part 6

Dirgantara putra 16.01 |



Namun sejak karir mereka semakin memuncak, aku mulai terabaikan. Aku tetap tidak memiliki kebebasan, karena mereka tetap menyuruhku mengikuti kegiatan-kegiatan yang mereka pilihkan.
Memang fasilitas-fasilitas terbaik selalu mereka berikan padaku, tanpa aku minta. Tapi bukan itu yang aku mau, aku hanya ingin mereka seperti dulu lagi, yang menganggap aku sebagai anak, bukan boneka. Aku rela ikut kegiatan-kegiatan yang mereka pilih, asal aku bisa dekat dengan mereka dan aku diijinkan untuk sedikit bebas, bukan semakin hari semakin dikekang.
Aku terus berjalan menyusuri jalan komplek. Sampai tak terasa aku sampai disebuah masjid. Aku duduk termenung diteras masjid. Hatiku terasa lebih tenang. Aku termenung terus, memikirkan kedua orang tuaku, dan tak terasa air mataku tumpah juga. Aku terisak pelan. Sampai ada seorang pemuda menegurku. Aku taksir umurnya baru 20 tahunan. Ia mengenakan pakaian muslim.
“Kamu nangis?” tanyanya lembut
Aku buru-buru menghapus air mataku, karena malu. Aku pun memaksakan tersenyum padanya.
“Ngga apa-apa kok” sahutku
“Kamu cerita sama kakak ya, siapa tau kakak bisa bantu”
Aku hanya menggeleng saja dengan tatapan kosong.  Ia hanya tersenyum sabar melihat tingkahku. Dan ia menyuruhku sholat agar aku lebih tenang. Aku mengikuti perintahnya. Aku ambil wudhu terlebih dahulu, lalu melaksanakan sholat Isya. Selesai sholat hatiku, menjadi lebih tenang. Aku pun kembali keteras masjid. Dan ternyata pemuda itu masih ada disitu.
“Nama kakak siapa?” tanyaku sembari duduk disampingnya
“Rizky, kamu?”
“guntur”
“Mending sekarang kamu pulang deh, kasian orangtuamu, mereka pasti khawatir” ujarnya
Entah darimana ia tahu. Padahal aku belum cerita. Aku pun mengikuti perintahnya dan berterimakasih padanya. Tak lupa ia member nasihat, agar aku selalu bersabar. Seolah mengerti masalah yang aku hadapi.
*****
Begitu sampai dirumah, kulihat kedua orangtuaku seperti sedang menungguku. Tapi aku pura-pura tidak melihat mereka, dan langsung masuk kekamar dan membanting pintu kamar sekencang-kencangnya lalu tidur. Mereka hanya menghembuskan nafas dengan sabar.
Esok paginya aku tidak sarapan, aku malas satu meja makan dengan mereka. Aku berangkat sekolah naik angkutan umum. Aku tidak mau memakai fasilitas orang tua, jika aku sedang marah. Aku tahu diri, aku salah, jadi aku harus menerima konsekuensinya sendiri tanpa mereka minta, meskipun aku yakin mereka tidak akan melarangku menggunakan fasilitas yang mereka berikan saat aku sedang bersalah.
Disekolah aku terus serius memperhatikan pelajaran, terutama pelajaran fisika, aku ingin membuktikan kepada kedua orang tuaku bahwa aku bisa. Berkali-kali Arif mengajakku bercanda saat jam pelajaran fisika, karena ia sudah pintar fisika, namun tidak kugubris, yang kugubris hanya saat ia mengajakku berdiskusi untuk mengerjakan soal fisika. Sampai akhirnya bell istirahat tiba.
Entah angin apa yang membuat Kevin menuju bangkuku dan mengajakku kekantin, mungkin karena kejadian kemarin, ia jadi lebih terbuka padaku. Aku sebenarnya senang dengan perubahan sikapnya kepadaku, namun suasana hatiku sedang kecut, jadi aku tolak ajakannya dengan halus, kulihat raut kecewa dimukanya, namun aku pura-pura tak melihatnya.
Arif pun memandang dengan heran lagi. Sekarang giliran ia yang mengajakku kekantin. Aku pun menolaknya.
“Kamu kenapa sih Gun? Kok diem aja dari tadi?” tanyanya penasaran
“Ngga apa-apa kok”
“Oh ya udah, aku kekantin ya!”
