Bang Dicky jalan kakinya? Seratus mil per jam?”

Bang Dicky menelan ludah. “Yaahh... Dicky lagi jalan gitu, lah... sendirian... udah gitu lihat ke belakang, tapi pas lihat ke depan, JEDUK! Nabrak tembok, deh...”

“Nggak mungkin, Abang.” Aku memutar bola mata. “Bilang aja kalo Bang Dicky nggak mau nyeritain kejadian sebenernya.”

Bang Dicky menoleh ke arahku dengan tatapan menyesal. “Dicky emang nggak mau nyeritain yang sebenernya. Dicky nggak mau bikin Agas khawatir.”

“Justru kalo aku nggak tahu, aku jadi khawatir, Bang. Semua orang juga pasti gitu.” Sambil manyun aku menggeser duduk menjauh dari Bang Dicky, ceritanya lagi ngambek. Sambil pura-pura memeriksa kukuku, aku menunggu Bang Dicky bakal menyerah dan akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya.

“Maaf, Agas. Ini nggak sesimpel itu. Jadi Dicky belum bisa nyerita.”
“Terserah,” kataku kesal.

Dan dalam lima belas menit kemudian kami berdua hanya terduduk dalam diam.

Kami mirip... pasangan yang lagi marahan. Yang satu (Bang Dicky) duduk di ujung sofa, merebahkan kepalanya ke sandaran sofa dan menatap langit-langit. Otaknya pasti sedang mikirin sesuatu. Kedua bola matanya bergerak ke sana kemari, sesekali melirik ke arahku kemudian menerawang lagi ke langit-langit. Yang satu lagi (aku) duduk di ujung sofa lainnya, memain-mainkan kapas yang kotor, mencabik-cabik kapas yang kotor, dan saat kapas yang kotor sudah habis dicabik-cabik, aku mengambil kapas baru yang putih bersih, lalu mulai mencabik-cabik lagi.

Jujur saja aku suka kesal kalo ada orang yang nggak mau nyeritain semuanya tapi dia sudah memberikan clue-nya. I mean, luka itu adalah clue, tapi aku sama sekali nggak dapat behind the story-nya.

Lama kelamaan, aku akhirnya mengambil stetoskop dan memain-mainkannya. Daripada aku mendengar helaan-helaan napas Bang Dicky, yang kelihatannya mau-cerita-sesuatu-padaku-tapi-harus-jaga-rahasia, lebih baik aku memanfaatkan waktu. Ya! Aku bisa menggunakan stetoskop ini dan menambah ilmu pengetahuanku.

Tapi bodohnya aku, setelah aku mengenakan stetoskop itu di telingaku, lalu mencari objek detakan jantung untuk ujung stetoskop yang satunya, aku malah menoleh ke arah Bang Dicky dan menawarkannya. “Mau diperiksa jantungnya?” Dan saat itu juga aku menyesal mengatakan itu karena kedengarannya aku tolol banget.

Bang Dicky menoleh. Melirik sekali ke arah stetoskop, tapi kemudian menatapku lagi agak lama. “Boleh,” jawabnya. Dia lalu menggeser duduknya dengan canggung dan bingung antara melepas baju atau nggak. “Bajunya? Lepas? Jangan?”

“Nggak usah. Ngapain? Aku cuma pengen nyobain stetoskopnya aja.”
Aku lalu mendekat, meletakkan ujung stetoskop yang bulat dan dingin itu ke tangan Bang Dicky. Ada suara berdesir kencang dari arah situ. Dan setiap aku menggeser ujung stetoskopku, terdengar bunyi gesekan-gesekan ribut yang memekakkan telinga. Ih, berisik. Pantas saja aku nggak bercita-cita jadi dokter.

Aku lalu memindahkan ujung stetoskopku ke dada Bang Dicky. Aku meraba-raba di bagian mana jantungnya berada. Tapi darahku sendiri malah berdesir karena nggak sengaja aku menyentuh lekukan dadanya yang agak berotot dan menonjol. Dan ketika aku dengan tololnya menggerakkan stetoskop ke bawah, aku menyentuh puting susunya. Sialan. Makin nggak keruan deh diriku ini.

Setelah aku berhenti di dada kiri, di tempat yang aku yakin bersarang jantungnya Bang Dicky, aku menekan lebih kuat stetoskop itu. Ada bunyi desiran angin yang kencang, detak jantung, lalu—

“Itu gara-gara ibunya...”

Argh!” Aku tersentak kaget dan langsung menjatuhkan ujung stetoskopku ke bawah.

“Kenapa Gas?” tanya Bang Dicky cemas. “Jantung Dicky mau copot, ya?”
“Bukan, bukan Bang. Barusan ada suara!”

Aku ngos-ngosan karena terkejut. Ketika aku menekan stetoskop itu, di antara detak jantung Bang Dicky yang berdegup normal, aku mendengar sebuah bisikan. Bisikan kecil tapi aku bisa memastikan datangnya dari situ. Suaranya seperti... entahlah... entah perempuan entah laki-laki, nggak jelas... mungkin anak kecil... mungkin remaja yang suaranya belum berubah...

“Suara?” Bang Dicky mengernyitkan alis. Heran. “Alat ini kan emang buat denger suara.”
“Maksud aku suara orang,” tukasku buru-buru. “Aku barusan denger suara orang dari sini!”

Aku menempelkan lagi ujung stetoskop itu ke dada Bang Dicky, persis di lokasi yang tadi. Tapi setelah berpuluh-puluh detik menunggu, suara itu nggak muncul.

“Ada suara orang lagi?” tanya Bang Dicky, penasaran.

Ada sih. Suaranya Bang Dicky yang bergetar dan tiba-tiba sampai di stetoskop ini. Tapi aku yakin suara tadi bukan suara Bang Dicky. Lagipula yang tadi tuh bukan suara getaran... tapi suara bisikan... seolah dia memang sedang berbicara denganku.

“Beneran, bang. Tadi ada yang ngomong dari sini!”
“Masa sih?” Bang Dicky meraih stetoskop dari leherku dan dia memasang benda itu di telinganya. Sejurus kemudian Bang Dicky menekan ujung bundar stetoskop di dadanya, mencari-cari “suara” yang kuhebohkan barusan, tapi dari alisnya dapat kuketahui bahwa Bang Dicky nggak menemukan suara apapun.

“Dia bisik-bisik gitu. Tapi aku bisa denger dengan jelas,” terangku.
“Bilang apa?”
“Bilang tentang ibu-ibu gitu, lah. Aku nggak ngerti. Sini aku coba lagi.”

Aku mengambil lagi stetoskop itu dan memasangnya di telingaku. Kuulangi lagi proses yang tadi, dan ajaibnya, suara itu muncul lagi...

“Kalian payah...”

-XxX-

Aaarrrggghhh!!”

Suara pekikan itu muncul ke dalam otakku, dan aku belum bisa memprosesnya dengan jelas.

Dug dug dug!

Sekarang terdengar bunyi dentuman yang sangat keras. Seperti... seperti bunyi palu memukul-mukul tembok.

Dug dug dug!

Aku membuka mata perlahan-lahan. Terganggu dengan suara bising tersebut. Dalam lima detik, aku melakukan quick scan dan quick review.

Aku ada di atas sofa. Berbaring menyandar ke punggung sofa. Kakiku selonjoran di atas meja. Kepala Bang Dicky di pahaku. Bang Dicky? Oh, rupanya aku ketiduran. Dan Bang Dicky masih ketiduran. Dan raut mukanya yang lugu itu begitu menggemaskan... membuatku...

Tunggu. Kenapa kami bisa ketiduran?

