Kadang Cupid Tuh Tolol -chapter 1-

Dirgantara putra 15.41 |

Kadang Cupid Tuh Tolol!


-chapter 1-
       
                       
Part 1


Tanda mengenakan sabuk pengalaman sudah menyala. Seorang flight attendant muncul dari Baggage Holds yang memisahkan Pax Cabin dan Cockpit. Sambil berjalan kembali menuju kursinya di belakang, dia juga memastikan semua penumpang telah mengenakan sabuk pengamannya.

What a short flight! Aku bahkan belum menyantap in-flight meal-ku.

Seumur-umur, baru sekarang aku naik scheduled flight yang penerbangannya kurang dari 20 menit. Dan baru di flight ini pula snack yang dibagikan hanya sekedar roti mungil dan segelas air putih. Oke, anggap saja aku sedang naik LCC, jadi aku nggak perlu komplain soal in-flight meal-nya.

Selama pesawat descending, aku menatap keluar jendela dan mengamati kota Bandung yang penuh dengan atap berwarna merah-oranye. Sudah bertahun-tahun aku nggak ke sini. Berapa tahun, ya? Sepuluh, mungkin? Aku sudah lupa dengan actual condition-nya. Dalam pikiranku hanya ada flashback sedetik dua detik tentang tempat tinggalku dulu, tapi aku nggak bisa merangkumnya menjadi satu ingatan yang utuh.

Aku ingat tentang pohon jambu yang penuh ulat. Aku ingat lapangan besar terdapat banyak ilalang tinggi. Dan oh, sungai kotor itu, aku masih ingat pernah main di sini. I just... don’t have any idea about other things around. Atau at least, aku masih inget sungai kotor itu ada di sebelah mananya rumahku, deh—but I’m not. I’m totally clueless.

Aku meninggalkan kota Bandung, in fact: the country, untuk kemudian tinggal di New Jersey. Aku betah amat sangat tinggal di sana. Tapi bukan berarti aku melupakan bahasa Indonesia lho. Mom and Dad bicara “Bahasa” di rumah, bahkan saat dinner. Dan kalau aku sudah sebal sama cowok bully di sekolahku, aku sering ngata-ngatain mereka dalam bahasa Indonesia yang purely mereka nggak ngerti. Aku bahkan dapat vocab baru dari temenku Adam (orang Yogyakarta) tentang kata “alay”. Dan begitu aku menyeru, “ALAY!” pada James, cowok yang kubenci di sekolah, mereka takut, karena mereka pikir, aku sedang memantra-mantrai mereka dengan jampi-jampi Asia Tenggara yang sakti.

Untung saja James nggak pernah googling kata tersebut.

Bandung kali ini bakal menjadi tempat tinggalku lagi. Mom and Dad meninggal di California dalam sebuah perjalanan bisnis. Ya, aku yatim piatu sekarang. Dan itu sudah terjadi sejak tiga bulan yang lalu. Tapi berhubung aku nggak punya “realrelatives di Amerika, aku diminta untuk pulang ke Indonesia dan tinggal bersama nenekku di Bandung. Aku sempat bolak-balik Kedubes RI supaya tetap diizinkan tinggal di sana, tapi ternyata permohonanku ditolak. Aku harus pulang ke Indonesia supaya aku mendapat custody yang terjamin. I mean, orangtuaku boleh saja wafat, tapi nenekku masih ada, bukan? Nah, si orang Kedubes ini yang keukeuh agar aku pulang ke Bandung tinggal bersama nenekku, daripada luntang-lantung sendirian dan mencoba bertahan hidup di Amerika.

Well, sudahlah. Mungkin memang harusnya begitu.

This might be the hardest week I have ever been through. Harus ninggalin Amerika, ninggalin semua temenku di sana, menjual semua property (karena nggak semuanya bisa dibawa ke Indonesia), dan bahkan buatku ini lebih parah daripada kehilangan orangtuaku. Aku menangis nyaris setiap hari. Membuat Lilly, tetanggaku, bolak-balik ke rumahku untuk menenangkanku. Dan detik-detik saat aku harus melewati gate departure di JFK, saat Lilly membisikkan, “You’ll be alright, Dear. Everything is gonna be alright,” adalah saat-saat terberat. Aku memeluk tetanggaku yang baik hati itu dan mencium aroma lavender-nya yang khas untuk terakhir kalinya.

Sejak penerbangan Amerika-Indonesia yang kulalui 30 jam yang lalu, aku merasa hampa dan kosong. Aku bahkan nggak menyantap in-flight meal-ku. Baru saat tiba di Cengkareng subuh tadi, bertemu dengan Adam, satu-satunya sahabat dari Indonesia yang kukenal di dunia maya (dari situs manjam, to be exact) aku merasakan secercah semangat. Dia membawaku keliling Jakarta, mengajakku makan di Sushi Tei, dan mengantarku ke next flight-ku yang berangkat dari Halim Perdanakusuma.

Dalam hatiku, “Hey, what is that mourning-flight for? You’re gonna start a new life here!” Mestinya justru aku riang gembira. Aku bisa menjadi aku yang baru. I mean, semua orang di sini nggak tahu siapa aku. Dan aku bisa menjadi siapapun yang aku mau di sini. Aku bisa ngaku-ngaku namaku Lucas, aku bisa ngibulin orang dengan bilang, “Aku pernah ketemu Britney Spears, lho... dia temen baikku! Kami suka smsan kalo lagi galau...” atau hal-hal lain yang bikin orang-orang kagum padaku. (Meski itu bakal signifikan banget kalo dibandingin sama kehidupanku di New Jersey sana.)