“Ya”
Sepeninggalnya Arif kelas menjadi sepi, tinggal aku sendiri. Aku hanya melamun saja. Sampai akhirnya aku sadar dari lamunanku, karena ada tangan yang mengibas-ngibaskan didepan mataku. Kulirik ia sejenak, ternyata Nicko.
“Kamu kenapa Gun?” Pasti gara-gara UTS ya?” tembaknya
“Iya” jawabku lesu
“Udah ngga apa-apa kok, lagian kamu dapet rangking 3 dikelas ini kan? Kenapa masih sedih?” hiburnya
“Iya, tapi ada 2 pelajaran yang nilainya dibawah 80”
“Ya ngga apa-apa, wajar itu, aku emang ngga ada yang dibawah 80, tapi IP ku lebih kecil dari kamu, dan ngga ada yang sampai nilai 100”
“Tapi orang tuaku, ngga menilai dari itunya, mereka inginnya semua diatas 80”
“Ya wajar, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya, apalagi kita anak tunggal”
Ya memang kalau dipikir-pikir, omongan Nicko benar, tapi mungkin cara orang tuaku yang salah. Sehingga aku merasa tertekan.
*****
Bell pulang sekolah pun berbunyi. Siswa-siswi berhamburan dari semua kelas. Ada yang lewat koridor dan ada yang lewat lapangan yang panasnya minta ampun. Aku pun memilih melewati koridor. Aku berjalan sendiLambang. Aku baru ingat kalau hari ini aku ada jadwal bimbel, jadi aku tidak langsung pulang kerumah.
Aku baru mau menyebrang untuk mencari angkutan umum ketempat bimbelku, tiba-tiba tepat disebelah kananku berbunyilah suara klakson yang memekakkan telingaku. Aku jadi kesal siang bolong gini ngga kira-kira nyalain klakson sekencang teriakan setan. Karena terlanjur kesal, aku jadi nekat mau mendamprat sang pengemudi. Aku gedor-gedor kaca mobil bagian pengemudinya, namun tidak dibuka juga, karena kehabisan kesabaran, aku hendak menojok kacanya, dan cepat-cepat kaca itu dibuka, sehingga tonjokanku malah mengenai pengemudi itu.
Betapa kagetnya aku, ternyata yang aku tonjok adalah Nicko. Ia meringis kesakitan. Aku menonjok bagian dagunya. Aku refleks langsung masuk kedalam mobil lewat pintu sebelah kemudi.
“Nicko!! Maaf, aku ngga sengaja” ujarku sambil mendekat kemukanya untuk melihat bagian yang tertonjok.
Ia hanya tersenyum, menandakan ia tidak marah denganku. Aku dekatkan lagi, aku sentuh bagian dagunya dengan hati-hati. Entah sengaja atau tidak, bibir Nicko menempel dikeningku. Lalu aku refleks mendorong mukanya dengan cepat dengan tanganku, sehingga kepalanya terbentur jendela, tapi aku tidak memperdulikannya.
“Aduh sakit tau, ini belum sembuh, udah ditambahin” ujarnya sambil cemberut
“Orang ngga kenapa-napa juga wlee” ujarku sambil menjulurkan lidah
“Huu, udah salah ngga minta maaf lagi” gerutunya
“Yang mulai duluan kamu, kalau tadi ngga ngelaksonin aku kayak gitu, kamu ga bakal ketonjok” protesku
“Iya-iya deh, kamu mau kemana, kok ngga naik motor?” akhirnya dia mengalah
“Mau ketempat bimbel, aku tahu diri jadi ngga mau pakai fasilitas orang tuaku dulu. Udah ya, aku mau berangkat. Assalamu’alaikum. Eh maaf keceplosan. Hehe” ucapku seraya membuka pintu mobil.
Namun cepat-cepat tanganku ditahan Nicko.
“Aku antar ya” ujarnya setengah meminta
“Ngga, aku naik umum aja” ujarku keukeuh
“Ngga apa-apa kok” ujarnya lagi
“Ngga ah, lagian ini kan mobil ibu kamu, aku ngga enak”
“Ngga apa-apa kok nyantai aja”
Karena ia terus memaksa dan aku kehabisan akal untuk menolak, aku jadi nekat mencium bibirnya dengan cepat agar ia bengong dan aku bisa kabur, lalu aku buru-buru keluar dari mobil setelah aksiku berhasil. Entah setan apa yang melintas dipikiranku tadi. Aku juga merasa senang sendiri, tapi ini aneh. Aku tidak mengerti. Padahal seharusnya aku biasa saja.
