Namun
sejak karir mereka semakin memuncak, aku mulai terabaikan. Aku tetap tidak
memiliki kebebasan, karena mereka tetap menyuruhku mengikuti kegiatan-kegiatan
yang mereka pilihkan.
Memang
fasilitas-fasilitas terbaik selalu mereka berikan padaku, tanpa aku minta. Tapi
bukan itu yang aku mau, aku hanya ingin mereka seperti dulu lagi, yang
menganggap aku sebagai anak, bukan boneka. Aku rela ikut kegiatan-kegiatan yang
mereka pilih, asal aku bisa dekat dengan mereka dan aku diijinkan untuk sedikit
bebas, bukan semakin hari semakin dikekang.
Aku
terus berjalan menyusuri jalan komplek. Sampai tak terasa aku sampai disebuah
masjid. Aku duduk termenung diteras masjid. Hatiku terasa lebih tenang. Aku
termenung terus, memikirkan kedua orang tuaku, dan tak terasa air mataku tumpah
juga. Aku terisak pelan. Sampai ada seorang pemuda menegurku. Aku taksir
umurnya baru 20 tahunan. Ia mengenakan pakaian muslim.
“Kamu nangis?”
tanyanya lembut
Aku buru-buru
menghapus air mataku, karena malu. Aku pun memaksakan tersenyum padanya.
“Ngga apa-apa kok”
sahutku
“Kamu cerita sama
kakak ya, siapa tau kakak bisa bantu”
Aku
hanya menggeleng saja dengan tatapan kosong. Ia hanya tersenyum sabar
melihat tingkahku. Dan ia menyuruhku sholat agar aku lebih tenang. Aku
mengikuti perintahnya. Aku ambil wudhu terlebih dahulu, lalu melaksanakan
sholat Isya. Selesai sholat hatiku, menjadi lebih tenang. Aku pun kembali
keteras masjid. Dan ternyata pemuda itu masih ada disitu.
“Nama kakak siapa?”
tanyaku sembari duduk disampingnya
“Rizky, kamu?”
“guntur”
“Mending sekarang
kamu pulang deh, kasian orangtuamu, mereka pasti khawatir” ujarnya
Entah darimana ia
tahu. Padahal aku belum cerita. Aku pun mengikuti perintahnya dan
berterimakasih padanya. Tak lupa ia member nasihat, agar aku selalu bersabar.
Seolah mengerti masalah yang aku hadapi.
*****
Begitu
sampai dirumah, kulihat kedua orangtuaku seperti sedang menungguku. Tapi aku
pura-pura tidak melihat mereka, dan langsung masuk kekamar dan membanting pintu
kamar sekencang-kencangnya lalu tidur. Mereka hanya menghembuskan nafas dengan
sabar.
Esok
paginya aku tidak sarapan, aku malas satu meja makan dengan mereka. Aku
berangkat sekolah naik angkutan umum. Aku tidak mau memakai fasilitas orang
tua, jika aku sedang marah. Aku tahu diri, aku salah, jadi aku harus menerima
konsekuensinya sendiri tanpa mereka minta, meskipun aku yakin mereka tidak akan
melarangku menggunakan fasilitas yang mereka berikan saat aku sedang bersalah.
Disekolah
aku terus serius memperhatikan pelajaran, terutama pelajaran fisika, aku ingin
membuktikan kepada kedua orang tuaku bahwa aku bisa. Berkali-kali Arif
mengajakku bercanda saat jam pelajaran fisika, karena ia sudah pintar fisika,
namun tidak kugubris, yang kugubris hanya saat ia mengajakku berdiskusi untuk
mengerjakan soal fisika. Sampai akhirnya bell istirahat tiba.
Entah
angin apa yang membuat Kevin menuju bangkuku dan mengajakku kekantin, mungkin
karena kejadian kemarin, ia jadi lebih terbuka padaku. Aku sebenarnya senang
dengan perubahan sikapnya kepadaku, namun suasana hatiku sedang kecut, jadi aku
tolak ajakannya dengan halus, kulihat raut kecewa dimukanya, namun aku
pura-pura tak melihatnya.
Arif pun memandang
dengan heran lagi. Sekarang giliran ia yang mengajakku kekantin. Aku pun menolaknya.
“Kamu kenapa sih Gun?
Kok diem aja dari tadi?” tanyanya penasaran
“Ngga apa-apa kok”
“Oh ya udah, aku
kekantin ya!”
