KITA pART II

Dirgantara putra 13.42 |

KITA


http://rendifebrian.wordpress.com
Chapter 2

Figi’s POV

“FDfour/ FD4″ Faris, Deni, Darriel, Diatmika dan Daniel, itulah julukan mereka, ya walaupun yang menyebut seperti itu hanya orang-orang bodoh yang dipaksa Faris dan yang lain untuk memanggilnya seperti itu.
Aku sampai tidak habis fikir apasih mau mereka? Aku sengaja tidak menceritakan hal yang mereka lakukan terhadapku kemarin, tapi tetap saja berujung seperti ini, perkelahian dua kubu, ini bukan cara ku, aku tidak  suka kekerasan, itu aku.
-flashback-
Pintu tertutup Faris, Darriel, Daniel dan Diatmika sudah ada didalam toilet yang berisikan aku dan Deni.
“Aaaaaarghh” aku setengah menjerit ketika Deni menciderai kaki kiri ku.
Faris mendorongku hingga sudut dekat wastafel, aku dorong kembali Faris sekuat aku bisa, shiitttt!!! Diatmika, Daniel dan Darriel masih ada di depan pintu, mungkin mereka terlalu meremehkanku hingga aku berhasil lolos dari terkaman mereka dengan cepat kuputar kunci yang masih menempel dipintu.
“Lex” aku mejerit keras ketika kulihat Alex berjalan di depan toilet, Alex melihatku sebentar dengan pandangan bergidik.
Tangan kiri ku tiba-tiba terasa sakit dan seperti terbakar, persekian detik aku jatuh terpental ke belakang dan sekali lagi Deni menendang bagian yang sama di kakiku aku mejerit sedikit lebih keras dari yang pertama karena kali ini memang lebih sakit.
“Darriel, awas itu si Alex ngadu” Faris memperingati, dengan cepat Darriel, Daniel dan Diatmika mengejar Alex.
Alex, maafkan aku, mudah-mudahan mereka tidak bisa menangkapmu dan semuanya baik-baik saja, walaupun aku tidak yakin, Alex dalam masalah dan semuanya karena aku,
aku harap Alex bisa meloloskan diri dari mereka.
Akar-akar rambutku seperti tertarik keluar, Faris kini menjenggutku rasanya seperti sedikit terbakar di bagian kepala dan pusing.
“Bilangin ya sama temen lo yang sok jagoan itu, jangan suka ikut campur urusan gue sama mentemen gue, jangan sok jadi pahlawan di sekolah ini” Faris berkata sedikit mendesis, sepersekian detik Faris melepaskan jenggutannya dan pergi bersama Deni meninggalkanku. Aku berlari mengejar tapi mereka lebih cepat menutup pintu toilet dan aku terkunci di dalamnya.
Kepalaku mulai terasa pusing, kakiku pun terasa amat ngilu, dan parahnya adalah dadaku sesak sekarang ini, entah aku punya penyakit apa pokoknya aku harus sering minum air putih agar dadaku tidak sesak, lengakap sudah penderitaanku.
Beberapa kali aku berusaha membuka pintu walau aku tau itu sia-sia, teriak minta tolong pun sudah, aku sudah amat lelah kondisiku pun sekarang ini tidak karuan, hanya tinggal menunggu malaikat tak bersayap menolongku.
Kini aku beristirahat di kamar memeluk Doni dari belakang, aku sangat nyaman bila berada dibsisinya, dia itu laki-laki yang bisa di andalkan.
Pertama aku memeluknya selagi tidur itu waktu kelas dua SMK saat menginap di rumahnya, ya pasti dia protes lelaki straight mana yang tak protes bila dipeluk oleh lelaki lain sekali pun sahabatnya sendiri. Akupun hanya memeluknya jika hanya berdua, jika kami sedang bersama yang lain aku akan bertingkah biasa saja layaknya tak terjadi apa-apa, memang tidak terjadi apa-apa antara aku dan Doni.

***
Aku tersadar dari lamunanku, bodohnya saat seperti ini aku malah melamun. Sekarang aku tau kenapa FD4 itu berani melawan teman-temanku, tanganku masih menggenggam tangan kokoh Doni.
“Don, mending damai aja deh, gue takut kita kenapa napa nih” aku berbisik pelan disisi Doni.
“Nggak ngapa-ngapa Gi” Doni berusaha menenangkanku, mana bisa aku tak cemas melihat empat orang berwajah seram menghampiri kami, mereka berjalan bersama Deni, Diatmika, Darriel dan Daniel, Faris tak terlihat diantara mereka.
“Lumayan nih” kata Huda, aku sedikit menangkap nada gentar dari kata-katanya.
Kulihat Agus juga mulai gelisah di belakangku, Agus memang sedikit tidak suka kekerasan sepertiku tapi dia bisa melindungi dirinya sendiri tidak sepertiku.
Rama mulai bergeser sedikit ke kiri, Elul tetap berada paling depan, Doni menggeserku agar aku berada tepat di belakangnya, Huda pun beringsut ke belakang Rama, Andri tetap di tengah di belakangnya Agus dan Dwi, aku masih sempat mengawasi pergerakan teman temanku.
“Oh, jadi elo pada yang sok jadi pahlawan, lo tau kagak hasil kolekkan dari si Deni itu distorin ke gue, kalo lo ngalangin mereka, berarti lo bikin pemasukan gue berkurang” celoteh seorang diantara mereka, wajahnya sangat menyeramkan, ada beberapa bekas tindikan dan bertato.
“Berarti lo nyari mampus” timpal orang di sebelahnya, orang ini memakai pakaian paling lusuh di antara yang lain.
Rama hanya tertawa kecil, lebih tepatnya meledek dengan cara tertawa.
“Udah abisin aja bang” aku menoleh cepat ke sumber  suara, ku lihat Faris berjalan ke arah kami dan langsung berlari cepat dan menerjang Dwi hingga Dwi terjatuh.
Kulihat semua teman- temanku pun sekarang sedang berkelahi, Rama dan Doni melawan dua orang yang datang.
Kini aku seperti kamera, menyorot setiap perkelahian tanpa berbuat suatu apapun, kalau sedang begini aku sangat benci diriku sendiri, betapa lemahnya aku, tidak sedikitpun aku punya keberanian untuk membantu.
Maafkan aku teman, aku bukan seperti yang kalian harapkan.
Sampai pada akhirnya ada seorang Ibu yang meneriaki perkelahian ini, dua orang satpam sekolah datang melerai, tapi itu belum cukup menghentikan empat orang yang datang bersama Deni, satpam itu hanya mampu melerai perkelahian antara Dwi – Faris, Huda – Darriel, Agus – Diatmika, Andri – Daniel, Elul – Deni.
Hingga akhirnya beberapa warga datang mendekat, FD4 dan empat orang yang datang bersama Deni lari tunggang langgang.
“Lo , kecil kecil lo ya, pada berantem mulu kerjaan lo pada, mau jadi jagoan haah!!” teriak seorang bapak.
“Liat aja pak, mereka yang lari, ketauan kan siapa yang salah” Rama membela diri, yang lain memungut tas mereka yang jatuh ke jalan.
“Ah banyak alesan lo, bubar bubar” usir si Bapak tadi.
Kesempatan yang bagus daripada harus menerima wejangan dari warga sekitar apalagi beresiko dilihat guru kalau kami berlama lama di tempat itu.
***
“Ini A, minumnya” bi Suti datang membawa minum lalu pergi lagi, kami sedang berkumpul di halaman belakang rumahku, ada kolam renang mini yang berukuran 3×8 meter.
Aku sedikit tak suka kalau mereka berkunjung kerumahku dan berenang, sudah pasti mereka akan meminjam celana pendekku untuk dipakai berenang.
Sebenarnya bukan hanya itu, terlebih kepada, mereka pasti topless, ooh tidak tubuh mereka itu sangat menggiurkan aku bagaikan kucing dapur melihat ikan sarden di dalam gelas kaca, iya aku hanya bisa melihat saja sambil menahan air yang ingin tumpah dalam diriku, air liur maksudnya ya.