Nicko terus bengong, ia jadi senyum-senyum sendiri. Ia senang sekali, tapi ia berpikir, mungkin tadi Guntur hanya melakukan usaha agar ia bisa melepaskan diri darinya. Tapi apapun itu Nicko senang.
*****
Setiap sore, seperti biasa kalau aku sedang tak ada kegiatan, aku mengajak anjingku jalan-jalan ketaman, agar ia sehat. Sekalian aku juga olahraga jalan kaki. Ternyata disana aku bertemu dengan Kevin. Kami pun saling menyapa dan bahkan mengobrol. Kami semakin dekat setelah kejadian waktu itu.
“Wah anjingmu keren Gun” pujinya seraya mengusap kepala anjingku
“Hehe, makasih” sahutku
Lalu kami ngobrol ngalor ngidul kesana kemari sampai tak terasa waktu sudah hampir maghrib. Kamipun pulang kerumah masing-masing.
Begitu sampai dirumah mamaku langsung menasihatiku, ia menasihatiku dengan lebih halus.
“gun, mama cuma mau kamu lebih sukses dari papamu. Itu saja”
Namun karena aku masih kesal, aku malah melawan.
“Terserahlah, aku akan buktiin kalo aku bisa, tapi aku ga bisa kalo terus-terusan ditekan sama kalian. Aku mending pergi aja dari sini” bentakku
“Guntur!!” mamaku menjerit seraya memelukku
Aku lepaskan dengan paksa pelukan mamaku. Sadis memang. Aku jahat. Tapi emosiku sudah diubun-ubun, aku merasa bukan anak mereka. Mereka hanya sibuk dengan karirnya. Lalu aku bergegas menuju kamarku untuk membereskan peralatanku. Ibuku berteriak histeris. Itu membuat ayahku marah besar padaku.
“GUNTUR” bentak papaku menggema
Aku tak pedulikan itu. Aku terus membereskan semua barang-barangku. Setelah beres semua. Aku ambil kunci mobil papaku tanpa permisi. Aku mau kabur dengan membawa mobilnya. Aku sudah tidak peduli dengan segala prinsipku dulu. Yang terpenting sekarang aku bisa menenangkan diri dulu diluar.
Setelah beres memasukkan barang-barangku kedalam mobil, aku lihat anjingku sejenak, aku peluk ia, aku biarkan ia menjilatiku, aku sungguh sedih, tingkah laku anjingku saat ini terlihat sangat sedih, sangat berbeda dari biasanya yang selalu ceria saat aku memeluknya, namun sekarang ia diam saja, menjilatiku dengan lesu. Ia menggonggong lemah. Aku jadi tak tega, namun aku sudah bulat, aku sudah muak sekali, aku sudah titip pesan agar anjingku dicarikan pengurus sampai aku datang kembali.
Setelah itu aku bersuci, lalu aku mulai tancap gas mobil ayahku secara perlahan namun pasti mulai meninggalkan rumah. Aku melihat samar-samar dari spion, mamaku seperti sedang menangis dan duduk terjatuh lemas didekat pagar rumah. Bagaimanapun juga itu adalah mamaku meski dia ga pernah peduli sama aku tapi, ia yang melahirkanku, aku jadi tak tega.
Segera kuinjak pedal rem dan aku keluar dari mobil, lalu berlari menghampiri mamaku. Aku langsung memeluknya erat sekali. Aku merasa damai. Namun aku masih tetap kecewa dengan sikap mereka yang otoriter, sehingga aku tetap bulat untuk pergi.
“Do’akan saja aku sukses ma” ujarku sambil menangis
“mama mohon, kamu jangan pergi, mama janji akan lebih mendengarkanmu nak” ucapnya lemah
“Tidak mama, aku harus menenangkan diri dulu, aku janji, jika aku sudah siap, aku akan kembali, dan aku janji, aku akan lebih meningkatkan prestasiku” ujarku mantap
Aku berdiri dan berjalan dengan cepat menuju mobil lagi. Kudengar mamaku berteriak memanggil namaku. Namun tak kugubris. Aku terus berjalan menuju mobilku sambil terus menangis pelan.
Aku terus mengemudikan mobil tanpa tujuan, aku tak tau harus kemana. Aku mau kerumah Nicko, tapi tak enak. Aku terlalu bergantung padanya saat ada masalah. Yang jelas malam ini aku harus menemukan tempat untukku menginap, karena besok aku harus sekolah.

0 komentar:

Posting Komentar