Adam orang yang ramah, both in email or in person. Dia mengajariku tips-tips menawar belanjaan di pasar tradisional dan memberitahu program teve menarik yang wajib aku tonton. Salah satunya adalah Big Brother, yang menurut Adam, “So Cool Program!”. Padahal di Amrik sono, Big Brother udah masuk season ke-13. Dan aku udah nggak nonton program itu sejak season ke-7.

Well, yang penting sih aku bisa menjadi seseorang yang baru. Rasanya thrilling banget. Sama kayak membeli sepatu baru. Wangi toko dan segala stiffness di sol sepatunya begitu kental. Dan rasanya bahagia dunia akhirat kalau punya apapun yang “baru”. Begitu juga hidupku.

My name is Vargas, and I’ll be someone new: fresher than ever. Semua duka yang kuhadapi sejak tiga bulan lalu hanyalah sepenggal cerita dari kisah hidupku.

-XxX-

—Granny, aq udh nympe. Siapa yg jemput? Baggage byk bgt nih. Td aja kena charge 200rb krn bwa equal-2-cargo-stuffs. Ini nmor Indonesia aq. Bru beli td d jkt—

Aku berjalan di sepanjang koridor kabin sambil menggendong ranselku menggunakan satu bahu. Tanganku yang lain menggenggam paperbox-packaging yang berisi in-flight meal yang belum kusentuh. Aku baru sadar bahwa AC pesawat ini begitu dingin karena ketika aku berdiri, aku agak menggigil.

“Terima kasih telah naik Merpati,” ujar salah satu Flight Attendants berseragam hitam-hitam di pintu keluar pesawat.

Aku tersenyum dan langsung menyusuri tangga metal kecil menuruni pesawat. Sepanjang berjalan di apron, Granny menelepon.

“Agas udah nyampe?” sapanya pertama kali.
Yes, Granny. Sekarang lagi mau masuk arrival hall. Masih di apron, sih. Ada yang jemput nggak?”
“Ada kok Sayang, tadi nenek udah ngirim—tunggu bentar, ada Sm*sh di teve!” Tiba-tiba saja suara Granny menghilang dari telepon.

Aku mengernyit dan menatap ponselku. Beberapa kali kupanggil, “Halo? Halo? Granny?” tetap tidak ada jawaban. Aku tetap berjalan dengan ponsel yang menempel di telinga hingga aku tiba di arrival hall. Dari ujung telepon aku bisa mendengar sayup-sayup suara musik. Dan bahkan aku bisa mendengar Granny menjerit-jerit. Baru setelah aku tiba di baggage claim, suara Granny muncul lagi.

“Haduh-haduh,” kata Granny, agak ngos-ngosan. “Akhirnya nonton juga iklan itu. Halo Sayang, gimana? Tadi nenek udah nyuruh si Dicky buat jemput kamu pake mobil nenek. Udah dari tadi, kok. Pasti udah nungguin.”
“Barusan nenek kemana dulu? Smash apa, nek?”
“Itu, Sayang, boyband nomor satu Endonesya. Sm*sh! Favorit nenek! Tadi iklannya muncul di teve dan nenek baru lihat. Padahal Jeng Nunuk udah lihat, masa nenek belom, sih? Hihihi... Kamu pasti suka sama Sm*sh.”

Aku mengernyit lagi dan menatap ponselku.

“Nanti nenek tunjukkin posternya di rumah,” tambahnya. “Sekarang kamu dimana, Gas?”
“Lagi di baggage claim. Nunggu bagasi. Agak banyak nih nek. Ada empat suitcase. Belum lagi satu box isinya PC aku. Nenek udah beli monitor plasma kan buat PC aku?”
“Udah, Sayang. Tenang aja. Nenek beli yang 32 inch.”

Kontan saja aku membayangkan monitor komputerku 32 inch. Astaga... nggak kebayang deh kalo aku maen Flight Simulator pake monitor 32 inch! Biasanya juga 15 inch!
“Terus yang jemputnya gimana, Granny? Ciri-cirinya apa?” tanyaku.

Nah, koper pertamaku sudah muncul. Aku buru-buru mengambil trolli dan meletakkan koper biru itu di atasnya.

“Cowok, Sayang. Nenek lupa tuh ciri-cirinya apa.” Granny diam sebentar. “Oh, dia punya tato di punggungnya!”

???
Ehmagod, Granny. Are you wishing someone would hang out in an airport shirtless and showing his tattoo on the back?

“Nggak ada ciri-ciri lain emangnya, Granny? Baju, kek? Jaket?” kataku, agak-agak kesal.
“Oh! Dia baru beli jaket baru minggu kemaren! Tulisannya Adidas! Bekas sih, tapi kan Adidas!” kata Granny bersemangat. “Nenek yang pilihin jaketnya waktu di Cimol.”

“Dan dia pake jaket itu sekarang?” tanyaku lagi, making sure.
“Nggak tahu juga tuh, Sayang. Nenek cuma tahu dia punya jaket baru sekarang.”

AS-TA-GA!!

“Tapi nenek suruh dia bawa poster yang ada tulisan kamunya, Sayang. Nenek tulis AGAS. Jadi begitu kamu keluar dari bandara, kamu bisa ketemu sama Dicky. Okay, darling?
“Iya deh, Granny...”

Koper kedua dan ketigaku muncul tak lama kemudian, dilanjutkan dengan box PC-ku dan koper terakhir. Aku berhasil menyusunnya dengan rapi lalu berjalan keluar dari baggage claim. Sempat bingung juga sih bagian imigrasi ada dimana. Tapi aku baru sadar, penerbangan barusan kan penerbangan domestik. Nggak bakal ada cek paspor dan lain-lain yang bikin repot.

Ketika aku keluar dari arrival hall bandara Hussein Sastranegara Bandung, banyak orang berdesakan keluar dari International Arrival. Di antara para penjemput international arrival tersebut, aku menemukan beberapa orang (sebagian besar petugas taksi berseragam biru) yang mengacungkan tinggi-tinggi selembar karton bertuliskan nama orang.

Keluarga Hasyim.
JHB Tour.
Bapak Budiman.
Bapak Fransoa.
Paradise Tour.


Mana nih? Nggak ada yang tulisannya AGAS.
Aku melewati kerumunan orang-orang itu dan tetap mengamati satu persatu karton yang diacungkan. Mungkin si Dicky ini cebol, sehingga kartonnya nggak terbaca. Atau mungkin dia belum tiba di sini. Bisa jadi, kan? Tapi sampai aku tiba di lorong yang penuh counter maskapai-maskapai, aku nggak ketemu juga orang yang bawa-bawa nama AGAS.

Aku duduk di salah satu kursi kosong di dekat toko roti. Mataku masih melirik ke sana kemari, berharap orang yang membawa nama AGAS bisa segera muncul dan membantuku membawakan semua bagasi ini. Setelah dua menit menunggu, dan si Dicky ini belum muncul juga, aku malah asyik mengamati orang-orang yang lalu lalang di hadapanku. Ada kumpulan orang India. Ada keluarga Malaysia yang bersikukuh untuk nggak menaiki taksi bandara. Ada juga beberapa flight attendants yang mondar-mandir tebar pesona.

Kadang aku mengamati beberapa petugas keamanan yang ada di situ. Ada beberapa security ganteng, dan rasanya menyegarkan sekali cuci mata ngelihat Southeast-Asian guys. Selama bertahun-tahun, aku hanya ketemu Caucasian atau Negro di Amerika. Setiap melihat Asian, rasanya mendebarkan.

Salah satu dari cowok yang kuamati adalah si manis berkaus ungu yang berdiri di depan International Arrival. Mungkin, dia sedang menunggu salah satu penumpang dari Malaysia. Di tangannya ada karton juga, berisi nomor. Awalnya aku nggak peduli dengan nomor yang dia acungkan. Tapi lama kelamaan jadi penasaran juga. I mean, nomor apa coba yang dia tunjukkan ini?

4645

Bisa jadi nomor penerbangan sih, batinku. Atau mungkin nama tour & travel-nya memang begitu. Bahkan mungkin bisa jadi itu adalah kode rahasia beberapa turis yang namanya nggak mau dipublikasikan di khalayak ramai. Bisa jadi itu Kate Perry mau liburan ke Bandung. Atau Lady Gaga. Nggak mungkin kan si penjemput menulis “Lady Gaga” di depan arrival hall, bisa-bisa semua perhatian tertuju padanya. Jadi bisa saja Lady Gaga request angka 4645 ketika tiba di sini dan tak perlu takut orang-orang mengenalinya di bandara. Mungkin 4645 itu artinya—eh, tunggu.

Aku melompat dari kursiku, meninggalkan trolli bagasiku di tempatnya dan bergegas menghampiri cowok manis berbadan lebih besar dariku itu. Makin dekat makin kelihatan menarik... dan aku makin deg-degan. Tapi ada satu hal yang benar-benar bikin penasaran.

“Misi, mister,” sapaku, membuatnya agak kaget karena dia sedang asyik menatap satu persatu semua penumpang yang baru turun dari Malaysia Airlines. “Ini maksudnya apa, ya?”

Cowok itu meneliti mukaku dan kemudian berseri-seri setelahnya. Aku agak takut. Astaga, bisa jadi dia lagi nggak nyari penumpang. Bisa jadi dia penipu yang menawarkan bisnis palsu dan menarik perhatian orang-orang dengan rentetan nomor macam begini. Mungkin saja aku akan dibawanya kemana, gitu... dihipnotis... Bisa jadi dugaanku 5 detik barusan bahwa nomor itu sebenarnya—

“Agas, ya?” sapa cowok itu tiba-tiba.

Apa?

“Ini buat Agas. Lihat tuh tulisannya: AGAS,” katanya.

Nah, kan. Dugaanku benar! Aku melompat dari tempat dudukku barusan karena aku pikir 4645 itu stands for AGAS. Adam sering mengajariku cara menulis 4L4Y, dan aku sempat kepikiran bahwa mungkin itu tulisan 4L4Y, yang ternyata: it is!

-XxX-

Sepanjang perjalanan aku nggak habis pikir kenapa aku punya nenek yang menulis tulisan alay untuk cucunya yang baru datang dari Amerika. (Dan fakta bahwa Granny menyukai boyband adalah salah satu hal yang janggal.)

Aku sekarang duduk di sebuah minibus warna silver yang melaju melewati jalanan kota Bandung yang ramai. Bang Dicky, si manis berkaus ungu, duduk di sampingku mengemudikan mobil. Sementara, semua bagasiku ada di jok belakang, nyaris menutupi langit-langit, membuat spion di dalam mobil serasa useless.

“Dicky kirain, Agas muncul dari pintu internasional. Makanya Dicky nunggu di situ,” ujar Bang Dicky ragu. (Orang ini langsung mengajariku kata “Bang” instead of “Mister” ketika kami bersama-sama memasukkan bagasiku ke dalam mobil tadi. Yang bikin awkward hanyalah saat dia menyebut namanya sendiri untuk kata ganti dirinya.)

Dilihat dari wajahnya, jelas dia lebih tua dariku. Probably the late of twenties. Tapi dia kelihatan muda sekali. Kulit wajahnya mulus, seolah seumur-umur dia nggak pernah kenal jerawat dan mungkin nggak pernah berjemur di pinggir pantai. Rambutnya pendek dan aku suka matanya yang sayu, menyipit ke bawah di ujungnya.

“Aku kan dari Amerika berhentinya di Jakarta, Bang Dicky. Nah, dari Jakarta langsung lanjut ke Bandung, naik pesawat domestik. Jadi nggak langsung dari Amerika turun di Bandung.”
“Oooh...” ujarnya sambil manggut-manggut (dan entah mengapa kelihatannya cute).

“Gimana selama perjalanan?” tanya Bang Dicky kemudian.

Yaah, mulai basa-basi nih. Tadi juga begitu waktu Adam menjemputku di Cengkareng, dia langsung menanyakan “gimana perjalanannya”. Seolah-olah mereka tertarik mendengarnya. Padahal aku yakin mereka hanya ingin mengisi obrolan.

It was nice. Banyak turbulensi tapi aku juga banyak tidur. Jadinya nggak kerasa banget, lah.”

PART 2
Lama-lama, setelah aku perhatikan, Bang Dicky ini kelihatan lugu ya? Mukanya seperti kekanak-kanakan. Kalau dia menoleh dan bertanya sesuatu, ekspresinya lucu dan polos. Seperti anak kecil yang sedang penasaran pada sesuatu. Aku bukannya gemas atau apa... hanya saja... ehmagod, lihat itu lengan-lengannya yang besar!

“Agas udah makan belum?” tanya Bang Dicky.
“Eh...” Perhatianku teralihkan dari lengan-lengan berisi itu ke wajahnya yang lugu. “Udah,” jawabku. “Waktu di Jakarta makan dulu ama temen.”

Ya Tuhan, aku bukan lagi naksir dia, kan?
Lalu kenapa sekarang aku mengamati rahangnya yang melengkung?

“Yaaah, padahal Dicky udah nyiapin makanan di rumah Nenek,” ujarnya. “Ada lotek lho! Kata Nenek, Agas suka lotek, ya?”
“Ya. Suka. Sebab di Amerika jarang makan lotek. Nyari kencur-nya susah. Jadi aja lotek tuh ditunggu-tunggu.”

Tiba-tiba saja menoleh ke arahnya adalah guilty pleasure. Kenapa, ya? I mean, hanya menoleh kok. Tapi setiap aku menoleh ke kanan, pura-pura melihat ke luar padahal sebisa mungkin menatap bahu lebarnya, atau lengan-lengannya yang kokoh itu, (dan terkadang bibirnya yang agak mungil itu—dengan warna kulit pucat yang menggemaskan), aku selalu takut Bang Dicky memergokiku lalu berseru, “Kenapa lihat-lihat? Naksir, yaa?”

But then, impossible juga kalo sampe begitu. Aku expert kok dalam hal “pretending to look back, just to see something”. (Aku juga yakin kalian ahli dalam hal ini. Semua orang ahli, kok.)

“Bentar lagi nyampe, Gas. Rumahnya Nenek di ujung belokan itu.”

Well, masa iya sih aku naksir? Sekedar ngeceng-ngeceng di bandara tadi emang iya, karena dia stranger bagiku. Tapi begitu tahu dialah yang menjadi keluarga terdekatku kali ini, seseorang yang Granny pernah bilang seminggu lalu bahwa “di Bandung Agas bakal punya kakak lho... namanya Dicky... dia tetangga Nenek”, rasanya jadi janggal aja. Rasanya jadi... inappropriate untuk diam-diam naksir.

Waktu Granny bilang begitu, aku langsung melupakannya. I mean, saat itu aku benar-benar dirundung sedih karena mesti balik ke Indonesia. Diberi hadiah Jaguar pun mungkin aku bakal melupakannya langsung. Apalagi hanya dihadiahi seorang “kakak” bohong-bohongan. Namanya saja baru aku ingat lagi saat Granny meneleponku di bandara barusan. Dan bahkan aku nyaris lupa kalau Granny pernah bicara soal Dicky seminggu yang lalu.

Padahal dia cute. Wajahnya pribumi asli dengan kulit agak terang dan rambut pendek yang manis. Salah satu yang aku suka adalah matanya, sayu dan mengundang. Dia bisa memainkan alis tebalnya untuk menunjukkan ekspresi polos dan menggemaskan. Bahkan mungkin, alisnya adalah satu-satunya daya tarik dari ekspresi muka Bang Dicky. Alis itu sering mengangkat ke atas saat mengatakan “Ya”, mengangkat salah satu saat keheranan, saling bertaut saat penasaran atau saat dia asyik melakukan sesuatu (seperti waktu dia memasukkan koper-koperku yang besar itu, dan mengatur dimana box PC-ku harus disimpan, darahku agak berdesir melihat ekspresi menggemaskannya yang serius).

“Bang Dicky punya pacar?” Tiba-tiba saja aku mendengar diriku bertanya seperti itu. Maksudku, hanya nge-check, kok. Orang setampan ini pacarnya kayak gimana?

Bang Dicky tidak menoleh ke arahku untuk pertanyaan kali ini. Dia malah menengok ke kanan, memalingkan muka. Aku bisa melihat raut mukanya berubah drastis. Alisnya bertaut negatif dan rahangnya mengeras. Sorot matanya juga tidak semenggemaskan tadi.

“Nah, udah nyampe di rumah Nenek,” katanya kemudian, kembali berubah riang, seolah pertanyaanku barusan nggak pernah terlontarkan.

Hmmmh...
Kenapa dia nggak menjawab, ya?

-XxX-

“Agaaaasss...!” Granny ternyata sudah stand-by di teras rumahnya. Kelihatan sekali Granny sudah menungguku dari tadi. Beberapa wanita paruh baya pun sudah menunggu di kursi teras, beberapa di antaranya sedang memegang gelas kaca berkaki berisi sirup berwarna merah. (Memangnya ada pesta socialite ya di sini?) “Nah, jeng-jeng, ini lho cucu saya yang dari Amrik!” seru Granny bangga. “Dia bisa bahasa Inggris, lho. Cool, ya?”

Cool... Cool...” ujar beberapa wanita tua itu.
Salah satunya langsung menyambutku. “You handsome I beautiful. Name you is?
“Namanya Agas, Jeng Nunuk. Kan saya tadi udah bilang...” Granny seolah jadi orang penting sekarang. Hanya karena aku pernah tinggal di Amerika bertahun-tahun?

“Agas welcome ya in Indonesia...” sambut seorang wanita lain berbaju merah. Aku tersenyum membalasnya dan bingung harus menjawab apa.
“Wah, asyik nih jadi Jeng Allya,” ujar Jeng Nunuk pada Granny, “di rumahnya sekarang nambah lagi cucu-cucu yang ganteng.”

“Jeng Nunuk pasti sirik ya sama saya?” kata Granny bercanda. Wanita-wanita tua itu lalu tertawa dan wanita berbaju merah tadi malah menumpahkan sirupnya ke lantai saking gemasnya.

“Agas,” Jeng Nunuk menghampiri lagi, “Name complete-nya apa nih? Kakak mau tau dong!”

Name complete?
Kakak?

“Nama lengkapnya Vargas Okky Adiguna. Kan saya udah mention nama lengkapnya di twitter,” jawab Granny, sedikit pun tidak memberiku kesempatan untuk menjawab. (Eh, wait. Granny punya twitter?) “Ayo Jeng Shinta, biskuit kelapanya dihabisin. Itu home-made lho. Si Dicky yang bikin.”

Bang Dicky kulihat masih berkutat dengan mobil Granny, menurunkan semua koperku ke carport dan alisnya bertaut lagi, bingung mau membawa yang mana dulu ke dalam.

“Yuk, masuk semuanya. Kita makan dulu! Agasnya pasti lapar. Betul kan, Sayang?”
Akhirnya aku dapat kesempatan untuk bicara. “Aku udah makan di Jakarta Grann—“
“Aaah, tetep aja pasti lapar,” potong Granny maksa. “Si Dicky itu bikin lotek, lho. Kamu suka kan, Sayang?”

Beberapa wanita tua teman Granny langsung berbisik. “Ternyata anak amrik pun suka lotek! Dunia ini sempit, ya?”

“Jeng-jeng, tau nggak, waktu tiga bulan lalu saya ke Amrik, waktu saya ngelayat anak saya yang meninggal, saya bawa cikur dan bikin lotek di sana. Si Agas ini doooyyyaaannn banget. Malahan, siapa sih tetangga kamu tuh Gas? Yang rambutnya blondie kayak Britney Spears?”
“Mrs. Lilly?”
“Nah itu, Miss Lilly. Dia juga suka masakan Indonesia lho. Katanya loteknya ‘unbelievable’. Itu artinya menakjubkan, kan?”

Seingatku, waktu Lilly mengatakan ‘unbelievable’, raut mukanya seolah berkata: “What the hell is this?!” Tapi untuk kesopanan, dia cuma senyum-senyum masam. Mungkin nggak mau mengecewakan Granny yang sedang dirundung duka. Lagipula, loteknya emang agak strong rasanya. Kencur dan cabe rawitnya kebanyakan. Aku suka, sih. Tapi lidah-lidah western kayak Lilly kan nggak tahan spicy.

“Waaah, berarti kalo kita buka stand lotek di sana, bakal laku dong Jeng Allya?” komen Jeng Nunuk dengan percaya diri. “Mungkin kita juga bisa coba jual karedok. You know karedok, Agas? Itu Yummy and Sexy Food khas Bandung lho... entar Kakak bikinin deh buat kamu.”

“Jeng Nunuk ini gimana, sih?” Granny geleng-geleng kepala. “Memangnya kita bisa nemu leunca di sana? Udah, ah. Ngawur. Yuk kita makan. Semuanya masuk! Dicky, makan dulu! Kopernya entar aja, Sayang.”

-XxX-
Ya, tiga bulan lalu Granny memang pernah mengunjungiku di Amerika. Hanya sekitar seminggu sih. Begitu mendengar anak dan menantunya meninggal, Granny langsung naik penerbangan tercepat Singapore Airlines ke New York. Dan kerennya, dia naik di kelas bisnis. Tiketnya sekitar 59 juta rupiah, kalo nggak salah. Dan begitu sampai di Amerika, bukannya menangis tersedu-sedu karena anak dan menantunya meninggal mendadak dalam kecelakaan. Tapi Granny malah dengan riangnya bercerita tentang service VIP di dalam pesawat.

You know darling? Nenek dapet dapet hygiene set, lho! Dan kursinya lega.”

Granny hanya satu minggu di New Jersey. Dia pulang lagi ke Indonesia sambil membawa casket berisi jasad Mom and Dad. Kali ini Granny naik kelas ekonomi, karena dana kami habis untuk mengkargokan dua casket sekaligus. Dan dia agak mengeluh karena tidak bisa meluruskan kaki dalam penerbangan pulang.

“Ayo Agas, kamu duduk di sini, dekat-dekat nenek. Nenek kangeeen banget sama kamu,” kata Granny sambil menarikku ke kursi paling ujung di meja besar yang ada di ruangan itu. Ada total delapan kursi di sana. Tiga berhadap-hadapan dan sisanya dari ujung ke ujung. Yang menarik perhatianku adalah makanan yang disajikan di atas meja. Banyaaak sekali. Aku bahkan sempat mengira kami sedang dalam pesta perkawinan. Ada sepotong bebek utuh yang sudah dibumbu kecap. Ada bowl besar berisi sup. Ada juga macam-macam sayuran hijau yang ditumis, dan tentunya the famous lotek dalam tiga ceramic plate berbeda. Aku mengenal beberapa hidangan lain, karena Mom sering memasakkannya untukku di New Jersey, seperti Ayam Suwir, Rendang, Perkedel Jagung, dan apa itu, ngng... oh, Sayur Lodeh!

Granny dan keempat temannya sudah duduk di kursinya masing-masing, dan wanita tua berbaju merah itu sudah siap-siap menyendok ayam suwir di hadapannya. “Ini bikinan si Dicky itu, kan?” katanya. “Saya sukaaa banget. Resepnya apa sih Jeng Allya?”

“Resep rahasianya adalah cinta,” jawab Granny sambil lalu.

Ehmagod, Granny pikir ini Krabby Patty bikinan Spongebob, hah?!

“Yuk, semuanya makan! Jangan malu-malu. Ini jamuan spesial menyambut cucu saya yang baru pulang dari Amerika!” seru Granny bersemangat. Dengan sigap dia sudah menyajikan sepiring nasi untukku dan memaksaku menyendok semua lauk di meja itu ke atas piringku. “Dicky? Ayo sini, Nak! Makan dulu! Kopernya simpen di ruang tamu aja, Sayang...”

Aku memutuskan untuk meraup lotek saja untuk laukku. Tapi belum juga selesai menyendok, Jeng Nunuk tiba-tiba menjerit.

“Ya ampuuun! Ini cucu saya nge-sms!” Dia terdengar heboh sekali. “Ada Sm*sh di Trans 7!”
“Aaaarrgghh...” Semua wanita tua di ruang makan itu menjerit. Beberapa sudah beranjak turun dari kursinya.
“Ayo ayo kita ke ruang tengah!” pimpin Granny sambil melompat dari kursinya. “Agas tunggu sebentar, ya! Aaargh... videonya atau iklan, Jeng Nunuk?”
“Video I Heart You!”

Dan dalam sekejap... ruang makan itu kosong. Semua wanita tua itu lenyap ke ruang tengah.

Ehmagod... sebetulnya apa sih yang diributkan nenek-nenek itu? Boyband yang tadi, kah?

Bang Dicky tiba-tiba muncul di ruang makan sambil nyengir dan tersenyum lebar. Dari cengirannya, dia terlihat geli melihat segerombolan wanita paruh baya berlarian ke ruang tengah, menyalakan teve, dan sibuk mencari remote control untuk mengganti channel ke Trans 7. Dicky langsung duduk di seberangku. Dan dia masih tersenyum. Dan senyumnya...

Deg deg.

Astaga. Lebih manis daripada saat dia berwajah lugu di mobil tadi.
Dan aku...

Nggak. Aku nggak naksir dia.
Hanya saja...

“Nenek ngefans sama Sm*sh. Boyband baru. Favorit Nenek Morgan,” kata Bang Dicky menjelaskan. “Jangan heran ya kalo mereka pada menjerit-jerit. Ayo Agas, dimakan makanannya.”

Aku masih terpukau menatap senyum Bang Dicky. Rasanya tulus sekali. Ujung-ujung matanya berkerut saat sudut bibirnya tertarik ke atas. Dan cengirannya itu menggemaskan. Kedua alisnya kini dalam pose baru, seperti dua ulat yang saling bertemu dan masing-masing kepalanya mengangkat ke atas.

I have never seen an angel like this!

“Maaf ya Gas, kalo makanannya nggak enak,” ujar Bang Dicky merendah. “Tadi pagi sempet lupa beli jahe. Tapi untung Nenek bolehin Dicky ambil taneman jahenya di kebun belakang.”

I’m not listening at all.
Aku beku. Tersihir menatap ekspresi wajahnya yang memukau.

“Ayo makan, jangan ngelamun!” sahutnya, sambil bersiap-siap menyendok nasi ke atas piringnya. “Kalo ngelamun terus entar kerasukan si kunti lho. Dia setan yang tinggal di rumah ini. Hiiii...”

Bang Dicky menunjukkan wajah ketakutan yang dibuat-buat, yang buatku justru terlihat lucu. Dan tanpa sadar aku tergelak, tersenyum menatap ekspresinya, bahkan lupa kalau aku masih dalam perjalanan menyendok lotek ke dalam piringku.

Ya Tuhan, aku nggak naksir dia, kan?