“Ya”
Sepeninggalnya
Arif kelas menjadi sepi, tinggal aku sendiri. Aku hanya melamun saja. Sampai
akhirnya aku sadar dari lamunanku, karena ada tangan yang mengibas-ngibaskan
didepan mataku. Kulirik ia sejenak, ternyata Nicko.
“Kamu kenapa Gun?”
Pasti gara-gara UTS ya?” tembaknya
“Iya” jawabku lesu
“Udah ngga apa-apa
kok, lagian kamu dapet rangking 3 dikelas ini kan? Kenapa masih sedih?”
hiburnya
“Iya, tapi ada 2
pelajaran yang nilainya dibawah 80”
“Ya ngga apa-apa,
wajar itu, aku emang ngga ada yang dibawah 80, tapi IP ku lebih kecil dari
kamu, dan ngga ada yang sampai nilai 100”
“Tapi orang tuaku,
ngga menilai dari itunya, mereka inginnya semua diatas 80”
“Ya wajar, semua
orang tua pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya, apalagi kita anak
tunggal”
Ya
memang kalau dipikir-pikir, omongan Nicko benar, tapi mungkin cara orang tuaku
yang salah. Sehingga aku merasa tertekan.
*****
Bell
pulang sekolah pun berbunyi. Siswa-siswi berhamburan dari semua kelas. Ada yang
lewat koridor dan ada yang lewat lapangan yang panasnya minta ampun. Aku pun
memilih melewati koridor. Aku berjalan sendiLambang. Aku baru ingat kalau hari
ini aku ada jadwal bimbel, jadi aku tidak langsung pulang kerumah.
Aku
baru mau menyebrang untuk mencari angkutan umum ketempat bimbelku, tiba-tiba
tepat disebelah kananku berbunyilah suara klakson yang memekakkan telingaku.
Aku jadi kesal siang bolong gini ngga kira-kira nyalain klakson sekencang
teriakan setan. Karena terlanjur kesal, aku jadi nekat mau mendamprat sang
pengemudi. Aku gedor-gedor kaca mobil bagian pengemudinya, namun tidak dibuka
juga, karena kehabisan kesabaran, aku hendak menojok kacanya, dan cepat-cepat kaca
itu dibuka, sehingga tonjokanku malah mengenai pengemudi itu.
Betapa kagetnya aku,
ternyata yang aku tonjok adalah Nicko. Ia meringis kesakitan. Aku menonjok
bagian dagunya. Aku refleks langsung masuk kedalam mobil lewat pintu sebelah
kemudi.
“Nicko!! Maaf, aku
ngga sengaja” ujarku sambil mendekat kemukanya untuk melihat bagian yang
tertonjok.
Ia
hanya tersenyum, menandakan ia tidak marah denganku. Aku dekatkan lagi, aku
sentuh bagian dagunya dengan hati-hati. Entah sengaja atau tidak, bibir Nicko
menempel dikeningku. Lalu aku refleks mendorong mukanya dengan cepat dengan
tanganku, sehingga kepalanya terbentur jendela, tapi aku tidak
memperdulikannya.
“Aduh sakit tau, ini
belum sembuh, udah ditambahin” ujarnya sambil cemberut
“Orang ngga
kenapa-napa juga wlee” ujarku sambil menjulurkan lidah
“Huu, udah salah ngga
minta maaf lagi” gerutunya
“Yang mulai duluan
kamu, kalau tadi ngga ngelaksonin aku kayak gitu, kamu ga bakal ketonjok”
protesku
“Iya-iya deh, kamu
mau kemana, kok ngga naik motor?” akhirnya dia mengalah
“Mau ketempat bimbel,
aku tahu diri jadi ngga mau pakai fasilitas orang tuaku dulu. Udah ya, aku mau
berangkat. Assalamu’alaikum. Eh maaf keceplosan. Hehe” ucapku seraya membuka
pintu mobil.
Namun cepat-cepat
tanganku ditahan Nicko.
“Aku antar ya”
ujarnya setengah meminta
“Ngga, aku naik umum
aja” ujarku keukeuh
“Ngga apa-apa kok”
ujarnya lagi
“Ngga ah, lagian ini
kan mobil ibu kamu, aku ngga enak”
“Ngga apa-apa kok
nyantai aja”
Karena
ia terus memaksa dan aku kehabisan akal untuk menolak, aku jadi nekat mencium
bibirnya dengan cepat agar ia bengong dan aku bisa kabur, lalu aku buru-buru
keluar dari mobil setelah aksiku berhasil. Entah setan apa yang melintas
dipikiranku tadi. Aku juga merasa senang sendiri, tapi ini aneh. Aku tidak
mengerti. Padahal seharusnya aku biasa saja.
Nicko terus bengong,
ia jadi senyum-senyum sendiri. Ia senang sekali, tapi ia berpikir, mungkin tadi
Guntur hanya melakukan usaha agar ia bisa melepaskan diri darinya. Tapi apapun
itu Nicko senang.
*****
Setiap
sore, seperti biasa kalau aku sedang tak ada kegiatan, aku mengajak anjingku
jalan-jalan ketaman, agar ia sehat. Sekalian aku juga olahraga jalan kaki.
Ternyata disana aku bertemu dengan Kevin. Kami pun saling menyapa dan bahkan
mengobrol. Kami semakin dekat setelah kejadian waktu itu.
“Wah anjingmu keren
Gun” pujinya seraya mengusap kepala anjingku
“Hehe, makasih”
sahutku
Lalu kami ngobrol
ngalor ngidul kesana kemari sampai tak terasa waktu sudah hampir maghrib.
Kamipun pulang kerumah masing-masing.
Begitu sampai dirumah
mamaku langsung menasihatiku, ia menasihatiku dengan lebih halus.
“gun, mama cuma mau
kamu lebih sukses dari papamu. Itu saja”
Namun karena aku
masih kesal, aku malah melawan.
“Terserahlah, aku
akan buktiin kalo aku bisa, tapi aku ga bisa kalo terus-terusan ditekan sama
kalian. Aku mending pergi aja dari sini” bentakku
“Guntur!!” mamaku
menjerit seraya memelukku
Aku
lepaskan dengan paksa pelukan mamaku. Sadis memang. Aku jahat. Tapi emosiku
sudah diubun-ubun, aku merasa bukan anak mereka. Mereka hanya sibuk dengan
karirnya. Lalu aku bergegas menuju kamarku untuk membereskan peralatanku. Ibuku
berteriak histeris. Itu membuat ayahku marah besar padaku.
“GUNTUR” bentak
papaku menggema
Aku
tak pedulikan itu. Aku terus membereskan semua barang-barangku. Setelah beres
semua. Aku ambil kunci mobil papaku tanpa permisi. Aku mau kabur dengan membawa
mobilnya. Aku sudah tidak peduli dengan segala prinsipku dulu. Yang terpenting
sekarang aku bisa menenangkan diri dulu diluar.
Setelah
beres memasukkan barang-barangku kedalam mobil, aku lihat anjingku sejenak, aku
peluk ia, aku biarkan ia menjilatiku, aku sungguh sedih, tingkah laku anjingku
saat ini terlihat sangat sedih, sangat berbeda dari biasanya yang selalu ceria
saat aku memeluknya, namun sekarang ia diam saja, menjilatiku dengan lesu. Ia
menggonggong lemah. Aku jadi tak tega, namun aku sudah bulat, aku sudah muak
sekali, aku sudah titip pesan agar anjingku dicarikan pengurus sampai aku
datang kembali.
Setelah
itu aku bersuci, lalu aku mulai tancap gas mobil ayahku secara perlahan namun
pasti mulai meninggalkan rumah. Aku melihat samar-samar dari spion, mamaku
seperti sedang menangis dan duduk terjatuh lemas didekat pagar rumah.
Bagaimanapun juga itu adalah mamaku meski dia ga pernah peduli sama aku tapi,
ia yang melahirkanku, aku jadi tak tega.
Segera kuinjak pedal
rem dan aku keluar dari mobil, lalu berlari menghampiri mamaku. Aku langsung
memeluknya erat sekali. Aku merasa damai. Namun aku masih tetap kecewa dengan
sikap mereka yang otoriter, sehingga aku tetap bulat untuk pergi.
“Do’akan saja aku
sukses ma” ujarku sambil menangis
“mama mohon, kamu
jangan pergi, mama janji akan lebih mendengarkanmu nak” ucapnya lemah
“Tidak mama, aku
harus menenangkan diri dulu, aku janji, jika aku sudah siap, aku akan kembali,
dan aku janji, aku akan lebih meningkatkan prestasiku” ujarku mantap
Aku
berdiri dan berjalan dengan cepat menuju mobil lagi. Kudengar mamaku berteriak
memanggil namaku. Namun tak kugubris. Aku terus berjalan menuju mobilku sambil
terus menangis pelan.
Aku
terus mengemudikan mobil tanpa tujuan, aku tak tau harus kemana. Aku mau
kerumah Nicko, tapi tak enak. Aku terlalu bergantung padanya saat ada masalah.
Yang jelas malam ini aku harus menemukan tempat untukku menginap, karena besok
aku harus sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar