KELUARGA BESAR
By : Dree
[sumber : ceritagayofficial ByDree blogs]
Siang itu matahari lagi panas-panasnya. Pulang sekolah di jam begini
emang menjadi resiko setiap hari buatku yang nggak punya sepeda motor.
Aku harus rela membiarkan kepalaku
dibakar matahari saat menunggu bus di halte, dan belum lagi perjalanan
menembus kampung Rambutan dengan berjalan kaki. Kalau saja Bapak mau
membelikanku motor seperti teman-temanku yang lain, aku nggak perlu
kerepotan kalau mau ke mana-mana. Yahhh, mungkin punya motor memang
bisanya cuman jadi impian saja. Bapak bukan orang berada, pekerjaanya
hanya seorang satpam. Gajinya pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-sehari, biaya sekolah aku dan adik-adikku, dan belum lagi, untuk
membeli susu untuk si bungsu yang baru berumur enam belas bulan.
Aku
lima bersaudara. Aku paling besar. Kebayangkan berapa usia adik-adikku.
Di umurku yang baru menginjak enam belas tahun ini, aku sudah bisa
berpikir dewasa. Ada rasa kesal dan marah melihat sikap Bapak yang
semena-mena. Emang, sih bapak cuman lulusan SD, sedangkan Ibuku lulusan
SMP. Pendidikan kedua orang tuaku memang tak semulus yang aku jalani,
makannya mereka tidak mengerti apa itu KB. Kalau saja Bapak dan Ibu
dibiarkan terus berhubungan intim, mungkin dalam setahun Ibu bisa hamil.
Berapa jumlah saudaraku nantinya? Akan diberi makan apa mereka?
Bersekolah dengan biaya siapa mereka? Bapak emang nggak pernah berpikir.
Gaji rendah begitu untuk membiayai keluarga dengan lima anak?
Kepalaku berdenyut-denyut saat memikirkan nasib keluargaku ke depannya
kelak. Ingin sekali aku bekerja untuk membantu orang tua, tapi apa daya
aku belum lulus sekolah. Kerja jadi pelayan restoran pun harus lulusan
SMA sekarang. Fiuh, sambil mendesah aku memasuki gang kampung kecil
tempat tinggalku.
Saat melewati kamar mandi umum yang letaknya pas
di tengah-tengah gang, tak sengaja aku berpas-pasan dengan Mas Mulyono,
tetanggaku, seorang satpam pabrik teman bapak yang selama ini diam-diam
aku taksir. Tubuhnya begitu tegap berisi dengan kulit gelap karena
sering dibakar matahari.
Ya, aku ini gay. Aku sudah menjadi gay
sejak SMP. Waktu itu memang aku masih merasa menjadi anak normal. Masih
menyukai teman cewek di sekolah, tapi semenjak aku mendapatkan pelecehan
seksual dari tukang kebun sekolah, aku menjadi seperti ini. Belum lagi
masalah penolakan cintaku waktu itu oleh seorang teman cewek, yang malah
membuatku membenci cewek, karena selain menolak cintaku, dia juga
menghinaku.
Dua kombinasi yang sempurna, yang akhirnya mendorongku
menjadi seorang gay. Aku tahu, menjadi gay itu dilarang di semua agama,
tapi aku merasa kalau menjadi gay adalah pilihan hidupku. Aku tidak
percaya takdir, mana mungkin Tuhan mentakdirkanku menjadi seorang gay,
selama manusia masih bisa memilih yang baik untuk mereka.
Kondisiku
yang doyan kontol laki-laki, membuatku sering mengidam-idamkan sosok
yang bisa mencintaiku secara lahir dan batin. Aku rindu kasih sayang.
Selama ini bapak cuman sibuk bekerja dan jarang bercengkrama dengan
anak-anaknya, apalagi denganku. Bapak termasuk orang yang dingin. Bapak
cuman bisa berubah jadi hangat kalau ada maunya ke Ibu. Biasanya, sih
minta jatah berhubungan intim. Rumah kami yang sederhana itu sudah over
kapasitas. Akupun juga masih harus berbagi tempat tidur dengan
adik-adikku. Mana aku punya privasi, apalagi aku ini anak yang baru saja
tumbuh menjadi dewasa. Butuh ketenangan dan area sendiri untuk
mengembangkan diri. Saking sempit dan kecilnya rumahku, aku malah bisa
dengan jelasnya mendengar desahan kedua orang tuaku di kala mereka
bercinta di kamar sebelah.
Terkadang juga saking horney mendengarkan
mereka, aku onani sambil membayangkan kalau akulah yang sedang bercinta
dengan Bapak. Bapak sendiri juga orangnya gagah, tapi pikirannya
terlalu dangkal. Kerjanya hanya mengandalkan otot, makannya melindungi
keluarga bisanya cuman pakai otot, nggak pakai otak.
“Baru pulang, Gus!” Tegur Mas Yono sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Aku menelan ludah saat melewatinya. Mataku tak pernah lepas dari kedua
puting susu yang ada di dadanya. Warnanya gelap dan sangat menggoda
seperti permen kopiko. Aku cuman bisa mengangguk sambil berusaha untuk
tidak terlalu kenatara menunjukkan ketertarikanku padanya. Memandang
tubuh seksinya memang susah ditolak, apalagi untuk gay sepertiku ini.
Tubuh Mas Yono laksana sebuah magnet berkutub utara, sedangkan mataku
ini magnet berkutub selatan. Ada gaya tarik menarik di antara kami.
“Masuk siang, Bang?” Aku malah balas bertanya.
“Yoi, tugas jaga sampai malam.”
“Ohhhh! Bapak masuk pagi tuh tadi, paling entar sore pulangnya. Udah jareng satu shift sama Bapak, ya?”
“Iya, padahal kalau kebagian jatah malam kita sukanya main catur bareng
di post, kalau nggak ya saling pijit pakai minyak gosok kalau lagi
musim hujan. Hehehehe...”
Saling pijit? Sontak saja aku merasa iri dengan Bapak yang bisa menyentuh tubuh Mas Yono saat memijit.
“Kalau gitu aku pulang dulu, Bang. Laper, pengen buru-buru makan!”
“Sip!” Mas Yono langsung menyampirkan handuk kecil itu di bahunya
sambil melenggang masuk ke rumah kontrakannya yang tak jauh dari tempat
mandi umum.
Sebelum beranjak dari situ aku sempat melihat kedua
pantat seksinya tercetak jelas pada celana bola yang dikenakannya.
Seketika itu juga kontolku berdenyut-denyut. Biasanya kalau aku lagi
horney begini suka onani di rumah, kalau emang iya rumah keadaanya lagi
sepi.
Ngomong-ngomong soal Mas Yono. Sayangnya dia sudah menikah
dengan seorang TKW yang sekarang ini masih bekerja di Hongkong. Keluarga
kecil mereka telah dikaruniai seorang anak perempuan berumur 4 tahun,
tapi setahun lalu meninggal karena penyakit demam berdarah. Aku sempat
merasa iba dan kasihan melihat Mas Yono, apalagi kalau sekarang dia
hidup sendiri karena ditinggal istri merantau ke negeri orang. Laki-laki
seperti dia pasti butuh perhatian, butuh teman, butuh melampiaskan
birahinya kalau sedang tinggi. Mana mungkin dia meminta istrinya pulang,
orang dia sendiri sadar kalau hidup dengan gaji seorang satpam di kota
besar ini nggak cukup.
Aku jadi penasaran. Kalau Mas Yono lagi horney, apa yang dia lakukan?
****
Waktu subuh aku terjaga dari tidurku. Tubuhku terasa pegal karena harus
tidur di lantai, karena harus mengalah dengan adikku yang nomor tiga,
yang ingin tidur di kasur. Sebagai seorang kakak yang sudah bisa
berpikir dewasa, aku malah sering mengalah dengan adik-adiku. Bukan
hanya untuk urusan siapa yang tidur di kasur, tapi juga urusan makanan.
Aku terkadang harus rela makan nasi dengan kerupuk, supaya adik-adikku
bisa makan tempe. Kalau sudah prihatin begitu, rasanya aku ini juga
ingin menangis dan marah. Ingin aku membantu, tapi aku masih belum
mampu.
Setelah keasadaraanku penuh, aku beranjak untuk membantu ibu
menyiapkan gorengan yang biasanya dititipkan ke warung-warung untuk
menambah uang makan satu keluarga, karena sudah jelas nggak cukup kalau
mengandalkan gaji bapak. Setelah membantu Ibu aku baru bisa mandi di
tempat mandi umum, dan langsung berangkat sekolah dengan perut masih
kosong. Mana mungkin aku merasakan yang namanya nikmat sarapan pagi.
Saat berangkat ke sekolah lagi-lagi aku berpapasan dengan Mas Yono. Dia
baru kembali dari kerja. Tampak dia sedang melepaskan helmnya di depan
rumah. Seragam satpam yang berwarna hitam-putih itu menempel ketat di
tubuhnya bagaikan kulit ke dua. Pagi-pagi begini sudah bertemu pria
idaman. Hilang sudah lapar di pagi hariku. Semoga saja setiap hari aku
bisa melihat Mas Yono terus, supaya penat hidupku bisa hilang.
“Sekolah, Gus!” Tegurnya saat aku sampai di depan rumahnya. “Sekolah yang rajin!”
“Beres, Bang! Pagi ini aku semangat banget.” Hehheheh, semangat karena ketemu denganmu, Bang. Tambahku di dalam hati.
“Wah, kalau semua pelajar semangatnya kayak kamu, bisa maju negara
ini!” Pujinya yang berakhir dengan bersemu merah pipiku. “Kamu berangkat
sekolah naik apa?” Lanjutnya bertanya kemudian.
“Biasa, Bang. Naik Bus. Ini harus jalan kaki sampai jalan raya di depan!”
“Mau aku antar?”
“Ahhh, nggak usah, Bang. Bang Yono kan baru pulang kerja,pasti capek.”
“Udah, nggak apa-apa! Abang antar sampai depan jalan saja.” Serunya
sambil naik ke atas motornya dan menyalakan mesin. “Ayo, naik!”
Aku
naik di atas boncengan. Tubuh bagian depanku merapat dengan punggung Mas
Yono yang bidang. Motor berjalan keluar dari gang, melintasi jalan
berbatu. Motor yang jalannya nggak setabil membuatku harus berpegangan
pada bahunya. Sentuhan itu membuat tubuhku menegang bukan main. Aku bisa
merasakan kerasnya otot bahunya itu.
“Pegangan, Gus biar nggak jatuh.”
“Iya, Bang!” Aku berpegangan pada bahunya dengan kedua tanganku.
“Kalau gitu kurang kuat. Peluk perut, Abang!” Serunya di sela-sela deru suara motornya yang berisik.
Hah? Aku nggak salah dengerkan. Tapi, berlahan aku melingkarkan
tanganku di perutnya. Jadi ceritanya aku sedang memeluknya dari belakang
sekarang ini. Sekejap aku langsung bisa merasakan kehangatan
menyingkirkan udara dingin pagi hari yang menusuk tulang. Samar-samar
aku mencium bau rokok dari seragam satpam Mas Mulyono yang bercampur bau
parfum murah dan keringat. Kombinasi yang memanjakan hidung. Kalau
tidak sedang dalam keadaan sadar, bisa-bisa aku langsung merebahkan
kepalaku di punggung bidangnya.
Terima kasih kepada jalan kampungku
yang tidak rata dan berbatu-batu. Akhirnya setelah sampai di jalan raya
aku terpaksa melepaskan pelukanku, dan melompat turun.
“Makasih, Bang!”
“Sama-sama, Gus! Abang balik dulu, ya mau langsung mandi terus tidur.”
Wajahku langsung cerah begitu melihat senyumannya. Ahhh, andai saya dia
yang menjadi bapaku. Sempat terbesit pikiran seperti itu. Mana pernah
Bapak punya pikiran untuk mengantarku ke sekolah. Boro-boro, deh. Ke
depan jalan seperti ini saja nggak pernah. Pas gue berangkat saja Bapak
masih ngorok di tempat tidur. Mana bisa dapet rezeki kalau pagi-pagi
masih tidur kayak beruang kutub. Rezeki bisa dipatok ayam!
Ahhh,
tapi aku tidak menginginkan Mas Yono menjadi ayahku, melainkan
kekasihku. Aku ingin dicintai olehnya, aku ingin menjadi orang yang
menyambutnya pulang bekerja dengan senyum semeringah tanpa beban, aku
ingin menjadi pemuas hasratnya, dan aku ingin menjadi teman hidupnya
sampai di hari tua. Ahhh, aku cuman bisa berhayal. Apa yang bisa
diberikan oleh seorang pelajar miskin sepertiku ini? Mungkin hanya
menjadi teman pemuas napsu birahinya. Ahhh, nggak mungkin. Mana doyan
Mas Yono sama gay sepertiku. Aku mendesah, jengah dengan kehidupanku,
jengah karena hasrat dan rasa sukaku ini tak tersalurkan.
****
Malam ini kayaknya aku nggak bakal bisa tidur di kasur lagi. Setelah
mengerjakan PR, aku masuk ke kamar dan melihat adik-adikku sudah pasang
badan di atas tempat tidur. Aku mendengus, berusaha sabar, karena nggak
mau membuat keributan. Bisa-bisa aku dimarahi Ibu dan Bapak karena nggak
bisa mengalah. Ahh, yang benar saja. Sudah bosan aku mengalah. Sengaja
aku tidak langsung rebahan di atas lantai kamarku, tapi aku malah keluar
dari rumah tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku yang mungkin udah
tidur pulas di kamarnya, karena seharian sibuk bekerja.
Udara malam
yang dingin lumayan menusuk, apalagi angin berhembus cukup kencang.
Kampungku memang selalu sepi kalau malam. Jarang ada Bapak-bapak yang
berkumpul hanya untuk sekedar ngopi bersama sambil main catur.
Kebanyakan mereka sudah teramat lelah dan memilih kasur dan guling
mereka untuk menjadi teman malam. Aku memutuskan untuk kencing ke kamar
mandi umum. Semua orang di kampungku menggunakan fasilitas umum itu
untuk mandi, BAK, dan mencuci baju. Ada sumur di depan bilik-bilik
berisi bak mandi dan koset yang jumlahnya ada lima itu. Setiap pagi
memang selalu menjadi rebutan, bahkan malah menjadi pemandangan rutin
yang terkadang menarik perhatian.
Saat aku masuk ke dalam salah satu
bilik yang kosong dan mengeluarkan kontolku dari dalam celana untuk
pipis, tiba-tiba saja telingaku menangkap suara orang mandi dari
seberang. Siapa yang mandi malam-malam begini? Dalam kesunyian malam
hanya terdengar suara air yang disiramkan membasahi tubuh dan suara air
seniku yang masuk ke kloset. Tapi kemudian aku menangkap suara baru dari
bilik sebelah. Senandung sebuah lagu dangdut yang lagi naik daun di
teve. Suaranya aku kenal. Ini suaranya Mas Yono.
Jantungku bukan
main deg-degannya. Di sebelah Mas Yono sedang telanjang dan mandi. Ingin
sekali aku melihat tubuh telanjangnya sekali seumur hidup. Berkali-kali
aku melihat bagian atas tubuhnya, tapi aku sama sekali tak pernah
melihat bagian bahwanya. Bagaimana bentuk kontol Mas Yono? Ahhhh,
bapak-bapak seperti dia pasti jembutnya lebat. Aku mengigit bibir,
kakiku gemetaran. Ada niatan untuk mengintip dari atas karena
bilik-bilik mandi ini tidak beratap, tapi aku tidak berani melakukannya
karena takut ketahuan. Lama kau berpikir, menimbang-nimbang keputusanku,
sementara itu dari bilik sebelah sudah tidak terdengar suara apapun.
Kutajamkan pendengaranku. Mas Yono sudah selesai mandinya, dan mungkin
sekarang sedang mengeringkan badan. Kemudian aku mendengar suara orang
bersiul-siul dari sebelah. Kecewa karena kesempatan ini aku lewatkan
begitu saja. Memikirkan bisa mengintip Mas Yono saja sudah membuat
kontolku berdiri, apalagi kalau bisa dengan mata kepalaku sendiri
melihat tubuh telanjangnya. Mungkin aku bisa-bisa ejekulasi langsung di
depan Mas Yono.
Aku keluar dari bilik bersamaan dengan Mas Yono ternyata. Kami saling memandang terkejut.
“Eh, Bagus!”
“Eh, Bang!” Aduh, kok kompak banget ngomongnya.
“Habis ngapain?”
“Kencing.” Jawabku singkat. Aduh, kepo ya laki ganteng satu ini.
Hehehhehehe! “Mas Yono kok malem-malem mandi. Nggak baik lho, bisa kena
angin duduk.”
“Habisnya di rumah gerah.”
“Gerah soalnya nggak ada yang nemenin.” Candaku kemudian.
“Ah, kamu bisa saja!” Serunya sambil mendorong bahuku. Kemudian kami sama-sama berjalan menuju rumah Mas Yono.
“Eh, serius, deh Bang. Emang Abang nggak ngerasa kesepian tinggal sendiri?”
“Yah, kadang-kadang terasa, sih. Tapi, kalau sendiri begini, serasa menjadi lajang lagi.”
“Ahhh, kalau mau selingkuh enak, kan biar nggak ketahuan.” Godaku lagi. “Aduh, kasihan bener Mbak Lasminya...”
“Kamu ini kecil-kecil tahu apa tentang selingkuh!” Hardiknya dengan gaya bercanda.
“Aku kadang juga pengen lho, bang sendirian barang sehari saja. Bosen
sama keramaian....” Ehh, kok aku jadi curhat colongan begini.
Mas Yono mengusap wajahnya dengan handuk dan menyadari perubahan raut wajahku.
“Punya saudara banyak nggak jadi jaminan hidup bahagia. Seperti
sekarang ini, aku harus ngalah tidur di lantai cuman gara-gara adikku
sudah pasang badan di kasur.”
“Kamu mau tidur di rumah, abang malam ini?”
Jantungku tiba-tiba berhenti berdetak. “Hah? Boleh, bang?”
“Ya, daripada tidur di lantai. Kamu kan bisa tidur sekasur bareng
abang, toh selama ini abang cuman tidur sendiri. Bagaimana, mau tidak?”
Tidur sekasur? Dengan Mas Yono? WAHHHHHHHH! Mimpi jadi kenyataan. Aku mengangguk dengan semangat!
“Sudah bilang sana ke orang tuamu biar mereka nggak mencari!” Perintah Mas Yono.
“Ahhh, nggak perlu! Palingan sudah molor semua. Besok saja subuh-subuh
aku balik ke rumah. Makasih, ya Bang!” Seruku sambil nyelenong masuk ke
dalam rumah Mas Yono setelah dibukakan pintu.
Ahhhh, malam ini akan
tidur berdua saja dengan Mas Yono di rumahnya. Asyik, asyik! Saking
girangnya aku nggak bisa menyembunyikan raut wajahku yang seperti
kejatuhan undian berhadiah uang satu milyar.
“Kamu girang banget, Gus!”
“Iya, dong Bang! Bisa tidur di kasur, hangat lagi.” Hangat karena di
sebelahnya ada tubuhmu Bang! Seruku dalam hati. Hehehhehehehhehe!
“Ya, sudah naik ke kasur sana. Abang mau ganti baju dulu!”
Aku langsung melompat ke kasur yang cukup untuk dua orang itu. Aroma
tubuh Mas Yono bisa tercium dari bantalnya. Baunya, sih agak aneh, tapi
aku suka. Nanti malam akan aku endus-endus bau bantal ini sebagai
pengantar tidur. Kemudian aku melihat Mas Yono membuka lemari pakaian,
mengeluarkan sebuah singlet putih yang warnanya sudah tidak putih lagi,
tapi bersih, dan langsung mengenakannya. Aku berdecak kecewa karena
pemandangan tubuh indah itu menghilang dari pandangan.
Tapi sejurus
kemudian tubuhku mematung saat Mas Yono melepaskan celana kolornya di
depanku. Aku melihat celana dalamnya yang membungkus selangkangan dan
bokong kencangnya itu. Tonjolan di depan selangkannya itu apalagi.
Tubuhku rasanya berdesing mengeluarkan uap panas saking terbakarnya
gairahku yang disulut mendadak.
Mas Yono mengenakan kain sarung yang
dililitkan ke pingganya dan langsung naik ke tempat tidur. Tubuhku
menengan saat lengan kami bersentuhan. Aku sengaja menggeser tubuhku
menjauh supaya Mas Yono juga merasa nyaman berada di tempat tidurnya.
“Abang, kalau tidur nggak pakai celana?”
“Iya, cuman pakai celana dalam sama sarung. Emang kenapa?” Tanyanya kembali sambil melirikku.
“Nggak, nggak ada apa-apa. Cuman tanya doang!”
Kemudian hening cukup lama. Kami sama-sama belum merasa mengantuk. Akhirnya Mas Yono juga yang memecah kesunyian.
“Kamu kayaknya banyak pikiran, Gus. Emangnya ada masalah apa di rumah?”
Aku menoleh ke samping, kepala kami hanya berjarak sepuluh cm saja
ternyata. Ada keinginan untuk mencurahkan beban pikiran kepada Mas Yono.
Aku rasanya ingin di dengarkan. Aku ingin membagi bebanku, ingin Mas
Yono tahu apa yang sedang menjadi pergumulan hatiku. “Pusing punya
banyak saudara, harus ngalah, padahal aku sendiri butuh perhatian.”
“Perhatian Bapakmu?”
“Ya, iyalah, Bang. Aku ini anak baru gede, butuh bimbingan, butuh
disayang juga, butuh contoh. Sayangnya contoh di rumah cuman bisa kasih
tahu gimana caranya bikin anak banyak-banyak.”
Mas Yono tidak
menegurku meskipun nada bicaraku kasar. Tubuhnya miring menghadapku. Aku
juga memiringkan badanku untuk menghadap ke arahnya. Kami berdua
akhirnya saling berhadapan. Ahhh, kontolku menegang seketika karena
perhatian Mas Yono tercurah kepadaku. Wajahnya yang ganteng, kulitnya
yang terbakar matahari itu begitu mempesona. Aku ingin sekali
menyentuhnya, merebahkan kepalaku di dadanya, menghirup aroma tubuhnya.
Ahhhhhh... aku mendesah dalam hati.
“Abang nggak bisa berbicara
banyak, takut dikira bapakmu ikut campur. Tapi, abang cuman bisa bantu
satu hal. Kalau pas mau tidur kamu nggak dapet bagian tempat di kasur,
kamu boleh tidur di rumah abang.”
“Beneran, Bang?” Wajahku tampak berbinar.
Mas Yono mengangguk. “Sudah, ayo tidur. Besokkan kamu harus sekolah.”
Aku mengangguk dan memejamkan mata. Sepuluh menit berlalu tapi aku sama
sekali tidak bisa masuk ke alam bawah sadarku. Aku masih terjaga
meskipun mataku terpejam rapat. Karena tak tahan akhirnya aku membuka
mata dan menemukan Mas Yono tengah tertidur lelap di sampingku. Tubuhnya
terlentang dengan sarungnya yang menyingkap ke atas dan memperlihatkan
pahanya.
Kontolku berdenyut-denyut. Kutajamkan pandanganku. Aku bisa
melihat celana dalam Mas Yono dari posisiku sekarang. Ada bulu-bulu
berwarna hitam yang menyembul dari selangkangannya. Sepertinya bulu
jembutnya terlalu lebat sampai-sampai menjuntai keluar dari celana dalam
seperti itu. Aku menelan air liur untuk membasahi tenggorokanku yang
kering.
Udara terasa panas membakar tubuhku, padahal sudah ada kipas
angin yang berputar di atas plafon. Aku duduk di samping Mas Yono,
mataku masih memandang ke selangkangannya. Ingin sekali aku melihat
kontol di balik celana dalam itu. Seperti apa bentuknya. Ahhh, bagaimana
kalau kontol itu masuk ke dalam mulutku? Aku tidak pernah merasakan
kontol di dalam mulutku. Setiap menonton blue gay video, aku selalu
menyukai adegan oral yang dilakukan aktor gaynya. Kelihatannya sangat
menikmati sekali menjilat-jilat kontol, seperti menjilat-jilat permen
loli.
Tiba-tiba saja tanganku terulur dan menyentuh kain sarung di
bagian ujung sebelah bawah. Tampak hati-hati supaya Mas Yono tidak
menyadari gerakanku yang menyingkap sarungnya lebih ke atas lagi. Saru
itu kubuka sampai perut, dan sekarang aku benar-benar bisa melihat
selangkangannya yang terbungkus celana dalam dengan bebeas.
Tonjolan
di balik celana dalamnya begitu memukau. Segera kusentuh tonjolan itu
dengan telapak tanganku. Sekali sentuh, tapi tidak ada reaksi dari Mas
Yono. Aku gemetaran, tapi aku tetap saja menyentuh, malah sekarang aku
berani mengelus-elus kontol Mas Yono.
Kontol itu mulai mengeras.
Sentuhanku ternyata merangsang saraf-saraf kontolnya untuk menegang.
Tanganku langsung kutarik mundur begitu Mas Yono menggerakkan kakinya.
Aku deg-degan bukan main takut ketahuan. Tapi setelah jeda yang cukup
lama, aku bisa memastikan kembali bahwa Mas Yono masih tetap tertidur.
Kusentuh sekali lagi tonjolan itu, dan sudah. Cukup. Paling tidak aku
sudah bisa melampiaskan sebagian hasratku.
Saat tangan ini terulur,
tiba-tiba saja Mas Yono terbangun. Aku buru-buru menarik tanganku mundur
dan mendekapnya di perut. Mas Yono memandangi wajahku dengan heran. Aku
langsung memucat, dan keringatku bercucuran membasahi kening.
“Kamu sedang ngapain?” Tanya Mas Yono dengan suara berat. Kesadaran belum sepenuhnya menguasai dirinya.
Aku memandang selangkangan Mas Yono untuk memberi kode. Mas Yono
melirik bagian bawah tubuhnya. Sarungnya sudah tersingkap sampai ke
perut, dan celana dalamnya sekarang sedang unjuk pamer di depanku.
“Kamu ngelihatan kontol, Abang?”
Wajahku menegang, mataku melotot. Aku ingin menggeleng untuk
menyangkal, tapi yang muncul malah senyum malu yang tersungging di
bibirku.
“Kontol abang gede banget. Celana dalamnya sampai sesak begitu.”
“Hahahha, nih lihat. Begini kalau nggak di kurung.” Tiba-tiba Mas Yono memlorotkan celana dalamnya sampai ke lutut.
Aku tercekat bukan main. Aku melihat kontolnya yang sudah setengah
bagun itu. Batang kontolnya berwarna hitam, dengan kepala kontol
berwarna ungu kemerahan. Jembutnya lebat, keriting dan kelihatan tak
penah di cukur, dan dibiarkan tumbuh sembarangan seperti semak belukar.
Aku menelan ludah, mataku mendelik tak berkedip. Kemudian Mas Yono
mengurut-urut kontolnya sampai bangun. Sekarang kontolnya itu tegak
berdiri. Panjangnya 15cm dengan diameter kira-kira 4cm.
“Lihat kalau lagi ngaceng tambah gede, kan?”
Aku mengangguk penuh semangat. Mataku masih tak lepas dari benda pusaka milik Mas Yono. “Boleh aku pegang, Bang?”
“Hah? Abang nggak salah denger, nih?”
“Cuman penasaran saja. Aku nggak pernah ngelihat kontol orang lain soalnya.”
“Masa? Kontol bapakmu nggak pernah lihat?”
Aku menggeleng. “Kamu tahu, Gus! Kontol bapakmu lebih gede dari punya, abang!”
Aku terkejut. “Beneran, Bang?”
Mas Yono mengangguk. “Waktu itu kita pernah mandi bareng di kali sewaktu ikut perkemahan.”
Aku jadi mengingat acara dramawisata pabrik tempat bapak bekerja.
Pabriknya mengadakan acara kemping. Bapak sama Mas Yono waktu itu ikut.
Kira-kira dua hari dua malam acaranya. Wah, jadi bapak dan Mas Yono
bener-bener pernah mandi bareng. Aku nggak salah kalau menaruh iri
dengan bapak. Sialan! Umpatku dalam hati.
Aku menelan ludah
bersamaan dengan tanganku yang menghampiri kontol Mas Yono. Dengan
mantap kugenggam batang kontolnya itu. “Wow! Kayak pegang botol...”
“Ahhh, tanganmu basah, Gus. Kamu keringetan, ya?”
“Iya, nih.” Tanpa sadar tanganku mulai mengurut-urut kontol Mas Yono.
“Ahhh, tanganmu ngapain, Gus?” Mas Yono merem melek menikmati kontolnya yanag aku urut-urut.
“Abang suka, nggak? Kalau suka aku lanjutin, ya?”
“Beneran, Gus? Kamu ini kenapa, sih? Kamu homo, ya?”
“Perkara homo atau tidak aku nggak mau menjawab. Yang penting aku suka
sama kontol, abang!” Seruku sambil kali ini mengocok batang kontol Mas
Yono.
“Ahhh, kamu coliin kontolku, Gus! Enak banget. Udah lama nih, pejunya nggak dikeluarin!”
“Kalau gitu aku keluarin, ya Bang?”
“Iya, iya... essshhh, ahhhh...” Mas Yono sudah tidak bisa berkata
banyak. Yang keluar dari mulutnya hanyalah desah-desahan yang
menggelitik telingaku.
Kukocok kontolnya itu semakin cepat, dan Mas
Yono mulai menggelinjang-gelinjang di atas tempat tidur. Tangannya di
rentangkan di atas kepala, memakerkan kedua ketiaknya yang berbulu.
“Ohh, ohhh, Ahhhh, ahhh, kocokanmu enak, Gus!”
Aku tersenyum memandangi wajah Mas Yono yang keenakan menerima
serviceku. Karena sudah dibakar gairah akhirnya aku menurunkan kepalaku
dan memasukan kontol Mas Yono ke dalam mulutku. Aku menghisap kepala
kontolnya, memainkan lidahku dengan lincah, menyapu kulit ungu kemerahan
itu, sampai membuat Mas Yono kelojotan.
“Gus, kamu ngemut kontolku, Gus? Ahhhh, Ahhh...”
“Gimana, Bang enak nggak? Kalau boleh aku terusin, nih...”
“Ya, ya, ya, kamu emut-emut terus. Sampai masuk semua, Gus kalau bisa!”
Hop! Kumasukkan kontol itu sampai ke pangkalnya. Aku hampir saja
tersedak karena kepala kontolnya menyentuh tenggorokanku. Kontol Mas
Yono sudah basah dengan air liurku. Lidahku menyapu setiap bagiannya
dengan lincah, sambil sesekali kulepas emutanku, dan kugantikan dengan
mencolikan kontolnya.
“Ohhh yeah! Ahhhh, ahhhh, Ahhhhhhhh!”
Kuplorotkan celana dalamnya betul-betul dan kulempar ke bawah kasur.
Kulepas juga sarungnya dan segera sarung itu menyusul temannya di bawah
kasur. “Bang boleh kubuka singletnya? Aku ingin melihat tubuh
telanjangmu yang seksi. Sudah sejak lama aku mengidam-idamkannya.”
Mas Yono dengan sendirinya melepas kain terakhir yang menempel di
tubuhnya. Sekejap kemudian Mas Yono telanjang bulat, kelojotan sambil
mendesah-desah.
“Hisapanmu lebih enak dari pada hisapan istriku, Gus!”
“Kalau begitu, mendesah lagi, Bang. Yang keras supaya aku bisa terangsang juga.”
“OHHHH, OHHHHH, AHHHHHHHH!” Mas Yono mendesah-desah.
Kucubit puting dadanya tiba-tiba, dan itu semakin membuat Mas Yono
mengeliat tak berdaya. Kuhisap putingnya yang hitam itu, kugigit sedikit
ujungnya, dan kumain-mainkan dengan lidahku.
“Oh, yeah... ahhhh! Hisap, Gus! Ahhhhh? Ya, begitu... Ahhhhh!”
Kuremas-remas dadanya, perutnya, kemudian, buah pelirnya yang seperti
buah jambu itu. Tangan kiriku sibuk meremas-remas buah pelirnya,
sedangkan tangan kananku sibuk mengocok kontol Mas Yono sambil sesekali
aku memainkan lubang kencingnya dengan ujung lidahku.
Cairan percum
merembes keluar seiring dengan desahan tertahan Mas Yono. Tubuhku
benar-benar di bakar gairah. Aku segera melucuti pakaian dan celanaku,
sampai akhirnya aku sama-sama telanjang di tempat tidur. Aku naik ke
atas tubuh Mas Yono, kugesek-gesekkan kontolku dengan kontolnya.
“Ahhh, ahhhh! Ayo, Bang kita main pedang-pedangan malam, ini...”
Pinggul kami saling bergerak, menyodorkan kontol masing-masing. Desahan
kami saling bersahutan dan menghiasi malam. Kumainkan putingnya lagi
sampai Mas Yono mengaduh karena aku mengigit puting kanannya terlalu
keras.
“Pelan, pelan, Gus!”
“Aku sudah nggak sabar, Bang. Entotin aku sekarang.”
“Kamu yakin, Gus?”
“Yakin, Bang. Ayo, Bang buruan.” Aku segera merebahkan tubuhku ke
kasur. Kukangkangkan kaiku membuka menyodorkan pantatku ke depan. Mas
Yono berlutut di depan kangangan pahaku, mengarahkan kontolnya tepat di
depan lipatan pantatku.
Mas Yono membasahi tangannya dengan air
liur, kemudian diusap-usapkannya tangan yang basah itu ke kontol dan
lubang anusku sampai berkali-kali. Kemudian aku merasakan kepala kontol
Mas Yono mendesak masuk.
“AHHHHHHHH!” Aku menjerit, tapi buru-buru Mas Yono membungkam mulutku.
Air mata membanjiri pikiku. Rasanya sakit sekali, tapi Mas Yono
sepertinya juga sudah sangat bergairah sehingga sudah menghiraukan rasa
sakit yang diakibatkan kontolnya yang besar itu kepada anusku.
Blessss! Kepala kontolnya terbenam di dalam anusku. Mas Yono terus mendorong kontolnya masuk.
“AHHHHHH SAKIT BANG!” Aku sampai mengigit tagan yang membungkam mulutku.
“Shuuuut, sedikit lagi! Kamu sendiri, yang minta kan? Tanggung, nih...”
“Pelan-pelan, Bang.”
“Iya, ini pelan-pelan.” Mas Yono mendorong kontolnya masuk lagi, diringi dengan desahan napasnya yang berat.
Bleeeees! Jlep! Kontol itu masuk sampai ke pangkal-pangkalnya di dalam
lubang anusku. Aku bisa merasakan jembut Mas Yono menggelitik buah
pantatku. Kemudian Mas Yono mulai menggenjot pantatku pelan-pelan.
“Auuuh, auuhh, auuuh, auhhhh!” Aku mendesah-desah.
“Hosh, Hosh, Hosh! Ahhh, Lu...bang...anusmu, sempit, Gus. Ahhh, Ahhh!
Lebih sempit dari memek perawan. Ahh, Ahhh, Abang percepat lagi, ya?”
“Jangan, Bang. Masih sakit.” Aku memohon. Sekarang ini rasanya anusku seperti disobek-sobek. Rasanya perih dan panas.
Plop! Plop! Plop! Mas Yono menghujamkan kontolnya di anusku
bertubi-tubi sampai berbunyi clepok! Clepok! Clepok! Suara
selangkangannya memukul pantatku.
“Ahhh, ahhhh, ahhhh, ahhh!” Aku mendesah keenakan bercampur rintihan sakit.
Mas Yono membekap tubuhku, menindihi tubuhku, sementara pinggulnya tak
berhenti bergerak menghujamkan kontolnya ke dalam anusku. Aku memeluk
lehernya kuat-kuat, merapatkan tubuh kami. Mas Yono menjulurkan lidahnya
dan menjilati bibirku. Aku membuka mulutku dan ikut menjilat-jiat
lidahnya. Lidah kali sedang bertarung sekarang. Kami akhirnya berciuman.
Mas Yono menghisap bibirku. Oh, beginikah rasanya ciuman ini. Mas Yono
adalah ciuman pertamaku.
Clepok! Clepok! Clepok! Kontolnya terus
merojoki anusku. Pahaku terasa ngilu karena terlalu lama mengangkang,
dan rasa sakitya bener-bener tak terlukiskan. Anusku serasa terbakar,
ususku serasa diaduk-aduk dengan blender. Tapi melihat Mas Yono begitu
bersemangat mengentotiku, aku jadi berusaha kelihatan menikmatinya juga.
“Ahhh, ahhh, ahhh, ahhh!”
“Gus, abang mau keluar, Gus!”
“Keluarin saja, Bang! Keluarin di mulutku.”
“Kamu mau meminum pejuhku, Gus?”
“Iya, Bang. Kuhisap sampai habis...”
“Sebentar, Gus. Sebentar lagi, abang keluar. Anusmu memang sedap, Gus!”
“Ahhhh! Ahhh! Ahhhhh! Agghhhh!”
“YEAH, OH! OH! Hosh, Hosh, Asshhhh! Ahhhh.”
Aku sendiri mulai mengocok kontolku dengan tangan sementara Mas Yono
masih sibuk membuat lecet lubang anusku. Biar, deh yang penting Mas Yono
bahagia. Saat-saat seperti ini sudah kutunggu-tunggu sejak lama. Rasa
sakitnya akan aku nikmati sampai sekecil apapun detilnya. Biarlah rasa
sakit ini menjadi saksi bahwa Mas Yono puas berhubungan intim denganku.
“Ahhh, ahhh, ahhhh!” Kontolku mulai berdenyut-denyut. “Bang, kayaknya aku mau keluar duluan, Bang!”
“Sini, Gus biar, Abang kocokin!” Dilepaskannya kontolnya itu dari
anusku. Rasanya lenggang sekali rongga anusku. Rasa perih dan panas
menusuk itu masih terasa, bahkan saat aku menyentuh lubang anusku dengan
jari telunjuk untuk melihat kondisinya. Ada luka berdarah, perih
sekali, tapi kubiarkan saja karena sekarang kontolku sedang dicoliin Mas
Yono.
“Ahhh, Bang! Bang! Ahhhh, Ahhhh, kocok, Bang! Yang kenceng, sebentar lagi keluar.”
“Peju perjaka mau keluar! Peju perjaka mau keluar!”
“OHHH, YES! AHHHHH! AHHHHHH!”
JROOOOOT! Kontolku menyemburkan cairan kental berwarna putih. Cairan itu membasahi tangan Mas Yono.
“Wah, pejumu banyak sekali, Gus!”
Aku yang masih berada di laut kenikmatan cuman bisa mendesah lirih
sambil mengumpulkan tenaga yang masih tersisa. Tubuhku rasaya langsung
lemas, tapi aku masih punya satu tugas lagi. Mas Yono membantuku duduk,
sekarang dia berdiri di atas kasur, selangkangannya tepat di depan
wajahku. Dengan tangan berlumuran pejuku Mas Yono mengocok kontolnya
sendiri.
“Ahhh, ahhhh, ahhhhh!”
Aku membuka mulutku lebar siap menadah tumpahan pejuh Mas Yono.
“Ohhh, YES! Enak, Gus. Ahhh, Ahhhh!”
“Ayo, Bang keluarin!”
“Bentar, Gus! Belum sampai ujung, nih. Bentar!”
Tangan Mas Yono semakin cepat mengocok sampai terdengar bunyi-bunyian.
“Ohhhh! Ohhhh! Ohhhh! AHHHHHHHHH!”
Jrrroooooooot! Peju Mas Yono muncrat langsung masuk ke mulutku. Rasanya
manis, ada rasa pahit sedikit. Baunya amis, dan menusuk hidung. Segera
kutelan pejuh Mas Yono. Aku sama sekali tidak mempunyai masalah dalam
menelannya. Kuurut-urut kontolnya, menarik keluar pejuh yang masih
tersisa di dalam. Beberapa tetes mengalir keluar, dan kuhisap habis
kepala kontolya masuk ke dalam mulutku.
“Ahhh, kontolku rasanya mau patah, Gus!”
“Pejuhmu enak sekali, Bang!”
“Oh, yeahh, Ahhh, Ahhh. Gus, kamu pinter sekali ngemutnya. Udah, Gus!”
“Hehhehehehehe. Abang KO, nih ceritanya?”
“Abang nggak pernah ngentotin cowok sebelumnya.”
“Enakan mana Bang, ngentotin cowok apa cewek?”
“Dua-duanya enak. Gus, kamu homo, ya?”
“Aku ini pemuas napsu birahimu, Bang. Aku akan melayanimu selama istrimu tak di sini. Bagaimana, kamu mau, Bang?”
“Ngentotin kamu terus nggak bakal bosen, abang. Anusmu lebih enak dari memek.”
Kemudian kami berbaring kembali di atas tempat tidur, saling
berpelukan, dengan tubuh masih sama-sama berkeringat dan telanjang.
Sekarang aku milikmu Mas Yono, dan kau adalah miliku, meskipun aku harus
membagimu dengan Istrimu. Tapi dia tidak ada di sini, jadi Mas Yono
sepenuhnya milikku saat ini. Aku merapatkan pelukanku di perutnya,
kontol kami saling bersentuhan, sampai akhirnya kami tertidur karena
kelelahan.
T a m a t.
1 komentar:
KotaBugil.com Kumpulan foto vulgar dewasa terupdate gambar HD
Ceritaxxxigo.com Koleksi cerita sex terbaru piliham terbaik
LihatMovie.com Situs nonton film bioskop online sub indo.
Posting Komentar