Hmh. Kalau nggak salah kami sedang membahas tentang cupid sampai akhirnya kami ketiduran. Dan sebelum cupid, kami membahas tentang cinta. Sebelum cinta, kami membahas band Indonesia yang membuat banyak lagu-lagu cinta. Apa ya namanya? ST-12? Pokoknya kami ngebahas itu karena kami... kami ngebahas Sinta Jojo, yang dipraktekkan Granny dan Jeng Nunuk semalam. Dan itu pun karena kami membahas Youtube-nya Granny yang kubilang ada kuntilanaknya.

Lalu kenapa kami membahas Si Kunti, ya?

Oh, karena aku mendengar suara bisikan dari stetoskop! Mungkin saja itu suara Si Kunti, kan? I mean, kehadiran makhluk halus di rumah ini kelihatannya sangat wajar.

Dug dug dug!Aaaarrgghh!”

Aku tersentak dan akhirnya memilih bangun. Dengan hati-hati, kuambil bantal sofa terdekat dan kupindahkan kepala Bang Dicky ke atas bantal. Cowok itu menggeliat. Sempat menggenggam tanganku (dan aku nyaris bersandar lagi ingin menikmati genggaman tangannya). Tapi aku beranjak dan sedetik dua detik memandangi dulu sosoknya yang besar itu rebahan di atas sofa. Dengan perban menempel di dahinya, memanjang hingga ke pelipis. Lalu bibir yang terkatup rapat itu...

Agaaasss...??”

Suara jeritan tadi akhirnya memanggil namaku. Siapa sih itu? Otakku berputar. Oh! Cazzo!

Aku langsung berlari menuju kamarku dan menggebrak pintu. Saat aku menghambur masuk, kulihat cowok cinta monyet Esel itu sudah terpojok di sudut ruangan. Dia duduk di atas lantai, memeluk lututnya, badannya gemetar dan mukanya ketakutan.

“Cazzo, kamu kenapa?” Aku menghampirinya dan mengajaknya berdiri.

Cowok itu bergeming. Dia bertahan duduk di situ, mengelak saat kucoba untuk mengangkat tangannya. Aku membungkuk dan mencoba menarik lengannya. Tapi dia tetap terduduk ketakutan.

“Kamu lihat apa, Cazzo?”
“G-gue nggak mau pindah dari sini!” bisiknya cemas, seriously nggak nyambung dengan pertanyaanku.
“Di sini dingin, lho. Yuk kita ke ruang tengah!”

Cazzo menggeleng dengan mantap dan menepis tanganku. “Kalo gue p-pindah... entar... entar Si Tante ngi-ngikutin!” Melihat napasnya yang menghela seperti itu, aku menduga Cazzo habis menangis. Dan kalau melihat dari matanya yang agak sembap, juga pipinya yang kelihatan lembap, mungkin dia seharian ini memang menangis.

“Tante siapa?”
Aku nggak bisa membayangkan ada tante-tante berkeliaran di kamarku dan mengikuti kami kemanapun kami pergi.

“Tante itu tuh!” seru Cazzo frustasi. Dia mengedikkan hidungnya ke arah meja rias, dan langsung memalingkan pandangannya dari meja tersebut.

Aku menoleh dan menemukan meja rias itu kosong. Meja rias yang berdiri dengan megahnya, dengan motif sulur-sulur batik di pinggiran kacanya, dan pantulan tembok kamar yang ada di dalamnya. Nggak ada siapa-siapa di situ. Nggak ada tante-tante... maupun om-om...
PART:16
“Siapa yang kamu lihat di meja rias emangnya?”
“Si Tante!” bisiknya, agak keras.
“Aku nggak lihat siapa-siapa di situ, Cazzo. Sekarang di mana si Tante-nya?”

Cazzo menatap dengan tajam ke arah meja rias selama sekitar dua detik. Dia lalu menoleh ke arahku, meletakkan tangan di telingaku, lalu berbisik. “Ssst... dia ada di dalem kaca!”

“Di dalem kaca?” ulangku nggak percaya. So there was another “ghost” in this house?! Astaga. And in my room? Hiding in the mirror?

Ssst!” Cazzo menekan bibirku dengan jari telunjuknya. “Jangan keras-keras. Entar kalo dia ngerangkak keluar lagi kayak Ju-On, gimana?”

Siapa pula itu Ju-On?!

“Ya udah. Kita ke ruang tengah aja, yuk? Di sana nggak ada cermin.” Aku menarik lagi tangannya, tapi Cazzo tetap bergeming.
“Lo gila, ya?!” bisiknya, agak membentak. “Entar kalo dia tiba-tiba lompat keluar dari kaca, gimana?! Bisa mati!”

“Terus mau gimana?” Lama-lama aku jadi kesal. Seharusnya selain bergabung dengan Mahobia, Cazzo juga bergabung dengan Ghobia (Ghost Phobia—kalau memang ada). Masa iya sih ada cowok yang lagaknya macho di sekolah tapi takut setengah mati sama hantu! I mean, hantu kan makhluk halus. Seharusnya hantu tuh makhluk yang paling less-threatening.

“Lo usir dia dulu!” bisiknya lagi. “Ini kan rumah lo!”

How am I supposed to shoo them if I can’t even see them?!

Belum juga aku merespon, aku langsung mencium bau pesing yang sangat menyengat. “Bau apa ini?”
“Bau Si Tante!” bisik Cazzo mantap. “Setan emang baunya aneh-aneh.”
“Tapi kayak bau pipis,” gumamku.

Aku berdiri tegak dan mencari-cari sumber bau. Hidungku mengernyit kecil berulang-ulang, membaui udara, tapi tetap nggak bisa menemukan sumbernya. Bau ini bisa berasal dari mana saja. Terlalu kuat kadarnya.

Cazzo menarik-narik celanaku dan aku pun jongkok di depannya. “Kamu nemu darimana bau itu?” tanyaku.
“Udah dibilangin, bau itu dari si Tante!” Cazzo melotot. “Terus kapan lo mau ngusir si Tante, hah?”

Aku memutar bola mata dan kembali berdiri. Tapi belum juga aku melangkah, Cazzo tiba-tiba menggenggam tanganku. Dia kelihatan takut lagi. “Jangan tinggalin gue di sini, dong! Nggak friendship lo, bro!”
“Jadi kamu mau ikut?”
“Ya nggak, lah!” serunya, seolah aku menanyakan “Kamu mau ML ama kambing?”
“Terus gimana aku mau ngusir si Tante dong?!”

“Oh, iya ya.” Cazzo menerawang ke arah lain dan memutar otak. “Boleh, deh. Tapi jangan lama-lama, ya... dan terus lihat ke arah gue! Entar kalo dia nyerang gue gimana?”
“Iya iya...”

Cazzo akhirnya melepaskan genggamannya dan aku bisa melenggang ke meja rias. Jujur saja ini konyol. Aku, mau mengusir hantu yang bersembunyi di balik cermin, demi cowok homophobia yang macho di sekolah tapi K.O di dunia mistis... di siang hari? I mean, di film-film kan hantu munculnya malam hari!

Aku tiba di depan meja rias dan menemukan semuanya baik-baik aja. Nggak ada bekas-bekas hantu merangkak keluar dari cermin, atau hantu bersembunyi di balik cermin... Ketika aku mendekatkan wajahku ke arah cermin, meneliti mungkin si Tante sedang meringkuk bersembunyi di dunia seberang sana, aku malah memperhatikan hidungku. Gosh, komedoku mulai bermunculan nih. Aku harus beli pore pack baru. But wait, di mana toko yang menjual pore pack di kota ini?

“Ada?” tanya Cazzo dari sudut ruangan.
“Oh,” kataku, menoleh sekilas ke arahnya lalu pura-pura meneliti lagi cerminnya. “Ada tuh,” bualku. “Hus! Hus!” Aku mengibaskan tangan sembarangan ke arah cermin lalu menunjukkan ekspresi setannya-sudah-pergi.

“Dia udah pergi?” tanya Cazzo lagi, harap-harap cemas.
“Dia lagi... ngng... ngerangkak nembus tembok... keluar dari rumah!” seruku, nyaris menambahkan “Horeee” demi meyakinkannya bahwa tempat ini sangat-sangat aman sekarang.
“Cek lagi!” pinta Cazzo.

Astaga.

Aku meneliti lagi cermin meja rias itu. Sampai lima menit kemudian, aku nggak menemukan satupun penampakan yang berarti. Aku bahkan berharap tiba-tiba muncul kuntilanak atau apa gitu, demi memuaskan rasa penasaranku. Tapi nggak. Satu tuyul pun nggak ada yang muncul, apalagi tante-tante. Dan karena merasa seperti orang tolol meneliti cermin selama bermenit-menit, aku akhirnya menyerah dan membual lagi.

“Dia udah pergi! Semua udah bersih!” seruku. Kali ini nggak ragu lagi untuk menambahkan, “Horeeee!!”

Cazzo ragu untuk bangkit. Dia masih merangkul lututnya sendiri, celingak-celinguk kanan kiri, waspada mungkin saja si Tante melompat keluar dari dalam kasur atau tembok. Aku memutar bola mata dan akhirnya dengan pasrah menghampirinya lagi untuk membantunya berdiri. Kali ini dia menurut. Ketika kuulurkan tanganku, dia langsung meraihnya dengan sigap. Dia bahkan langsung berdiri—oh, bukan. Dia langsung memeluk tanganku, seolah aku nggak boleh pergi dari sampingnya.

Ketika berdiri, aku bisa melihat lehernya basah karena keringat. Kaus yang dipakainya pun basah, khususnya daerah ketiak, dada, perut, selangkangan... selangkangan? Kenapa daerah sebelah situ basah juga? Seheboh itukah keringat yang ditimbulkan dari wilayah itu?

Itu bukan...
Tiba-tiba bau pesing tadi menyengat lagi.
Oh, Great.

Cazzo mungkin menangkap mataku sedang memandangi celananya yang basah di daerah selangkangan. Dia langsung membela diri. “I-ini bukan ngompol!” serunya, lalu memutar otak. “I-ini gara-gara si hantunya! Dia tadi pipis di sini!”

Sekarang aku nggak bisa membayangkan ada hantu tante-tante yang secara “sengaja” pipis di atas Cazzo... tante-tante kalo pipis pasti jongkok, kan... astaga... nggak kebayang, deh.

-XxX-

“Aku ngambil minum dulu,” kataku, beranjak dari sofa sambil membereskan peralatan first aid yang tadi kugunakan untuk mengobati Bang Dicky.

“Gila lu! Jangan tinggalin gue di sini dong,” pelas Cazzo seperti anak kecil. “Serem nih!”
“Kan itu ada yang nemenin, ada Bang Dicky.”
“Tapi dia kan lagi tidur!” sahutnya. “Mana bisa dianggap nemenin kalo orangnya lagi tidur.”
“Aku cuma bentar kok... Cuma ke dapur, ngambil minum, terus ke sini lagi. Cuma dua menit, nggak nyampe dua minggu.”

Cazzo ragu untuk membantah. Tapi akhirnya dia menyerah juga. Akupun dengan agak tergesa bergegas ke dapur, menyiapkan orange juice botolan dan menghidangkannya di ruang tengah. Aku sengaja bawa tiga gelas, kalau-kalau Bang Dicky terbangun dan ingin minum.
Cazzo langsung meneguk dengan lahap segelas orange juice. Matanya jelalatan mengawasi setiap sudut ruang tengah, mungkin dia pikir bakal ada setan bermuka merah seperti yang pernah kulihat di film Insidious. Ketika gelasnya habis, dia minta segelas lagi. Well, kadang cowok ini lucu juga. I mean, bukan maksudku naksir atau apa, ya. Melihat cowok sok macho yang ternyata takut setengah mati sama hal-hal berbau mistis kelihatannya funny juga. Atau cute. Aku juga takut hantu kok, tapi kan nggak separah itu. Aku masih ingat malam pertamaku di sini, saat aku ketakutan setengah mati dan meng-sms Bang Dicky minta ditemani. Hanya saja karena penampakan Si Kunti sudah keseringan, entah kenapa kok aku jadi terbiasa. Bukannya pengen pindah rumah ke manaaa gitu, aku malah betah dengan segala macam penampakan yang berseliweran di sana-sini. In fact, aku bangga Granny-ku bisa terkenal di Youtube dan rumah ini sudah masuk radio lokal. Mungkin mestinya aku menjadi paranormal. Aku bisa bikin acara sendiri di teve, judulnya “Bocah dari Rumah Berhantu” dan syutingnya dilakukan di sini lalu aku diwawancara mengenai kegiatan si Kunti, dan mungkin aku bisa menggunakan sweter hitam modis yang kubeli kemarin bersama Granny untuk episod pertamaku.

“Jadi sebenernya apa yang kamu lihat?” tanyaku, membuka obrolan.
“Gue lihat si Tante,” katanya, dengan volume yang cukup rendah sampai aku harus membungkuk untuk mendengarnya dengan jelas. “Waktu tadi gue bangun... gue lihat si Tante lagi duduk di depan meja rias... nyisir rambutnya... pake lipgloss... lalu masuk ke dalem kaca!”

Cazzo menceritakannya dengan nada-nada yang menyeramkan. Nada yang digunakan Dad untuk menceritakan kisah horror padaku waktu kecil, apalagi kalau kami sedang summer camp sekeluarga.

Eh, tunggu. Aku kan nggak punya lipgloss.

“Gilaaa. Serem banget! Bajunya putih panjaang... hiiii.. rambutnya putih... keriting... dan tangannya juga putih... Hiiii...” Cazzo langsung merinding membayangkannya dan dia mengambil segelas lagi orange juice. “Pokoknya gue nggak mau cerita lagi!” katanya tegas.

“Terus bagian pipis itu?”
“Pipis?” Cazzo memutar otak. “Oh. Itu. Dia... si Tante... dia pipis di atas kasur. Gue juga heran kenapa dia pipis di situ!” Dan Cazzo pun mengalihkan pandangannya ke arah lain, takut bertemu pandang denganku.
“Di atas kasur, ya?”

At least sekarang aku tahu di mana sumber bau pesing itu berada.

“Jadi celana kamu basah bukan karena ngompol, ya?” pancingku.
“Oh, bukan. Bukan...” jawab Cazzo. Kepalanya menggeleng terlalu antusias.
“Jadi yang pipis adalah si Tante?”

TRANG! TRANG! Trang-trang! Traaanngg....

Tiba-tiba sebuah suara logam mengagetkan kami berdua. Suaranya seperti panci besar alumunium yang jatuh dari meja dan menghantam keramik lalu berguling-guling. Aku tersentak kaget dan langsung menoleh ke arah dapur. Sementara Cazzo...

... dia latah.

GUE YANG PIPIS DI CELANA! GUE YANG PIPIS DI CELANA!” pekiknya, tepat ketika suara mengejutkan itu muncul. Cazzo menyadari ucapannya, dia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya melirik ketakutan ke arahku. Sayup-sayup aku bahkan bisa mendengarnya mengatakan, “Ups!”

Tapi sebelum aku sempat bereaksi pada latahnya yang akhirnya membongkar bualannya, Cazzo buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Apa itu tadi?” serunya. “Kucing? Kunti?”
“Di sini nggak ada kucing,” gumamku.
“J-jadi itu kunti?!”
“Di sini ada kucing!” ralatku buru-buru. “Mungkin itu kucing tetangga! Mereka suka main ke sini. Main ke dapur. Main jatuh-jatuhan panci!” Aku nggak mau Cazzo pingsan lagi karena dia pikir ada si Kunti di sekitar kami. Weekend-ku sudah cukup melelahkan dengan kejadian pingsannya Cazzo pagi tadi dan kehadiran Esel dan kecelakaan Bang Dicky.

“Tapi bisa jadi itu kunti!” seru Cazzo panik.
“Itu kucing!” balasku. “Meooonnnggg?” panggilku ke dapur.

Cazzo deg-degan untuk beberapa saat. Dia berkeringat lagi. Entah keringat karena takut si Kunti muncul atau keringat karena malu gara-gara latah dengan isi pikirannya sendiri.

Aku bergegas menuju dapur dan menemukan sebuah panci tergeletak di atas lantai. Setelah kucari-cari di seantero dapur, aku nggak menemukan satupun penampakan si Kunti. Ataupun kucing. Setelah kurapikan lagi peralatan masak itu, aku duduk kembali di ruang tengah.

“Mau makan?” tawarku. Sebisa mungkin aku nggak menyinggung soal latahnya yang tadi. Kasihan juga. Mungkin bisa aku bahas lain kali. Saat mukanya tidak semerah sekarang. Paling sekarang aku tinggal memikirkan bagaimana membereskan bekas ngompol itu?

Astaga... sulit juga ya menahan tawa!

“Nggak, ah. Nanti gue disodorin menyan, lagi...” ujarnya, dengan malu-malu melirik ke arahku. “Kok lo mau-maunya tinggal di sini, sih?”

Aku mengernyit. “Well, pengennya sih aku stay di US. Tapi karena embassy keukeuh aku mesti pulang ke Indonesia, ya udah, aku ke sini—“
“Bukan itu,” potong Cazzo. “Kok mau-maunya tinggal di rumah ini?”
“Karena cuma ini satu-satunya pilihan tempat tinggal. Mau di mana lagi?”
“Sewa apartemen, kek.”

Kami lalu menghabiskan tiga puluh menit ke depan untuk mengobrol. Aku jadi tahu kalau Cazzo punya hobi main gokart. Dia penggemar formula 1 nomor satu dari Indonesia—begitu katanya. Dan dia kelihatannya hafal setiap detail apapun yang berhubungan dengan balap mobil tersebut. Begitu ingat aku pernah tinggal di USA, dia langsung mencerocos tentang Indianapolis, salah satu sirkuit yang pernah jadi host F1 beberapa tahun ke belakang. Dia juga bertanya-tanya beragam hal tentang Indianapolis, seperti cuaca, actual condition, sebesar apa sirkuitnya, yang of course nggak bisa aku jawab karena sekalipun aku bukan penggemar F1. NASCAR pun nggak pernah nonton, apalagi F1. Dan saat aku secara nggak sengaja nyeritain pengalamanku terbang ke London, ikut Dad yang ada business-party di Silverstone sambil nonton F1 (tapi sumpahnya aku nggak nonton, aku malah jalan-jalan di Soho dan Harrods), kami malah menghabiskan tiga puluh menit tambahan untuk membahas sirkuit F1 di Inggris tersebut. Ckckck.

Akhirnya Cazzo menyadari bahwa pembicaraan kami sudah terlalu banyak condong ke hal-hal yang menjadi interest-nya. Sedikit pun kami belum membahas apa yang aku sukai.

“Kalo lo suka apa?” tanyanya.
“Aku?” ulangku, kaget karena Cazzo menanyakannya. “Aku suka... ngng... baca?”
“Baca?” ulangnya, dengan tatapan jijik. “Baca kayak... baca buku?”
Aku mengernyit tersinggung. “Iya. Emangnya baca apa lagi?”

“Tapi kan itu, ngng...” Cazzo mencari-cari istilah paling buruk untuk menghina hobiku itu. “Kampungan banget.”

Aku benar-benar tersinggung. “Well, kalo aku nggak hobi baca, dan sore kemarin aku nggak ke perpus karena hobi bacaku, kemungkinan besar kamu nggak bakal ada di sini. Mungkin kamu masih meringkuk di WC sekolah!”

Keterlaluan cowok ini. Apa haknya mengejek hobi baca sebagai hobi kampungan? Memangnya salah ya suka baca buku? Semua orang sukses di dunia ini pernah baca buku, and it wasn’t, maksudku, is never: kampungan! Tiba-tiba saja aku terobsesi untuk membela hobi baca buku ini, meskipun sebetulnya aku nggak hobi-hobi amat baca buku. But still...

“Oh,” Cazzo menutup mulutnya, sadar bahwa apa yang dikatakannya barusan benar-benar kejam. “Sorry.”

Aku mengambil minum dan memilih untuk nggak berkomentar. Tapi ngomong-ngomong soal kejadian kemarin sore, aku jadi penasaran. Sebetulnya apa sih yang terjadi semalam?

By the way, semalem tuh kenapa sih kamu bisa kekunci gitu?” tanyaku.
“Kekunci apa?” tanyanya defensif. Obviously dia nggak mau bahas soal kejadian tersebut.
“Kekunci di toilet, nangis di dalamnya, meringkuk, nggak keluar lewat ventilasi, lalu motor kamu—“
Sstt-sstt-sstt!” desis Cazzo memotongku. Dia bahkan membungkuk ke arahku untuk membungkan mulutku. “Lo banyak omong, ya?”

Aku menyingkirkan mulut Cazzo dan kami pun terduduk dengan tenang lagi di sofa masing-masing. “I’m just asking...” gumamku. Lalu semuanya hening.
PART:17
“Gue lagi uji nyali semalem!” seru Cazzo, which is bullshit, karena lagi-lagi matanya nggak mau bertemu pandang dengan mataku. “Kan lo tau sendiri, gue agak... agak nggak suka sama hantu. Gue benci mereka! Jadi Mahobia nantang gue uji nyali.”

Really?” kataku dengan ekspresi datar. “Dan mereka juga ngambil busi motor kamu?”
“Y... ya! Itu kan supaya gue nggak kabur!”
“Jadi mereka pikir... kamu nggak mungkin naik taksi sehingga satu-satunya cara supaya kamu nggak kabur adalah nyuri busi motor kamu?”
Cazzo terpojok. “Lo banyak nanya, ya?”

Karena kamu banyak ngebullshit, batinku.

“Terus, aku denger kamu meracau di mobil, waktu kita pulang ke rumah kamu. Itu kamu lagi ngomongin apa?”
“Meracau?” Cazzo mengingat-ingat lagi apa yang terjadi semalam. “I-itu...” Dia berpikir keras. “Itu gue lagi latihan drama buat hari senin.”

For God’s sake. Seumur-umur baru sekarang ada orang yang lagi ketakutan tiba-tiba menghafal dialog drama untuk hari Senin. Bullshit-nya keterlaluan.

“Bener latihan drama?” tanyaku lagi.
“Iya!” jawabnya defensif.

TRANG! TRANG! Trang-trang! Traaanngg.... DUNG! Dung! Dung-dung-dung... BRAK! Brak.. ZZEESSSSHH! Zzzzsssshhh... BLETAK!

“GUE KONTES PAGEDE-GEDE KONTOL! KONTOL GUE NGACENG! GUE DISANGKA HOMO! GUE DIHUKUM!!”

Bunyi-bunyi mengagetkan itu tiba-tiba muncul lagi. Aku tidak sekaget tadi, hanya saja kali ini bunyi-bunyi berjatuhan itu banyaaaaak sekali. Sudah banyak, panjaaaang pula. Seolah seseorang baru saja membanting semua peralatan dapur dalam waktu bersamaan dan semua barang-barang itu menggelinding nggak keruan. Akibatnya, Cazzo latah lagi. Latah yang terlalu panjang.

Cazzo langsung menutup mulutnya. Keringat dingin dengan cepat membasahi wajah dan tubuhnya. Sekali matanya melirik ke arahku dengan tajam, kemudian merasa menyesal sudah kelepasan macam begitu. Aku, yang sedang terkejut mendengar rentetan bunyi-bunyian itu, lebih terkejut lagi mendengar apa yang dikatakan Cazzo barusan.

“M-maksud gue... itu cuma...” Cazzo salah tingkah. Telinganya merah. Kali ini dia nggak berani menatap mataku.

Aku menyipitkan mata memandangnya. Nggak perlu aku cek suara apa yang ribut-ribut barusan karena apa yang dilatahkan Cazzo lebih menarik. Thank God, aku mengingat dengan jelas apa yang baru saja diteriakkan Cazzo.

Tapi belum juga aku berkomentar, Cazzo sudah menyerangku. Dia bangkit dari sofanya, melompat ke arahku dan langsung meraih bagian atas kausku. Dia mencengkeramnya dengan kuat, menarikku ke arahnya, dan tatapannya benar-benar panik. Atau malu.

“Awas lo ya kalo lo bocorin apa yang lo denger barusan!” bisiknya tajam. Kupingnya makin merah dan aku malah ingin tertawa. “Kalo lo bilang-bilang... lo bakal... bakal... pokoknya awas!”

Aku dan Cazzo saling bertatapan. Mata kami beradu satu sama lain. Aku meneliti bola mata Cazzo dan menemukan bahwa ada rasa cemas dari dalamnya. Yang tentunya ditutupi oleh sikap defensifnya. Kurasakan pula tangannya gemetar saat kerah kausku ditariknya. Napas Cazzo memburu—aku berulang kali merasakan napas hangatnya yang membuatku agak sesak.

Sepotong tangan tiba-tiba muncul dan menarik tangan Cazzo dari kausku. Tangan itu pun mendorong Cazzo mundur ke belakang, hingga terjatuh ke atas sofanya semula. Tangan itu langsung berada di depan dadaku, bersiap, waspada, kalau-kalau Cazzo akan menyerangku lagi. Baru tiga detik kemudian aku baru sadar... bahwa itu adalah tangan Bang Dicky.

Bang Dicky?
Suara berisik tadi rupanya membangunkan cowok ini.

“Ngapain pegang-pegang bajunya Agas, hah?” seru Bang Dicky agak marah. Alisnya berkerut ke dalam menunjukkan dia nggak sedang bercanda.

Cazzo terpana menatap Bang Dicky. Secara bergantian dia menatapku, lalu Bang Dicky. Lama kelamaan, Cazzo menyerah. Dia menelan ludah. Menunduk. Dan akhirnya merebahkan diri.

“G-gue...” katanya. “Gue pulang ya, Gas?”

-XxX-

Baiklah, untuk ukuran jogging, ini sudah keterlaluan. I mean, mana ada orang lari pagi dan belum kembali sampai jam 3 sore? Aku menunggu dengan cemas. Aku benci kalau orang terdekatku nggak ada kabar macam begini. Aku jadi ingat waktu tiga bulan lalu Mom bilang bakal meneleponku begitu tiba di Los Angeles. Dan aku juga sudah nitip oleh-oleh aneka rupa seperti foto walk of fame-nya Britney Spears dan lain-lain. Tapi empat jam lewat dari rencana Mom menelepon, aku sama sekali belum dapat kabar. Tahu-tahu... Oke, stop it! Aku harus berhenti memikirkan soal kejadian itu!

—gw mnta maaf—

Tiba-tiba Cazzo membuyarkan lamunanku dengan mengirim sms. Aku yang sedang asyik menatap Boeing 737-800 descending di FSX-ku terpaksa bangun dari depan komputer lalu beranjak ke meja rias untuk mengambil ponsel.

Astaga. Bau pesing itu masih ada. Padahal dua puluh menit lalu sudah kusingkirkan ranjangku ke halaman belakang, kujemur, dan seluruh ruangan ini sudah kusemprot dengan pewangi yang kutemukan di ruang tengah.

—minta maaf untuk apa?—

—krn udh narik baju lo td. krn udh bohong ama lo...—

—that’s O.K. nobody’s perfect—

—gw ga payah kan?—


Tiba-tiba kudengar suara Zaki menghambur masuk dari ruang tengah. “Gila, man... mimpi buruk!” serunya.

Bang Dicky membalas, “Zaki abis dari mana?”
“Itu tuh, disuruh si Agas nemenin si banci jalan-jalan. Ckckck. Edan, sepanjang jalan tangan saya diremes-remes terus. Hiiii... saya mau ikut mandi di sini, ah! Mandi junub! Eh, itu kepala kenapa Ky, pake diperban segala?”

Aku nggak mendengar suara Esel. Ke mana dia? Apa Esel kabur dari Zaki? Nggak mungkin. Apa Zaki kabur dari Esel?

—payah? Payah knp? Spt yg aku bilang, nobody’s perfect—

—klo kata temen2 gw sih, gw payah. Hal2 yg gw lakuin ga bisa ditolerir lg. Kok lo bsa santei gtu sih ngadepin gw?—

—nobody’s perfect <-- how many times do i have to type this phrase?—

—pasti lo the jelitaz ya? tp g mw ngaku? Kta si Derry, klo ada org yg sanggup nerima gw apa adanya, psti dia the jelitaz!—

—oke, trnyata bener kmu payah. Knp utk nilai org lain aja msti dgrin prinsip org lain coba?—

—jd kmu beneran the jelitaz?—

—BUKAN!!—
Agak lama Cazzo membalas. Aku bahkan sudah approach mendekati runway dan sedang mengatur localizer. Sampai aku benar-benar landing, tune ground frequency, lalu request for taxi, Cazzo belum membalas. Malah Zaki yang menghambur masuk ke kamar, hanya mengenakan handuk yang dililit di bawah perutnya, terpukau melihat ranjangku yang kosong.

“Lho? Ini kasurnya mana bos?” tanyanya.
“Dijemur.”
“Emangnya kenapa? Bos ngompol, yaaa...?” Zaki terkikik geli.
“Bukan aku yang ngompol, kok.”

Kemudian Zaki mendadak cemas. “Saya ya bos yang ngompol?”
“Bukan, bukan. Orang lain. Eh, maksud aku, kasurnya aku jemur bukan karena ada yang ngompol.”
“Kok wangi Kispray?” Zaki membaui udara.
Dan terlambat, botol pewangi ruangan itu sudah terlanjur ditemukan Zaki di atas meja rias. Dia mengambil botol itu dan mengernyit heran. Mudah-mudahan bau pesing tadi sudah benar-benar hilang oleh pewangi tersebut.

“Bos abis nyetrika?” tanyanya.
“Nggak, kok. Kapan juga aku nyetrika?”
Sejarah menyetrikaku benar-benar buruk. Pernah suatu kali aku ironing kemejaku dan kainnya nggak rapi-rapi, kusuuut terus. Sampai akhirnya Mom memberitahuku bahwa kabelnya belum dicolokin ke listrik. Sejak saat itu aku benci menyetrika.

“Terus ini kenapa ada di sini?” Zaki mengacungkan botol itu. “Ini kan buat nyetrika.”
“Hah?”
Aku merebut botol itu dan membaca petunjuk yang ada di cover-nya. Astaga. Betul. Ini untuk nyetrika.

Langsung saja aku berkelit. “Aku suka wanginya! Jadi aku semprot-semprot aja di kamar.”
“Kalau kata saya sih... baunya eneg, bos! Bikin mual...”

Iya sih, batinku. Lama-lama aku juga pusing mencium baunya.

Zaki meletakkan lagi botol itu di atas meja rias dan membuka handuknya. Kini dia... bertelanjang bulat lagi!

“A-abang ngapain?” tanyaku gugup.
Sebisa mungkin aku nggak menatap ke arah “Ucok”-nya, apalagi meneliti titik-titik air yang menempel di sekujur tubuh Zaki. Aroma sabun yang khas dan aura lembap yang dia berikan membuatku agak bergairah.

“Lho? Katanya kalo masuk kamar bos mesti bugil, bos? Buat inspirasi?” Dia mengernyitkan alis.
“Itu... ngng... lain kali aja...” Aku menelan ludah. Sumpah deh, aku nggak siap kalo mesti horni sore-sore begini. Melihat “itu”-nya yang menggantung dan berayun-ayun...

“Yakin, bos?”
“Iya! Cepetan pake!” Ya Tuhan ya Tuhan ya Tuhan. “Aku... aku lagi nggak mood buat nyari inspirasi sekarang.”
Yo wes.”

Zaki pun melilitkan lagi handuk ke tubuhnya. Dia lalu terpana melihat game yang sedang tayang di komputerku.

“Main apa, bos? Asyik tuh!”
“Main game jadi pilot.” Lalu ponselku bergetar lagi. Mungkin Cazzo sudah membalas pesanku yang tadi.

—lo mw kan jd fren gw? Tp plis jgn blg2 org lain. Gw ngaku gw butuh lo yg ga peduli sama kkurangan2 gw. Gw bru dkluarin dr mahobia smalem. Mreka pkir gw homo pas gw ngaceng pas qta kontes pgede2 rudal. Udh gt c Moris pke blg gw takut setan lg, jd deh gw mkin dkluarin & d anggap banci. Gw pgn gbung lg ama mreka, krn cm itu satu2nya jlan bsa survive d CIS. Tp smentara itu, gw jg butuh lo yg nrima gw apa adanya...—

Oh. Ternyata dia lama membalas tuh karena mengetik sms sepanjang ini.

ZAAAPPP!

Tiba-tiba komputer-ku mati dan seluruh ruangan langsung hening.
“Kenapa ini?”
“Mati lampu kayaknya bos!” Zaki mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
“Aku emang nggak nyalain lampu dari tadi, jadi lampu itu ya emang mati.”
“Eeeh, bos! Mati lampu tuh maksudnya aliran, bos! Mati listrik!” Dan Zaki pun terkekeh geli.

Sial. Mana aku belum nge-save flight yang tadi, pula.

Bang Dicky tiba-tiba melongokkan kepalanya dari pintu. “Mati lamp—Zaki, ngapain telanjang begitu?”
“Lagi mau pake baju kok, Sob! Mati lampu, ya?”
“He-eh. Dicky juga tadi lagi nyetrika tiba-tiba mati lampunya. Ada yang lihat Kispray, nggak?”

Astaga. Lain kali aku harus benar-benar membaca petunjuk setiap botol.

Setelah Bang Dicky mendapatkan pelicin pakaiannya, dan setelah Zaki mengenakan boxernya (at least dia nggak telanjang bulat sekarang), aku duduk-duduk di depan meja rias. Sedikit banyak aku membayangkan lagi hantu Tante yang keluar dari cermin meja rias ini.

“Gila bos, jalan sama Esel... mimpi buruk!” ujar Zaki membuka obrolan. “Sepanjang jalan dia ngegelendot, terus... mana dia tadi minta ditemenin belanja ke mal lagi. Apa kata orang ngelihat saya jalan ama banci yang nempel manja-manjaan terus? Hiiii...” Zaki menepuk-nepuk tubuhnya, seolah ingin mengusir kutukan apapun yang menempel di badannya.

“Sama. Di sekolah juga si Esel ngebuntutin terus. Bikin stres!”
“Dia kan pernah nembak bos, ke saya, ke si Dicky...”
“Nembak?” ulangku.

Aku nggak bisa membayangkan Esel membawa-bawa senapan lalu menembaki Bang Dicky dan Zaki.

“Maksudnya nyatain cinta, bos,” kata Zaki kemudian, menyadari mungkin aku nggak tahu ‘nembak’ tuh maksudnya apa. “Gila, ya. Masa laki suka sama laki. Kok bisa ya Bos?”

Astaga. Dia nggak tahu apa, dia sekarang lagi ngobrol ama laki yang suka sama laki? Kalau diberikan pertanyaan macam begitu, ya aku nggak bisa jawab. Karena semua perasaan suka sesama jenis ini sudah dari sananya. Sudah dari kecil aku mengagumi cowok-cowok.

“Sebab Tuhan nyiptain dunia ini penuh warna. Nggak cuma item atau putih. Jadi nggak cuma cowok ama cewek, tapi juga cowok yang suka cowok dan cewek yang suka cewek,” kataku, teringat simbol gay yang warna-warni seperti pelangi.

“Rasanya gimana ya bos, suka ama cowok?” tanya Zaki kemudian.
Aku menelan ludah. “Tanya aja sama cowok yang suka sama cowok langsung,” jawabku.

Meskipun secara teknis, Zaki memang “sudah” bertanya pada cowok yang suka sama cowok.

Aku, yang sebetulnya agak sensitif membahas soal gay bersama cowok yang bukan gay, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Oh, iya. Aku pengen nagih permintaan aku yang semalem dong!”

“Permintaan yang mana?”
Aku menoleh ke arah pintu, lalu berbisik. “Yang tentang Bang Dicky. Please...”
“Tentang tatonya itu?”
Well, bukan cuma tato aja sih. Tapi semua-muanya.”

Zaki memutar otak. “Kayak gimana? Kayak ukuran kanjutnya juga?”
“Ya nggak dong, tapi yang lebih happening daripada itu.” Kurasakan mukaku memerah.

Tapi mungkin aku bisa tanyakan soal little-jack Bang Dicky suatu hari.
PART:18
“Misalnya soal mantan pacarnya yang kemaren itu. Ceritain dong masa-masa pacaran mereka.”
Zaki menengok ke arah pintu, memastikan Bang Dicky nggak akan menempelkan kuping di pintu dan mendengarkan seluruh obrolan kami. “Nggak, ah! Itu mah sensitif!”
“Lho? Kan udah janji!”

Sialan. Masa janji telanjang aja nggak perlu diingetin tahu-tahu bugil tapi janji nyeritain orang lain malah di-cancel segala?!

Zaki menggaruk kepalanya agak lama. Ragu, melirik ke arahku, lalu ke arah pintu. “Duh, gimana ya...? Pass aja, deh. Pertanyaan berikutnya, bos!”
“Abang pikir ini kuis!” Aku melotot geram. “Aku pengen tahu soal pacarnya Bang Dicky!”

Zaki menimang-nimang sebentar. Dia kelihatan takut untuk menceritakannya, tapi dia juga kelihatan nggak mau mengingkari janjinya. “Tapi saya udah janji sama si Dicky buat nggak cerita ke siapa-siapa, bos! Entar saya kena kutukan, lagi...”
“Kutukan apa?”
“Kutukan dari si Dicky, lah. Kalo saya bilang-bilang soal si Lita, entar saya dikutuk dikejer-kejer sama si Esel kemanapun saya pergi.”

Well, technically, mereka emang “sudah” dikejar-kejar Esel, kan?

“Jadi sebenernya abang udah tahu soal pacarnya Bang Dicky itu?” tanyaku, teringat kejadian waktu di Iga Bakar saat Zaki dengan ahlinya pura-pura nggak tahu.
Zaki mengangguk. “Sebagian besar sih tahu, bos. Tapi beberapa hal mah masih belum tahu. Apalagi soal kenapa si Dicky suka kesurupan kalo ngelihat si Lita.”

“Nggak apa-apa, ceritain aja.” Lama-lama aku bakal jadi gossip-hunter, kayaknya.

Zaki melirik ke arahku, lalu menunduk, menimang-nimang lagi. Tiba-tiba Zaki bergumam seperti ini, “Andaaaiii aja saya bisa punya majalah playboy dari Amerika...” Dan dia melirik sekali ke arahku.

Astaga. Jadi dia pengen cerita tentang Bang Dicky itu ditukar dengan majalah Playboy, hah?

“Iya-iya. Entar aku beliin majalah Playboy asli Amerika. Pake bahasa Inggris!” Aku memutar bola mata.

Selama setengah jam kemudian, aku diceritakan banyak hal oleh Zaki. Bang Dicky dan Lita bertemu dalam sebuah pesta di Embassy. (Aku pikir Embassy tuh kedutaan besar, ternyata tempat dugem.) Granny kebetulan berteman dengan host party, diundang untuk launching sebuah produk, dan mengajak Bang Dicky menemaninya ke pesta. Di sana lah mereka bertemu Lita. Sekitar dua tahun lalu.

Mereka pasangan yang serasi, yang satu ganteng yang satu cantik. Dan selama dua tahun pun mereka terlihat harmonis—Zaki bilang pasangan itu bikin iri. But of course, sering juga mereka berantem layaknya orang pacaran, dan Zaki sering ngintip pertengkaran mereka, pertengkaran yang nggak dimengerti Zaki karena Lita kalo marah-marah atau teriak-teriak selalu pake bahasa Inggris. Meski begitu, mereka tiba-tiba memutuskan untuk lanjut ke jenjang pernikahan dan segala sesuatunya sudah disiapkan untuk pernikahan.

Sayangnya, beberapa hari sebelum hari H, ketika semua undangan sudah disebar, katering sudah dihubungi, bahkan gedung sudah disewa, Lita memutuskan untuk meng-cancel pernikahannya dengan Bang Dicky. Zaki bilang sih, ada satu malam dimana Bang Dicky dan Lita pacaran di workshop (dan Zaki nggak sengaja—meski aku nggak percaya dia nggak sengaja—mengintip mereka berduaan di dalam), pasangan tersebut sedang saling membuka diri tentang masa lalu mereka. Saat Lita tahu bagaimana masa lalu Bang Dicky, ditinggalkannya lah cowok itu. Tapi entah kenapa Bang Dicky jadi alergi amat sangat kalau ketemu Lita.

“Emang masa lalunya seperti apa?” tanyaku.
“Ooh, itu sih rahasia.” Zaki mendongak ke arah jendela dan menunggu aku merespon.

Astaga. Sekarang dia benar-benar menyebalkan. Begini deh kalo ngegosip ama cowok, nggak asyik. Masa aku harus barter satu barangku lagi demi mendapatkan satu cerita extension?!

“Aku beliin majalah Playboy dari Eropa, deh. Sekarang cerita!”
“Ah, apa majalah Playboy lagi.” Zaki berjalan ke arah tumpukan O-magazine yang pagi tadi sudah kutukar dengan mengasuh Esel. “Majalah orang Amerika udah, majalah Playboy entar, masa sekarang mau majalah lagi?”

“Jadi maunya apa?”
“Saya maunya game yang tadi, bos!” Dia menunjuk komputerku. “Main jadi pilot.”
“Maksudnya gimana? Itu kan program!”
“Maksudnya, saya pengen main itu juga bos. Dan bos mesti ngajarin!”

Aku memutar bola mata.

“Terserah abang aja deh. Nah, sekarang cerita!”
Eit, tunggu dulu!” Zaki melipat tangannya di depan, seolah baru saja memenangkan sesuatu. “Bos juga mesti bantuin saya bikin surat cinta buat si Zaenab pake bahasa Inggris!”

Aku menepuk dahiku dan menggelengkan kepala.

“Iya-iya-iya...” Sumpah deh, si Zaki orang yang nggak cocok buat dititipin rahasia. Masa rahasia orang lain bisa dengan mudahnya ditukar dengan bantuan bikin surat cinta?

“Oke. Tapi inget, ya... jangan bilang-bilang orang lain, dan jangan bilang-bilang si Dicky kalau saya yang ngasih tahu bos. Kalo si Dicky nanya, bos bilang aja, ngng... si Kunti yang ngasih tahu bos!” Zaki menepuk tangannya dengan gembira. “Ya misalnya dia ngasih penampakan-penampakan atau apa gitu...”

Eh-ma-God... Aku nggak bisa membayangkan bercakap-cakap dengan si Kunti membahas masa lalu Bang Dicky.

“Iyaaaa...” lolongku. “Jadi apa masa lalu Bang Dicky tuh?”
Zaki menarik napas. “Si Dicky kan ngebunuh ayahnya sendiri, bos.”

-XxX-

“Aaaaahhhhh...” Sebuah jeritan panjang menginterupsi obrolanku dengan Zaki. Belum juga aku membayangkan yang bukan-bukan tentang Bang Dicky membunuh ayahnya sendiri, tiba-tiba kudengar teras depan rumah ramai oleh suara-suara wanita yang melengking.

“Cobain Jeng Shinta! Pedeeessssshhhh!”
Itu suara Granny.

“Granny, ya?” tanyaku.
Zaki mengernyit lalu mengangguk. “Kayaknya sih...”
“Ya udah, biarin. Kita lanjut!”

“Agaaaassss?” panggil Granny.
Sial. Malah dipanggil, lagi.

Aku sengaja nggak bersuara dan langsung menutup mulut Zaki dengan telunjukku. Aku pura-pura nggak ada di rumah aja, deh. I mean, paling Granny mau mengajakku gabung dengan kawan-kawannya. Kali ini aku nggak bisa ikut, ada kegiatan yang lebih penting.

“Di sini, yaa?” Granny tiba-tiba saja menghambur ke kamarku. “Kamu belum pulang Zaki? Eh, yuk, gabung sama yang lain!”

Granny nggak kelihatan kayak baru pulang jogging. Dia mengenakan celana jins yang bagian pinggulnya besar, lalu atasan tipis motif bunga-bunga, dan rambut yang dikuncir kuda mirip anak muda. Mulutnya bau jahe.

“Entar aja deh Granny... aku sama Zaki lagi—“
“Eeeh, ayo kita gabung dulu. Ngobrol-ngobrolnya terusin di sana aja. Nenek bawa Maicih lho! Agas pasti suka...”
“Mak Icih?”
Astaga. Another friend of Granny?
“Nenek bawa Maicih?” tanya Zaki dengan mata berbinar. Belum juga Granny menjawab, Zaki sudah melompat dari tempat duduknya dan berlari keluar ruangan. Se-ngefans itukah Zaki dengan Mak Icih? Dia tuh artis, ya? Kok aku belum pernah dengar Granny punya teman selebritis?

“Tuh, Zaki aja udah ke sana! Yuk yuk!” Granny menarik tanganku dan membawaku ke ruang tengah. Di sana ada sekitar empat wanita paruh baya dengan kostum modis motif kembang-kembang sedang duduk manis di atas sofa. Semuanya pernah kulihat, satupun nggak ada wajah baru yang mestinya bernama Mak Icih.

Anjrit! Level yang paling gede, Nek?” seru Zaki takjub sambil mengacungkan sebungkus keripik pedas. “Cobain nih Gas... Maicih namanya!”

Jadi ini Mak Icih tuh?
Aku pikir orang. Aku pikir Mak Icih.

“Maicih tuh merk keripik setan ini! Gila, pedes banget!” kata Zaki seolah menjawab pertanyaan batinku barusan. Zaki dengan asyik menjilat-jilati telunjuk dan jempolnya yang kini penuh dengan bubuk cabe. “Mau nggak?”

“Cobain, Gas!” seru Jeng Nunuk dari atas sofa. “Anak-anak muda kota Bandung makanannya Maicih, lho... Kita-kita juga begitu. Namanya Icihers.”

Granny sudah duduk di atas sofa sambil memasukkan lagi sekumpulan keripik pedas ke dalam mulutnya. “Yang ini level 10! The best! Jarang dikeluarin lho, limited edition... kebetulan Jeng Novi temenan sama presidennya, jadi kita-kita The Jandaz dapet yang level 10!”
“Ini lho Gas, yang namanya Jeng Novi,” ujar Jeng Novi mengacungkan tangan, khawatir aku lupa dia tuh nenek-nenek yang sebelah mana. "Sebentar lagi saya mau jadi Jenderalnya malah... saya juga kenal Mak Elang yang jadi insipirasi si Presiden."

“Kamu makannya sama ini, Gas...” Jeng Nunuk berdiri dan menyodoriku segelas air berwarna merah. “Ini namanya bir pletok! Pasti asoy, deh...”

Asoy tuh apa?” bisikku ke Granny, tapi Granny nggak mendengarku.

Aku, yang rencana semula ingin mendengarkan cerita Zaki tentang Bang Dicky, akhirnya menyerah dan bergabung bersama The Jandaz selama kurang lebih... pokoknya sampe jam 5 sore, lah. Berkali-kali aku mengedikkan kepala ke arah Zaki, memberi kode padanya untuk menyingkir dan melanjutkan sesi ngobrol kami, tapi cowok itu malah menawariku Maicih lagi. “Agas mau ini lagi, yaaa? Kakak, Agas minta lagi katanya!”

Sialan.

Jujur saja, dari gigitan pertama keripik tersebut, aku jamin dia nggak akan pernah jadi sahabat baikku. Cukup satu keripik aja deh seumur hidup. Bubuk-bubuk cabenya membakar lidahku, dan ketika aku siram dengan bir pletok, tubuhku malah makin terbakar. Aku kira bir pletok tuh semacam bir... maksudku, bir yang kalau dibahasainggriskan menjadi: beer, sehingga at least aku bisa mabuk dan melupakan rasa pedas dari Maicih. Nyatanya bir pletok adalah ramuan yang terbuat dari jahe dan dapat menghangatkan tubuh.

Dalam obrolan nenek-nenek tersebut, aku jadi tahu bahwa Granny bukan sekedar jogging biasa. I knew it. Selama dua minggu terakhir aku nggak pernah lihat Granny punya niatan untuk olahraga pagi. Ternyata memang itu hanya alasan saja. Tujuan sebenarnya adalah weekend shopping dan “jali-jali” keliling Bandung. Dari cerita yang kudengar, kelihatannya mereka sudah mengelilingi setengah dari kota ini hingga ke pelosok-pelosoknya.

Saat ini, setelah tiga gelas bir pletok dan entah berapa suap keripik pedas—yang makin dimakan justru makin ingin tambah, bukannya berhenti (dan Jeng Nunuk keukeuh bahwa aku kena sindrom tericih-icih)—kami sedang membicarakan video Youtube Granny dan Jeng Nunuk.

“Gambarnya jelas, kan?” kata Jeng Nunuk. “Saya tuh takutnya agak burem atau gimanaa gitu. Kan bahaya.”
“Jelas sih, Jeng,” timpal Jeng Novi. “Tapi make-up-nya kurang cerah. Mungkin matanya lebih dipoles lagi, gitu?”
“Mungkin lightning-nya kurang,” sahut Granny dengan lagak sok pintar.

Please, Granny. Lightning tuh artinya petir.

Aku menunggu-nunggu sampai salah satu dari nenek-nenek ini membahas si Kunti yang lewat dalam video itu. Tapi mereka sama sekali nggak menjurus ke sana. Bahkan mungkin nggak akan pernah.

“Tapi kalo rambut saya diuraiin bakalan mirip si Jojo, kan?” kata Jeng Nunuk.
“Kurang panjang sedikit, Jeng Nunuk,” balas Jeng Shinta. “Mungkin sampai sini lah.”
“Saya nyaris lupa liriknya lho semalem. Ih, gila. Deg-degan banget,” tambah Granny dengan lagak bahwa syuting semalam adalah penting, sama pentingnya dengan presiden menandatangani kerjasama internasional antar negara.

Astaga. Masa sih nggak ada yang ngebahas soal si Kunti?

Hits-nya bagus lho, Jeng...” kata Jeng Novi. “Saya tadi ngecek di android saya, katanya udah ribuan. Keren, kan? Mungkin kita bisa ngalahin Sinta dan Jojo!”
“Dari awal sebetulnya kita udah ngalahin mereka,” sahut Jeng Nunuk. “Cuma mereka lebih beruntung aja. Jeng-jeng tahu kan kalo giginya si Jojo tuh nggak rata? Masih lebih rata gigi kita, kan... meskipun pada palsu semua.”

Dan mereka pun tertawa.

Ya Tuhan, Jeng Novi. Memangnya Jeng nggak baca komentarnya, hah?

Bang Dicky muncul ke ruang tengah dan memanggil Zaki. Tapi proses itu begitu cepat sehingga banyak dari kami yang nggak menyadarinya. Bang Dicky bahkan berjalan minggir, sengaja agar para nenek-nenek itu nggak melihat ke arah perban yang menempel di pelipisnya.

Aku yang sedang penasaran dengan pendapat para bintang utama tentang adanya penampakan si Kunti di menit 2:22 akhirnya memberanikan diri untuk menginterupsi.

“Aku juga udah lihat videonya lho tadi!” sahutku. “Orang-orang pada heboh di menit ke dua lebih dua puluh dua.”
“Oya? Agas udah lihat?” Mata Jeng Nunuk berbinar. “Kata Agas pencahayaannya bagus, nggak?”
“Padahal si Sinjo juga dalem ruangan, kok. Kayaknya sih sama aja, Jeng,” sahut Jeng Novi.
“Tapi kok kayaknya mereka tuh lebih bersinar gimanaaaa gitu. Sampe-sampe ST12 bikinin lagu buat mereka!” tukas Jeng Nunuk.

“Pencahayaannya bagus kok!” Aku mencoba mengembalikan pembicaraan ke jalur semula. “Cuma di menit dua lebih dua puluh dua tuh, ada bagian yang bikin heboh.”
“Pasti soal bantal yang di perut saya!” tebak Granny dengan yakin. “Saya tahu banget bagian itu bakal jadi hits.”
“Itu kan saran saya, Jeng Allya... kata saya juga apa.” Jeng Nunuk mendelik bangga.

Iiihh... coba lihat lagi deh menit dua lebih dua puluh dua. Atau at least lihat komentarnya, deh!” seruku, agak frustasi.
“Dua dua dua, ya?” kata Jeng Novi. “Mirip plat nomor motor matic saya.”
“Ngomong-ngomong soal matic,” sela Granny, “besok kita bisa ambil matic kita dari bengkel! Udah selesai dicat!”
“Masa sih, Jeeenngg?” sahut Jeng Nunuk gembira. “Berarti besok kita bisa meratui jalanan lagi dooong?”

Aku menyerah.

-XxX-

0 komentar:

Posting Komentar