“Oh, iya. Itu kopernya udah di ruang tengah. Entar Dicky bantuin deh bawa ke kamar.” Dia menatapku dengan heran (kedua alisnya bertaut). “Kok nggak dimakan, Gas? Nggak enak, ya?”

Nggak nggak nggak. Aku nggak naksir dia. Nggak boleh.
Aku baru tiba di negara ini, bakalan hidup lama di sini, dan mestinya aku nggak mengulangi lagi kehidupanku di Amerika sana.
Seharusnya aku membuang jauh-jauh “gay stuffs” itu dari diriku kalau aku memang mau menjadi someone new.
Aku nggak boleh naksir Bang Dicky.

-XxX-

Kamar yang kumiliki di rumah Granny cukup besar. Lebih besar dari kamarku dulu. Tapi suasananya seram.

Rumah Granny bergaya kolonial belanda, dengan tembok tebal, kusen kayu dan teralis besi di setiap jendela, juga langit-langit yang tinggi. Lembab adalah salah satu ciri khas rumah Granny. Tegel-nya yang berwarna abu nggak jelas terasa sangat dingin dan licin. Dimana-mana rumah ini terasa gelap. Mirip rumah di film-film horror Indonesia yang pernah Adam kirimkan padaku lewat email.

Dulu, rumahku bukan di sini. Rumahku ada di komplek perumahan elite yang desainnya modern. Hanya beberapa kali aku mengunjungi rumah Granny yang ini. Dan aku pun nyaris lupa rumah Granny itu sebetulnya seperti ini.

“Nah, udah semuanya. Mau dipasang sekarang komputernya?” tawar Bang Dicky, setelah bolak balik membantuku membawa koper dan aku jadi ngerasa bersalah.

“Nggak usah Bang Dicky. Biar aku aja yang pasangnya. Entar malem.”
Sejujurnya bukan karena faktor ngerasa bersalah sih. Tapi aku nggak tahan berada dekat-dekat terus dengannya. Dia terlalu... menggemaskan. Terlalu menggodaku untuk memeluknya dari belakang atau mencubit setiap bagian dari kulit tubuhnya yang berisi itu. Bahkan, kalau aku nggak bisa menahan diri, aku sudah mengacak-acak rambutnya dari tadi.

Saat kami memindahkan koper ke kamarku, hujan deras mengguyur kota Bandung. Suhu ruangan langsung berubah rendah. Tapi nggak sedingin New Jersey diguyur salju. Sehingga, aku masih bisa bertahan dengan kaus tipisku saja. Bang Dicky masih bolak balik, membereskan beberapa furnitur (khususnya ranjangku, tadi aku request ranjangnya menghadap utara), sementara aku sedikit demi sedikit membantunya menggeser kursi atau koper-koperku yang bertumpukan.
Selesai memasukkan semua barangku ke dalam kamar, aku bergegas mandi dan membersihkan diriku. I mean, aku sudah 33 jam belum mandi sejak berangkat dari JFK. Perjalanan Singapore Airlines-ku 25 jam, ditambah keliling Jakarta 5 jam, perjalanan Halim-Hussein setengah jam, lalu berada di Bandung beberapa jam, dan aku sama sekali belum mandi.

Begitu selesai mandi dan bergabung bersama Granny, Bang Dicky, dan semua teman Granny di ruang tengah, aku langsung disambut meriah dan ditanya berbagai macam. Misalnya umurku, pacarku, artis idolaku, menurut Agas cakepan mana Rafael atau Morgan, dan lain-lain. Hujan sudah reda saat itu. In fact, matahari sore langsung bersinar terang di luar sana, menyinari titik-titik air yang membasahi dedaunan di halaman depan rumah Granny.

“Oh, Agas. Kita ke pemakaman ayah bunda Agas besok, ya?” kata Granny. “Kalo abis hujan begini, biasanya tanah pemakaman suka becek.”
Okay, Granny.”
Adeuh, dipanggil Granny...” goda Jeng Nunuk. “Serasa muda kembali, ya...”

Muda?
Astaga. Jeng Nunuk ini tolol atau apa, sih?

“Aku pengen jalan-jalan Granny, di sekitar sini. Kayaknya seger, tuh!” kataku kemudian, berusaha keras keluar dari kumpulan wanita tua pengagum boyband ini.
“Oooh, boleh-boleh! Agas jalan-jalan aja di sekitaran komplek ini. Dicky temenin Agas ya?”
“Eh, nggak usah Granny!” selaku buru-buru. “Aku sendirian aja.”

“Ah, entar kamu nyasar. Udah, nggak apa-apa. Dicky temenin Agas, ya?”
Bang Dicky tersenyum dan mengangat kedua alisnya pertanda senang. Dia sudah berdiri dan menghampiriku.

Astaga... aku nggak bisa membayangkan berjalan berduaan dengan cowok semanis Bang Dicky... di kota Bandung... sehabis hujan...

“Nak, Dicky,” panggil Jeng Nunuk, “Jangan lupa tunjukkin rumah Kakak Nunuk ke Agas, ya. Kalo bisa masuk aja ke rumah, ketemu cucunya kakak. Si Belinda. Oke?”
“Siap, Kakak!” sahut Bang Dicky sambil menghormat. “Yuk, Agas?”

Aku nggak pernah membayangkan berada dalam situasi macam begini. I mean, seumur-umur aku nggak pernah seperti ini. Aku bertemu banyak jutaan cowok cute di Amerika, dan bahkan setengah dari mereka gay dan bisa saja aku pacaran dengan mereka, lalu berjalan romantis di sepanjang trotoar yang basah karena hujan. But still, aku nggak pernah merasakan hal seperti ini. Tiba-tiba saja ketika aku kembali ke hometown-ku, belum 24 jam aku berada di negara ini, aku sudah berada di trotoar penuh pohon tinggi, berjalan berdua bersama cowok yang seharian membuat perasaanku nggak keruan.

“Kita jalan ke taman, ya?” tawar Bang Dicky setelah kami maju beberapa langkah meninggalkan rumah Granny.

Komplek perumahan ini boleh dibilang romantis. Semua rumahnya bergaya kolonial belanda dengan halaman depan yang luas, trotoar yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi (dan after rain macam begini banyak tetes-tetes air berjatuhan dari dedaunan di atas), suasana jalan komplek yang teduh, dan banyaknya rumput liar hijau yang cantik berbunga-bunga. Drainase yang ada tepat di samping trotoar pun mengalirkan air yang jernih. Dan meskipun sebagian jalan menampung genangan air hujan, rasanya benar-benar romantis. Benar-benar Parijs van Java.

“Rumah Bang Dicky sebenernya dimana?” tanyaku.
“Ah, rumah Dicky mah jauh. Mesti keluar komplek ini dulu.”
“Terus kenapa Granny sering bilang Bang Dicky tuh tetangganya?”
“Ya karena rumah Dicky ada di sebelah komplek ini. Jadi Nenek sering nyebut Dicky tuh tetangganya Nenek.”

Aku baru menyadari tulang hidung Bang Dicky menakjubkan. Sesekali aku mencoba melirik ke arahnya, menatap bayangan hidungnya yang melawan sinar matahari, dan kagum karena sinar-sinar keemasan itu menyinari sebagian wajahnya.

Jujur saja... aku deg-degan.
Belum pernah aku merasa seromantis ini berjalan bareng cowok. Tiba-tiba saja tubuhku rasanya menggigil, darahku berdesir nggak keruan. Setiap aku tidak sengaja menghirup aroma tubuhnya, aku merinding karena menyukainya.

Aku mencoba mengalihkan perhatianku. Mengalihkan pada....
“Eh, apa itu?” Aku bergegas menghampiri setangkai bunga mungil berwarna kuning yang tumbuh di salah satu akar pohon besar di trotoar. Tapi ketika aku berjongkok untuk mengamatinya, tiba-tiba saja Bang Dicky menjerit.

“AGAS! AWAS!”

BYUR!

Belum sempat aku mengetahui maksud dari teriakan Bang Dicky, tiba-tiba saja segenang air hujan melompat menghampiriku dan langsung membuat tubuhku kotor, kecoklatan, dan basah kuyup. Sebuah sedan baru saja lewat dengan kecepatan tinggi. Bannya melindas genangan air yang ada di dekatku dan mencipratkan nyaris seluruh genangan kotor itu ke tubuhku.

“Aaargh...” desahku kaget. “Ehmagod...”

Sedan itu sudah berlalu jauh. Bang Dicky membelalak menatapku, ekspresinya antara takjub dan ingin tertawa. Tapi dia langsung menghampiriku. Berusaha keras untuk nggak tergelak menatapku yang kotor dan basah kuyup.

“Agas nggak apa-apa?” tanyanya.
Aku belum bisa berkomentar apa-apa. Masih menganalisa, surprise incident ini mesti aku tertawakan atau kukesalkan.

DASAR SEDAN SIALAN!! batinku dalam hati.

“Cepet buka bajunya, Gas. Entar masuk angin,” saran Bang Dicky.
Aku menatapnya dengan heran. Buka baju? Di tempat umum macam begini?

“Kita ke rumah Granny lagi, yuk! Ganti baju. Jangan sampe Agas kena angin malam,” katanya.

Aku menurut dan akhirnya melepas kausku. Aku pikir karena aku bakal diajak kembali ke rumah Granny, makanya aku berani shirtless di depan umum begini. Tapi setelah kausku berhasil kulepas, Bang Dicky lalu membundelnya dan mencari bagian kaus yang kering untuk kemudian mengelap wajahku yang basah, dia pun melepas kausnya sendiri.

Ya, kausnya!

Kejadian itu begitu cepat sehingga aku nggak bisa berkomentar apa-apa. Bang Dicky melepas kaus warna ungunya, menunjukkan bentuk tubuhnya yang berisi (and once again: adorable—bukan tipe-tipe berotot seperti yang sering kulihat di USA), dan menawarkan kaus itu padaku.

“Agas pake ini aja, biar nggak masuk angin,” tawarnya.

Dia lalu membantuku berdiri, dan tanpa banyak basa-basi langsung meraih tanganku, mengenakan kaus itu tubuhku. Aroma tubuh Bang Dicky yang menempel di kaus itu langsung menyeruak ke hidungku, dan rasanya... yah, nggak bisa dipungkiri lagi... celana dalamku langsung sempit.

Bang Dicky pun langsung merangkulku. Melingkarkan lengannya yang berisi itu ke bahuku, dan tulang hastanya yang besar seolah menggelitik tengkukku. (Celana dalamku sudah sempit tingkat sempurna sekarang.)

“Kita ke rumah Nenek dulu, yuk, ganti baju. Nanti jalan-jalan lagi,” katanya. Dan karena sekarang lebih dekat, aku bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat.

Ya Tuhan, aku memang nggak naksir dia.
Tapi aku jatuh cinta.





To be Continued...

ditunggu ya komentarnya, supaya saya dapet inspirasi buat chapter dua...

0 komentar:

Posting Komentar