Aku paling suka bentuk tubuh Elul, sempurna menurutku, persis seperti kontestan L-man. Yang lain juga sixpack terkecuali Dwi ya, Dwi itu sedikit gemuk tapi badanya tidak bulat hanya sedikit gemuk malah biasanya dipanggil semok.
Kalau aku, jangan ditanya pasti badanku kurus tapi tidak sampai kerempeng.
Kembali kebentuk tubuh, eeh. Rama jika dia mempunyai bentuk tubuh seperti Elul pasti aku sudah memujanya, sayangnya Rama hanya kurang dibentuk tubuhnya, aah seperti badanku bagus saja, dadanya memang bidang dan kekar apalagi otot tangannya menakjubkan badannya lebih keras daripada temanku yang lain tapi perutnya tidak sixpack dan juga tidak buncit.
Rama Ardiansatya itu lelaki tampan, dengan muka unik dagu sedikit lancip,rambut hitamnya ditata kesamping tapi tidak berponi, harum tubuhnya itu seperti bau persik sangat cocok dan yang paling special darinya itu aura kepemimpinannya, orang yang sangat berwibawa disertai sikap yang amat patut ditiru, jagoan sekolah tapi tidak sok jagoan pintar Matematika dan disukai banyak guru.
Agus Hermawan, aku paling suka kalau disuruh menilainya. Agus itu lelaki yang tampan, amat sangat malah menurutku, wajahnya itu lembut tapi tetap terkesan manly sedikit lebih mirip karakter pria yang memakai baju aneh di iklan surf (detergent), malah bisa dibilang mirip dengan Dewa-Dewa Yunani kuno, terserah jika aku dikata berlebihan toh itu menurutku. Agus itu seorang pesepak bola sekolah jika dia sudah merumput jangan iri jika semua wanita meneriaki namanya, itu bukan masalah untukku karena aku berbeda, kau tau lah. Wangi tubuhnya juga seperti wafer rasa vanila sangat crunchy ingin rasanya aku cicipi setiap jengkal tubuhnya, imajinasiku memang bisa menggila jika memikirkannya, perfect.
Elul, nama aslinya itu Eliot Darmakumadji. Entah kenapa lelaki berwajah Chinese yang asli Indonesia ini dipanggil seperti itu, tapi yang kutau itu panggilan masa kecilnya. Seperti kubilang tadi Elul itu berwajah Chinese, dan selalu terlihat fresh meski di dalam saat yang paling suntuk pun dia terlihat fresh. Orang yang sering berganti-ganti parfume ini adalah Deni Cagurnya kami dia selalu bisa memecahkan suasana yang membosankan, obat galau paling mujarab. Elul juga paling tidak suka ditantang apalagi diremehkan, kalau dalam bercanda sih tidak apa.
Andri Hartanto Fahlevi, dia itu salah satu lelaki tipeku. Wajahnya tegas tapi tidak memberikan kesan tua, kulitnya kecoklatan tapi sangat bersih menggiurkan. Andri itu paling tidak suka memakai parfume untunglah badannya tidak beraroma yang mengerikan. Aku paling suka kalau dia berkeringat atau meneguk minuman di saat dia kehausan setelah bermain basket, ooh ingin rasanya kutelanjangi di tempat itu juga, oke aku memang sedikit jalang. Satu sifat buruknya, dia itu selalu ingin dilihat di setiap tempat, ya seperti itulah kira-kara sedikit sok, selalu berekspresi sok keren ditempat asing itulah dia.
Nurhuda Yusuf Hananto, Huda itu salah satu lelaki yang berbisa menurutku, dia selalu bisa mendapatkan wanita yang dia inginkan. Padahal menurutku Huda itu biasa tidak sekeren teman-teman ku yang lain, maaf Huda. Aku tak pernah tau caranya bisa melumpuhkan banyak wanita di sekolahku ini, jika kau menyukai seseorang siswi disekolahku dan kau menanyakan apakah dia mantan Huda aku rasa siswi itu akan jawab <i>Iya</i> sangat banyak mantannya di sini. Dan sifat yang tidak palingku suka dari Huda itu arogan, oh aku sudah langsung diam jika aku berdebat dengannya, karena akan percuma, tapi jika ada yang bilang Huda itu teman yang baik aku langsung setuju.
Dwi Chandra, borju, itu satu kata yang pertama kalau aku melihatnya. Orang tuanya memang kaya tapi sifat jeleknya itu selalu saja ingin punya yang terbaru yang orang lain punya. Itu memang haknya, tapi lebih baik biasa saja, toh sederhana juga bahagia.
Tapi sifat yang paling aku sukai dia itu selalu menebar senyum, ramah, baik. Okeh segitu saja tentang Dwi aku memang selalu menemukan jalan buntu jika disuruh menilainya.
Doni Ardansyahputra, Doni, jutaan kalimat pun takkan habis aku katakan untuk memujinya. Lebih dari sekedar perfect. Entah perasaan apa yang kupunya terhadap lelaki berambut ikal ini, wajahnya perseginya menjelaskan ketegasannya, tapi matanya yang melankolis membuatku tak berhenti untuk memujanya. Wangi tubuhnya berbeda dari yang lain, selalu harum setiap saat entah menggunakan parfume apa dan bagaimana sehingga bisa seharum itu. Karateka sekolahku satu ini mempunyai banyak pesona, dan di setiap pesonanya itu membuatku bertekuk lutut di hadapannya. Itu memang terlihat berlebihan, tak apa toh itu menurutku.
Aku suka sekali ketika dia tersenyum lembut, aku bagaikan wanita yang jatuh cinta saja, menjijikan. Tapi itu yang selalu aku rasakan semenjak aku sadar kalau aku mencintainya.
Tinggi dan postur badanya tak perlu ku ceritakan, sudah pasti memukau seperti selera orang sepertiku ini.
Akankah aku bisa memilikinya. Tuhan jika cinta itu suci apakah sebuah kesalahan aku mencintainya, dari jenisku sendiri? Kita tahu jawabanya.
“Byuurrrr” aku tersadar dari lamunanku, iPad yang ku pegang pun sudah berpindah tangan. Elul konyol, isengnya tidak ketulungan, posisiku memang menggiurkan kalau untuk dikerjai, aku duduk di bibir kolam.
“Iseng banget sih lu” Doni beringsut dari duduknya menolongku naik ke atas.
dan kemudian aku melihat Doni berada tepat di atasku, tercebur kekolam akibat ulah Rama.
Terasa sesuatu dari Doni melekat di tubuhku, meski di dalam air aku sangat merasakan sesuatu yang melekat di tubuhku dari bagian tubuh Doni, aah disetiap jengkal tubuhku…
***
Aku melihat wajahnya tepat di atas hidungku, tubuhnya melekat di atas tubuhku. Semuanya terasa lambat, dalamnya kolam renangku pun seperti dalamnya samudra saat ini, terasa jauh hanya untuk menyentuh dasar yang dalamnya kurang lebih dua meter.
Aku tak pernah melihat wajah Doni lebih tampan dari ini, jika tuhan menghentikan waktu saat ini juga aku akan bersyukur sekali tentunya.
Tanpa sadar kini ternyata aku telah memeluknya, membenamkan wajahku kesisi lehernya, aku tak pernah merasakan senyaman ini bahkan aku seperti bisa bernafas didalam air saat ini.
“Byurrrrrr” suara benda yang tercebur dalam air memaksaku melepaskan ke damaianku.
Semua temanku kini berada di dalam air, merusak semua ke indahan yang terjadi beberapa detik lalu, inilah takdirku mencintai seseorang di dalam siluet yang tak pernah aku tapaki. Iya, aku mencintai lelaki straight yang sampai kapanpun takkan membalas rasa cintaku yang begitu dalam untuknya walau aku tak pernah menyampaikan itu langsung kepadanya, aku tak pernah berani karena aku tahu akan jawabannya.
Gelak tawa tak terhenti ketika wajah kami menyembul ke permukaan, aku pun ikut tertawa walau dalam hatiku merasakan kekecewaan, sekilas aku melihat wajah Doni yang tersenyum ke arahku, aku terlalu berharap padanya, harapan yang terlalu naif.
“Cie, yang lama banget didalem aernya, hahaha cucus dulu lu yak” celetuk Elul sambil mengusap wajahnya yang basah.
“Auuuw” Elul melenguh sedikit keras, rasakan kena jitakan Doni akhirnya.
“Gila” aku berenang kepinggir kolam.
Tak terasa hari sudah sore, rasanya baru beberapa menit kami menghabiskan waktu di sini.
“Ayo Gi, kamar mandi lo gede ini” ajak Huda agar aku ikut berbilas bersama, sebenarnya aku sangat ingin tapi kurasa itu bukan hal yang baik, aku takut terjadi sesuatu, sesuatu yang buruk yang belum mereka ketahui dari dalam diriku.
“Ngak mau aah, lo duluan aja deh gue belakangan” tolak ku.
“Uah ayo, gak bakalan kita perkosa” Agus menarik pelan tanganku. Entah apa aku mulai merasakan perbedaan darinya kini.
“Diperkosa juga gak bakalan bunting ini lu ah” tambah Andri.
“Gila lu, sonoh cepetan ganti baju, becek nih kamar gue lama-lama” ku dorong mereka masuk kedalam kamar mandi.
“Padahal mau ikut tuh” Rama mengedipkan matanya menggodaku, alah dia itu selalu memperlakukanku seperti itu, sedikit menyebalkan.
“Don punya lu gede juga yah” celetuk Rama setelah keluar dari dalam kamar mandi. Gleeeek, sesuatu dalam diriku menguap mendengar kalimat itu.
Kulihat Doni menendang Rama pelan, Rama tertawa sambari menatapku, aku tahu maksudnya menggodaku, aku curiga Rama tahu siapa aku sebenarnya.
Aku masuk ke dalam kamar mandi setelah mereka keluar semua dari dalam kamar mandi, Rama menahan pintu yang hendak aku tutup. “Apaan lagi sih” gerutuku kesal.
“Sabunnya jangan lu abisin buat gosok ade lu yak” aku lempar dia dengan handukku, Rama tertawa terbahak-bahak sambil berjalan mundur dan melemparkan handuk kembali ke arahku.
“Gimana? Keluarnya banyak kagak?” baru saja aku keluar kamar mandi Rama sudah menanyakan hal yang tak jelas.
“Au aaah” aku berjalan kearah balkon kamar, kamarku berada dilantai dua dan balkon kamarku menghadap kolam renang.
***
“Gi, masuk dulu, mahgrib” paksa orang tua Doni.
Aku duduk di ruang tamu sambil memainkan iPad ku. Doni masuk ke kamarnya entah untuk apa, aku sudah biasa main ke rumah Doni jadi sudah tidak canggung, dengan orang tuanya pun aku akrab, akrab sekali malah.
“Cuman ini adanya Gi” ibunya Doni muncul membawakan teh hangat untukku, di luar memang sedang hujan, untung aku bawa mobil, jadi pulang tidak kebasahan.
“Ngerepotin banget Figi Bu” jawabku sungkan.
“Ngak apa-apa Gi, kamu aja yang hampir setiap hari nganter Dodon pulang aja nggak ngerasa kerepotankan?” balas Ibunya Doni penuh senyum. Ibunya Doni itu cantik rambutnya sedikit ikal, persis Doni, hidungnya mancung juga persis Doni, dan Ayahnya Doni itu lelaki yang wajahnya tampan sepanjang usia, jadi tak salah mempunyai anak yang gantengnya gak ketulungan kayak si Doni.
“Bapak mana Bu?”.
“Bapak lagi banyak masalah Gi, di kamar aja si bapak dari tadi” bisik ibunya Doni.
Aku hanya mengangguk, tak sopan bila aku menanyakan masalah apa yang sedang di alami orang tua Doni.
Tak lama kemudian Doni muncul dari kamarnya, mengenakan celana olahraga sekolah dan baju putih polos lusuhnya. Sepertinya baju itu sudah menjadi seragam Doni di rumah, hampir setiap aku berkunjung ke rumahnya Doni selalu memakai baju putih polos lusuhnya itu.
Ibunya Doni masuk kedalam kamar setelah Doni duduk disebelahku. “Dodon,” panggilku ringan namun tetap memainkan ipadku.
“Apaan” jawabnya datar. Aku sangat tidak suka kalau dia aku tanyai tapi jawabnya seperti itu, ya walaupun aku bertanya sambil melihat ke iPad.
Ku matikan iPad ku, dan bergeser menghadapnya. “lusa ikut LDKSkan?”.
“Nggak, nggak ada duitnya” jawabnya santai. Hatiku mencelos tiba-tiba, seperti kehilangan benda kesayanganku.
“Jangan gitu dong, ikut napah” bujukku lagi.
“Gue pasti ikut kalo ada duitnya” raut muka kecewa kini ada diwajahnya.
“Lu emang gak punya simpenan?” kataku sambil meminum teh hangat.
“Ada, cuman 80 ribu ” sahutnya.
“Yaudah, besok gue tambahin deh, besokkan juga batas waktu pembayarannya tuh” aku raih kembali iPad yang tadi aku simpan di tas slempang kecilku, entahlah apa namanya tas semacam ini aku tidak tahu, yang aku tahu tas ini merk-nya crocodile.
“Sorry Gi, gak bisa kayaknya, uangnya mau dipake buat yang lebih penting” jawab Doni datar, seperti banyak masalah kini di kepalanya, tadi saat bersama yang lain dia terlihat biasa, entah kenapa berubah saat sampai di rumah.
Hujan mulai reda, waktu pun menunjukan jam setengah tujuh, aku ada acara makan malam bersama keluarga besar dari Jakarta jadi aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini walau sebenarnya aku masih ingin di sini.
“Bu Figi pulang dulu ya” langsung saja aku pamit setelah kulihat ibu keluar dari kamarnya.
“Nginep aja atuh Gi” bujuk ibunya Doni. Doni berjalan ke ambang pintu.
“Nggak bawa salin bu, kapan-kapan aja Bu” jawabku sambil sedikit tertawa.
“Yaudah hati-hati ya, jangan ngebut bawa mobilnya” aku hanya menganggut sambil mencium punggung tangannya.
Aku berjalan keluar sesampainya di sebelah Doni aku langsung berbisik “lusa nginep di rumah gue, kita berangkat langsung dari rumah gue” aku lihat dia ingin menolak “Nggak pake nolak!!” desisku lebih mendekat kekupingnya, Doni hanya terdiam detik berikutnya.
***
Sesampainya di rumah aku memilih meneruskan kegiatan ku bersama si iPad andalanku ini. Membaca cerita cinta di internet, tentunya cerita pelangi.
Tak ada update’an terbaru, aku pilih untuk membaca ulang -love isn’t blind- dari Rendi Febrian. Aku sangat suka karakter gadis seperti corazon, kalian bisa membacanya sendiri betapa hebat corazon berkorban.
Hujan kembali turun, aku sudah tak heran, Bogor itu memang kota hujan, ya aku tinggal di daerah Bogor.
Kutaruh iPad ku di atas meja belajar, kini pandanganku terpaku ke arah kaca jendela yang berembun.
Tidak terasa kini aku telah berada di kelas dua belas, tahun terakhirku berada di sekolah yang banyak memberikan pengalaman, di sini jugalah aku mendapatkan banyak teman dan beberapa sahabat yang benar-benar keren.
Hujan diluar semakin deras menyeret ingatanku kembali kemasa kelam dulu.

–Bersambung, ke K-I-T-A Chapter 3–





KUNJUNGI 
BLOG ASYIK : http://rendifebrian.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar